top of page

Belajar dari Spiritual Giants: Helen Roseveare


Sukacita dan penderitaan seakan tidak mungkin bergandengan. Namun, sukacita sejati seorang Kristen hanya bersumber dari Allah, memancar dari dalam hati dan tidak bergantung pada kondisi apapun, bahkan dalam penderitaan sekalipun. Paulus sendiri berkata, “Sekarang aku bersukacita, bahwa aku boleh menderita karena kamu…” (Kolose 1:24a). Makna yang serupa juga terdapat dalam Yakobus 1:2 yang dalam terjemahan bahasa inggris (ESV) berbunyi, “Count it all joy, my brothers, when you meet trials of various kinds,”.


Banyak dari kita yang sudah sangat sering membaca ayat-ayat tersebut dan secara kognitif menyakininya karena merupakan Firman Tuhan, namun sulit untuk benar-benar percaya apalagi menjalaninya. Begitupun yang dirasakan oleh Helen Roseveare ketika membaca ayat tersebut, yang bahkan dirinya pernah bertanya, “Bukankah itu terlalu berlebihan?” tetapi kemudian menyadari bahwa penderitaan dan kesulitan dalam Kristus merupakan hak istimewa, dan menjalaninya dengan sukacita hanyalah anugerah semata.


Helen Roseveare merupakan seorang misionaris yang diutus ke Kongo pada tahun 1953. Menariknya, menjadi misionaris pernah menjadi cita-cita Helen sewaktu kecil saat seorang guru sekolah minggunya menceritakan tentang India. Dibesarkan dalam keluarga Kristen yang taat, menjadikan Helen seorang Kristen yang bertumbuh dalam pengetahuan teologia, namun sayangnya tanpa pengenalan pribadi dengan Allah. Sampai suatu hari pada tahun 1945, Helen yang saat itu merupakan mahasiswi kedokteran, menyanggupi undangan temannya untuk mengikuti sebuah kegiatan retreat di kampusnya. Tanpa disangka, kesempatan itu merupakan momen Helen bertemu secara pribadi dengan Tuhan. Pada malam terakhir dimana Helen memberikan kesaksiannya, pengkhotbah Graham Scroggie menuliskan Filipi 3:10 pada Alkitab baru Helen sambil berkata,


“Malam ini Anda telah memasuki bagian pertama dari ayat tersebut, “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia”, Ini baru permulaan, dan masih ada perjalanan panjang ke depan. Doa saya untuk Anda adalah agar Anda terus membaca ayat ini untuk mengetahui "kuasa kebangkitan-Nya" dan juga, bila Tuhan berkehendak, suatu hari mungkin, "persekutuan dalam penderitaan-Nya, dimana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya."

Panggilannya sebagai misionaris semakin kuat, sehingga pada sebuah pertemuan misi di Inggris Utara, Helen mendeklarasikan komitmennya secara terbuka, "Saya akan pergi ke mana pun Allah inginkan, berapa pun harganya." Setelah lulus dari Cambridge dengan gelar doktor di bidang kedokteran, Helen terus memperlengkapi dirinya secara rohani, menambah ilmu kedokterannya khususnya pengobatan tropis, dan persiapan teknis lainnya untuk menjadi seorang misionaris. Pada bulan Maret tahun 1953, dalam usia 28 tahun, Helen akhirnya tiba di wilayah timur laut Kongo.


Dalam dua tahun pertama, Helen fokus mendirikan sekolah untuk melatih para wanita untuk melayani sebagai perawat dan penginjil, yang pada akhirnya akan diutus ke berbagai wilayah untuk mengoperasikan klinik dan farmasi. Pada bulan Oktober 1955, Helen kemudian dipindahkan sejauh 11 km ke daerah bernama Nebobongo dan mengubah sebuah pusat bersalin dan penyakit kusta yang sudah lama terabaikan menjadi sebuah rumah sakit dengan 100 tempat tidur yang melayani ibu hamil, penderita kusta, dan anak-anak, serta sebuah sekolah pelatihan untuk paramedis dan 48 klinik pedesaan lainnya. Dalam radius 241 km, tidak ada fasilitas layanan kesehatan lainnya selain dari yang dikerjakan oleh Helen dengan dibantu masyarakat setempat.

Kebutuhan akan pelayanan medis yang sangat besar di wilayah tersebut membuat rumah sakit tersebut berkembang pesat. Akan tetapi, melayani ditengah situasi kondusif tidak lagi mudah ketika Kongo mendeklarasikan kemerdekaannya dari Belgia pada tahun 1960 dimana terjadi perebutan kekuasaan yang brutal. Walaupun demikian, Helen tetap menunjukkan ketekunannya dengan terus merawat pasien walaupun sumber daya semakin menipis. Dia terus menikmati pelayanannya bersama keluarga Gereja Afrika-nya sehingga saat itu dia dipanggil dengan sapaan akrab 'Mama Luka' yang berasal dari Lukas, penulis Injil dan juga seorang dokter dalam Alkitab.


Pada tahun 1964, ketika perang saudara dan perebutan kekuasaan semakin parah, rumah sakit yang dibangunnya dihancurkan dan Helen termasuk dalam sepuluh misionaris yang ditangkap dan menjadi tahanan para pemberontak. Saat Helen berusaha untuk kabur, para pemberontak tersebut memukulnya secara brutal dan menyebabkannya terluka cukup parah. Pada 29 Oktober 1964, Helen diperkosa. Dalam ingatannya tentang peristiwa tersebut, Helen menyatakan bahwa saat itu dia merasa Tuhan telah mengecewakan dirinya dengan membuatnya mengalami hal yang begitu kejam. Akan tetapi, dalam keputusasaannya yang paling dalam, Helen merasakan hadirat Allah saat itu.


“Melalui pengalaman pemerkosaan yang memilukan dan brutal, Tuhan bertemu dengan saya — dengan tangan kasih-Nya yang terulur. Itu adalah pengalaman yang sulit dipercaya: Dia benar-benar ada di sana — dan tiba-tiba aku tahu — aku benar-benar tahu bahwa kasih-Nya cukup. Dia memang mengasihiku! Dia mengerti! Tuhan sedang menawarkan sebuah hak istimewa yang tak ternilai yaitu untuk berbagi dalam sedikit persekutuan dengan penderitaan-Nya.”

Selama beberapa bulan, Helen dan misionaris lainnya ditahan dengan terus diancam dibawah todongan senjata dan mengalami kekerasan yang tak terbayangkan. Sepanjang waktu ini, Helen memimpin persekutuan doa bersama tahanan lainnya untuk mendoakan para pemberontak yang menahan mereka sampai akhirnya mereka diselamatkan oleh masyarakat sekitar, para pasien, dan petugas dari rumah sakit tempat Helen melayani.


Setelah menghabiskan beberapa saat di Inggris untuk pemulihan fisik dan emosionalnya, pada tahun 1966, Helen kembali ke daerah lainnya di Kongo untuk terus melanjutkan pelayanannya dalam melatih perawat dan dokter dari daerah tersebut. Dia terus setia melayani dengan penuh kasih meskipun ingatan akan peristiwa yang terjadi padanya masih membuatnya resah. Mama Luca menyadari pentingnya memberdayakan masyarakat lokal sehingga berhasil mendorong banyak muridnya menjadi dokter dan perawat.


Pada tahun 1973, Helen kembali ke Inggris karena alasan kesehatan dan akhirnya menetap di Irlandia Utara. Dia menulis beberapa buku dan melayani sebagai penasihat para misionaris. Dia menyelesaikan pertandingannya pada 7 Desember 2016, di usia 91 tahun.


Kehidupan Helen Roseveare mengajarkan kita untuk tidak pernah membatasi kekuatan Tuhan yang disempurnakan dalam kelemahan kita. Rasa malunya akibat peristiwa pemerkosaan menguap seiring berjalannya waktu dan bahkan pengalaman ini digunakannya untuk menyemangati orang lain yang telah mengalami kejadian serupa. Melalui pelayanannya, banyak orang menemukan kesembuhan - baik emosional maupun fisik, tetapi yang lebih utama mengenal Kristus yang sejati.


Dalam seluruh peristiwa kehidupannya, Helen menemukan bahwa sukacita yang sejati dianugerahkan Allah ketika ia taat bahkan dalam kondisi yang paling buruk sekalipun. Kiranya kisah ini dapat menolong setiap kita untuk belajar bersukacita dalam kondisi apapun, termasuk dalam kesulitan dan penderitaan saat menjalani panggilan-Nya.


*)Penulis saat ini bekerja di NGO bidang HIV di Jabodetabek


/stl


Sumber:



173 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page