top of page

Keadilan yang Menjadi Tanggung Jawab Kita (Bagian 2)

Penulis: dr. Maria Simanjuntak, SpPD, KGH-KIC

dr. Bobby Simarmata, M.Sc


Menegakkan Keadilan di Era JKN

Era JKN memang sudah memberi peluang bagi seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan untuk dapat mengakses layanan kesehatan yang memadai. Tetapi masih banyak yang masih perlu terus kita perjuangkan. Contoh-contoh kasus ini membuat kita perlu memikirkan kembali apa itu keadilan di layanan kesehatan yang menjadi tanggung jawab kita .


Seorang rekan yang tinggal di Eropa selama hampir 9 tahun menceritakan salah satu alasan mereka menetap di sana adalah karena gagal jantung akibat kardiomiopati peripartum yang dialaminya usai melahirkan anak semata wayang mereka. Sejak itu dia bertahan hidup normal dengan support LVAD (Left Ventricular Assist Device) yang konon kabarnya di negeri ini belum ada tim yang khusus menangani LVAD. Bagaimana dengan pasien dengan kondisi serupa yang tinggal di Indonesia? Mungkin hanya akan bertahan dengan medikamentosa dan memiliki kualitas hidup yang terbatas, angka rawat inap yang tinggi, bahkan mungkin sebagian meninggal.


Cerita yang lain, seorang dosen di salah satu universitas ternama di Jabodetabek datang ke RS bertaraf internasional di kawasan Tangerang dengan keluhan mendadak tidak bisa bicara. Pemeriksaan MRI pun segera dilakukan dan dalam hitungan menit terdeteksi adanya infark akut dan segera dilakukan tindakan trombolitik dengan pemberian rtPA di unit gawat darurat dalam waktu yang juga cepat. Dosen tersebut kini sudah bekerja kembali. Jika kasus serupa terjadi di rumah sakit daerah, apakah pasien akan mendapatkan terapi dan tindakan dalam kecepatan yang sama?


Seorang teman pekerja misi pemberdayaan masyarakat bercerita kisahnya mendampingi seorang bapak yang dicurigai menderita carcinoma nasopharing di RS khusus kanker di Jakarta dengan menggunakan JKN–BPJS. Dari fasilitas kesehatan pratamanya di kawasan Tangerang, bapak ini dirujuk ke Rumah Sakit tipe B di Tangerang. Setelah mengantri 2 minggu, pasien tersebut akhirnya dirujuk ke RS khusus kanker di Jakarta . Di sana pun harus mengantri dan singkat cerita dia menjalani rangkaian pengobatan yang sangat panjang selama kurang lebih 1 tahun. Untuk mendapatkan antrian konsultasi ke dokter saja harus beradu cepat dengan pasien lain, karena adanya pembatasan kuota bagi pasien BPJS. Belum lagi dengan rangkaian pemeriksaan yang harus dijalani sebelum akhirnya dilakukan tindakan kemoterapi dan radioterapi. Pasien harus menunggu antrian yang panjang juga untuk satu rangkaian pemeriksaan, belum lagi dengan rangkaian pemeriksaan lainnya. Untuk sampai menjalani proses kemoterapi pasien menunggu lebih dari 5 bulan. Memang semua rangkaian pemeriksaan dan pengobatan tidak mengeluarkan biaya sama sekali, tetapi dengan antrian-antrian dan kuota yang terbatas membuat pasien penderita kanker ini lama sekali ditangani.


Seorang teman yang tinggal di Amerika mengatakan bahwa dia harus menjalani operasi hemikolektomi oleh karena ditemukannya carcinoma colon insitu di ususnya tanpa gejala gangguan pencernaan. Hal tersebut diketahui karena asuransi kesehatannya mewajibkan untuk dilakukan kolonoskopi pada setiap peserta usia 50 tahun. Suatu langkah preventif yang dibiayai oleh sisten jaminan kesehatan. Di Indonesia , hal ini masih merupakan hal yang mewah karena jaminan kesehatan BPJS masih hanya menanggung pengobatan bukan pencegahan.


Seorang penderita ginjal kronik tahap akhir dirujuk dari Bangka Belitung ke RSUD Tarakan Jakarta untuk dilakukan pembuatan akses vascular dialisis. Ada pula seorang pasien di Kalimantan tengah, harus menempuh perjalanan 6 jam untuk dapat menjalani hemodialisa di kota palangkaraya. Dalam seminggu 2 kali pasien ini menempuh perjalanan pulang dan pergi selama 10 jam untuk menjalani hemodialisa. Pasien ini kemudian dilakukan CAPD yang dapat dilakukan secara mandiri di rumah sehingga dia hanya perlu datang 1x sebulan untuk kontrol ke dokter di Palangkaraya. Sementara itu di Amerika, pasien dapat melakukan hemodialisa mandiri di rumahnya pada malam hari atau melakukan automatic PD (APD) dengan mesin cycler sehingga proses PD dilakukan selama pasien tersebut sedang tidur di malam hari. Layanan ini belum tersedia di negeri kita.


Ternyata masih banyak layanan kesehatan yang sudah menjadi standard layanan di dunia tetapi belum bisa diakses oleh masyarakat Indonesia saat ini. Dengan kata lain akses kepada layanan kesehatan (access to care) belum dirasakan merata. Penchanski dan Thomas 40 tahun yang lalu menuliskan suatu konsep akses dalam kerangka ”5A” yang masih relevan untuk kita sekarang.

  • Affordability (keterjangkauan) ditentukan oleh bagaimana biaya kesehatan dihubungkan dengan kemampuan dan kemauan klien (pasien dan keluarganya) untuk membayar.

  • Availability (ketersediaan) mengukur sejauh mana layanan kesehatan memiliki sumber daya yang diperlukan, seperti personel dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan klien.

  • Accessibility (aksesibilitas) mengacu pada aksesibilitas geografis, seberapa mudah klien dapat secara fisik mencapai lokasi layanan kesehatan.

  • Accomodation (akomodasi) mencerminkan sejauh mana layanan kesehatan diatur untuk dapat menerima klien, contohnya jam operasional layanan, bagaimana komunikasi antara penyedia layanan dan klien, dan kemampuan klien untuk tetap menerima layanan tanpa janji sebelumnya.

  • Acceptability (akseptabilitas) menangkap sejauh mana hubungan ekspektasi penyedia layanan dan klien terpenuhi.


Kelima A tersebut ibarat mata rantai. Menegakkan keadilan di era JKN tidak bisa hanya menguatkan satu atau hanya beberapa mata rantai di atas. Kita tidak bisa memperbaiki affordability (terus menambah jumlah peserta BPJS sampai target 98% di tahun 2024), tanpa memperbaiki availability layanan dasar seperti persalinan, misalnya. Leon Wyszewianski mengatakan “The Five A's of access can be thought of as a chain which is only as strong as its weakest link.”


Penutup

Mudah bagi kita untuk menjadi tawar hati dan pesimis dengan kondisi di negara kita, terutama bila mendengar cerita-cerita di atas. Memang, masih banyak ketidak adilan di layanan kesehatan yang harus diperjuangkan. Ketidakadilan di bidang layanan kesehatan pun tidak semata-mata karena pembiayaan, ada banyak faktor lain yang berperan, mulai dari lemahnya kebijakan dan implementasinya, keterbatasan jumlah dan kompetensi tenaga kesehatan serta akses terhadap layanan kesehatan yang masih tidak merata.

Namun, sebagai orang Kristen kita tidak pernah kehilangan pengharapan. Tuhan kita adalah Tuhan yang setia dan mau memakai kita, umatNya. Mari teman–teman, lihatlah di bagian apa dirimu bisa berperan memperjuangkannya bagi bangsa ini. Bukan persembahan ribuan kurban yang menyenangkan Allah dan bukan ritual keagamaan yang saleh yang menyukakan-Nya melainkan: memperjuangkan keadilan, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah.


Biarlah kalimat yang diucapkan nabi Mika ribuan tahun yang lalu selalu ada di hati kita: He has told you, O man, what is good; and what does the Lord require of you but to do justice, and to love kindness, and to walk humbly with your God? (Micah 6:8 ESV)


/stl





34 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page