top of page
Subscribe
Instagram
Facebook
Donation

139 results found with an empty search

  • Maria, Hamba yang Taat: Renungan Natal

    Sepanjang paruh kedua dari tahun 2022, dunia media sosial dan siaran televisi nasional kita dibanjiri dengan berita tentang kasus kriminal yang melibatkan banyak aparat penegak hukum. Selama proses peradilan dari kasus tersebut, tampak sebuah isu yang cukup jelas, yakni tentang ketaatan kepada perintah atasan yang lahir dari ketakutan yang berlebihan terhadap sang atasan. Sepanjang sejarah umat pilihan Allah diwarnai dengan pilihan untuk taat kepada penguasa atau kepada Allah yang disembahnya. Sifra dan Pua adalah bidan-bidan yang karena takut akan Tuhan, berani melawan perintah Raja Mesir yang memerintahkan mereka untuk membunuh bayi laki-laki orang Israel (Keluaran 1:15-17). Sadrakh, Mesakh dan Abednego memilih untuk tidak taat kepada Raja Nebukadnezar walau harus masuk ke dalam perapian yang menyala-nyala (Daniel 3:16-18). Peristiwa Natal, diwarnai juga oleh sebuah keputusan besar Maria untuk taat kepada rencana Allah meskipun dibayangi krisis pertunangannya, stigma sosial, serta tuduhan perzinahan yang bisa berujung pada hukuman mati. Pertunangan, pada masa itu sudah seperti sebuah pernikahan, karena menurut hukum yang berlaku saat itu keduanya hanya dapat dipisahkan oleh kematian atau perceraian. Kenyataan bahwa kehamilan yang terjadi bukan karena hubungan dengan pasangannya, merupakan sebuah perzinahan (bdk. Imamat 20:10). Menarik sekaligus takjub merenungkan respon seorang Maria dalam peristiwa pemberitahuan tentang kelahiran Yesus di Lukas 1:26-38. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” adalah jawaban Maria setelah menyimak seluruh penjelasan malaikat Gabriel tentang skenario kehamilan dan persalinannya yang melampaui akal sehat manusia sepanjang sejarah. Kata “hamba” di sini dalam bahasa aslinya adalah “bond-servant” yang memiliki konotasi budak, dengan dedikasi tanpa syarat. Kata yang sama juga digunakan Rasul Paulus saat mendeskripsikan dirinya dalam suratnya kepada Titus (Titus 1:1). Maria hanyalah seorang gadis belia ketika ia menunjukkan ketaatan penuh kepada Allah dengan segala konsekuensinya. Alkitab tidak mencatat hal-hal spektakuler pada diri Maria. Pada kejadian-kejadian yang mengguncangnya, Alkitab hanya mencatat bahwa “Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Lukas 2:19, 51). Predikat hamba ini ditunjukkan tidak hanya di saat dia menerima privilege untuk mengandung bayi Yesus, sang Mesias dengan kegembiraan dan kebahagiaan (Lukas 1:46-55), tetapi juga ketika harus melalui drama persalinan yang sangat mungkin tidak diantisipasinya (Lukas 2:1-7) dan spektakularnya penyataan Allah melalui para malaikat-Nya (Lukas 2:8-20). Tidak ada kemarahan dan kekecewaan ketika Yesus mulai menunjukkan identitas-Nya (Lukas 2:41:52), bahkan ketika harus menyaksikan dari dekat penyaliban Yesus (Yoh. 19:25). Maria konsisten dengan predikat hamba-Nya sampai akhir, hingga menjadi saksi hidup dari kebangkitan-Nya (Lukas 24:10). Ketika kita menjalani hari-hari kita, disadari atau tidak, dalam banyak hal kita diperhadapkan dengan pilihan ketaatan. Ketika Allah menebus kita dengan darah anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus, maka status hamba Allah telah melekat pada kita, yang berarti kita harus pada ketaatan penuh kepada-Nya. Ketaatan yang tidak didasari oleh ketakutan, namun karena takjub dan hormat kepada Tuan yang menebus kita dari perhambaan terhadap dosa, bahkan sebelum kita mengenal Dia. (I Petrus 1:17-19; Roma 5:8). Ketaatan yang didasari atas keyakinan bahwa Ia mengasihi kita dan akan terus bersama-sama dengan kita karena tidak ada yang bisa memisahkan kita dari kasih-Nya (Roma 8:31-38). Selamat Natal para sahabat PMdN, kiranya peristiwa Natal boleh terus mengingatkan kita semua untuk terus hidup dalam ketaatan penuh kepada Tuhan, bahkan untuk perkara yang belum kita mengerti. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” *Penulis melayani sebagai Ketua Persekutuan Medis Nasional (PMdN) Perkantas /stl

  • Bukan Yesus yang Saya Kenal

    Judul asli: The Jesus I Never Knew Penulis: Philip Yancey Jumlah halaman: 328 halaman Penerbit: Professional Books, Jakarta Setelah bertahun-tahun membaca Alkitab atau menuturkan cerita Alkitab berulang kali kepada adik-adik maupun anak-anak kita, maka kita cenderung mempunyai gambaran familiar tentang sosok Yesus. Tapi coba bayangkan kalau kita menjadi seorang pemuda yang hidup di tengah-tengah kekacauan penjajahan dari suatu bangsa besar yang melanda negeri, dan dipimpin oleh Herodes yang kejam, lalu tiba-tiba melihat ada orang yang diduga adalah Mesias, sedang membangkitkan orang mati, menyembuhkan orang lumpuh dan buta, suka bepergian mengajar sambil diikuti oleh rombongan ke sana ke mari? Orang ini dicela oleh orang Farisi, dikritik dan diawasi oleh Makhamah Agama, kata-katanya kadang menarik namun membingungkan, akan seperti apakah perspektif kita pada saat itu? Mudah menerima? Menjadi skeptis? Atau malah menentang? Tulisan-tulisan Philip Yancey memang selalu merupakan salah satu yang terbaik dalam membahas tema-tema mengenai Karunia Keselamatan. Latar belakang penulis yang adalah juga seorang jurnalis mengajak kita untuk menyimak perjalanan layaknya seorang wartawan skeptis yang mengikuti jejak Yesus yang sedang ramai diperbincangkan oleh banyak orang di tanah Yudea. Buku ini terasa sangat hangat dan dekat. Kronologi dan konteks situasi sosial maupun sejarahnya disampaikan dengan lengkap. Buku ini juga menerangkan sudut-sudut tersembunyi mengenai mujizat-mujizat-Nya, alasan-alasan mengapa ada subjek-subjek khusus dalam perumpamaan-Nya, mengapa ada pendekatan paradoksal dalam khotbah di bukit, dan tentu saja karya pengorbanan, kebangkitan, sampai kenaikan-Nya ke Sorga. Semua penjabaran ini disampaikan dalam tiga bagian besar: Who He Was?, Why He Came?, dan What He Left Behind? Walaupun buku ini sudah ditulis beberapa tahun yang lalu dan ilustrasi yang dipakai mungkin memakai cerita-cerita dari tokoh-tokoh yang cukup senior, namun konteks yang dibawakan dapat dimengerti dengan jelas, dan sangat terbantu dengan terjemahan bahasa yang sangat baik. Cara menerangkan buku ini juga cenderung mengundang pembacanya untuk kritis bertanya, sehingga dapat membuat kita menangkap suatu perspektif, dan bukan hanya suatu pesan saja. Buku ini cocok untuk dinikmati oleh siapa saja, khususnya waktu mendekati masa-masa Natal dan Paskah - yang akan semakin menambahkan pemahaman baru dalam memaknai karya dan kasih Allah. /stl

  • Belajar dari Spiritual Giants: Helen Roseveare

    Sukacita dan penderitaan seakan tidak mungkin bergandengan. Namun, sukacita sejati seorang Kristen hanya bersumber dari Allah, memancar dari dalam hati dan tidak bergantung pada kondisi apapun, bahkan dalam penderitaan sekalipun. Paulus sendiri berkata, “Sekarang aku bersukacita, bahwa aku boleh menderita karena kamu…” (Kolose 1:24a). Makna yang serupa juga terdapat dalam Yakobus 1:2 yang dalam terjemahan bahasa inggris (ESV) berbunyi, “Count it all joy, my brothers, when you meet trials of various kinds,”. Banyak dari kita yang sudah sangat sering membaca ayat-ayat tersebut dan secara kognitif menyakininya karena merupakan Firman Tuhan, namun sulit untuk benar-benar percaya apalagi menjalaninya. Begitupun yang dirasakan oleh Helen Roseveare ketika membaca ayat tersebut, yang bahkan dirinya pernah bertanya, “Bukankah itu terlalu berlebihan?” tetapi kemudian menyadari bahwa penderitaan dan kesulitan dalam Kristus merupakan hak istimewa, dan menjalaninya dengan sukacita hanyalah anugerah semata. Helen Roseveare merupakan seorang misionaris yang diutus ke Kongo pada tahun 1953. Menariknya, menjadi misionaris pernah menjadi cita-cita Helen sewaktu kecil saat seorang guru sekolah minggunya menceritakan tentang India. Dibesarkan dalam keluarga Kristen yang taat, menjadikan Helen seorang Kristen yang bertumbuh dalam pengetahuan teologia, namun sayangnya tanpa pengenalan pribadi dengan Allah. Sampai suatu hari pada tahun 1945, Helen yang saat itu merupakan mahasiswi kedokteran, menyanggupi undangan temannya untuk mengikuti sebuah kegiatan retreat di kampusnya. Tanpa disangka, kesempatan itu merupakan momen Helen bertemu secara pribadi dengan Tuhan. Pada malam terakhir dimana Helen memberikan kesaksiannya, pengkhotbah Graham Scroggie menuliskan Filipi 3:10 pada Alkitab baru Helen sambil berkata, “Malam ini Anda telah memasuki bagian pertama dari ayat tersebut, “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia”, Ini baru permulaan, dan masih ada perjalanan panjang ke depan. Doa saya untuk Anda adalah agar Anda terus membaca ayat ini untuk mengetahui "kuasa kebangkitan-Nya" dan juga, bila Tuhan berkehendak, suatu hari mungkin, "persekutuan dalam penderitaan-Nya, dimana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya." Panggilannya sebagai misionaris semakin kuat, sehingga pada sebuah pertemuan misi di Inggris Utara, Helen mendeklarasikan komitmennya secara terbuka, "Saya akan pergi ke mana pun Allah inginkan, berapa pun harganya." Setelah lulus dari Cambridge dengan gelar doktor di bidang kedokteran, Helen terus memperlengkapi dirinya secara rohani, menambah ilmu kedokterannya khususnya pengobatan tropis, dan persiapan teknis lainnya untuk menjadi seorang misionaris. Pada bulan Maret tahun 1953, dalam usia 28 tahun, Helen akhirnya tiba di wilayah timur laut Kongo. Dalam dua tahun pertama, Helen fokus mendirikan sekolah untuk melatih para wanita untuk melayani sebagai perawat dan penginjil, yang pada akhirnya akan diutus ke berbagai wilayah untuk mengoperasikan klinik dan farmasi. Pada bulan Oktober 1955, Helen kemudian dipindahkan sejauh 11 km ke daerah bernama Nebobongo dan mengubah sebuah pusat bersalin dan penyakit kusta yang sudah lama terabaikan menjadi sebuah rumah sakit dengan 100 tempat tidur yang melayani ibu hamil, penderita kusta, dan anak-anak, serta sebuah sekolah pelatihan untuk paramedis dan 48 klinik pedesaan lainnya. Dalam radius 241 km, tidak ada fasilitas layanan kesehatan lainnya selain dari yang dikerjakan oleh Helen dengan dibantu masyarakat setempat. Kebutuhan akan pelayanan medis yang sangat besar di wilayah tersebut membuat rumah sakit tersebut berkembang pesat. Akan tetapi, melayani ditengah situasi kondusif tidak lagi mudah ketika Kongo mendeklarasikan kemerdekaannya dari Belgia pada tahun 1960 dimana terjadi perebutan kekuasaan yang brutal. Walaupun demikian, Helen tetap menunjukkan ketekunannya dengan terus merawat pasien walaupun sumber daya semakin menipis. Dia terus menikmati pelayanannya bersama keluarga Gereja Afrika-nya sehingga saat itu dia dipanggil dengan sapaan akrab 'Mama Luka' yang berasal dari Lukas, penulis Injil dan juga seorang dokter dalam Alkitab. Pada tahun 1964, ketika perang saudara dan perebutan kekuasaan semakin parah, rumah sakit yang dibangunnya dihancurkan dan Helen termasuk dalam sepuluh misionaris yang ditangkap dan menjadi tahanan para pemberontak. Saat Helen berusaha untuk kabur, para pemberontak tersebut memukulnya secara brutal dan menyebabkannya terluka cukup parah. Pada 29 Oktober 1964, Helen diperkosa. Dalam ingatannya tentang peristiwa tersebut, Helen menyatakan bahwa saat itu dia merasa Tuhan telah mengecewakan dirinya dengan membuatnya mengalami hal yang begitu kejam. Akan tetapi, dalam keputusasaannya yang paling dalam, Helen merasakan hadirat Allah saat itu. “Melalui pengalaman pemerkosaan yang memilukan dan brutal, Tuhan bertemu dengan saya — dengan tangan kasih-Nya yang terulur. Itu adalah pengalaman yang sulit dipercaya: Dia benar-benar ada di sana — dan tiba-tiba aku tahu — aku benar-benar tahu bahwa kasih-Nya cukup. Dia memang mengasihiku! Dia mengerti! Tuhan sedang menawarkan sebuah hak istimewa yang tak ternilai yaitu untuk berbagi dalam sedikit persekutuan dengan penderitaan-Nya.” Selama beberapa bulan, Helen dan misionaris lainnya ditahan dengan terus diancam dibawah todongan senjata dan mengalami kekerasan yang tak terbayangkan. Sepanjang waktu ini, Helen memimpin persekutuan doa bersama tahanan lainnya untuk mendoakan para pemberontak yang menahan mereka sampai akhirnya mereka diselamatkan oleh masyarakat sekitar, para pasien, dan petugas dari rumah sakit tempat Helen melayani. Setelah menghabiskan beberapa saat di Inggris untuk pemulihan fisik dan emosionalnya, pada tahun 1966, Helen kembali ke daerah lainnya di Kongo untuk terus melanjutkan pelayanannya dalam melatih perawat dan dokter dari daerah tersebut. Dia terus setia melayani dengan penuh kasih meskipun ingatan akan peristiwa yang terjadi padanya masih membuatnya resah. Mama Luca menyadari pentingnya memberdayakan masyarakat lokal sehingga berhasil mendorong banyak muridnya menjadi dokter dan perawat. Pada tahun 1973, Helen kembali ke Inggris karena alasan kesehatan dan akhirnya menetap di Irlandia Utara. Dia menulis beberapa buku dan melayani sebagai penasihat para misionaris. Dia menyelesaikan pertandingannya pada 7 Desember 2016, di usia 91 tahun. Kehidupan Helen Roseveare mengajarkan kita untuk tidak pernah membatasi kekuatan Tuhan yang disempurnakan dalam kelemahan kita. Rasa malunya akibat peristiwa pemerkosaan menguap seiring berjalannya waktu dan bahkan pengalaman ini digunakannya untuk menyemangati orang lain yang telah mengalami kejadian serupa. Melalui pelayanannya, banyak orang menemukan kesembuhan - baik emosional maupun fisik, tetapi yang lebih utama mengenal Kristus yang sejati. Dalam seluruh peristiwa kehidupannya, Helen menemukan bahwa sukacita yang sejati dianugerahkan Allah ketika ia taat bahkan dalam kondisi yang paling buruk sekalipun. Kiranya kisah ini dapat menolong setiap kita untuk belajar bersukacita dalam kondisi apapun, termasuk dalam kesulitan dan penderitaan saat menjalani panggilan-Nya. *)Penulis saat ini bekerja di NGO bidang HIV di Jabodetabek /stl Sumber: A Woman of Whom the World Was Not Worthy: Helen Roseveare (1925-2016): https://www.thegospelcoalition.org/blogs/justin-taylor/a-woman-of-whom-the-world-was-not-worthy-helen-roseveare-1925-2016/ Helen Roseveare: Living Sacrifice: https://www.cmf.org.uk/resources/publications/content/?context=article&id=26608

  • Apakah Kamu Sungguh Sahabat Yesus?

    Eksposisi Yohanes 15:1-17 Kita hidup dalam zaman di mana Facebook hadir dan memberikan kita keleluasaan untuk jadikan “friend”, siapapun, bahkan apapun, yang kita mau. Jauh sebelum Facebook hadir, dalam sebuah kesempatan, Dr. Howard Hendriks berkata kepada para mahasiswanya, “Two things will most influence where you’ll be at ten years out of seminary: the books you read and the friends you make. Choose them both very carefully!” Saya sependapat dengan wejangan itu, sebab para sahabat adalah bagian yang signifikan dan indah dalam kehidupan. Lebih jauh lagi sebelum Horward Hendriks menyampaikan perkataan itu, Yesus telah jadikan murid-murid-Nya, yang berarti juga kita yang sunggguh adalah murid-Nya, sebagai “friend”-Nya. Dalam Yohanes 15:15, dicatat Ia berkata, “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” Ia tidak lagi memandang kita yang adalah murid-murid-Nya sebagai seorang hamba belaka—meski demikian sebenarnya status kita, sebab Dia adalah Tuhan kita. Ia memandang kita sebagai sahabat, sebab Dia telah sampaikan kepada kita segala yang telah difirmankan Sang Bapa kepada-Nya, sehingga kita bisa tahu dan percaya apa yang Dia perbuat atas firman Bapa-Nya itu.Sang Maha Raja Semesta, mau memandang kita sebagai sahabat-Nya. Sungguh suatu hal signifikan dan indah bukan? Ini pantas membuat kita tersanjung serta terdukung dalam jalani hidup ini. Hidup ini kita jalani bersama seorang Sahabat, yang adalah Sang Maha Raja Semesta. Tetapi jangan langsung merasa tersanjung terdukung saudaraku. Ada satu pertanyaan yang perlu kamu jawab: apakah kamu sungguh sahabat Yesus? Jika kamu tidak bisa, atau ragu menjawab, “Ya, aku sungguh sahabat Yesus”, maka belum dapat merasa tersanjung dan terdukung. Bila demikian adanya, apa yang kamu perlukan untuk bisa jawab, “Ya, aku sungguh sahabat Yesus”? Mari kita simak apa yang Yesus sampaikan. Setelah Ia menjadikan kita sahabat-sahabat-Nya, Yesus lanjut berkata,”Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu”(Yoh. 15:16). Kita menerima status sebagai sahabat-sahabatnya itu karena Dia telah memilih kita jadi sahabat-sahabat-Nya, bukan sebaliknya. Adalah suatu anugerah kalau kita telah jadi sahabat-sahabat-Nya. Dan anugerah itu mesti kita responi. Berespon sebagaimana biasanya dan layaknya seseorang meresponi sahabatnya. Lihat apa yang selanjutnya Yesus katakan, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap” (Yoh 15:16). Bagi kita yang Yesus sudah jadikan sahabat-sahabat-Nya, telah diberikan suatu misi, yaitu menghasilkan buah. Melihat adanya kata “pergi”, maka buah-buah yang dimaksud bukanlah karakter-karakter seperti dalam surat Galatia, melainkan orang-orang yang jadi percaya kepada Yesus dan karya-Nya, jadi murid-murid-Nya, dan kemudian juga menghasilkan buah-buah bagi Dia. Yang berarti, kita mengerjakan misi Yesus, Sahabat kita itu. Inilah respon yang Dia inginkan dari kita yang sudah dipilih-Nya jadi sahabat-sahabatnya. Kita jalani keseluruhan hidup kita bersama Sahabat kita itu, mengerjakan misi-Nya. Bukankah selayaknya demikian? Masakan Sahabat kita sudah turun ke dunia ini dan jalani seluruh hidup-Nya untuk selamatkan manusia dan hadirkan Kerajaan-Nya, kita malah cari selamat sendiri dan bangun kerajaan pribadi? Nah saudaraku, ketika kamu pergi mengerjakan profesimu, apakah itu menghasilkan buah yang tetap bagi Dia yang telah menjadikan kamu sahabat-Nya? Demikian respon pertama yang diminta dari kita. Cuma ini aja? Masih ada lagi beberapa respon lainnya yang diminta dari kita, dan semuanya terkait dengan respon pertama tadi. Tepatnya, bagaimana kita bisa pergi dan menghasilkan buah yang tetap itu bagi Yesus. Respon yang kedua, bisa kita temukan di penghujung ayat 16, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.” Yang Yesus hendak sampaikan di sini bukanlah semacam hadiah: bila kita sudah bersedia pergi dan kemudian berhasil menghasilkan buah yang tetap, maka doa kita akan dikabulkan. Tetapi yang hendak Dia sampaikan adalah keberhasilan kita dalam mengerjakan misi-Nya itu hanyalah lewat doa kita yang Allah Bapa kabulkan. Doa kita yang dikabulkan inilah satu-satunya jalan menuju keberhasilan misi itu. Dan hal ini sudah Yesus sampaikan sebelumnya ketika menyatakan bahwa kita murid-murid-Nya akan melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya lebih besar lagi. Dia berkata, “dan apapun juga yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak. Jika kamu meminta sesuatu dalam nama-Ku, aku akan melakukannya” (Yoh 14:13-14). Saudaraku, bila selama ini kamu memang sudah pergi untuk menghasilkan buah yang tetap bagi Sahabatmu, sudahkah doa jadi andalanmu, yang berarti kamu mengandalkan Dia yang mengutus kamu? Atau pengetahuan, keterampilan, pengalaman, serta peralatan dan tim yang tersedia, jadi andalanmu? Sampai di sini, mungkin kita semua bertanya, bagaimana caranya memastikan bahwa doa-doa kita menjadi doa-doa yang Allah Bapa kabulkan, sehingga buah yang tetap bisa kita hasilkan? Saya melihat Yesus menjawab pertanyaan kita ini dalam Yohanes 15:7,8 dan 14. Dan jawaban ini merupakan respon ketiga yang Dia minta dari kita. Dia berkata,”Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya. Dan dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku” (15:7-8). Dan kemudian Ia juga berkata, “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang kuperintahkan kepadamu” (15:4). Pertama-tama perhatikan apa yang saya garis bawahi, “mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya”, “jika kamu berbuah banyak”, dan “Kamu adalah sahabat-ku”. Tiga frasa ini adalah penghubung dengan status kita yang adalah sahabat-sahabat Yesus, respon kita pergi untuk menghasilkan buah yang tetap dan satu-satunya jalan untuk bisa menghasilkan buah itu yaitu doa yang dikabulkan Allah Bapa. Lalu, jawaban atas pertanyaan bagaimana caranya memastikan doa-doa kita menjadi doa-doa yang Allah Bapa kabulkan, sekaligus merupakan respon yang diminta dari kita yang telah Yesus pilih jadi sahabat-sahabatnya tampak dalam frase yang saya tebalkan, “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu”, “jikalau kamu berbuat apa yang kuperintahkan kepadamu”. Seperti ranting-ranting yang hidupnya bergantung penuh pada pokok anggur agar bisa menghasilkan buah-buah anggur yang diharapkan sang pemiliki kebun anggur, demikianlah seharusnya kita hidup bergantung penuh kepada Yesus, agar bisa pergi dan menghasilkan buah yang tetap. Seperti ranting-ranting itu yang menerima nutrien yang diperlukan untuk hidup dan menghasilkan buah, demikian seharusnya kita menerima firman Yesus. Fiman-Nya itu akan masuk serta berakar dalam hati dan pikiran kita, hingga perkataan serta perbuatan kita menghasilkan buah-buah yang tetap bagi Allah Sang Pemiliki Kebun Anggur, dan Dia dipermuliakan. Kemudian di ayat 14, tanpa metafora ranting dan pokok Anggur, Yesus menegaskan bahwa kita sungguh sahabat-sahabat-Nya bila kita menaati apa yang telah Dia firmankan. Mengapa demikian? Ingat yang Dia katakan di ayat 15 tadi, “… Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepadamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku” Kepada kita telah disampaikan firman-Nya. Kita sudah tahu firman-Nya. Maka kita harus taati firman-Nya. Ketaatan pada firman-Nya inilah yang membuat doa kita akan menjadi doa yang dikabulkan Allah. Dalam pasal terakhir kitab Injilnya, yaitu pasal 21, Yohanes menampilkan narasi yang juga menyatakan kebenaran ini. Ketika Simon Petrus dan murid-murid lainnya kembali menangkap ikan di danau Tiberias (Galilea), mereka tidak dapat 1 ekor ikan pun setelah semalaman berupaya. Kemudian Yesus yang telah bangkit menampakkan diri kepada mereka (tapi tidak mereka kenali), lalu Ia memerintahkan mereka untuk tebarkan jala di sebelah kanan perahu. Mereka taati perintah itu, dan mereka mendapatkan 153 ekor ikan yang besar-besar. Saat perintah Yesus ditaati, hasil, bahkan hasil yang luar biasa, diperoleh. Nah, bagaimana dengan ini saudaraku? Sudahkah, atau masih teruskah kamu bergantung penuh pada Sahabat kita itu dan menerima firman-Nya, secara utuh dan kaya, masuk serta berakar di hati, di pikiran, lalu keluar dalam perkataanmu, perbuatanmu? Di tengah kesibukan kerja serta segala tuntutannya yang sepertinya tanpa henti, di tengah perjuangan untuk bisa rehat atau kerjakan hal-hal kegemaranmu, serta upaya keras beri waktu untuk orang-orang yang dikasihi, masihkah ada upaya untuk beri waktu mendengarkan Sahabat kita yang telah memberikan nyawa-Nya agar kita bisa jadi sahabat-sahabat-Nya? Sekarang simak respon keempat yang Yesus minta, yang tampak mengapit pernyataan-Nya bahwa Dia telah memandang kita sebagai sahabat-sahabat-Nya. “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu …Ini perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain” (Yoh 15:12,17). Yesus meminta kita yang adalah murid-murid-Nya saling mengasihi satu sama lain, setara dengan kasih-Nya kepada kita. Seperti apa itu persisnya, dinyatakan-Nya dalam ayat 13, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanyauntuk sahabat-sahabat-Nya”. Ini merujuk kepada kasih Yesus yang ditunjukkan dengan menyerahkan nyawa-Nya agar kita bisa menjadi sahabat-sahabat-Nya. Tidak ada ekspresi kasih yang lebih besar dari ini. Dan inilah yang Yesus minta kita berikan kepada sesama murid-Nya. Sesama penerima misi-Nya untuk pergi dan menghasilkan buah yang tetap. Kita diminta untuk saling mengasihi hingga ekspresi yang tertinggi itu, agar bisa sama-sama bertumbuh kuat dan saling dukung kerjakan misi-Nya. Dan ini menuntut kita menerima maupun memberikan ekspresi kasih terbesar itu, dari atau kepada, sesama murid Kristus. Bagaimana dengan ini saudaraku? Sudahkah atau masihkan kamu mau menerima atau memberikan ekspresi kasih terbesar itu? Atau egomu membuat kamu enggan menerima atau memberikannya? Terimalah dan berikanlah ekspresi kasih terbesar itu. Bila sampai di sini dirimu hendak ajukan pernyataan dan pertanyaan, “Semua respon itu sudah saya berikan, tetapi sepertinya tetap tidak ada buah yang bisa saya hasilkan. Bagaimana jika begini?”. Atau mungkin demikian,”Semua respon itu sudah saya berikan, dan buah-buah sudah dihasilkan. Tetapi kini seperti sulit untuk terus hasilkan buah. Jika begini, adakah solusi?”. Respon terakhir yang diminta dari kita akan memberikan jawabannya, dan merupakan respon pamungkas. Mari perhatikan bagian awal perumpamaan pokok anggur dan rantingnya. Di situ Yesus berkata, "Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Kulah pengusahanya. Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah. Kamu memang sudah bersih karena firman yang telah Kukatakan kepadamu. Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (Yoh 15:1-4). Perhatikan juga awal dari bagian yang berisi pernyataan Yesus bahwa Ia menjadikan kita sahabat-sahabat-Nya, “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu” (Yoh 15:9). Solusi bagi kita yang merasa gagal untuk menghasilkan atau untuk terus menghasilkan buah hanya satu saja: tinggal di dalam Yesus, di dalam kasih-Nya, di mana kita akan menikmati layanan Allah membersihkan kita, sehingga kita bisa menghasilkan buah, dan terus menghasilkannya, sesuai dengan rencana-Nya. Kata “tinggallah” diterjemahkan dari kata yunani “meno”, yang artinya tinggal, berdiam, secara permanen. Kata ini sering dipakai untuk tindakan seseorang memegang erat sesuatu sehingga orang itu tidak akan bisa dipindahkan atau digeser. Inilah respon pamungkas yang diminta dari kita. Karena itu marilah kita tinggal, berdiam, secara permanen di dalam Yesus, di dalam kasih-Nya yang telah diberikan dalam bentuk ekspresi kasih yang terbesar. Pegang erat-erat Dia dan kasih-Nya itu. Jangan mau berpindah atau digeser keluar dari Dia dan kasih-Nya, oleh siapa pun atau apapun, hingga buah-buah yang tetap engkau hasilkan, dan terus hasilkan, hingga Allah dipermuliakan. Saudaraku, apakah kamu sungguh sahabat Yesus? Kiranya dengan anugerah-Nya, kamu bisa memberikan respon-respon yang Yesus minta itu, sehingga bisa terus bertumbuh jadi seorang yang sungguh sahabat Yesus. *Penulis merupakan staf Perkantas Jakarta /stl

  • Pesan Menteri Kesehatan di Hari Kesehatan Nasional

    Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-58 Tahun 2022 bertemakan “Bangkit Indonesiaku, Sehat Negeriku” yang menggambarkan bangkitnya semangat dan optimisme seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam menghadapi masa pandemi COVID-19. Dengan kebersamaan, bahu membahu, semangat gotong royong, masyarakat Indonesia akan dapat kembali beraktivitas dan produktif agar Indonesia juga kembali bangkit dan kembali sehat. Dalam pidatonya, Bapak Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan vaksinasi terbanyak di dunia, dengan total 442 juta dosis vaksin telah disuntikkan sampai dengan Oktober 2022. Dengan ini bisa dikatakan bahwa Indonesia termasuk negara yang mampu menghadapi krisis global dan berhasil mengendalikan pandemi COVID-19. Meski begitu, Menkes juga berpesan agar kita tidak boleh lengah karena masih ditemukan adanya kenaikan kasus COVID-19 yang mana data kematian menunjukkan 4 dari 5 pasien meninggal belum divaksinasi booster. Oleh sebab itu, Menkes terus menghimbau masyarakat untuk melengkapi vaksinasi COVID-19 dengan booster. Menkes menyatakan bahwa sebenarnya Pandemi juga menjadi momentum bagi pemerintah untuk terus berbenah. Saat ini Kemenkes sendiri juga sedang melakukan transformasi sistem kesehatan yang berfokus pada 6 pilar, untuk mewujudkan masyarakat yang sehat, mandiri, produktif, dan berkeadilan, sekaligus sebagai bentuk kesiapan pemerintah dalam menghadapi masalah kesehatan di masa yang akan datang. Apa saja keenam pilar tersebut? Pilar 1 Upaya integrasi dan revitalisasi pelayanan kesehatan primer, termasuk standar jaringan, standar layanan, serta digitalisasi sistem pelaporan. Transformasi pelayanan kesehatan primer harus mendapat perhatian khusus serta investasi kesehatan yang besar, dengan fokus pada upaya promotif dan preventif. Salah satu prioritasnya yaitu melalui penguatan sekitar 1,5 juta kader dan 300.000 Posyandu yang menjadi ujung tombak pemberian layanan kesehatan. Menkes menghimbau juga agar terus membangun gerakan yang mendorong perubahan perilaku masyarakat diikuti dengan dukungan dan peran serta pemerintah daerah beserta seluruh elemen masyarakat untuk mewujudkan pelayanan kesehatan dasar yang mudah diakses oleh seluruh masyarakat. Pilar 2 Transformasi layanan rujukan. Hal ini bertujuan untuk mendekatkan akses layanan kesehatan kepada masyarakat. Kementerian Kesehatan mengembangkan jejaring layanan rujukan untuk penanganan penyakit katastropik yang menjadi penyebab kematian tinggi dan beban pembiayaan besar, antara lain stroke, kanker, jantung, ginjal, serta kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Pada pilar ini, Menkes menyebutkan akan memperkuat sisi supply melalui peningkatan kapasitas infrastruktur dan kompetensi SDM dalam menyediakan layanan kesehatan, sehingga layanan rujukan tersedia dan dapat diakses di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota. Pilar 3 Transformasi sistem ketahanan kesehatan, percepatan ketahanan farmasi dan alat kesehatan. Hal ini terus dilakukan, agar produk obat, vaksin, dan alat kesehatan dapat diproduksi dari hulu ke hilir dan dimanfaatkan di dalam negeri. Di samping ketersediaan produk farmasi dan alat kesehatan, pemerintah juga mendorong kesiapsiagaan menghadapi krisis kesehatan melalui tenaga cadangan kesehatan. Partisipasi tenaga kesehatan dan non-kesehatan sewaktu-waktu dapat diaktifkan ketika terjadi krisis. Oleh sebab itu, akan dilakukan pendataan tenaga cadangan dan pelatihan untuk dapat melengkapi keterampilan yang diperlukan saat terjadi krisis. Serta melakukan koordinasi dan mobilisasi tenaga cadangan di skala kabupaten/kota, provinsi, maupun nasional dengan cepat dan tepat. Pilar 4 Transformasi pembiayaan kesehatan untuk memastikan pembiayaan yang cukup, adil, efektif, dan efisien yang dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, mempercepat produksi National Health Account (NHA) untuk kebijakan pembiayaan kesehatan yang lebih berbasis bukti. Kedua, menjaga kualitas layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui reviu tahunan tarif JKN. Ketiga, kendali mutu dan biaya yang berbasis bukti untuk pelayanan kesehatan yang lebih efektif dan efisien melalui peningkatan penerapan Penilaian Teknologi Kesehatan (Health Technology Assessment - HTA). Keempat, memperkuat sinergi pembiayaan kesehatan antara pemerintah pusat, daerah, swasta dan organisasi lainnya melalui Konsolidasi Pembiayaan Kesehatan. Pilar 5 Transformasi SDM Kesehatan dalam peningkatan jumlah, pemerataan, serta meningkatkan kualitas tenaga kesehatan, untuk memberikan pelayanan kesehatan berkualitas hingga pelosok Indonesia. Dalam hal ini, Menkes menyebutkan target optimis dengan angka ideal dokter 1 banding 1.000 populasi dan pemenuhan nakes di Puskesmas dan RSUD sesuai standar. Beberapa program unggulan tengah dilakukan, yaitu melalui implementasi Academic Health System, pemberian 10.000+ beasiswa bagi dokter, spesialis, dan fellowship, serta peningkatan kualitas melalui pelatihan yang terintegrasi sesuai kebutuhan pelayanan. Pilar 6. Transformasi teknologi kesehatan di Indonesia menuju sistem kesehatan yang tangguh dan terintegrasi. Transformasi ini dilakukan salah satunya dengan melakukan integrasi data rekam medis pasien di fasyankes ke dalam satu platform Indonesia Health Services (IHS) yang diberi nama SATUSEHAT. Selain itu juga dilakukan inovasi bioteknologi, yakni Biomedical Genome-Based Science Initiative (BGS-I), untuk menerapkan pengobatan yang lebih personal dan presisi. Menkes menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan memulai dengan melakukan 10.000 sekuensing DNA, berbasis penyakit kanker, stroke, genetik, diabetes, dan wellness and beauty. Indonesia nantinya akan membangun bank data dari genomik penduduk Indonesia yang akan terintegrasi dengan data medisnya. Menkes berharap dengan implementasi keenam pilar tersebut sistem kesehatan Indonesia, bahkan dunia, dapat bertransformasi menjadi sistem kesehatan yang tangguh terhadap krisis kesehatan, termasuk pandemi. Dalam mencapai semua ini, kita semua masih perlu terus berjuang dalam membangun kesehatan Indonesia. Kita perlu memiliki visi yang sama demi mewujudkan transformasi kesehatan di Indonesia. Seperti yang disampaikan juga oleh Menkes dalam pidatonya bahwa kita harus terus mendorong masyarakat untuk terbangunnya gerakan masyarakat hidup bersih dan sehat, melalui konsumsi makanan bergizi seimbang, melakukan aktifitas fisik setiap hari, dan mencuci tangan dengan sabun; mendorong masyarakat untuk memeriksakan kesehatannya secara rutin, baik pemeriksaan ibu hamil, pemantauan tumbuh kembang balita, imunisasi, pemeriksaan penyakit-penyakit sesuai siklus hidup; dan kita juga perlu untuk terus mengembangkan diri dan organisasi dalam kompetensi dan memberikan pelayanan kesehatan terbaik kepada masyarakat. Sebagai insan kesehatan Kristiani yang sudah menerima anugerah Kristus, kita juga perlu untuk terus menajamkan dan menyelaraskan visi kita. Siapkah kita untuk menjadi ujung tombak dalam transformasi kesehatan ini? Indonesia membutuhkan transformasi, tidak hanya transformasi, tetapi sebenarnya lebih dari itu, yaitu penebusan Kristus. Mari kita ambil bagian melalui profesi yang kita tekuni saat ini demi terwujudkan transformasi kesehatan di Indonesia. Kalau tidak dimulai dari diri kita, siapa lagi? PS: Pidato Menkes dapat dilihat melalui situs berikut https://youtu.be/FiTX6K8asnw /knd

  • Gereja yang Tak Tergantikan

    Lima hingga sepuluh tahun lalu, pernahkah kita membayangkan bahwa beribadah di gereja tidak selalu berarti benar-benar pergi dan bisa dilakukan di rumah melalui layar? Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya bahwa akan ada masanya dimana beribadah dapat dilakukan secara online dengan kemajuan teknologi. Saat pandemi COVID-19 begitu kritis, kita tentu bersyukur dengan adanya teknologi yang memungkinkan kita untuk tetap beribadah tanpa meningkatkan risiko penularan yang saat itu masih sangat tinggi dan vaksin masih dalam proses pengembangan. Namun, fenomena ”gereja online” pada masa itu membuat saya justru semakin meyakini satu hal: pertemuan fisik dan persekutuan dengan orang percaya lainnya di gereja itu tak akan pernah tergantikan. Komunitas yang berharga Saat kita beriman pada kematian dan kebangkitan Kristus, kita menerima anugerah Roh Kudus dan menjadi anggota keluarga kerajaan Allah (Efesus 1:5,13). Kita pun menjadi bagian dari pekerjaan Tuhan melalui gereja-Nya di dunia dan juga dipanggil untuk bersekutu dan melayani dalam gereja lokal tempat kita beribadah. Kristus sendiri begitu mengasihi gereja-Nya, Dia memenangkannya dengan darah-Nya sendiri (Kisah Para Rasul 20:28). Ia memberi jaminan bahwa alam maut tak akan berkuasa atas jemaat-Nya (Matius 16:18). Adakah komunitas lain dibentuk oleh dunia ini yang demikian? Jika kita berkata kita mengasihi Kristus, sudah sepatutnya kita pun mengasihi gereja yang dikasihi-Nya. Lantas, apa yang kurang dengan gereja virtual? Bukankah secara esensi sama saja dengan gereja seperti biasa? Bukankah hal tersebut telah menjadi solusi saat pandemi dan mungkin menjadi jalan keluar bagi kaum profesional dengan jadwal yang sibuk, termasuk para tenaga medis? Sesungguhnya, ada banyak yang hilang jika kita hanya mengandalkan pertemuan ibadah secara daring. Dalam gereja, kita bisa menyembah Allah bersama-sama sebagai satu tubuh. Kita adalah bagian dari gereja, tetapi Tuhanlah kepalanya. Mengikuti ibadah di gereja memberikan kita kesempatan untuk benar-benar duduk, diam, tenang, mendengar firman, sesuatu yang sangat sulit dilakukan di waktu lain dalam hari-hari kita yang kerap dipenuhi dengan gawai, sosial media, berbagai pertemuan pekerjaan. Mendedikasikan waktu dua jam penuh untuk menyembah dan mendengar Tuhan dalam gereja pun melatih pikiran dan jiwa kita untuk tidak dipusingkan dengan hal-hal dunia yang merenggut sukacita dan belajar untuk berserah pada Allah yang memegang kendali. Gereja juga memberikan lingkungan yang baik untuk bertumbuh sebagai orang Kristen. Di dalam gereja, kita akan bertemu, bertegur sapa, dan bertukar hidup dengan orang-orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Dalam organisasi profesi mungkin akan cukup mudah memahami cara pikir rekan sejawat kita karena berasal dari profesi yang serupa, tetapi dalam gereja, mungkin diperlukan seni tersendiri untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain yang berasal dari profesi yang berbeda-beda. Kita dapat mempertajam karakter kita ketika bergaul dengan anggota tubuh Kristus yang berbeda karakter dan cara pandang. Kita belajar untuk mengakui kesalahan, memberi pengampunan, dan meneruskan kasih karunia kepada sesama kita dalam gereja karena mereka juga adalah saudara di dalam Kristus. Gereja memang bukanlah komunitas yang sempurna. Tak jarang kita mendengar banyak hal tak menyenangkan terjadi di dalam gereja bahkan mungkin kita melihat atau mengalaminya sendiri. Namun, jika kita hanya fokus melihat cacat dari gereja saja, maka bisa jadi kita telah terjatuh dalam tipuan si jahat. Salah satu pekerjaan Iblis adalah membuat mata kita tertutup dari keindahan gereja dan membuat kita merasa gereja sudah begitu bobrok dan tak ada yang bisa diperjuangkan lagi di dalamnya. Syukur kepada Allah bahwa di dalam Kristus, kita tetap memiliki pengharapan bahwa Dia sendirilah yang terus menjaga gereja-Nya hingga Dia datang kembali. Oleh kuasa Roh Kudus, kita akan ditolong untuk terus mengasihi gereja, bagaimanapun tak sempurnanya ia. Gereja online telah Tuhan pakai untuk menjaga umat-Nya bahkan memperluas kerajaan-Nya selama masa pandemi. Namun, gereja secara fisik tetap tak tergantikan dan kehadiran kita pun terus dinanti (Ibrani 10:24-25). Betapapun padatnya pekerjaan Anda sepanjang minggu, betapapun lelahnya perjalanan menuju tempat ibadah, bagaimanapun tidak sempurnanya gereja Anda, teruslah berjuang untuk hadir, menyembah, melayani, dan bersaksi di dalam dan melalui gereja. *Penulis melayani sebagai ibu rumah tangga dan bekerja sebagai medical editor paruh waktu /stl

  • Melakukan Pekerjaan-Pekerjaan yang Lebih Besar, Mission Impossible or Possible?

    Eksposisi Yohanes 14:12-17 Beberapa hari belakangan ini saya membantu seorang anak Kelompok Tumbuh Bersama (KTB), yang bergumul dengan sebuah penugasan dari atasannya. Dia ditunjuk menjadi salah satu utusan dari beberapa kantor pemerintah daerah di Indonesia dalam konferensi perubahan iklim di Paris akhir November nanti. Anak KTB saya ini merasa kemampuannya berbahasa Inggris masih kurang, apalagi bila nanti harus presentasi dan berdiskusi dalam konferensi itu. Dan ini pertama kalinya dia diutus ke luar negeri. Penugasan ini jadi suatu “mission impossible” buat dia, meskipun dia sadar ini adalah kesempatan istimewa untuk kerjakan panggilan Tuhan dalam profesinya. Sesungguhnya pergumulan seperti ini sering kita hadapi sebagai murid-murid Kristus yang berusaha taati panggilan-Nya. Maka penting bagi kita untuk bisa hadapi pergumulan ini dengan benar. Bila kita simak isi pasal keempatbelas Injil Yohanes, tampak pada bagian intinya Yesus memberikan suatu penugasan yang saya pikir akan menjadi suatu “mission imposible” bagi murid-murid-Nya saat itu—maupun juga kita murid-murid-Nya saat ini. Ia berkata kepada mereka, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu” (Yoh. 14:12). Bila kita perhatikan konteksnya dalam Injil Yohanes, pasal ini terdapat dalam suatu bagian besar di mana Yesus membukakan diri-Nya lebih lagi secara eksklusif kepada murid-murid-Nya, terkait Ia akan kembali kepada Bapa-Nya. Ia juga telah memberitakan kepada mereka tentang kematian-Nya dan bahwa Ia akan dikhianati (Yoh. 12:20-36, 13:18-30). Yesus tahu perasaan dan pikiran murid-murid-Nya mendengar hal itu. Sebab itu Ia berusaha menenangkan kegelisahan hati mereka, dan meminta mereka percaya bahwa Dia pergi untuk menyiapkan tempat di rumah Bapa, dan akan kembali untuk membawa mereka ke sana (Yoh. 14:1-3). Dan untuk bisa menikmati itu, hanya 1 syarat yang harus dipenuhi mereka: percaya kepada Yesus dan pekerjaan-pekerjaan-Nya (Yoh. 14:4-11). Sungguh menenangkan bukan? Tetapi saya pikir, pasti murid-murid jadi gelisah lagi saat mendengar pernyataan Yesus di ayat 12 tadi. “Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan Yesus secara lebih besar lagi? Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sama besar saja sulit, bagi kami yang masih baru magang saja dalam misi Yesus, banyak kelemahan, banyak kekurangan. Belum lagi kondisi sekitar tak mendukung. Yesus saja bilang Dia akan dikhinati dan mati, karena pekerjaan-pekerjaan-Nya. Apalagi kalau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar lagi”, mungkin demikian pikir mereka. Saya yakin, kita juga berpikir demikian. Melihat kemampuan diri. Melihat kelemahan dan kegagalan diri. Melihat kondisi keluarga. Melihat kondisi dunia saat ini. Melihat orang-orang yang Tuhan percayakan untuk kita layani. Mission impossible juga itu. Ya tentu akan demikian adanya bila kita hanya memandang kepada hal-hal di atas. Tetapi akan lain halnya bila kita memandang kepada Yesus dan apa yang Ia firmankan itu. Pertama, mari simak apa yang Yesus maksud dengan “melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu”. Kata yang digunakan pakai untuk “pekerjaan-pekerjaan” itu dipakai berulang kali dalam pelayanan Yesus yang tercatat di Injil Yohanes: (1) menginjili perempuan Samaria [4:34]; (2) Menyembuhkan orang lumpuh di kolam Bethesda [5:20; 7:21]; (3) Menyembuhkan orang yang buta dari lahir [9:3,4]; (4) Beragam mujizat [7:3; 10:25,32,33,37,38; 14:11,12; 15:24]; (5) Pengajaran Yesus [10]; (6) Keseluruhan pelayanan Yesus [5:36; 17:4]. Jadi, “pekerjaan-pekerjaan” ini menyangkut segala bentuk pelayanan yang Yesus kerjakan. Jika dikaitkan dengan kita, maka akan mencakup segala macam pekerjaan yang Tuhan percayakan untuk kita kerjakan sebagai bagian dari misi-Nya. Kedua, simak frase “yang lebih besar dari pada itu”. Frase ini diterjemahkan dari kata “meizona”, yang artinya lebih besar dalam kualitas, lebih bernilai penting, atau lebih impresif. Mengapa pekerjaan-pekerjaan ini lebih besar dalam kualitas, lebih bernilai penting, lebih impressif? Dan pekerjaan macam apa ini? Jawabannya bisa kita dapat dari apa yang ada di ujung ayat 12, “Sebab Aku pergi kepada Bapa”. Bagaimana caranya Yesus pergi kepada Bapa? Melalui kematian-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pekerjaan Yesus, yang Yesus katakan akan kita kerjakan itu, adalah meyaksikan lewat perkataan dan perbuatan kita, sesuai dengan panggilan dan karunia-Nya kepada kita masing-masing, tentang karya-Nya yang telah selesai sempurna di kayu salib, dan tentang Kerajaan-Nya yang telah Dia hadirkan. Pekerjaan pelayanan Yesus sebelum kematian dan kebangkitan-Nya, hanyalah awal dari dua hal tersebut. Sebab itu, pekerjaan pelayanan yang kita kerjakan karena Dia sudah mati dan bangkit itu, “lebih besar” dari pekerjaan pelayanan-Nya itu. Nah, sekarang tinggal melihat apakah ini tepat kita pandang sebagai suatu “mission impossible” atau “mission possible”? Untuk hal ini, Yesus telah memberikan pertolongan besar bagi kita lewat 4 hal yang Dia nyatakan. Kita sudah dimungkinkan untuk mengerjakan pekerjaaan-pekerjaan yang lebih besar itu. Lihat Yesus berkata “Sebab Aku pergi kepada Bapa” (14:12). Bagi murid-murid-Nya saat itu, Dia baru akan pergi kembali kepada Bapa-Nya, lewat kematian dan kebangkitan-Nya. Tetapi bagi kita, murid-murid-Nya yang hidup di zaman ini, jelas Dia telah mati dan bangkit, dan telah kembali kepada Bapa. Jadi kita sudah dimungkinkan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pekerjaan-pekerjaan-Nya. Kedua, Kita berdoa saja sehingga pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar itu jadi “mission possible”. Lihat Yesus berkata, “dan apa juga yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak. Jika kamu meminta sesuatu kepada-Ku dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya. (14:13-14)" Ketika kita menaikkan permohonan “dalam nama Yesus”, yang artinya melalui Yesus, yang telah ada di surga dan duduk di sebelah kanan Allah Bapa, sebagai perantaraan, maka Yesus sendiri yang akan memberikan apa yang kita minta itu. Perhatikan dua kali Yesus katakan “Aku akan melakukannya”. Dia yang telah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang Bapa perintahkan dalam misi-Nya di dunia ini, akan terus mengerjakannya. Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan besar itu dari surga sebagai respon terhadap doa-doa yang kita murid-murid-Nya naikkan dari dunia ini. Dia mengerjakan-Nya di dalam dan melalui kita. So, mission possible! Hanya saja, masihkan kita mengerjakan tugas panggilan kita dengan sikap dalam nama-Nya? Ketiga, supaya Dia bisa mengerjakan itu di dalam dan melalui kita, kita diminta “…mengasihi Aku, … menuruti segala perintahKu”. Ingat bahwa pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar itu adalah kesaksian kita akan karya-Nya yang telah selesai sempurna di kayu salib, dan tentang Kerajaan-Nya yang telah Dia hadirkan. Sudah jelas kita harus menunjukkan Dia adalah Sang Raja dalam hidup kita dengan menaati perintah-perintah-Nya. So, mission possible jika kita taati segala perintah-Nya. Hidup dan melayani sesuai Injil-Nya. Hanya, masihkan kita terus taati segala perintah-Nya, ketika godaan dan tantangan datang mengancam? Dan itu lahir dari kasih kita kepada-Nya? Keempat, sebagai pamungkas, Yesus menjanjikan “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu (14:16-17)” Yesus janjikan Roh Kudus, yang disebut sebagai “seorang Penolong yang lain”. Kata Yunaninya Parakletos. Kata ini lebih cocok diterjemahkan seperti dalam New English Translation, “another Advocate”. Sebab Yesus sedang menggunakan gambaran situasi dalam ruang sidang pengadilan. Seorang advokat akan memberikan advokasi-advokasi atau dukungan-dukungan terhadap posisi atau sudut pandang orang yang didampinginya dalam proses pengadilan. Dan ini dilakukan terus selama proses pengadilan itu. Ini peran yang dimainkan Roh Kudus terhadap murid-murid ketika mereka mengerjakan misi yang Yesus berikan. Sebelum Yesus kembali kepada Bapa, Dialah yang memainkan peran ini bagi murid-murid-Nya. Setelah Yesus kembali kepada Bapa, Roh Kudus akan menggantikan Yesus jalankan peran itu. Itu sebabnya Yesus bilang “seorang Advokat yang lain”. Dan, Advokat Pengganti ini akan mendampingi murid-murid selamanya, berdiam di dalam murid-murid-Nya. Di dalam kita juga tentunya. Dan Advokat ini telah diberikan kepada kita bukan? Kurang apa lagi agar pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar itu jadi mission possible? Hanya apakah kita mendengarkan dan menerima advokasi-advokasi Advokat kita ini? Dan kita terus berdoa dan berjuang hidup kudus, agar Advokat kita ini bisa terus bekerja di dalam kita? Kiranya anugerah Tuhan cukup bagi kita masing-masing, sehingga kita dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan Yesus yang lebih besar lagi, dan dunia bisa mendengar serta melihat Dia, karya-Nya yang telah selesai sempurna di kayu salib, serta Kerajaan-Nya yang sudah, sedang dan akan datang. *Penulis merupakan staf Perkantas Jakarta /stl

  • Meneliti Manusia dan Mengenal Allah

    Pada tahun 1972 sekelompok peneliti menghentikan sementara proses penelitian teknologi DNA rekombinan. Sebuah teknologi yang menjadi pintu gerbang dan salah satu teknologi kunci untuk penelitian-penelitian canggih saat ini. Peristiwa tersebut merupakan penghentian kali pertama yang dilakukan oleh peneliti secara sukarela. Para peneliti saat itu takut bahwa penelitian mereka akan menghasilkan “Frankencells” yang mungkin saja resisten terhadap antibiotik, menimbulkan wabah, atau menginduksi terjadinya kanker. Kita tidak mengetahui pasti proses diskusi para peneliti saat itu, mungkin ada pro dan kontra ketika mereka akhirnya memutuskan penghentian sementara karena alasan kemungkinan dampak buruk dan dampak sosial yang mungkin dihasilkan. Selanjutnya, mereka membuat komite multidisiplin untuk menilai berbagai kemungkinan dan mencegah terjadinya dilema maupun konsekuensi etik dalam penelitian tersebut. Langkah yang sangat langka, menarik, dan akhirnya berdampak bagi dunia penelitian. Saat ini kita dapat menjumpai berbagai protokol penelitian, forum diskusi, badan penelaah, lembaga, dan pusat studi bioetika yang sangat membantu peneliti, khususnya saat menghadapi dilema etik dalam penelitian. Saat ini, peneliti bukan saja dapat menggunakan teknologi DNA rekombinan seperti yang dikembangkan pada tahun 1972. Publikasi penelitian telah menggambarkan betapa jauhnya penelitian telah berkembang dengan adanya sel punca embrionik manusia yang dapat dikembangkan menjadi “apa saja”. Dengan teknologi yang ada manusia dengan mudah dapat mempelajari, memodifikasi, dan memperbaiki gen. Manusia juga dapat “menciptakan” berbagai organ untuk pendidikan maupun terapi berbagai penyakit. Di satu sisi kemampuan manusia untuk menciptakan dan melakukan penelitian terhadap model telah membantu mengatasi dilema etik dibandingkan dengan penelitian yang harus dilakukan pada manusia yang hidup. Namun, di sisi lain perkembangan risiko terjadinya dilema etik juga semakin berkembang karena kemungkinan terciptanya “Frankencells” akan terus ada dan risikonya semakin tinggi seiring dengan bertambahnya jumlah dan perkembangan teknologi. Dalam menghadapi dilema etik secara umum kita mengenal beberapa prinsip seperti: (1) Removal (penghindaran total) terhadap seluruh hal yang terkait dengan kondisi tersebut; (2) Disclosure (pengungkapan) terhadap hal-hal yang mungkin menempatkan kita pada kondisi konflik kepentingan (misalnya pengungkapan terhadap hal-hal atau dukungan yang kita dapatkan); (3) Recusal (abstain) yaitu tidak ikut dalam pengambilan keputusan bila ada konflik kepentingan yang terjadi; (4) Penggunaan pihak ketiga dalam kondisi konflik kepentingan. Untuk dilema etik dalam proses penelitian prinsip disclosure dan penggunaan pihak ketiga untuk menilai batasan etik merupakan praktik standar yang saat ini telah diterapkan sebelum penelitian dimulai dengan adanya penilaian etik oleh lembaga independen. Selain melakukan tinjauan etik secara ilmiah dan nalar manusia, sebagai anak Tuhan tentu kita juga perlu mempelajari beberapa prinsip Alkitab terkait penelitian dan penciptaan. Dalam Perjanjian Lama kita mengetahui bahwa Allah menciptakan manusia “sempurna” yang serupa dan segambar dengan Allah, berkuasa, dan diberkati (Kejadian 1:26-30). Awal kisah indah manusia yang kemudian diganti dengan dosa dan segala akibatnya (Kejadian 3). Dalam perjanjian baru kita menerima penebusan Kristus dan pemulihan manusia. Rangkaian penciptaan-kejatuhan-penebusan-pemulihan menjadi dasar cara pandang kristiani dalam memaknai karya Allah dalam hidup manusia. Dalam hal penelitian, perkembangan teknologi, dan ilmu kesehatan, seharusnya kita senantiasa melakukan refleksi berdasarkan cara pandang tersebut. Dalam meneliti maupun berkarya dalam hidup ini kita perlu menelaah kembali apakah kita melakukan untuk membuktikan kemampuan kita, mendapatkan pengakuan dari orang lain, atau murni kita melakukan karena panggilan dan rencana Allah dalam hidup kita? Seringkali dan berulangkali kita tidak menyadari bahwa dosa dan ego dalam kehidupan kita begitu dominan dan menjauhkan kita dari pimpinan Roh Kudus. Dalam konteks penelitian di Indonesia saat ini teknologi dan sistem penelitian kita masih tertinggal dari negara-negara yang jauh lebih maju, tetapi tidak menutup kemungkinan anak Tuhan untuk terlibat langsung maupun ikut menelaah perkembangan yang terjadi. Tentu kita tidak menyatakan bahwa penelitian dan penemuan baru yang terkait dengan manusia adalah hal yang salah. Kita yakin dan percaya bahwa Tuhan turut bekerja dalam segala perkembangan yang ada dalam kehidupan kita. Namun, jangan sampai kita terlelap atau terbenam dalam kecanggihan teknologi dan menjauhkan diri dari pimpinan Roh Kudus. *) Penulis saat ini bekerja sebagai dokter manajerial di RS UKRIDA /stl

  • Kita Perlu Menginjak Rem

    Pandemi Covid-19 merupakan suatu tantangan bagi tenaga medis. Tidak ada kata istirahat bagi sebagian yang masih bekerja sebagai klinisi garda depan. Bergelut dibalik pengapnya menggunakan alat pelindung diri yang tidak hanya membuat nafas terasa begitu sesak, tetapi juga pikiran yang mulai penat. Ketika fenomena bekerja dari mana saja mulai menjadi suatu kebiasaan hidup new normal yang lama kelamaan menjadi kenyamanan bagi sebagian orang, tentunya ini tidak dirasakan bagi tenaga medis. Belakangan kondisi berangsur-angsur mulai kembali normal. Aktivitas kembali berjalan seperti biasa. Namun, ini pun juga bukan waktunya tenaga medis untuk beristirahat. Jadwal praktik dan tindakan yang awalnya dikurangi atau ditunda mulai penuh kembali. Beberapa pasien yang mulanya tidak berani berobat, mulai kembali berdatangan. Janji pasien kontrol mulai memenuhi agenda. Banyak rencana-rencana tertunda yang kemudian ingin kita realisasikan. Dunia begitu sibuk dan waktu berjalan terus. Berpindah dari satu tempat praktik ke tempat praktik berikutnya, banyak pekerjaan dan tindakan perawatan yang menunggu untuk diselesaikan. Hal ini menyebabkan dua puluh empat jam sehari semakin terasa tidak cukup. Kita berlari berkejaran dengan waktu dengan pandangan lurus ke depan tanpa tengok kanan kiri. Hiruk pikuk kesibukan ini kemudian menyedot banyak energi dan bermuara pada fase burn-out. Bagaimana jika kesibukan pekerjaan ini hanya untuk aktualisasi diri sendiri? Bagaimana jika kebisingan dunia kita gunakan untuk menutup mata dan telinga terhadap sekitar? Atau bagaimana jika alasan kita menyibukan diri sebenarnya karena sedang mencoba menghindari sesuatu? Daripada jujur ​​kepada Tuhan dan diri sendiri tentang luka, dosa, dan kekecewaan yang dialami, kita justru menumpulkan kepekaan hati dengan kesibukan. Bekerja menjadi pelarian dan kita jadi tidak peduli dengan sekitar. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika Tuhan mengharapkan kita untuk tidak terlalu sibuk dengan profesi kita? Bagaimana jika Tuhan malah mengharapkan kita untuk memiliki jeda sejenak, menikmati istirahat, lepas dari kebisingan dan punya kehidupan dengan ritme yang lebih lambat? Kehidupan tenang yang dapat membantu menghubungkan kita kembali dengan Tuhan.Layaknya berkendara, mungkin kita memang perlu menginjak rem untuk memperlambat kecepatan atau bahkan sampai kendaraan kita berhenti untuk sejenak. Kurangi Kecepatan Hanya dengan memperlambat ketika memeriksa pasien misalnya, kita jadi lebih teliti dan lebih bisa memberikan telinga untuk mendengarkan mereka. Dengan mengurangi kecepatan, kita jadi bisa belajar melihat keadaan sekitar dan menyadari pemeliharaan Tuhan. Belajar untuk mendengarkan voice bukan noise. Belajar untuk lebih peka dalam mendengar suara Tuhan. Berjalan dengan lebih lambat, memungkinkan kita untuk bisa mendengar orang lain, melakukan evaluasi diri dan kontemplasi. Berhenti sejenak Banyak orang mengartikan istirahat sebagai waktu untuk bermalas-malasan. Malas memiliki kecenderungan untuk menghindari kerja, atau tidak mau bekerja. Beristirahat berarti pemulihan energi dan pembaruan diri. Dalam Markus 1:35, Yesus dalam kesibukannya telah memberikan teladan untuk pergi ke tempat sunyi, sendiri, dan berdoa. Bukankah Yesus berkata “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Mat 11:28)? Tenaga medis pun perlu melakukan ini. Berhenti dari aktivitas dan datang kepada Tuhan. Kita perlu mengingat kembali akan tujuan hidup manusia, yaitu menikmati Tuhan, melalui kasih karunia-Nya dan kehadiran-Nya. Habiskan waktu istirahat kita bersama Tuhan, dapatkan ketenangan, dan dari sana akan terbangun kekuatan. Ruang untuk bertumbuh Kesibukan dapat menghambat pertumbuhan rohani kita. Kurangi kecepatan dan beristirahat sejenak memberi ruang kepada hati kita untuk bertumbuh dan dibentuk. Kita perlu bertumbuh. Sebagai dokter Kristen, yang memiliki profesi strategis, kita bisa melakukan teaching, preaching, dan healing. Pertumbuhan rohani sangatlah penting untuk terus kita perjuangkan. Berikan ruang untuk kita menikmati persekutuan dengan Tuhan dan merenungkan Firman Tuhan. Makin kita karib dengan Tuhan, makin kita mengenal pribadi-Nya. Niscaya kita akan kembali beroleh kekuatan baru. “tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (Yesaya 40:31). Kurangi kecepatan, berhenti sejenak, berikan hati kita ruang untuk makin bertumbuh mengenal Tuhan. Pulihkanlah diri dari kebisingan dunia. Jangan sampai kesibukan mengalihkan hidup kita. Dapatkan ketenangan, dengarkan suara-Nya, sadari providensia-Nya. Ingat, nilai kehidupan tertinggi dari Tuhan bukanlah dari produktivitas kita, tetapi kasih. Kasihilah Tuhan dan sesama. Pandanglah salib-Nya, pandanglah sekitar. (Matius 22:37-39; 1 Korintus 16:14). *Penulis bekerja dalam bidang manajemen di salah satu grup rumah sakit swasta. /stl

  • Biblical Parenting in Postmodern World : Faithful Parent

    Ilmu parenting begitu mudah ditemukan saat ini, mulai dari yang formal hingga melalui konten populer sosial media. Ilmu tentang pola asuh memang begitu menarik, apalagi bagi kita yang baru mulai menjadi orang tua. Selain karena urusan sehari-hari, tidak dipungkiri juga, pola asuh memberikan dampak yang signifikan pada kehidupan anak. Begitu besar pengaruhnya, hingga seringkali permasalahan yang terjadi pada anak adalah refleksi dari pola asuh dan kehidupan orang tua yang bermasalah. Bahkan banyak perilaku dan karakteristik orang tua diturunkan kepada keturunannya melalui pola asuh. Tipe pola asuh authoritative populer di kalangan orang tua karena berkaitan dengan well-being anak secara keseluruhan. Pola asuh ini dianggap sebagai gaya pengasuhan yang paling diinginkan dan ideal dengan memadukan responsiveness (kehangatan) dan demandingness (tuntutan) orang tua. Orang tua bersikap tegas dan konsisten. Mereka mengontrol dan memberikan standar yang jelas, namun juga mahir menunjukkan kehangatan. Ilustrasi macam-macam tipe pola asuh Walaupun begitu, dalam penerapan sehari-hari tidaklah semudah ilmunya. Tidak mudah bagi orang tua untuk mengaplikasikannya dalam berbagai macam situasi dan berdasarkan tahapan perkembangan anak. Ada juga banyak hal lain yang turut mempengaruhi keberhasilan parenting, mulai dari karekteristik anak, lingkungan, kepribadian dan isu-isu orang tua itu sendiri. Lebih jauh lagi, orang tua saat ini ditantang dengan postmodernisme yang antiotoritas dan relatif terhadap standar kebenaran. Apalagi dengan kemajuan digital age, berbagai worldview semakin luas bertebaran melalui sosial media. Anak, terutama pada masa remaja, juga semakin kehilangan jati diri karena larut dalam sosial media yang cenderung tidak jujur menampilkan identitas diri seutuhnnya. Tantangan-tantangan ini semakin meyakinkan kita, bahwa anak tidak sekedar membutuhkan parenting yang baik, mereka membutuhkan Tuhan dan kebenaran-Nya. Sebagaimana pola asuh authoritative yang menyeimbangkan antara responsiveness dan demandingness, marilah kita juga mengintegrasikan dan mempertajamnya melalui kacamata injil. Kita meyakini Firman Tuhan cukup dan memberikan prinsip yang tetap relevan sepanjang jaman. 1. Responsiveness sebagai bentuk Kasih Begitu pentingnya kasih sehingga tanpanya semua usaha parenting akan percuma. Berbagai studi menujukkan, banyak dampak buruk yang timbul akibat kurangnya kasih sayang orang tua.seperti perilaku agresif, anti-sosial dan self-esteem rendah. Namun, orang tua bukan sembarangan mengasihi. Di era postmodern ini, kasih orang tua bisa semakin relatif mengikuti apa yang masyarakat anggap benar. Contohnya, saat ini, orang tua bisa dianggap tidak mengasihi anak jika membatasi preferensi seksual anak. Orang tua tidak sekedar menerima, tapi justru diharapkan dapat mendorong anak untuk bebas menentukannya sendiri. Kasih yang sejati tidak bisa terlepas dari kebenaran, dan kebenaran kita berdasar pada Firman Tuhan. Sebagai orang tua kita pun bertidak sebagai wakil Allah untuk menyatakan kasih Allah kepada mereka. Kita perlu menunjukkan kasih Allah yang suci dan benar. Kasih Allah yang lebih dahulu mengasihi bahkan ketika masih berdosa. Kasih yang mau menerima anak kita apa adanya, namun terus mengarahkannya untuk menjadi pribadi yang semakin berkenan. Melalui 1 Korintus 13:4-7 kita dapat juga belajar menerapkan bentuk kasih secara nyata dalam pola asuh. Parenting menguji seluruh bentuk kasih kita hingga pada batasnya. Menantang kesabaran kita, menuntut pengorbanan kita, merendahkan hati kita, memaksa kita melepaskan pengampunan lagi dan lagi dan masih banyak dalam hal lainnya. Selain itu, orang tua perlu mengingat bahwa kita pernah menjadi anak, maka seharusnya dapat lebih mengerti bagaimana mengasihi layaknya seorang anak perlu dikasihi. Mengasihi anak bisa saja melelahkan, apalagi jika secara tidak sadar menjadikan anak untuk mengisi kekosongan hati kita. Karena itu, cukupkanlah kita di dalam kasih Allah sehingga kita dapat memancarkan kasih Allah, bahkan di saat-saat sulit. 2. Demandingness sebagai bentuk Mendidik Kasih harus disertai dengan didikan. Tanpanya, bukanlah suatu bentuk kasih dan justru menghancurkan anak. Mendidik anak adalah perintah Tuhan bagi orang tua, karena itu orang tua perlu bertanggung jawab menjadi figur yang paling berinisiatif untuk mendidik anak. Pendidikan diawali dari membawa anak takut akan Tuhan (Amsal 1:7, Ul 6:6-7). Lindsay Bell mengatakan “The goal of parenting isn't to create perfect kids. It's to point them towards a perfect God.” Parenting yang baik mungkin dapat menghasilkan anak yang secara moralitas dan well-being baik. Namun hal itu pun sia-sia tanpa disertai pengenalan akan Allah. Justru di tengah jaman postmodern ini, kita semakin sadar bahwa anak kita tidak sekedar butuh orang tua yang baik, tapi mereka perlu orang tua yang beriman yang mengarahkan mereka kepada Tuhan dan kebenaran-Nya. Orang tua jangan saja berhenti pada didikan yang menghasilkan perilaku yang baik, karena mungkin saja hal itu tidak benar-benar terjadi. Alkitab terutama berfokus pada transformasi individu di dalam Kristus. Kita harus menyadari ada batasan peran sebagai orang tua, dan hanya Tuhan yang dapat bekerja. Di sisi lain, transformasi bukan saja pada anak, tetapi seharusnya dimulai dari orang tua itu sendiri. Buah parenting yang baik berasal dari orang tua yang diubahkan. Lebih dari sekedar pola asuh, pendidikan anak berbicara mengenai value apa yang ditanamkan. Orang tua perlu peka dengan worldview dunia yang “memukau” namun “kosong”. Bagaimana bisa orang tua menuntut anak tidak terbawa jaman, jika kita pun goyah dengan didikan kita. Bisa jadi tanpa sadar worldview dunia yang tertanam pada anak justru berasal dari kita sendiri yang tercemar di jaman postmodern ini. Orang tua perlu lebih dahulu beriman teguh kepada Firman Tuhan bahwa kebenaran Allah itu sempurna dan baik adanya. Dengan demikian anak-anak dapat melihat langsung teladan orang tua dalam menghidupinya. Seperti contoh, anak akan sulit memprioritaskan Allah, jika nilai yang orang tua hargai adalah materi. Hasil bukan karakter. Pencapaian bukan tanggungjawab. Kesulitan lain dalam mendidik adalah ketika orang tua harus memberikan disiplin saat mendidik anak. Dalam Efesus 6:4, bahkan dinyatakan secara khusus bagi Ayah agar berhati-hati dalam mendidik. Seringkali cara yang salah membuat pendidikan tidak efektif. Intensi baik saja seringkali disalahartikan apalagi yang ceroboh hingga membangkitkan amarah yang memahitkan. Bereskanlah isu-isu pribadi kita agar tidak kita lanjutkan pada anak. Memang tidak mudah. Jika jujur berkaca, rasanya kita tidak pernah akan cukup baik menjadi orang tua di tengah jaman ini. Banyak isu-isu pribadi, karakter dan banyak hal lain yang menghambat kita menjadi orang tua yang efektif. Namun, it’s okay, kita memang tidak sempurna. Oleh karena itu kita perlu membesarkan anak di dalam anugerah Tuhan sebagaimana mereka pun adalah anugerah dari Tuhan. Bertanggungjawablah sebaik-baiknya dengan terus memperlengkapi diri, namun jangan lupa untuk bersandar pada anugerah kekuatan dan hikmat dari Tuhan. Inilah teladan terbaik, ketika kita menjadi orang tua yang bersandar dan berharap kepada Tuhan. Ingatlah, peran kita sebagai orang tua akan semakin berkurang seiring waktu. Nikmatilah waktu-waktu ini. Parenting bukanlah perlombaan, melainkan suatu perjalanan pribadi yang bukan saja untuk mendewasakan mereka, tetapi mendewasakan kita di hadapan Tuhan. *Penulis saat ini melayani di Bandung. /stl

  • Menjadi Terang Mulai dari Tempat Kerja

    Kita tentu tahu, tujuan kita bekerja adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia. Setiap harinya kita menghabiskan sebagian besar waktu hidup kita di tempat kerja, bahkan terkadang lebih banyak dibandingkan waktu bersama keluarga. Karena itu, kita harus mulai melihat tempat kerja sebagai tempat di mana kita harus memberi yang terbaik dari diri kita. Menjadi saksi Kristus di tempat kerja berarti bagaimana kita mengenal orang-orang di sekeliling kita, dan dikenal oleh mereka. Tantangan bekerja di dunia medis Sebagai tenaga kesehatan yang melayani pasien setiap harinya, kerap kali kita harus menangani pasien dalam jumlah yang sangat banyak, sehingga kita seringkali kekurangan waktu. Hal ini juga menimbulkan kelelahan, kejenuhan, kurang teliti, dan juga dapat menumpulkan kepekaan hati kita untuk melihat kebutuhan jiwa mereka. Waktu terbatas, sedangkan yang harus dikerjakan sangat banyak sekali. Akibatnya, sering kita tergoda untuk mengerjakannya asal saja, yang penting pekerjaan saya selesai. Apa yang dapat kita lakukan? Dengan kondisi pekerjaan demikian, bagaimana kita sebagai dokter Kristen dapat menjadi terang? Bekerja keras dan profesional Dalam 1 Korintus 10:31 dikatakan: ”Apapun yang kamu kerjakan, kerjakanlah untuk kemuliaan Tuhan.” Sebagai orang Kristen, kita harus memberi yang terbaik dalam segala hal yang kita kerjakan, sesuai keilmuan terbaik yang kita kuasai, sambil menyerahkan hasilnya kepada Allah yang empunya kehidupan. Untuk ini tentu ada harga yang harus dibayar. Mungkin kita harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk menjelaskan ke pasien dan keluarga mengenai kondisi penyakit mereka, memberi tenaga ekstra untuk mengisi rekam medis dengan baik dan lengkap. Kita mungkin tak akan diperhatikan ketika melakukan hal-hal kecil, tidak ada pujian ataupun apresiasi. Namun, kita memang dituntut untuk mengerjakan segala sesuatunya yang terbaik, sesuai dengan standar Allah, bahkan ketika tidak ada orang lain yang melihat/memperhatikan. Senyum dan sapa Meski sederhana, senyum dan sapa dapat berdampak besar. Sebagai orang Kristen, sumber sukacita kita adalah Kristus yang ada dalam hati kita, bukan kondisi yang terjadi di sekitar kita. Sehingga, dalam kondisi selelah dan sesibuk apapun, kita bisa tetap tersenyum dan menyapa orang-orang di sekitar kita. Di tempat kerja kita, kita berelasi dengan banyak orang, mulai dari pasien, perawat, teman sejawat dokter, farmasi, petugas laboratorium, petugas keamanan, hingga petugas kebersihan. Relasi ini kita bangun melalui komunikasi. Hendaknya kita menyampaikan nilai-nilai dan cara pandang Kristen dalam komunikasi kita setiap saat. Jangan menyembunyikan terangmu di bawah keranjang, biarlah terangmu bersinar secara alamia dan dengan penuh sukacita. Tunjukkan kasih dan selalu bersedia menolong Kesibukan dan kelelahan sering membuat kita menjadi orang yang egois dan mengasihani diri sendiri. Terkadang kita menjadi marah dan berusaha menunjukkan pada semua orang betapa sibuk dan lelahnya kita. Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk selalu mengandalkan Dia. Biar Allah yang menjadi sumber kekuatan kita yang tiada habisnya untuk menolong orang-orang di sekitar kita yang memerlukan. Layanilah sesamamu. Membantu perawat membawa status rekam medis yang menumpuk banyak. Membantu pasien yang kesulitan turun tangga. Memesankan taksi online untuk mengantar pasien yang kebetulan sedang mau pulang setelah rawat inap. Berikan perhatianmu bagi hidup orang lain. Jadilah seseorang yang peduli. Kasihi teman kerjamu sehingga mereka bisa mengenal Sumber Kasihmu. Rendah hati Profesi dokter hingga saat ini masih dianggap mulia dan terhormat. Namun, sebagai pengikut Kristus, kita harus belajar dari Yesus yang rendah hati. Ia yang adalah Allah, mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang Hamba. Hendaklah kita senantiasa mengingat siapa diri kita –manusia berdosa, supaya kita selalu memanusiakan orang lain yang adalah sesama kita. Hendaknya kita tidak merasa diri paling tahu dan paling benar. Selalu mau mendengar dan belajar, terbuka untuk dikritik dan menerima masukan dari pasien/teman sejawat. Disiplin, jujur dan berintegritas Berjuang untuk tepat waktu, baik dalam hal visit pasien rawat inap, poliklinik, maupun janji rapat/pertemuan. Biarlah kita menjadi orang-orang yang menghidupi apa yang kita katakan, jujur dan dapat dipercaya. Dimulai dari hal kecil. Menjadi orang yang penuh syukur Di tempat kerja kita pasti ada banyak hal yang tidak ideal dan tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Hal ini sering membuat kita tergoda untuk mengeluh, mengomel, dan pahit hati. Firman Tuhan terus dan terus mengingatkan kita untuk bersyukur senantiasa. Jadilah orang yang selalu bersyukur. Biarlah syukurmu melimpah dalam sikap hati, kata-kata, dan perbuatanmu. Jika Yesus adalah sumber sukacita kita yang terbesar, tentunya itu akan tampak dalam pekerjaan kita. Orang-orang di sekitar kita yang mengenal kita akan melihat dan mengetahui apa yang paling berarti bagi kita. Dengan menginvestasikan hidup kita di tempat kerja kita –bekerja keras, percaya, dan memberi yang terbaik, kita memuliakan Allah lewat pekerjaan kita dan membuka kesempatan untuk membagikan Kabar Baik. “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Matius 5:16). *)Penulis bekerja sebagai dokter spesialis penyakit dalam di RS Hermina, Bandung Diadaptasi dari majalah Samaritan cetak edisi III tahun 2019 dengan beberapa perubahan.

  • Keadilan yang Menjadi Tanggung Jawab Kita (Bagian 2)

    Penulis: dr. Maria Simanjuntak, SpPD, KGH-KIC dr. Bobby Simarmata, M.Sc Menegakkan Keadilan di Era JKN Era JKN memang sudah memberi peluang bagi seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan untuk dapat mengakses layanan kesehatan yang memadai. Tetapi masih banyak yang masih perlu terus kita perjuangkan. Contoh-contoh kasus ini membuat kita perlu memikirkan kembali apa itu keadilan di layanan kesehatan yang menjadi tanggung jawab kita . Seorang rekan yang tinggal di Eropa selama hampir 9 tahun menceritakan salah satu alasan mereka menetap di sana adalah karena gagal jantung akibat kardiomiopati peripartum yang dialaminya usai melahirkan anak semata wayang mereka. Sejak itu dia bertahan hidup normal dengan support LVAD (Left Ventricular Assist Device) yang konon kabarnya di negeri ini belum ada tim yang khusus menangani LVAD. Bagaimana dengan pasien dengan kondisi serupa yang tinggal di Indonesia? Mungkin hanya akan bertahan dengan medikamentosa dan memiliki kualitas hidup yang terbatas, angka rawat inap yang tinggi, bahkan mungkin sebagian meninggal. Cerita yang lain, seorang dosen di salah satu universitas ternama di Jabodetabek datang ke RS bertaraf internasional di kawasan Tangerang dengan keluhan mendadak tidak bisa bicara. Pemeriksaan MRI pun segera dilakukan dan dalam hitungan menit terdeteksi adanya infark akut dan segera dilakukan tindakan trombolitik dengan pemberian rtPA di unit gawat darurat dalam waktu yang juga cepat. Dosen tersebut kini sudah bekerja kembali. Jika kasus serupa terjadi di rumah sakit daerah, apakah pasien akan mendapatkan terapi dan tindakan dalam kecepatan yang sama? Seorang teman pekerja misi pemberdayaan masyarakat bercerita kisahnya mendampingi seorang bapak yang dicurigai menderita carcinoma nasopharing di RS khusus kanker di Jakarta dengan menggunakan JKN–BPJS. Dari fasilitas kesehatan pratamanya di kawasan Tangerang, bapak ini dirujuk ke Rumah Sakit tipe B di Tangerang. Setelah mengantri 2 minggu, pasien tersebut akhirnya dirujuk ke RS khusus kanker di Jakarta . Di sana pun harus mengantri dan singkat cerita dia menjalani rangkaian pengobatan yang sangat panjang selama kurang lebih 1 tahun. Untuk mendapatkan antrian konsultasi ke dokter saja harus beradu cepat dengan pasien lain, karena adanya pembatasan kuota bagi pasien BPJS. Belum lagi dengan rangkaian pemeriksaan yang harus dijalani sebelum akhirnya dilakukan tindakan kemoterapi dan radioterapi. Pasien harus menunggu antrian yang panjang juga untuk satu rangkaian pemeriksaan, belum lagi dengan rangkaian pemeriksaan lainnya. Untuk sampai menjalani proses kemoterapi pasien menunggu lebih dari 5 bulan. Memang semua rangkaian pemeriksaan dan pengobatan tidak mengeluarkan biaya sama sekali, tetapi dengan antrian-antrian dan kuota yang terbatas membuat pasien penderita kanker ini lama sekali ditangani. Seorang teman yang tinggal di Amerika mengatakan bahwa dia harus menjalani operasi hemikolektomi oleh karena ditemukannya carcinoma colon insitu di ususnya tanpa gejala gangguan pencernaan. Hal tersebut diketahui karena asuransi kesehatannya mewajibkan untuk dilakukan kolonoskopi pada setiap peserta usia 50 tahun. Suatu langkah preventif yang dibiayai oleh sisten jaminan kesehatan. Di Indonesia , hal ini masih merupakan hal yang mewah karena jaminan kesehatan BPJS masih hanya menanggung pengobatan bukan pencegahan. Seorang penderita ginjal kronik tahap akhir dirujuk dari Bangka Belitung ke RSUD Tarakan Jakarta untuk dilakukan pembuatan akses vascular dialisis. Ada pula seorang pasien di Kalimantan tengah, harus menempuh perjalanan 6 jam untuk dapat menjalani hemodialisa di kota palangkaraya. Dalam seminggu 2 kali pasien ini menempuh perjalanan pulang dan pergi selama 10 jam untuk menjalani hemodialisa. Pasien ini kemudian dilakukan CAPD yang dapat dilakukan secara mandiri di rumah sehingga dia hanya perlu datang 1x sebulan untuk kontrol ke dokter di Palangkaraya. Sementara itu di Amerika, pasien dapat melakukan hemodialisa mandiri di rumahnya pada malam hari atau melakukan automatic PD (APD) dengan mesin cycler sehingga proses PD dilakukan selama pasien tersebut sedang tidur di malam hari. Layanan ini belum tersedia di negeri kita. Ternyata masih banyak layanan kesehatan yang sudah menjadi standard layanan di dunia tetapi belum bisa diakses oleh masyarakat Indonesia saat ini. Dengan kata lain akses kepada layanan kesehatan (access to care) belum dirasakan merata. Penchanski dan Thomas 40 tahun yang lalu menuliskan suatu konsep akses dalam kerangka ”5A” yang masih relevan untuk kita sekarang. Affordability (keterjangkauan) ditentukan oleh bagaimana biaya kesehatan dihubungkan dengan kemampuan dan kemauan klien (pasien dan keluarganya) untuk membayar. Availability (ketersediaan) mengukur sejauh mana layanan kesehatan memiliki sumber daya yang diperlukan, seperti personel dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan klien. Accessibility (aksesibilitas) mengacu pada aksesibilitas geografis, seberapa mudah klien dapat secara fisik mencapai lokasi layanan kesehatan. Accomodation (akomodasi) mencerminkan sejauh mana layanan kesehatan diatur untuk dapat menerima klien, contohnya jam operasional layanan, bagaimana komunikasi antara penyedia layanan dan klien, dan kemampuan klien untuk tetap menerima layanan tanpa janji sebelumnya. Acceptability (akseptabilitas) menangkap sejauh mana hubungan ekspektasi penyedia layanan dan klien terpenuhi. Kelima A tersebut ibarat mata rantai. Menegakkan keadilan di era JKN tidak bisa hanya menguatkan satu atau hanya beberapa mata rantai di atas. Kita tidak bisa memperbaiki affordability (terus menambah jumlah peserta BPJS sampai target 98% di tahun 2024), tanpa memperbaiki availability layanan dasar seperti persalinan, misalnya. Leon Wyszewianski mengatakan “The Five A's of access can be thought of as a chain which is only as strong as its weakest link.” Penutup Mudah bagi kita untuk menjadi tawar hati dan pesimis dengan kondisi di negara kita, terutama bila mendengar cerita-cerita di atas. Memang, masih banyak ketidak adilan di layanan kesehatan yang harus diperjuangkan. Ketidakadilan di bidang layanan kesehatan pun tidak semata-mata karena pembiayaan, ada banyak faktor lain yang berperan, mulai dari lemahnya kebijakan dan implementasinya, keterbatasan jumlah dan kompetensi tenaga kesehatan serta akses terhadap layanan kesehatan yang masih tidak merata. Namun, sebagai orang Kristen kita tidak pernah kehilangan pengharapan. Tuhan kita adalah Tuhan yang setia dan mau memakai kita, umatNya. Mari teman–teman, lihatlah di bagian apa dirimu bisa berperan memperjuangkannya bagi bangsa ini. Bukan persembahan ribuan kurban yang menyenangkan Allah dan bukan ritual keagamaan yang saleh yang menyukakan-Nya melainkan: memperjuangkan keadilan, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah. Biarlah kalimat yang diucapkan nabi Mika ribuan tahun yang lalu selalu ada di hati kita: He has told you, O man, what is good; and what does the Lord require of you but to do justice, and to love kindness, and to walk humbly with your God? (Micah 6:8 ESV) /stl

Hubungi Kami

Dapatkan update artikel SAMARITAN terbaru yang dikirimkan langsung ke email Anda.

Daftar menjadi Samareaders sekarang!

Instagram
Facebook
Media Samaritan
Media Samaritan

 Media Samaritan 2022

bottom of page