Suara Iman di Tengah Dilema Medis (Bagian 1): Bagaimana Firman Tuhan Menuntun Keputusan Etik Kita
- dr. Eka Yudha Lantang, Sp.An, MMin, MM
- 6 hours ago
- 6 min read

“Firman-Mu adalah pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” — Mazmur 119:105
Pendahuluan: Kebenaran di Tengah Dilema Medis
Sebagai seorang dokter anestesi yang menghabiskan waktu lebih banyak di ruangan resusitasi instalasi gawat darurat dan ruang perawatan intensif di suatu rumah sakit vertikal, di tengah bisingnya bunyi monitor alat-alat medis serta aroma antiseptik khas rumah sakit yang menyengat, penulis sering diperhadapkan dengan banyak pertanyaan dari keluarga pasien tentang hal yang tidak mudah dijawab oleh ilmu pengetahuan kedokteran semata. “Apakah keluarga saya yang kesadarannya menurun (koma) bisa mendengarkan kami? Apakah bisa pasien dibawa pulang dengan selang bantu nafas (endotracheal tube) masih berada di mulut?” dan masih banyak pertanyaan lain. Penulis percaya bahwa sebagai tenaga medis, kita semua yang bergelut dalam dunia kedokteran modern—dari ruang bersalin hingga ICU, dari laboratorium genetika hingga ruang direksi—sering diperhadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan etika yang muncul setiap hari: Kapan kehidupan dimulai? Kapan perawatan intensif boleh dihentikan? Apa batas teknologi medis yang bisa diberikan kepada keluarga saya?
Sebagai orang percaya yang terjun di dunia medis—baik sebagai dokter, perawat, maupun pasien—kita menghadapi persimpangan jalan di mana iman dan teknologi bertemu, kadang bertabrakan. Lebih lanjut lagi, siapa yang dapat kita dengarkan atau minta pendapatnya ketika harus memutuskan hal-hal sulit tentang hidup, sakit, dan mati ini? Sebagai orang Kristen, menjawab berbagai persoalan hidup tentu bukan cukup dengan mengikuti kata “hati nurani” atau “ilmu pengetahuan” yang kita miliki, melainkan kita meyakini bahwa firman Tuhan-lah yang membentuk cara kita memakai nurani, memakai ilmu, dan melayani sesama. Firman Tuhan menuntun umat percaya untuk mengambil keputusan dengan kasih, keadilan, dan hikmat yang bersumber dari Kristus.
Alkitab memberi kita panduan yang tak lekang oleh waktu, namun penerapannya dalam konteks medis modern membutuhkan kebijaksanaan dan hikmat yang luar biasa. Bagaimana firman Tuhan dapat menjadi penuntun kita saat menghadapi dilema etis yang kompleks di era teknologi medis yang semakin canggih? Dalam artikel ini, penulis akan mencoba menggali bagaimana prinsip-prinsip Alkitabiah dapat diterapkan dalam isu-isu bioetika kontemporer, mulai dari fertilisasi in vitro hingga keputusan akhir kehidupan. Mari kita menjelajahi bagaimana iman Kristen dapat memberikan kerangka etis yang kokoh namun penuh belas kasih di tengah tsunami kemajuan medis abad ke-21.
Fondasi Alkitabiah untuk Etika Medis
Otoritas Kebenaran yang Tidak Berubah
Firman Tuhan menjadi standar tertinggi moralitas. Ketika opini publik berubah, ketika tekanan sosial dan ekonomi mempengaruhi sistem kesehatan, orang percaya tetap berpijak pada prinsip kebenaran Allah yang kekal.
Mazmur 119:105 menegaskan bahwa firman menjadi “pelita dan terang”, memberi arah dalam kegelapan moral.
Manusia adalah Citra dan Rupa Allah (Imago Dei)
Prinsip fundamental etika Kristen dalam medis dimulai dari pemahaman bahwa setiap manusia diciptakan "menurut citra dan rupa Allah" (Kejadian 1:27). Ini bukan sekadar konsep teologis abstrak, melainkan dasar ontologis yang memberi nilai intrinsik pada setiap kehidupan manusia—tanpa terkecuali. Inilah dasar semua bioetika Kristen: setiap manusia bernilai sama, tidak tergantung kemampuan, usia, atau status kesehatan. Maka, kehidupan manusia di awal (embrio) dan di akhir (pasien terminal) memiliki nilai yang sama tinggi di hadapan Tuhan.
Dr. John Patrick, mantan profesor kedokteran klinis di University of Ottawa, sering menekankan bahwa pemahaman ini mengubah cara kita melihat pasien.
"Ketika Anda menyadari bahwa pasien Anda, tidak peduli seberapa parah kondisinya, adalah citra Allah yang rusak akibat dosa namun masih berharga bagi-Nya, maka Anda akan memperlakukannya dengan martabat yang tak ternilai,"
Prinsip ini memberikan jawaban tegas terhadap pandangan utilitarianisme yang sering mendominasi etika medis sekuler. Manusia tidak bisa diukur dengan "quality-adjusted life years" atau utilitas ekonomisnya. Setiap nyawa memiliki nilai yang tak terbatas karena pembuatnya sendiri memberikan harga dengan darah-Nya di kayu salib.
Kasih sebagai Inti Etika dan Pelayanan Medis Kristen
Meskipun Kejadian 1:27 memberikan fondasi ontologis, Matius 22:39 memberikan suatu landasan yang kuat dalam pelayanan medis Kristen: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Perintah ini tidak hanya mengubah motivasi pelayanan medis dari sekadar profesi menjadi panggilan suci, tetapi juga memberikan standar etis yang transendental. Kasih kepada Allah dan sesama (Mat. 22:37–39) bukan teori emosional, tetapi dasar moral tindakan medis. Kasih menuntun kita untuk melindungi yang lemah, bersikap jujur pada pasien, dan mengambil keputusan demi kebaikan sejati, bukan sekadar kenyamanan atau keuntungan.
Dr. Christina Yan, seorang dokter spesialis anak di Los Angeles, membagikan pengalamannya:
"Suatu hari, saya merasa sangat frustasi dengan pasien yang tidak kooperatif. Tapi kemudian saya teringat perintah ini—bagaimana saya ingin dirawat jika posisinya terbalik? Perubahan perspektif ini mengubah cara saya berinteraksi dengan setiap pasien."
Kasih Kristen dalam konteks medis bukanlah perasaan sentimental, melainkan komitmen untuk bertindak demi kebaikan pasien bahkan ketika tidak nyaman, tidak menguntungkan, atau tidak dihargai. Ini adalah kasih yang menunjuk pada contoh tertinggi—Kristus yang "menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua" (1 Timotius 2:6).
Hikmat dari Roh Kudus
Yakobus 1:5 mengajarkan agar kita meminta hikmat dari Allah dalam setiap aspek kehidupan kita. Dalam ruang pengambilan keputusan bioetika, hikmat itu juga bisa berarti mendengarkan pasien, menimbang bukti ilmiah, dan mempertimbangkan nilai-nilai moral yang berakar pada firman. Bagaimana kita bisa mendapatkan hikmat dari Allah? Tentunya melalui hubungan pribadi yang intens dengan Allah setiap hari melalui kehidupan doa dan saat teduh. Dapatkah kita melakukannya secara konsisten dalam kehidupan kita sebagai tenaga medis yang sangat menyita waktu.
Keadilan dan Kebenaran Sosial Yang Alkitabiah
Mikha 6:8 menyerukan agar kita “berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah.” Dalam konteks kebijakan kesehatan, ini berarti memperjuangkan akses yang adil, menghindari diskriminasi terhadap yang miskin atau disabilitas, dan menolak komersialisasi hidup manusia.
Dilema Medis Kontemporer dan Respons Iman
Fertilisasi In Vitro: Harapan atau Tantangan?
Teknologi reproduksi berbantuan hadir sebagai berkah bagi pasangan yang tidak subur, namun juga membawa serangkaian dilema etis yang kompleks. Menurut data dari International Committee Monitoring Assisted Reproductive Technology (ICMART), lebih dari 8 juta bayi telah lahir melalui IVF sejak 1978, namun proses ini seringkali melibatkan pembuatan dan pembuangan embrio yang berpotensi hidup.
Perspektif Kristen memerlukan keseimbangan antara belas kasih terhadap pasangan yang ingin membangun keluarga dan perlindungan terhadap kehidupan yang baru dimulai. Beberapa pertimbangan Alkitabiah meliputi:
Status embrio: Mazmur 139:13-16 menunjukkan bahwa Allah mengenal kita bahkan sebelum kita terbentuk secara sempurna di rahim, memberikan perlindungan sejak awal kehidupan.
Stewardship: Meskipun teknologi adalah pemberian Allah, kita harus bertanggung jawab atas penggunaannya. Dr. John Stott menulis, "Kita diperbolehkan menggunakan teknologi untuk memperbaiki kondisi alami yang rusak, bukan untuk menggantikan rencana Allah."
Adopsi sebagai alternatif: Yakobus 1:27 mengingatkan kita akan pentingnya merawat anak yatim, memberikan alternatif etis bagi pasangan Kristen.
Organisasi seperti Christian Medical and Dental Associations (CMDA) telah mengembangkan panduan etis yang membantu profesional medis Kristen menavigasi isu ini dengan integritas iman.Aborsi: Perlindungan Kehidupan yang Paling Rapuh
Kontroversi aborsi mungkin merupakan isu bioetika yang paling memecah belah dalam masyarakat modern. Bagi orang Kristen, posisi ini relatif jelas namun implementasinya seringkali rumit.
Alkitab secara konsisten menegaskan perlindungan terhadap kehidupan yang tak bersalah. Keluaran 20:13—jangan membunuh—berlaku bahkan untuk kehidupan yang belum lahir. Mazmur 139:13-16 menunjukkan keterlibatan pribadi Allah dalam pembentukan janin di rahim, sementara Yeremia 1:5 menyatakan bahwa Allah mengenal dan menguduskan nabi bahkan sebelum ia terbentuk dalam rahim.
Namun, respons Kristen terhadap isu ini tidak berhenti pada sikap atau pandangan politik saja (pro life atau pro choice), sebagai orang Kristen kita ditantang berjalan satu mil lebih lagi untuk mengatasi isu ini, beberapa upaya yang telah dilakukan antara lain :
Memberikan dukungan holistik bagi wanita yang menghadap kehamilan yang tidak direncanakan
Menawarkan alternatif konkret melalui pusat kehamilan dan program adopsi
Menyembuhkan luka bagi mereka yang telah melakukan aborsi melalui pelayanan pemulihan
Dr. Kathi A. Ault, seorang obgyn Kristen, menekankan: "Kita tidak bisa hanya mengatakan 'jangan melakukan aborsi' tanpa menawarkan bantuan nyata bagi wanita yang merasa tidak memiliki pilihan lain. Ini adalah komponen penting dari pro-life ethic yang holistik."Euthanasia dan Akhir Hayat: Dignitas dalam Penderitaan
Dengan populasi yang menua dan kemajuan medis yang memperpanjang hidup, isu euthanasia dan physician-assisted suicide menjadi semakin relevan. Seperti yang dilaporkan oleh World Health Organization, negara-negara yang melegalkan euthanasia menunjukkan peningkatan signifikan dalam kasus yang dilaporkan selama dekade terakhir. Perspektif Kristen menyajikan pandangan yang berbeda tentang penderitaan dan kematian. Daripada menghindari penderitaan melalui pengakhiran hidup, iman Kristen menawarkan:
Redemptive suffering: 2 Korintus 4:17-18 menunjukkan bahwa penderitaan sementara ini menghasilkan kemuliaan kekal
Community care : Gereja diminta untuk menggendong yang lemah (Galatia 6:2), bukan membiarkan mereka mati sendirian
Hope beyond death: Kebangkitan Kristus memberikan harapan yang melampaui kondisi fisik saat ini
Dr. Margaret Cottle, seorang anesthesiologist asal Kanada yang aktif dalam debat euthanasia, berbagi: "Saya telah merawat banyak pasien terminal, dan saya selalu terkesan bagaimana komunitas iman dapat mengubah pengalaman akhir hidup dari proses yang menakutkan menjadi transisi yang damai dan bermakna."(lanjut bagian kedua)
Referensi
Christian Medical Fellowship. (2024). Christian Ethics in Modern Medicine. London: CMF Publications.
John Stott. (2022). The Cross of Christ and Medical Ethics. Downers Grove: IVP Academic.
International Christian Medical and Dental Association. (2023). Global Health Ethics: A Christian Perspective. ICMDA Report.
Patrick, J. (2023). "Imago Dei and Medical Practice." Journal of Christian Medicine 45(2): 112-128.
Sulmasy, D. P. (2021). The Reconstructible Christian: Moral Reflection and Medicine. Oxford: Oxford University Press.
Tournier, P. (2022). The Meaning of Persons. New York: HarperCollins.
World Health Organization. (2023). Global Report on Assisted Reproductive Technology. Geneva: WHO Press.
Zylstra, R. (2022). Bioethics: A Christian Approach in a Pluralistic Age. Grand Rapids: Eerdmans.








Comments