Panggilan Menjadi Seorang Ayah
- dr. Kristiyan, Sp.OG., M.Kes., FCPMICOG

- Nov 12
- 4 min read

“Pa, aku sudah cerita dua dari lima rahasiaku saat ini”. Demikian petikan percakapan malam hari menjelang tidur antara saya dan anak sulung kami yang menginjak usia remaja. Situasi ini mengingatkan saya beberapa tahun silam ketika kami mulai belajar sebuah buku dalam kelompok parenting. Buku ini meletakkan “mandat untuk ayah” di bab awal bagi pembacanya.1 Masih jelas di ingatan dalam diskusi kami saat itu betapa pentingnya peran dan tanggung jawab ayah dalam pertumbuhan si kecil.
Begitu banyak studi yang menggambarkan betapa pentingnya hubungan ayah dan anak dalam membentuk kehidupan bermasyarakat, bahkan berbangsa! Ya, sebesar itu pengaruhnya, hai para ayah. Bagaimana hubungan tersebut dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental, isu sosiokultural, prestasi dan gratifikasi, bahkan hingga menyentuh kehidupan spiritual (doa, kehadiran dalam gereja, dan kesetiaan membaca Kitab Suci).2 Apakah peran ibu menjadi tidak penting? Dalam banyak kasus sepertinya karena justru ibu telah ada di sana melakukan peran mengasuh anak; maka ibu dianggap lebih mudah untuk diakses oleh anak baik dalam hal komunikasi maupun penerimaan. Sedangkan para ayah bergumul bagaimana mereka dapat membangun hubungan dengan anak-anak mereka, hubungan yang dilandasi saling percaya.
Saat anak sulung kami mempercayakan rahasianya kepada saya, begitu melegakan momen tersebut bagi saya. Walaupun dua dari lima rahasia secara statistik masih belum memuaskan, namun kami melihat anugerah Allah ada di sana. Adalah benar bahwa membangun kepercayaan dalam hubungan tidak mungkin dapat dikerjakan dalam semalam. Hal ini memerlukan investasi waktu dan upaya, sekaligus membutuhkan karya Allah melalui perenungan dan ketaatan kepada Firman Tuhan (Yohanes 17:17) dan doa (Matius 7:11). Hal ini berlaku bagi kita sebagai ayah dan anak kita (termasuk ibu tentu saja). Parenting merupakan jalur dua arah: kita menajamkan anak-anak kita (Mazmur 127:4), di saat bersamaan, mereka telah membentuk kita (Amsal 27:17).
Mari perhatikan masa yang dinamakan periode Jendela yang Terbuka (rasanya ini mirip dengan golden period yang kita kenal di bangku kuliah), sebuah masa di mana anak kita sedang membuka diri dan mengundang kita masuk ke dalam kehidupan pribadinya. Berikanlah hati dan pikiran kita untuk mulai mendengar apa yang menjadi kegelisahan serta pergumulan hidupnya. Mungkin kadang akan terdengar sepele. Namun, itulah seluruh hidupnya, seluruh kepercayaan dan keyakinannya. Yakinilah bahwa seiring ia beranjak dewasa, apa yang dibagikannya akan semakin signifikan bagi perjalanan hidupnya, baik itu rencana, pilihan hidup, bahkan imannya. Berikanlah kesempatan untuk ia menceritakan kegagalan, keteledoran, kealpaan, dan kebodohannya. Bagikanlah pengalaman kita yang serupa saat kita seusianya; bagaimana kita pernah gagal, bagaimana kita bergumul dengan Firman, serta bagaimana anugerah Tuhan menopang kita di saat seperti itu.
Masih segar dalam ingatan saya ketika ayah saya mengirimkan secarik kertas (walaupun teknologi email sudah dipakai) yang berisi nasihat ketika saya pertama kali merantau. Masih ada penggalan kalimat yang sangat relevan dengan pergumulan saya bahkan sampai saat ini. Di dalam suratnya ia menuliskan dengan jujur bahwa tidak selamanya ia bisa bersama saya. Namun, ia mengingatkan kepada Siapa kita bersandar, yaitu kepada Pribadi yang setia dan sanggup bertanggung jawab akan hidup anak-anak-Nya.
Apakah kita mampu hadir dalam setiap tahapan hidup anak kita? Saya yakin kita sepakat menjawab tidak dan memang tidak akan mungkin. Allah yang memanggil kita dalam peran sebagai ayah telah memberikan pola hubungan diri-Nya sebagai Bapa yang mengasihi Anak-Nya yang tunggal yaitu Yesus Kristus (Matius 3:17), sekaligus Bapa yang memberikan terbaik bagi anak-anak-Nya3 (Matius 7:11, Yakobus 1:17).
Bukankah ini memberikan harapan bagi kita yang sering kali merasa gentar dan tak berdaya menjalani panggilan ini? Pengertian ini meneguhkan dan memampukan kita, bahwa bahkan meskipun kita tidak memiliki figur ayah yang dapat diteladani, ketiadaan petunjuk bagaimana seharusnya menjadi seorang ayah, termasuk kegagalan kita menjadi ayah di masa lampau atau saat ini, Bapa di surga telah menyatakannya di dalam Alkitab. Dialah yang menjadi ayah yang sejati bagi anak-anak kita, bahkan di kala kita tidak dapat mendampingi mereka. Kiranya anak-anak kita mengalami dan menikmati perjumpaan dengan Pribadi Bapa yang sempurna yang melindungi dan memelihara anak-anak-Nya.
Dengan segala pemahaman yang telah kita terima tersebut, panggilan yang sedemikian agung tetap diletakkan di pundak kita para ayah, panggilan untuk menjadi serupa dengan Bapa di surga (Matius 5:48). Panggilan mulia ini mengindikasikan perlunya pengenalan akan Allah yang memanggil. Jika tanpa pengenalan akan Allah, maka kita hanya akan berkeliling tanpa arah dan membawa anak-anak kita kepada kebingungan identitas diri, menyerah kepada tekanan relasi pertemanan, hingga menafikan otoritas Firman dalam hidup mereka. Inilah semangat zaman yang melawan Allah. Kiranya Allah berbelas kasih dan beranugerah bagi banyak keluarga Kristen di tengah arus zaman yang sedemikian. Kiranya makin banyak ayah yang merindukan dan menjadi seperti yang Allah inginkan dalam menjalankan peran mereka di dalam keluarga.
Akhirnya, dengan rendah hati, mari kita mengingat bahwa kasih Kristus kepada jemaat menggambarkan kasih suami yang seharusnya kepada istri (sebuah poin penting yaitu kepercayaan anak kepada ayahnya ternyata dipengaruhi oleh perilaku ayah kepada ibu mereka), serta bagaimana seharusnya para ayah membesarkan anak-anak dengan disiplin dan pengajaran akan Firman Tuhan (Efesus 6:4). Betapa bagian ini menegaskan bahwa sumber kekuatan kita adalah di dalam Kristus dan Firman-Nya. Kebenaran Kristus diperhitungkan kepada kita orang percaya, ini bukan hasil usaha manusia melainkan hasil kasih karunia oleh iman kepada-Nya (Filipi 3:9). Alkitab menegaskan bahwa Tuhan memakai keluarga Kristen sebagai pembawa pesan bagi dunia tentang bagaimana hubungan Allah dan umat-Nya. Sebuah kehormatan dan tanggung jawab yang besar bagi kita para ayah untuk menjadi serupa Kristus yang adalah mempelai pria bagi gereja-Nya. Kiranya Allah memimpin dan menopang kita dalam menjalankan panggilan menjadi seorang ayah. Soli Deo Gloria.
Referensi:
Growing Kids God’s Way. Gary & Anne Marie Ezzo. 2001
Sacred Parenting. Gary L. Thomas. 2004
The Father Connection. Josh Mc Dowell. 2009








Comments