Sepanjang paruh kedua dari tahun 2022, dunia media sosial dan siaran televisi nasional kita dibanjiri dengan berita tentang kasus kriminal yang melibatkan banyak aparat penegak hukum. Selama proses peradilan dari kasus tersebut, tampak sebuah isu yang cukup jelas, yakni tentang ketaatan kepada perintah atasan yang lahir dari ketakutan yang berlebihan terhadap sang atasan.
Sepanjang sejarah umat pilihan Allah diwarnai dengan pilihan untuk taat kepada penguasa atau kepada Allah yang disembahnya. Sifra dan Pua adalah bidan-bidan yang karena takut akan Tuhan, berani melawan perintah Raja Mesir yang memerintahkan mereka untuk membunuh bayi laki-laki orang Israel (Keluaran 1:15-17). Sadrakh, Mesakh dan Abednego memilih untuk tidak taat kepada Raja Nebukadnezar walau harus masuk ke dalam perapian yang menyala-nyala (Daniel 3:16-18).
Peristiwa Natal, diwarnai juga oleh sebuah keputusan besar Maria untuk taat kepada rencana Allah meskipun dibayangi krisis pertunangannya, stigma sosial, serta tuduhan perzinahan yang bisa berujung pada hukuman mati. Pertunangan, pada masa itu sudah seperti sebuah pernikahan, karena menurut hukum yang berlaku saat itu keduanya hanya dapat dipisahkan oleh kematian atau perceraian. Kenyataan bahwa kehamilan yang terjadi bukan karena hubungan dengan pasangannya, merupakan sebuah perzinahan (bdk. Imamat 20:10). Menarik sekaligus takjub merenungkan respon seorang Maria dalam peristiwa pemberitahuan tentang kelahiran Yesus di Lukas 1:26-38.
“Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” adalah jawaban Maria setelah menyimak seluruh penjelasan malaikat Gabriel tentang skenario kehamilan dan persalinannya yang melampaui akal sehat manusia sepanjang sejarah. Kata “hamba” di sini dalam bahasa aslinya adalah “bond-servant” yang memiliki konotasi budak, dengan dedikasi tanpa syarat. Kata yang sama juga digunakan Rasul Paulus saat mendeskripsikan dirinya dalam suratnya kepada Titus (Titus 1:1).
Maria hanyalah seorang gadis belia ketika ia menunjukkan ketaatan penuh kepada Allah dengan segala konsekuensinya. Alkitab tidak mencatat hal-hal spektakuler pada diri Maria. Pada kejadian-kejadian yang mengguncangnya, Alkitab hanya mencatat bahwa “Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Lukas 2:19, 51).
Predikat hamba ini ditunjukkan tidak hanya di saat dia menerima privilege untuk mengandung bayi Yesus, sang Mesias dengan kegembiraan dan kebahagiaan (Lukas 1:46-55), tetapi juga ketika harus melalui drama persalinan yang sangat mungkin tidak diantisipasinya (Lukas 2:1-7) dan spektakularnya penyataan Allah melalui para malaikat-Nya (Lukas 2:8-20).
Tidak ada kemarahan dan kekecewaan ketika Yesus mulai menunjukkan identitas-Nya (Lukas 2:41:52), bahkan ketika harus menyaksikan dari dekat penyaliban Yesus (Yoh. 19:25). Maria konsisten dengan predikat hamba-Nya sampai akhir, hingga menjadi saksi hidup dari kebangkitan-Nya (Lukas 24:10).
Ketika kita menjalani hari-hari kita, disadari atau tidak, dalam banyak hal kita diperhadapkan dengan pilihan ketaatan. Ketika Allah menebus kita dengan darah anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus, maka status hamba Allah telah melekat pada kita, yang berarti kita harus pada ketaatan penuh kepada-Nya. Ketaatan yang tidak didasari oleh ketakutan, namun karena takjub dan hormat kepada Tuan yang menebus kita dari perhambaan terhadap dosa, bahkan sebelum kita mengenal Dia. (I Petrus 1:17-19; Roma 5:8). Ketaatan yang didasari atas keyakinan bahwa Ia mengasihi kita dan akan terus bersama-sama dengan kita karena tidak ada yang bisa memisahkan kita dari kasih-Nya (Roma 8:31-38).
Selamat Natal para sahabat PMdN, kiranya peristiwa Natal boleh terus mengingatkan kita semua untuk terus hidup dalam ketaatan penuh kepada Tuhan, bahkan untuk perkara yang belum kita mengerti. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu”
*Penulis melayani sebagai Ketua Persekutuan Medis Nasional (PMdN) Perkantas
/stl
Comments