139 results found with an empty search
- Mengusahakan Kesejahteraan Bersama: Eksposisi Yeremia 29 Bagian II
Pasal 29 harus dibaca bersama pasal 27-28 yang menggambarkan konflik sang nabi dengan sekelompok nabi. Pasal 28 menggambarkan konfrontasi langsung Yeremia dengan Hananya, sama-sama nabi di Yerusalem. Pasal 29 menggambarkan konfrontasi tak langsung Yeremia dengan Semaya, nabi di Babilonia, melalui surat menyurat. Surat Yeremia kepada orang buangan kloter pertama dikirimkan melalui perantaraan Elasa bin Safan dan Gemarya bin Hilkia, keduanya utusan raja Yehuda kepada raja Babilonia. Ini berarti isi surat itu direstui penguasa Yehuda untuk diketahui juga oleh penguasa Babilonia. Sudah pasti isi surat itu tidak bersifat menghasut orang Yehuda di pembuangan untuk melawan otoritas Babilonia, “martil seluruh bumi” (51:23). Apa isi surat ini? Pertama, mereka tidak perlu ragu merencanakan hidup dan menjalaninya untuk jangka waktu lama (ay. 5-6). Membangun rumah. Membuka ladang. Beranak cucu di antara mereka sendiri agar jumlah orang Yehuda di pembuangan tidak menyusut. Mereka tidak perlu berpikir pulang dalam waktu dekat. Kedua, mereka juga tidak perlu ragu untuk mengupayakan kesejahteraan (šālom) kota tempat mereka tinggal, sebab kalau kota itu sejahtera, mereka sebagai warga dengan sendirinya juga sejahtera. “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” (ay. 7) Ada tradisi “berdoalah untuk kesejahteraan Yerusalem” (Mzm. 122:6), tetapi bagi umat di pembuangan untuk sementara waktu mereka tidak perlu memikirkan kesejahteraan Yerusalem, ibu kota kerajaan yang sudah hancur diserbu pasukan Babilonia. Meski Yehuda masih tegak tetapi babak belur. Untuk hidup sejahtera di pembuangan, mereka harus mengusahakan kesejahteraan kota-kota di Babilonia yang kini menjadi tumpuan kesejahteraan mereka. Kesejahteraan kota adalah jaminan kesejahteraan mereka dan kesejahteraan itu tidak datang dari langit. Jika mereka hanya mengusahakan kesejahteraan pribadi ataupun kelompok sendiri, tiada jaminan kesejahteraan itu akan bertahan sementara kotanya sendiri (masyarakat) tidak sejahtera. Dengan prinsip hidup itu, Daniel meraih posisi tinggi di Babilonia, Nehemia mendapat posisi terhormat sebagai juru minum raja Persia, dan Ester menjadi ratu Persia. Mereka menjadi bagian dari kewargaan baru di luar Tanah Perjanjian dengan mengabdi kepada penguasa asing, bukan hanya untuk bertahan hidup tetapi juga untuk mengupayakan kesejahteraan kota dan negeri tempat mereka kini tinggal. Ternyata, mereka pada umumnya mengikuti nasihat Yeremia. Mereka membentuk keluarga baru, beranak cucu, membangun usaha dan memulai mata pencarian baru. Papirus-papirus dari Mesir dan lempengan batu dari Babilonia yang memuat kesepakatan semasa awal pembuangan secara tak langsung memperlihatkan komunitas Yahudi di pembuangan diperlakukan dengan baik. Oleh karena itu, tidak tepat membandingkan pembuangan Babilonia semasa Yeremia dengan perbudakan Mesir semasa Musa. Penghidupan orang buangan yang baik-baik saja, sebagai buah ketaatan mereka mengikuti nasihat Yeremia. Mengapa Yeremia menasihati seperti itu? Menurut nubuat yang diyakininya sebagai dari Tuhan, pembuangan itu akan berlangsung lama 70 tahun, lebih daripada satu generasi, sesudah itu barulah mereka dipulangkan (ay. 10, 14b). Dengan kepulangan itu, status umat bukan lagi orang buangan, orang terhukum, melainkan “orang-orang yang ditebus TUHAN” (Mzm. 107:2). Relasi keumatan mereka dipulihkan, sehingga jika mereka berdoa, Tuhan akan mendengarkan; jika mereka dengan segenap hati meminta petunjuk Tuhan, mereka akan menemukannya (ay. 12-14a). Masa 70 tahun adalah waktu yang lama, kebanyakan dari generasi pertama di pembuangan sudah meninggal, waktu yang lebih dari cukup untuk menikah, punya anak, membuka ladang, memiliki usaha tetap, layaknya hidup di negeri sendiri. Mereka tidak perlu berpikir pulang sampai masa pembuangan selesai. Apabila mereka mengikuti nasihat Yeremia, hidup mereka akan sejahtera sebagaimana dijamin firman Tuhan, Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera [šālom] dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. (ay. 11) Sebagai demikian, surat terbuka Yeremia bisa dibaca sebagai surat penggembalaan untuk umat di pembuangan. Untuk sejahtera, mereka harus mengusahakan kesejahteraan kota tempat mereka tinggal. Orang Yehuda harus hidup seperti orang Babilonia, tidak perlu merasa sebagai orang asing di negeri orang, tidak perlu hidup memisahkan diri dari antara orang Babilonia, tidak menjadi penonton pembangunan negeri, tidak perlu memiliki sindrom minoritas, tidak perlu berpikir pulang ke Yehuda dalam waktu dekat, melainkan bersama orang-orang yang berbeda suku dan agama mengusahakan kesejahteraan kota dan negeri di Babilonia. Orang buangan, minoritas di Babilonia, hidup di bawah pemerintahan asing beda agama. Namun, hidup bermasyarakat bukan soal hidup di bawah penguasa beragama sama, melainkan soal kesejahteraan bersama. Kesejahteraan itu bukan buah usaha (kalangan) sendiri, melainkan buah kerja sama semua orang yang mengusahakan kesejahteraan bersama. Kriteria utama umat Tuhan Ketika memilih saat Pemilu juga bukan faktor seagama, melainkan seberapa serius dan mampunya calon itu mengusahakan kesejahteraan bersama. /stl Referensi: Robert P. Carroll, Jeremiah (Philadelphia: Westminster, 1986), 523.
- Berlayar di Sistem Kesehatan Indonesia: Perpaduan Hukum, Politik, dan Kekristenan
Pada awal tahun ini saya berkesempatan menuliskan sebuah artikel di Samaritan dengan judul, “RUU Kesehatan Omnibus Law: For Better or Worse”. Saat ini, Undang-undang kesehatan yang baru telah ditetapkan. Lanskap kesehatan Indonesia merupakan benang kusut yang kompleks, dan pada artikel ini gulungan benang kusut tersebut terjalin dari benang-benang hukum, politik, dan keyakinan agama, khususnya Kekristenan. Sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya dan tradisi spiritual, sistem kesehatan Indonesia berada di persimpangan pengaruh-pengaruh yang beragam ini. Artikel ini menggali keterkaitan rumit di antara elemen-elemen yang ada, menelurusi peraturan perundangan di bidang kesehatan, sambil menggali inspirasi dari ayat-ayat Alkitab yang relevan dalam penekanan dimensi etika dan moral di pelayanan kesehatan. Prinsip-prinsip Kristen dalam Pelayanan Kesehatan Kekristenan memiliki akar sejarah yang mendalam di Indonesia dan secara signifikan memengaruhi filosofi pelayanan kesehatan negara ini. Pada hakikatnya, Kekristenan menekankan belas kasihan, penyembuhan, dan kepedulian terhadap yang sakit. Prinsip-prinsip ini telah membentuk pendirian lembaga-lembaga kesehatan Kristen yang menggabungkan keahlian medis dengan prinsip spiritual. Salah satu ayat Alkitab yang menyuarakan prinsip-prinsip ini dengan jelas adalah Markus 2:17: "Bukan orang yang sehat yang memerlukan tabib, melainkan orang yang sakit. Aku datang bukan untuk memanggil orang-orang benar, melainkan orang-orang berdosa." Perspektif Alkitab ini menegaskan pentingnya memberikan pelayanan kesehatan kepada mereka yang membutuhkannya, sejalan dengan komitmen Indonesia untuk akses yang adil terhadap layanan medis bagi semua warganya. Sekilas tentang Regulasi Kesehatan Indonesia Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan lahir sebagai regulasi yang komprehensif dalam menguraikan hak dan kewajiban individu, komunitas, dan penyedia layanan kesehatan di negara ini. Undang-undang ini mencakup berbagai isu terkait kesehatan, termasuk pencegahan penyakit, promosi kesehatan, layanan medis, dan pembiayaan kesehatan. Dalam praktiknya, undang-undang tersebut juga tidak lepas dari berbagai sarana dan sistem yang ada dalam bidang kesehatan, termasuk BPJS Kesehatan dengan berbagai pro dan kontra. Secara hukum undang-undang tersebut memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia. Namun, secara politik undang-undang ini menjadi titik tolak baru yang akan dimanfaatkan oleh para politisi khususnya dalam menghadapi tahun politik 2024. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesehatan sebagai elemen vital dalam kehidupan manusia merupakan sektor yang selalu hadir dalam kampanye politik di Indonesia. Nilai Kekristenan dalam Hukum dan Politik Kesehatan di Indonesia Sebagai individu yang menghayati prinsip-prinsip iman Kristen, penting bagi kita untuk mematuhi dan menghormati aturan hukum yang ada di bidang kesehatan. Ketaatan terhadap regulasi kesehatan bukan hanya mencerminkan tanggung jawab moral terhadap tubuh yang dianugerahkan Tuhan, tetapi juga merupakan wujud kontribusi positif dalam menjaga kesejahteraan dan keselamatan sesama. Dalam melangkah sesuai dengan panggilan Tuhan, kita - mematuhi aturan kesehatan juga mencerminkan cinta dan perhatian terhadap sesama, menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua, serta menghormati otoritas yang telah ditetapkan dalam masyarakat. Sebagai ilustrasi, dalam Roma 13:1-2, "Setiap orang harus tunduk kepada pemerintah yang berkuasa atasannya, karena tidak ada pemerintahan yang tidak berasal dari Allah dan pemerintahan yang ada ditetapkan oleh Allah. Jadi, siapa yang memberontak terhadap pemerintahan, ia memberontak terhadap perintah Allah." Dengan demikian, kepatuhan terhadap aturan kesehatan menjadi bagian dari tanggung jawab seorang Kristen dalam mematuhi perintah Allah dan berkontribusi positif dalam menjaga kehidupan yang sehat dan bermartabat. Partisipasi orang Kristen dalam sistem politik Indonesia, terutama dalam konteks politik kesehatan, memiliki implikasi yang sangat penting dalam mengadvokasi perubahan yang positif dan kualitas pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat. Dasar iman kristen dengan jelas mengandung prinsip cinta, belas kasihan, dan kepedulian terhadap sesama. Dalam 1 Yohanes 3:17-18, Alkitab menyatakan, "Jika ada seorang yang mempunyai kekayaan dunia dan melihat saudaranya dalam kekurangan, tetapi ia menutup hatinya terhadap dia, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap tinggal di dalam dirinya? Anak-anakku, janganlah kita mengasihi dengan perkataan atau dengan lidah saja, tetapi dengan perbuatan dan dengan kebenaran." Dalam konteks politik kesehatan, keterlibatan orang Kristen dapat memberikan suara yang kuat untuk mengupayakan kebijakan publik yang mendorong akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Kita dapat memperjuangkan alokasi dana yang memadai untuk sektor kesehatan, pelatihan tenaga medis yang memadai, serta peningkatan infrastruktur kesehatan di daerah-daerah terpencil. Dengan terlibat aktif dalam memantau implementasi kebijakan kesehatan, kita juga dapat membantu mencegah penyimpangan dan memastikan bahwa sumber daya yang dialokasikan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Keterlibatan dalam politik kesehatan juga memungkinkan kita untuk mengajukan perspektif etis yang diperkaya oleh dasar iman kristen. Kita dapat mempromosikan nilai-nilai seperti menghargai kehidupan, keadilan sosial, dan tanggung jawab bersama dalam menjaga kesehatan masyarakat. Dalam semua langkah ini, orang kristen dapat berfungsi sebagai pembawa perubahan yang memainkan peran penting dalam membangun sistem kesehatan yang lebih baik, bermartabat, dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan iman kristiani. Dalam konteks dinamika politik dan perubahan hukum terkait kesehatan di Indonesia, penting bagi kita untuk mengarungi perubahan tersebut dengan berhikmat. Meskipun politik dan hukum terus berubah seiring waktu, orang Kristen harus tetap teguh pada nilai-nilai dasar Kekristenan. Sebagaimana dalam Ibrani 13:8, "Yesus Kristus sama kemarin dan hari ini dan sampai selama-lamanya." Meskipun tindakan dan pendekatan dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman, prinsip-prinsip kasih, keadilan, dan belas kasihan tetap menjadi landasan yang tak tergoyahkan. Dengan menjaga keseimbangan antara fleksibilitas dalam mengikuti perubahan dan komitmen terhadap iman, kita dapat berperan sebagai agen perubahan yang berdampak positif dalam pembentukan kebijakan dan praktik kesehatan yang lebih baik di Indonesia. Kesimpulan Orang Kristen tidak dapat menghindar dari kompleksitas sistem kesehatan Indonesia, yang melibatkan peran hukum, politik, dan pandangan kekristenan. Kita baru saja mengalami mengalami perubahan signifikan terkait hal tersebut dengan adanya pengesahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam konteks dinamika politik dan hukum yang senantiasa berubah, partisipasi aktif kita menjadi faktor penting untuk mewujudkan perubahan positif dalam pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat sesuai dengan pandangan iman kita. Sebagian besar tenaga kesehatan Kristen mungkin berpikir bahwa kontribusi kita dalam bidang politik dan hukum kesehatan tidaklah signifikan, tetapi kisah Daud melawan Goliat dalam Alkitab telah membuktikan bahwa kondisi fisik Daud yang kecil, tidak membuat Tuhan berhenti melakukan hal yang besar. (NIV 1 Sam 17:47, for the battle is the Lord’s, and he will give all of you into our hands.”) *)Penulis saat ini bekerja sebagai dokter manajerial di RS UKRIDA
- Taat pada Panggilan Tuhan Setahap demi Setahap
Shalom! Perkenalkan nama saya dr. Dwiastri Iris Sarwastuti, peserta MMC XVI asal Jakarta yang menempuh pendidikan kedokteran di UNAIR. Saya bersyukur Tuhan berikan saya kesempatan untuk menjadi peserta MMC XVI. Satu hal yang sangat menarik perhatian saya adalah kunjungan RS Misi di Lampung atau Serukam. Saya bertanya-bertanya, kira-kira pengemasannya akan seperti apa ya? Karena saya sangat tergerak soal pelayanan penginjilan, akhirnya saya memutuskan ikut. Sebelum saya mengunjungi RS misi tersebut, empat minggu pertama diisi dengan materi, praktik penginjilan dan praktik lapangan di lembaga/yayasan misi di Jabodetabek, explore, life sharing, dan mentoring. Saya yang baru menyelesaikan masa pendidikan kedokteran umum awalnya sempat berpikir bahwa saat-saat ini adalah akhir dari pelayanan aktif saya di masa muda karena harus pergi internship meninggalkan UK3 UNAIR. Namun, momen ini justru saya sadar bahwa ada ladang lain yang begitu luas Tuhan bukakan. Sepanjang hidup ini memang ada beberapa musim kehidupan, Tuhan akan bukakan setahap demi setahap. Sangat penting bahwa orang percaya terus bergumul bersama Tuhan akan apa yang Tuhan mau untuk dikerjakan. Saya bersyukur semenjak Roh Kudus melahirbarukan saya, Tuhan menetapkan arah hidup dan meletakkan visi di hati saya untuk dilibatkan dalam metaranasi Allah. Memang belakangan ada beberapa pergumulan yang membuat saya sempat ciut ketika melayani Tuhan. Namun, Tuhan membuktikan bahwa Ia mengasihi mereka yang terhilang sedalam itu dan Tuhan punya rencana bagi mereka. Tuhan menganugerahkan kasih di hati saya sehingga saya bisa mengasihi mereka lebih tulus. Saya juga sangat tertarik dengan penjangkauan orang-orang yang diabaikan masyarakat. Rasaya tidak dipahami, putus asa, dan jauh dari support system yang memadai tentu dapat membuat seseorang meragukan adanya kasih di dunia ini. Mereka butuh mendengar berita tentang Kristus yang mati dan bangkit membuktikan kasih Allah yang besar bagi mereka. Saya berdoa agar saya bisa menjadi teman yang memberitakan hal itu kepada mereka. Memasuki minggu kelima, seluruh peserta dibagi dalam 2 tim: ke Lampung atau Serukam. Ternyata saya adalah satu dari empat orang yang dikirim ke Serukam selama dua minggu. Untuk pertama kali, saya berkesempatan pergi ke pulau Kalimantan. Meski saya mengikuti kegiatan secara aktif di RSU Bethesda hanya satu minggu karena satu minggu lainnya saya isolasi mandiri karena positif COVID-19, saya bersyukur karena Tuhan memberi saya kesempatan melihat bagaimana para tenaga kesehatan Kristen melayan. Mereka mendoakan pasien (baik tatap muka, maupun saat persekutuan doa), memberitakan Injil, homevisit, mengedukasi pasien lebih serius, dan memperhatikan pergumulan hidup pasien secara fisik, mental, dan spiritual. Dengan melihat itu, saya meninggikan Tuhan karena Tuhan pernah beranugrah sedemikian besar atas daerah ini, memberi hikmat, kasih, dan talenta bagi nakes-nakes ini, serta membuat RSU Bethesda berdiri selama puluhan tahun sehingga masyarakat mendapat berkat semacam ini. Saya sadar bahwa orang Kristen tidak boleh diam, apalagi Tuhan sudah berikan kesempatan mengenyam pendidikan kedokteran begitu baiknya. Kita harus bekerja dan mengabdikan diri untuk rencana Tuhan. Apa yang ada pada kita adalah pemberian, bukan untuk memberi kekayaan/kemuliaan bagi diri sendiri. Pelayanan RSU Bethesda minus secara keuntungan dan bergantung pada pemberian Allah melalui donatur. Hal ini membuat saya sadar bahwa mempraktikkan kasih jangan sekali-kali memikirkan soal untung dan ruginya bagi kita. Ketika berkomitmen mengerjakan sesuatu bagi Tuhan memang sering diizinkan untuk dianggap rugi dan bodoh oleh dunia, bahkan hidup Kristus pun seperti itu hingga disalib. Tetapi yang terpenting apakah kita menegakkan kehendak Bapa di surga sebagai Tuhan atas hidup kita dan menghadirkan kerajaanNya di muka bumi atau tidak. Karena Dialah pemilik hidup yang memberi apa arti hidup yang sesungguhnya bagi kita. Saya masih terus berdoa untuk panggilan pelayanan ke depan untuk mengerjakan mandat Injil yang membawa kebebasan bagi banyak orang berdosa sekaligus bersungguh-sungguh dalam menjalankan mandat budaya agar Kristus berkuasa atas segala pelayanan medis yang saya jalani dan mereka dapat menjadi manusia utuh yang beribadah kepada Tuhan dan memuliakan Tuhan. Saya berdoa kiranya saya dan teman-teman MMC lain diberikan keteguhan memikul panggilan ini dengan iman pada Kristus. Amin. /stl *Penulis adalah salah satu peserta MMC XVI
- Pembuangan: Eksposisi Yeremia 29 bagian I
Eksposisi ini terbagi ke dalam tiga tulisan (Pembuangan, Surat Yeremia, dan Nubuat versus Nubuat). Pasal 29 merefleksikan isi dua surat Nabi Yeremia (ay. 1-23, 24-32). Surat pertama ditujukan kepada semua orang Yehuda di pembuangan Babilonia (ay. 1, 4, 20, 31 golā; ay. 22 gālut “orang buangan”). Isi surat itu direspons keras Nabi Semaya dalam bentuk surat juga. Surat Yeremia yang kedua merespons surat Semaya, untuk diketahui juga oleh orang buangan. Perjanjian Lama menggambarkan bangsa Israel mengalami beberapa kali pembuangan. Sesudah era Israel Raya (Saul, Daud, Salomo), semasa Rehabeam bin Salomo, Israel akhirnya pecah menjadi dua. Kerajaan selatan bernama Yehuda, gabungan dari 2 suku Israel (Yehuda, Benyamin), beribu kota Yerusalem, dengan Rehabeam sebagai raja pertama. Kerajaan utara menyebut diri Israel atau disebut juga Efraim, gabungan dari 10 suku, beribu kota Samaria, dengan Yerobeam sebagai raja pertama. Semasa Imperium Asiria berkuasa di Timur Tengah, Samaria ditaklukkan (722/1 SM) dan tamatlah riwayat kerajaan utara (2 Raj. 17:23). Banyak dari penduduknya ditawan ke pembuangan (Nah. 2:10-3:4), ke tiga koloni Asiria (2 Raj. 18:11 “Halah ... Gozan ... Madai”, BIMK). Yehuda masih bertahan sampai Asiria turun dari panggung sejarah Timur Tengah dan naiklah Imperium Babilonia. Karena memberontak dengan menolak membayar upeti kepada Babilonia, Yehuda ditaklukkan dan penduduknya dibuang ke Babilonia. Kitab Yeremia menyebut tiga kali pembuangan oleh Babilonia dengan cukup detail. “Inilah jumlah rakyat yang diangkut ke dalam pembuangan oleh Nebuzaradan: dalam tahun ke-7, 3023 orang Yehuda; dalam tahun ke-18 belas zaman Nebukadnezar, 832 jiwa dari Yerusalem; dalam tahun ke-23 zaman Nebukadnezar, diangkut ke dalam pembuangan oleh Nebuzaradan, kepala pasukan pengawal, 745 jiwa orang Yehuda; seluruhnya berjumlah 4.600 jiwa.” (Yer. 52:28-30) Pembuangan pertama terjadi pada 598/7 SM, yang kedua 587/6 SM, dan yang ketiga 582 SM. Nebuzaradan adalah kepala pasukan pengawal Babilonia sekaligus pejabat istana yang memimpin penaklukan Yehuda (2 Raj. 25:8, 11, 20). Pembuangan pertama terjadi semasa pemerintahan Yekhonya bin Yoyakim yang hanya memerintah tiga bulan (24:1, 8; bdk. 1 Taw. 3:16; Est. 2:6; Mat. 1:11) atau Konya kependekannya (22:24, 28; 37:1). Namanya ketika menjadi raja (throne name) adalah Yoyakhin. Yang ditawan ke pembuangan (kloter pertama) adalah para tetua, imam, nabi, pegawai istana, pemuka Yehuda dan Yerusalem, tukang dan pandai besi, Raja Yekhonya dan ibu suri (queen mother). Elite politik, kaum terpelajar, dan kaum profesional. Itulah jalan pintas Babilonia untuk merekrut SDM berkualitas dalam waktu singkat. Namun, kejatuhan Yehuda belum final atau, jika memakai istilah dalam pertandingan tinju, baru TKO (technical knockout), sang petinju jatuh dan bisa bangun lagi sebelum hitungan ke-10, belum KO. Ritual Bait Suci masih berlangsung. Babilonia mengangkat raja baru, Matanya bin Yosia (ay. 3), paman Yekhonya; nama takhta pemberian penguasa Babilonia adalah Zedekia dan ia memerintah 11 tahun (2 Raj. 24:17-18). Zedekia adalah raja terakhir Yehuda sekaligus mengakhiri riwayat dinasti Daud dengan pembuangan kedua penduduk Yehuda (kloter kedua). Selanjutnya, Kerajaan Yehuda sudah tidak ada dan Yehuda hanya sebuah wilayah taklukan Babilonia. Otoritas Babilonia mengangkat Gedalya, mantan pengurus rumah tangga istana Zedekia, sebagai administrator wilayah Yehuda dan pada penguasa baru ini Yeremia tinggal. Pusat pemerintahan Yehuda juga pindah dari Yerusalem ke Mizpa, 8 km di sebelah barat lautnya. Namun, Gedalya dibunuh oleh orang Yehuda yang ingin memberontak lepas dari Babilonia. Babilonia pun kembali datang menyerang Yehuda, kembali menawan 745 orang Yehuda ke pembuangan (kloter ketiga), sementara Yeremia mengungsi ke Mesir dan wafat di sana. Latar politik pasal ini adalah sesudah pembuangan pertama dan ketika Zedekia menjadi “raja yang duduk di atas takhta Daud” (ay. 16). Awalnya, Zedekia kooperatif dan baru di kemudian hari memberontak, pemberontakan yang mengundang serangan mematikan dari Babilonia. Tampaknya rakyat di pembuangan pertama dan sebagian penduduk di Yehuda masih menganggap Yekhonya sebagai raja dalam pengasingan dan Zedekia yang bertakhta di Yerusalem dianggap sebagai raja boneka. Orang Yehuda itu yakin bahwa Yekhonya akan pulang dalam waktu dekat. Ternyata, faktanya Yekhonya tinggal di pembuangan sampai wafatnya (bdk. 52:31-34). Usia kerajaan selatan 343 tahun, lebih lama 135 tahun daripada kerajaan utara yang berusia 208 tahun dan yang lebih dulu tamat riwayatnya. Ada waktu lebih dari satu abad bagi raja-raja Yehuda untuk belajar dari kejatuhan saudaranya di utara. Sayang, orang sering tidak belajar dari sejarah. Akhirnya, kesempatan Yehuda untuk memperbaiki diri habis. Kerajaan itu jatuh juga sekaligus berakhirnya dinasti Daud. Potret umat yang gagal “belajar menghormati TUHAN“ (Ul. 14:23, BIMK). /stl Referensi: Leslie C. Allen, Jeremiah (Louisville: Westminster John Knox, 2008), 322. Semua teks Alkitab merujuk TB, kecuali disebutkan lain. Photo by Daniel Wheeler: https://www.pexels.com/photo/castiolioni-structure-1179123/
- Before Saying “I do”
Pertemuan dengan pria/wanita idaman, menjalin relasi, menghadapi dan mengatasi konflik dan masalah bermodalkan kekuatan cinta sepasang kekasih hingga akhirnya menikah dan ditutup dengan kata-kata “happily ever after”: inilah kebanyakan kisah romantis yang digambarkan dalam cerita dongeng yang kerap kita dengar atau saksikan. Jarang sekali kehidupan tokoh tersebut setelah menikah ditampilkan. Paparan tontonan masa kecil, lagu, atau novel yang tampaknya indah mengenai relasi, telah menjebak kita dalam ilusi akan relasi yang harmonis, bebas konflik, ataupun bila ada konflik adalah antara kita dengan dunia ini, bukan antara saya dan pasangan saya. Media sosial memudahkan kita untuk melihat hidup orang lain, termasuk gaya berpacaran kebanyakan orang. Ada hal yang baik yang dapat diteladani, namun ada pula hal yang mungkin dulu dianggap tabu saat ini dianggap biasa. Bahkan tak jarang, hal yang seharusnya dilakukan dalam kekudusan pernikahan, saat ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar saja untuk dilakukan sebelum menikah. Dunia kini membombardir kita untuk melakukan apa saja bersama asal saya dan pasangan saya bahagia. Bila sudah tidak bahagia, saya dapat mengakhiri hubungan ini. Mengapa berpacaran? Tidak ada kata “pacaran” dalam Alkitab, namun Alkitab berulang kali menuliskan kata “pernikahan”. Pandangan Alkitab tentang pernikahan adalah pemberian Allah, antara satu laki-laki dan satu perempuan, dengan tujuan untuk melayani Allah (Kejadian 1-2). Relasi Allah dengan umat-Nya dan Kristus dengan gereja-Nya digambarkan sebagai relasi pernikahan. Dalam pernikahan, suami menjalankan perannya sebagai kepala yang rela berkorban dan istri memiliki sikap tunduk yang saleh kepada suami. Institusi pernikahan menjadi gambaran hidup dari Injil kasih karunia. Berpacaran adalah suatu tahap antara seorang pria dan wanita sebagai persiapan memasuki tahap pernikahan. Pacaran melibatkan emosi dan jiwa, sehingga tidak dipungkiri bila kita mengalami sukacita, rasa ingin selalu bersama atau kerinduan untuk mengenal lebih dalam dan akan ada kemarahan atau air mata bila mengalami konflik. Pacaran sebagai gambaran bagaimana kita membangun kedekatan secara spiritual, emosional, dan fisik dengan pasangan kita untuk tujuan pernikahan. Visi pernikahan yang Firman Tuhan berikan-lah yang memampukan kita untuk berpacaran dan berpacaran dengan baik karena setiap pasangan laki-laki dan perempuan yang menjadi relasi pacaran tentu ingin berlanjut ke dalam tahap pernikahan. Sangat penting untuk mempersiapkan pernikahan selama masa pacaran. Bagaimana peran saya dan pasangan saya dalam mempersiapkan pernikahan? Jika pernikahan begitu kudus dan penting, bagaimana sebaiknya pasangan yang sedang berpacaran mempersiapkan diri mereka sebelum mengatakan ”Saya bersedia” di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya? Beberapa hal berikut dapat kita renungkan dan diskusikan bersama: 1. Apakah saya dan pasangan saya sama-sama orang percaya? Kerinduan memiliki pernikahan yang sejalan dengan visi pernikahan yang Tuhan berikan memerlukan pemahaman yang sama antara kita dan pasangan kita. Bagaimana mungkin kita dapat menjalani visi yang Tuhan berikan bila pasangan kita tidak memiliki iman yang sama (2 Korintus 6:14). 2. Memahami peran yang akan kita hadapi dalam masyarakat Allah menciptakan pernikahan yang terdiri dari seorang pria dan seorang wanita. Kita memahami kelemahan dan kekuatan masing-masing. Hal ini menyadarkan kita kalau kita membutuhkan satu-sama lain sebagai pria dan wanita. Tidak ada perasaan saya sebagai pria lebih hebat karena saya lebih kuat atau saya sebagai wanita dapat melahirkan karena itu saya lebih hebat. Tidak demikian karena masing-masing memiliki peran yang sudah Allah berikan. Peran sebagai pria dan wanita sebagai orang tua juga Allah berikan untuk beranak cucu dan bertambah banyak (Kejadian 1:28). Beranak cucu dan bertambah banyak bukan hanya memperoleh keturunan. Lebih daripada itu, memasuki pernikahan dan menjadi orang tua, kita memiliki tugas mewariskan iman dan hal-hal yang baik kepada anak-anak kita sebagai penerus generasi yang bertanggung jawab dalam masyarakat. 3. Membuat batasan untuk mendekatkan Masa pacaran merupakan kesempatan untuk mengenal lebih seseorang yang berpotensi menjadi pasangan hidup kita. Ketika memiliki teman yang berpacaran pun kita dapat mengetahui adanya perbedaan kedekatan seseorang dengan pacarnya dibandingkan dengan teman-teman lainnya. Kedekatan dalam masa pacaran ada yang perlu dibangun, dipertahankan, dan ada juga yang perlu dibatasi. Waktu dalam masa pacaran menolong kita untuk melihat bagaimana karakter satu sama lain, respon saat menghadapi konflik dalam hubungan (internal) atau di luar hubungan (eksternal), kebudayaan keluarga yang mungkin berbeda, relasi dengan komunitas, relasi dengan rekan sekerja, sikapnya saat lelah dan sedih, dan banyak hal lainnya. Tidak dipungkiri, masa pacaran membangun kedekatan secara emosional dan fisik dan bila kita tidak menjaga diri kita dan pasangan kita, kita rentan jatuh dalam godaan seksual. Iblis tidak akan membiarkan kita memiliki relasi yang kudus dan menyenangkan Allah. Oleh karena itu, kita perlu untuk terus berwaspada dengan kedekatan yang dapat membuat kita jatuh dalam dosa seksual. 4. Libatkan komunitas dalam relasi “Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada” (Amsal 11:14). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, masa pacaran merupakan kesempatan untuk mengenal satu sama lain. Namun tidak menutup kemungkinan mata kita menjadi “buta” karena perasaan sedang berbunga-bunga ataupun menjadi “buta” karena amarah saat berkonflik dengan pasangan. Sehingga dengan adanya orang-orang percaya di sekitar kita yang juga merindukan kita memiliki relasi yang baik dalam Tuhan dapat menolong kita untuk memiliki pandangan yang lebih luas mengenai pasangan kita dan relasi kita. Mengenal pasangan tidak bisa hanya berdua. Kita perlu meminta pertolongan orang lain yang dapat kita percaya untuk melihat kehidupan berpacaran kita. Selain itu, kita dapat semakin mengenal pasangan kita dalam bagaimana sikapnya dengan orang lain baik orang tua, pasien, teman sesama jenis ataupun lawan jenis, ataupun sikapnya dengan orang dengan berbagai karakter. Relasi seperti apakah yang kita inginkan? Apakah relasi yang menyenangkan diri sendiri atau relasi yang berkenan kepada Allah? Kiranya Allah menolong kita untuk mempersiapkan diri (bagi yang sedang berpacaran) dan menjalani pernikahan (bagi yang sudah menikah) seturut dengan yang Dia rancangkan. *Penulis saat ini bekerja di sebuah rumah sakit swasta di Bandung /stl Referensi: https://www.desiringgod.org/articles/when-the-not-yet-married-meet Sacred Marriage. Gary Thomas. 2011. Penerbit: Katalis
- Go, Send or Disobey
Dalam anugerah Allah, saya dapat lulus dan mengambil sumpah dokter pada bulan Januari 2023 lalu. Masih ada tahapan berikutnya yaitu mengikuti program internship. Selama masa penantian internsip, saya memutuskan untuk mengikuti Medical Mission Course (MMC). Selama 7 minggu mengikuti MMC, saya disegarkan kembali melalui sharing firman Tuhan dan kesaksian pribadi kakak-kakak alumni. Jika diminta untuk memilih satu sesi yang paling berkesan, saya kesulitan, karena semua sesi sangat berkesan. Keseluruhan kegiatan MMC sungguh sangat baik dan memberkati. Namun, kalau harus memilih, Blessed To Be A Blessing (B2B) menjadi salah satu sesi (atau mungkin lebih tepatnya salah sepuluh sesi, karena B2B ini dibagi menjadi 10 sesi) yang menarik bagi saya. Saya belajar mengenai kerinduan hati Allah bagi suku-suku bangsa di seluruh dunia. Allah memancarkan kemuliaan-Nya kepada segala bangsa, supaya Dia menerima kemuliaan dari semua suku bangsa. Saya belajar bahwa Allah begitu setia terhadap janji-Nya sejak masa Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, bahkan hingga hari ini. Kita tidak perlu bingung atau takut ketika bermisi, karena Allah kita sendiri adalah Allah yang misioner. Saya juga ditegur untuk menjadi saksi Kristus tidak hanya di Yerusalem, namun terlebih lagi di Yudea, Samaria, bahkan sampai ujung bumi. Jujur, selama ini saya sudah merasa puas melayani di dalam persekutuan sesama orang Kristen. Menjadi saksi Kristus bagi sesama orang Kristen adalah hal yang baik, tapi Allah rindu supaya kita juga dapat menjadi saksi Kristus bagi orang-orang yang belum percaya. Apabila kita tidak terpanggil untuk pergi langsung ke suku-suku terabaikan, maka kita tetap dapat mendukung pelayanan misi dengan mengutus (mendukung dalam doa dan dana). Bermisi bukanlah pilihan, sebagai orang Kristen kita mendapatkan mandat yang sama untuk memberitakan Injil sampai ujung dunia. Apabila tidak dikerjakan, maka sesungguhnya kita sedang tidak taat kepada Allah. Pilihannya hanya tiga: go, send, or disobey. Sebelum mengikuti MMC, saya merasa takut dengan sistem penempatan internsip yang baru dimana peserta tidak bisa memilih wahana internsip yang diinginkan. Saya merasa tidak siap apabila harus ditempatkan di tempat yang baru, yang jauh, dan yang tidak familiar bagi saya. Bahkan saya merasa enggan apabila harus ditempatkan di Jawa Barat, yang sebenarnya merupakan domisili sesuai dengan kartu keluarga saya. Setelah mengikuti MMC, saya melihat bahwa sistem baru ini dapat menjadi cara Allah untuk membawa saya ke daerah tertentu. Pada akhirnya, Allah memberikan saya kesempatan melayani di Tanah Sunda, tepatnya di Kabupaten Cianjur. Setelah selesai internsip, saya rindu dapat mengikuti kegiatan magang MMC di klinik/RS misi. Saya juga masih memiliki kerinduan dapat melayani melalui program Nusantara Sehat. Kiranya saya dapat terus melekat kepada Allah, memiliki relasi yang kuat dengan-Nya, serta memiliki kepekaan terhadap kondisi dan kebutuhan di sekitar saya, sehingga saya dapat menjadi saksi Kristus yang efektif di manapun saya berada. *Penulis merupakan peserta MMC dan saat ini sedang menjalani internsip di RSUD Cimacan. /stl
- Ayo, Kembali ke Kampus!
Kondisi pelayanan mahasiswa saat ini boleh dikatakan tidak sedang baik-baik saja. Dampak pandemik Covid-19 terhadap kondisi pelayanan mahasiswa dirasakan oleh semua kampus. Banyak kampus mengeluhkan penurunan kualitas dan kuantitas pelayanan. Tidak sedikit pengurus PMK di masa pasca pandemik tidak tahu bagaimana memulai kembali pelayanan karena mereka tidak melihat role model pelayanan yang dilakukan sebelum pandemik. Bahkan ada pengurus PMK yang tidak tahu kalau ada pembinaan KTB di PMK nya. Masa pendidikan yang terbatas juga mengakibatkan proses pembinaan terputus/diskontinu. Tidak sedikit pelayanan mahasiswa harus memulai pelayanan dari level bawah lagi karena proses pembinaan dan regenerasinya yang tidak berjalan dengan baik. Selain itu, beberapa kampus kedokteran yang baru berdiri belum memiliki persekutuan dan pelayanan mahasiswa. Jumlah alumni medis (=pengalaman dibina di PMK) yang menjadi dosen di kampus tersebut sangat sedikit bahkan tidak ada. Akibatnya mereka memiliki kendala dalam memulai pelayanan mahasiswa. Permasalahan yang sama dialami juga oleh beberapa kampus yang sudah lama ada PMK-nya. Misalnya, kegiatan pelayanan harus dilakukan di luar kampus akibat regulasi universitas yang tidak memperbolehkan adanya kegiatan persekutuan di lingkungan kampus. Pendampingan pelayanan oleh beberapa lembaga dari luar kampus, seperti Perkantas, memang sangat membantu dalam mengembangkan pelayanan mahasiswa. Tapi tidak dipungkiri bahwa peran lembaga eksternal terbatas geraknya untuk mendamping pelayanan secara intensif dan berkelanjutan. Lalu, bagaimana peran alumni medis menyikapi berbagai kondisi yang ada saat ini? Apakah masih relevan dan efektif ‘membiarkan’ mahasiswa berjuang sendiri dalam mengerjakan pelayanan mahasiswa? Kembali ke pelayanan mahasiswa Tidak dipungkiri bahwa pendampingan pelayanan mahasiswa secara berkelanjutan perlu dilakukan. Saat ini peran strategis alumni medis sangat besar dan terbuka lebar untuk merintis dan memelihara visi dan misi pelayanan mahasiswa. Slogan balik ke kampus sudah saatnya kita dengungkan ke adik-adik pra alumni dan alumni medis yang sedang mencari tempat penugasan. Orientasi untuk bekerja di puskesmas atau rumah sakit sudah banyak dimiliki oleh alumni medis. Namun orientasi untuk bekerja sebagai dosen belum tentu dimiliki oleh semua alumni. Gambar siklus kembali ke pelayanan mahasiswa (Sumber: Penulis) Kembali ke kampus dengan berperan sebagai dosen membuka kesempatan bagi alumni medis untuk kembali memperhatikan/ mendampingi pelayanan mahasiswa. Ada beberapa alasan mengapa alumni medis perlu memikirkan untuk kembali ke kampus: Potensi peran strategis dosen dalam merintis dan menjaga visi dan misi pelayanan mahasiswa sangat besar. Membangkitkan kembali pelayanan yang terpuruk pasca pandemik dan merintis pelayanan mahasiswa di kampus kedokteran yang baru akan sangat efektif jika ada alumni medis yang menjadi dosen ditempat tersebut. Kehadiran alumni medis sebagai dosen atau bahkan sebagai pembina pelayanan mahasiswa akan memberikan dukungan moril bagi adik-adik di PMK saat ini. Mereka sedang tidak merasa sendiri dalam mengerjakan pelayanan ini. Selain itu, mereka bisa melihat sosok alumni medis yang dulu berjuang di pelayanan mahasiswa dan saat ini sudah bekerja di dunia profesi medis atau dosen. Hal ini secara tidak langsung akan memberikan motivasi yang kuat bagi adik-adik untuk terlibat secara aktif dalam pelayanan dan belajar secara langsung dari pengalaman hidup alumni medis. Saat ini kesempatan untuk menjadi dosen sangat besar. Pemerintah sudah dan masih akan memberikan izin pembukaan beberapa kampus kedokteran baru di Indonesia, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Kampus tersebut sudah pasti sangat membutuhkan tenaga pengajar di bidang ilmu humaniora, biomedik, klinis, dan pendidikan kedokteran. Kesempatan ini akan memberi peluang bagi alumni medis turut aktif dalam merumuskan kebijakan-kebijakan fakultas, termasuk hal yang berhubungan dengan kebijakan kegiatan kemahasiswaan. Sudah saatnya peran strategis pelayanan mahasiswa digabung dengan peran strategis dosen dalam memaksimalkan pelayanan mahasiswa. Peran strategis ini bisa menjadi salah satu pertimbangan dan motivasi bagi alumni medis untuk bekerja sebagai dosen. *Penulis bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia /stl
- Penjajahan Belanda, Kekristenan, dan Kemajemukan Indonesia
Judul : Confronting Christianity Penulis : Rebecca McLaughlin Halaman : 264 halaman Penerbit : Literatur Perkantas Jawa Timur “Bukankah Kekristenan disebarkan oleh penjajah? Tidakkah Kekristenan itu agama kulit putih?” Bagi banyak orang di dunia termasuk di Indonesia, sering kita dengar hal demikian, bahwa Kekristenan adalah agama Barat – agama orang kulit putih. Luka mendalam atas penjajahan Belanda sedemikian menyakitkan bagi kita dan terutama para pendahulu kita sehingga meninggalkan memori yang sulit dilupakan. Ratusan tahun pengalaman penjajahan menjadi penghalang orang Indonesia untuk mempertimbangkan Kristus. Tentu bisa kita pahami pengalaman buruk di masa lalu tersebut. Sangat disayangkan bahwa penginjilan bersanding dengan kolonialisme pada waktu itu, sementara Kekristenan tidak mengajarkan penindasan. Selain itu, ajaran agama tidak boleh dinilai dari penyalahgunaannya (A religion must not be judged by its abuse – Frank Turek) Meskipun demikian, juga bukan berarti tidak ada hubungan antara Kekristenan dengan budaya Barat sebab Kekristenan memang mendominasi Eropa selama berabad-abad. Banyak artifak budaya yang dihasilkan di Barat: lukisan, drama, puisi, musik – dipenuhi dengan gagasan-gagasan Kristiani. Walaupun Kekristenan memonopoli budaya Barat, budaya itu tidak pernah memonopoli Kekristenan. Bertentangan dengan pemikiran populer, gerakan Kekristenan bersifat multibudaya dan multietnis sejak mulanya. Alkitab beberapa kali mengisahkan orang Samaria sebagai teladan meskipun mereka dibenci orang Yahudi. Kemajemukan juga dipicu oleh Yesus sendiri setelah kebangkitan-Nya. “Karena itu pergilah”, kata Yesus, “jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Mat. 28:19). Kisah Para Rasul mencatat gelombang pertama Kekristenan di mana Roh Allah memampukan mereka memberitakan Injil dalam berbagai bahasa. Mereka yang mendengarnya berasal dari segala bangsa di bawah kolong langit termasuk Iran, Irak, Turki, Mesir, dan Italia. Rasul Paulus yang hiper-Yahudi pun merobek batasan-batasan sosial di zamannya. Karena itu, kemajemukan secara sosio-ekonomi merupakan etika Kekristenan sejak semula. Yesus mengajarkan kita salah satunya untuk mengasihi orang-orang miskin. Firman Tuhan melalui Yakobus memerintahkan orang-orang Kristen agar tidak membedakan perlakuan kepada orang kaya maupun orang miskin dalam kumpulan mereka. Kekristenan juga mempengaruhi diangkatnya derajat wanita dari dulu yang berlanjut hingga masa kini. Kekristenan juga tumbuh pesat di berbagai suku bangsa dunia di tengah persekusi seperti di Iran dan China. Gereja merangkul semua orang dari berbagai ras, status, dan latar belakang ke dalam persekutuan yang intim dan penuh kasih. Meski topik pada buku ini mengulas Kekristenan secara global, Kekristenan tentu relevan dengan kebhinekaan di Indonesia. Kita dan segenap suku di Indonesia sebagai sesama ciptaan yang segambar dengan Allah sama-sama diundang untuk menjadi anak-anak Allah. Seluruh suku di Indonesia dapat datang kepada Allah dan berdoa dengan bahasa masing-masing. Ekspresi penyembahan kepada Allah juga ramah terhadap unsur budaya lokal di Tanah Air. Hal ini kiranya menambah semangat bagi kita dalam melakukan penginjilan ke berbagai suku bangsa dan dengan demikian menyongsong kemegahan penyembahan kepada Allah di akhir zaman. Wahyu 7:9 melukiskan keadaan di akhir zaman ketika “suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa” menyembah Yesus! Maka, jika kita peduli dengan kebhinekaan, jangan menolak Kekristenan. Kekristenan adalah gerakan paling majemuk, multietnis, dan multibudaya di sepanjang sejarah manusia. *Resensi di atas adalah resensi bab “Bukankah Kekristenan yang Menghancurkan Kemajemukan?” yang merupakan salah satu topik dari dua belas topik pada buku ini. Buku Confronting Christianity mengulas dua belas topik/pertanyaan menantang Kekristenan pada zaman ini. Confronting Christianity mengeksplorasi pertanyaan yang populer saat ini mulai dari realita penderitaan, seksualitas, isu keragaman, kemajuan sains, dan halangan lain yang tampaknya menghalangi kita dalam beriman Kristen. /stl
- Hal yang Paling Saya Takutkan
Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati (Filipi 3:10-11). Mengikuti program MMC adalah hal yang diluar planning hidup saya. Saat pertama sekali disharingkan untuk join, saya merasa berat untuk ikut dan ini akan mengganggu plan yang sudah saya atur, yaitu untuk langsung bekerja dan menjalankan rencana jangka panjang yang sudah saya buat sebelumnya. Namun, Tuhan berbicara perlahan kepada saya melalui firman dan melalui orang-orang yang Tuhan pakai untuk mendorong saya mengikuti program ini dan perlahan saya mulai menyadari bahwa saya perlu menggumulkan dengan serius dan fokus tentang visi saya. Saya yakin MMC pasti akan menolong saya untuk melihat panggilan saya lebih jelas lagi. Setelah pergumulan yang panjang, saya menjawab “iya” untuk bergabung di MMC. Diluar planning saya, ternyata Tuhan menetapkan saya untuk ikut MMC supaya belajar taat dan percaya bahwa ini pilihan yang terbaik yang pasti berguna untuk memperlengkapi saya untuk visi kedepannya. Kegiatan MMC menjadi wadah dimana Tuhan banyak berbicara kepada saya, melalui setiap pemaparan materi, yakni selama di OMF, praktik lapangan di Jakarta-Bogor, praktik lapangan di RS Mardi Waluyo Lampung, pouse and pondering, di sesi mentoring, bahkan melalui sharing kelompok bersama teman-teman peserta lainnya. Hal yang paling saya takutkan dalam hidup adalah ketika saya “meleset” dan “tidak berfungsi” sebagaimana Tuhan menciptakan saya. Karir adalah untuk itu kamu dibayar, sedangkan visi adalah untuk itu kamu diciptakan. Saat bergumul, yang membuat saya semakin teguh untuk mengikuti MMC adalah saya punya kesempatan untuk fokus bergumul bagi visi pribadi saya. Saya bersyukur untuk apa yang sudah saya lakukan di MMC, membagikan kasih Tuhan kepada orang lain yang berbeda suku dengan saya, memperhatikan kondisi kesehatan mereka, berdoa bagi mereka, berbagi duka dan tawa. Terkadang ada rasa lelah didalamnya karena saya masih hidup didalam daging yang bisa lemah dan sakit, tapi mengingat bahwa pekerjaan didalam Tuhan itu tidak pernah sia-sia, dan didalam Kristus pekerjaan dan kasih kita menjadi sempurna, saya menjadi semakin mengagumi Allah. Kerinduan terbesar saya adalah ketika saya pulang kepada Bapa, Dia akan menyambut saya dengan senyuman dan berkata “Hai hambaku yang baik dan setia, kamu telah mengakhiri pertandingan dengan baik dan telah hidup sebagaimana Aku menciptakanmu”. Ketakutan terbesar saya adalah berjalan diluar kehendak Tuhan, karena seberapapun saya berhasil di mata dunia, sementara Tuhan sama sekali tidak berkenan, maka betapa menyedihkannya hidup saya. “Tuhan ini aku, utus aku kemana Tuhan mau, hanya sertailah aku”. Segala hormat dan kemuliaan hanya bagi Yesus Kristus, yang telah menyelamatkan saya melalui kematian-Nya dan telah bangkit mengalahkan maut di mana tempat saya seharusnya berada, segala pujian hanya bagi Dia yang memperlengkapi saya dan membuat saya semakin mengenal-Nya melalui MMC, sehingga hati saya semakin mengasihi-Nya. Soli Deo Gloria! *Penulis adalah salah satu peserta MMC XVI /stl
- Petualangan bersama Tuhan belum Selesai
Shalom! Perkenalkan, saya Livia Difyanty, biasa dipanggil Livia, dokter umum lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Solo angkatan 2016. Saya lahir dan besar di kota Bandung. Saat ini akan menjalani masa internship di RS Aisyiyah, Muntilan, periode Mei 2023-2024. Setelah saya lulus UKMPPD di akhir tahun 2022, saya bertanya kepada Tuhan: “Apa yang akan saya lakukan selama menunggu masa internship yang baru akan saya ikuti di bulan Mei 2023?”, sampai pertanyaan “Tuhan memanggil aku untuk jadi dokter yang seperti apa ya?” Tuhan menjawab saya melalui ajakan seorang kakak (alumni MMC) untuk mengikuti MMC di awal tahun 2023. Jawaban yang sungguh tepat dari Tuhan untuk semua pertanyaan di kepala saya saat itu. Melalui kegiatan MMC, saya rindu untuk mengetahui apa yang menjadi panggilan Allah bagi saya secara khusus. Saya juga ingin mengetahui apa yang menjadi isi hati Allah di muka bumi ini. Sepanjang mengikuti MMC dari awal hingga akhir, Tuhan seperti sedang berbicara kepada saya secara pribadi. Jika harus memilih 1 sesi yang paling berkesan, maka saya akan memilih sesi Alone with God. Titik yang sangat mengubahkan hidup saya, ketika saya di minggu pertama melakukan simulasi Alone with God. Sekian lama saya tidak menyadari kekeringan di dalam diri saya. Tuhan bukakan keadaan saya yang sangat kering dan betapa saya sangat memerlukan Dia. Sekian lama saya seperti sedang berlari tanpa arah dan tujuan di suatu padang gurun, tetapi di momen itu, Tuhan menarik saya untuk duduk diam, tersungkur di hadapan-Nya, dan menikmati Dia. Saya hanya bisa menangis dan tertunduk lemas di hadapan-Nya, menyadari betapa hancur dan berdosanya saya sebagai anak yang dikasihi-Nya. Betapa haus dan keringnya saya, yang sangat membutuhkan jamahan dan air hidup-Nya. Saya sangat bersyukur kepada-Nya karena Dia mengingatkan saya akan kasih mula-mula yang seharusnya saya miliki untuk-Nya, yang terlebih dahulu mengasihi saya. Tuhan membukakan banyak pandangan baru yang belum saya lihat sebelumnya. Cara saya memandang visi Allah secara global menjadi sangat berubah. Sekarang saya mengetahui kalau Allah sangat rindu melihat semua suku bangsa menyembah-Nya. Apakah saya mau menjadi anak-Nya yang punya kerinduan yang sama dan taat membagikan Injil-Nya? Tuhan pun perlahan memberikan kepekaan kepada saya akan panggilan yang sedang Tuhan kerjakan dalam diri saya. Tidak hanya itu, selama MMC, Tuhan seperti sedang “menghancurkan” bejana hati saya untuk Tuhan bentuk menjadi yang baru. Tuhan memulihkan relasi saya dengan-Nya dan juga sesama, serta membentuk karakter saya untuk menjadi pribadi yang semakin serupa dengan-Nya. Setelah MMC ini, banyak PR yang harus saya selesaikan. Mengalami pemulihan dari Tuhan di dalam diri saya telah mendorong saya untuk berkomitmen untuk terus bergumul bersama-Nya. Menggumulkan tujuan Allah dalam hidup saya secara khusus, mengetahui panggilan-Nya dalam hidup saya, dan bagaimana saya belajar taat langkah demi langkah menjadi sesuatu yang akan terus saya pergumulkan. Dan yang ada di depan mata saya sekarang adalah masa internship. Kiranya saya dapat menyaksikan Kristus melalui keseluruhan hidup saya selama masa ini. Akhir kata, MMC ini adalah salah satu bentuk ketaatan saya pada Tuhan untuk memenuhi panggilan-Nya. Panggilan-Nya untuk membentuk saya semakin serupa gambar-Nya dan memproses saya untuk melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya. Petualangan bersama dengan Tuhan belum selesai, masih ada banyak langkah yang harus dijalani, memenuhi visi yang Tuhan berikan dalam hidup saya, dan terus menghidupi apa yang Roma 12:1 katakan. Kemuliaan hanya bagi Allah! Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke manapun engkau pergi." (Yosua 1:9) *Penulis adalah salah satu peserta MMC XVI /stl
- Hanya Sekedar Kata-kata Tak Berarti
Tiada hari dilalui tanpa kata-kata. Berbicara merupakan aktivitas paling umum dari manusia. Seseorang bisa mengucapkan ribuan kata per hari terlepas dari kepribadiannya yang mungkin pendiam. Berbagai konteks komunikasi dijalani setiap hari seperti obrolan bertukar sapa antar tetangga, memesan makanan di restoran, bercanda dengan kawan, deep talk dengan pasangan, konsultasi antara dokter dan pasien, mendiskusikan kasus bersama sejawat, bahkan membicarakan calon presiden selanjutnya. Setiap perkataan yang kita ucapkan dapat membangun, tapi tidak sedikit juga yang tidak bermakna dan akhirnya malah menyakiti. Bahkan mungkin, kita sendiri pernah dilukai melalui perkataan seseorang. Kesimpulan yang umum ketika hal yang menyakitkan terjadi lewat sebuah pembicaraan adalah nada dan cara berbicara yang perlu diperbaiki. Tapi, apakah dengan mempelajari teknik komunikasi yang tepat dapat memastikan tidak ada orang yang tersakiti lewat perkataan kita? Artikel ini ingin mengajak setiap kita yang membaca untuk merenungkan kembali fondasi dan tujuan dari setiap perkataan kita. Hal yang menganggumkan adalah fakta bahwa kata-kata yang pertama kali didengar Adam dan Hawa adalah perkataan yang diucapkan Allah sendiri. Allah yang mencipta menggunakan bahasa yang dapat dipahami ciptaan-Nya untuk menyatakan diri-Nya, rencana-Nya, dan tujuan-Nya. Adam dan Hawa pun diizinkan berespon kepada Allah menggunakan kata-kata yang sama. Alkitab menyatakan kepada kita betapa indahnya komunikasi antara Allah dan manusia yang menggambarkan relasi Pencipta dan ciptaan yang begitu dekat. Hal ini menyadarkan kita bahwa setiap perkataan yang diucapkan manusia sejatinya adalah milik Allah karena Dia-lah yang mengizinkan kita berbicara. Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap kata yang kita ucapkan memenuhi standar Allah dan sesuai dengan kehendak-Nya. Sayangnya, keindahan relasi komunikasi di atas telah berlalu sejak Adam dan Hawa melanggar perkataan Allah dan memilih mendengar pembicara lain yang memutar-balikkan kebenaran. Iblis menawarkan kebohongan yaitu penafsiran yang salah terhadap perkataan Allah yang akhirnya membuat Adam dan Hawa melawan Allah. Kita semua tahu apa yang terjadi setelahnya (lih. Kejadian 3). Melalui perkataan yang seharusnya menyatakan kasih, Adam dan Hawa akhirnya saling menuduh dan menyalahkan. Mereka bahkan berani menyalahkan Allah atas apa yang terjadi. Disini kita mengerti bahwa bila perkataan yang diucapkan tidak berdasarkan kebenaran dari Allah dan tafsiran yang tepat atas perkataan-Nya, maka pilihan lainnya hanyalah kebohongan dari Iblis. Saat ini kita tinggal di dalam dunia yang telah jatuh dalam dosa. Perkataan manusia kini penuh dengan kecaman, tuduhan, kebencian, ketidaksabaran, kebohongan, kutukan, dlsb. Ah, saya tidak seperti itu! Benarkah? Kita mungkin tidak menggunakan perkataan yang kasar atau berisi kutukan. Tapi, berapa dari kita yang pernah menggunakan kata-kata untuk menekan, menyinggung ataupun menyakiti lawan bicara kita sebagai bentuk pembelaan diri? Yakobus 3:9-10, Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi. Kita perlu mengakui dengan rendah hati bahwa setiap perkataan kita nyatanya berakar bukan hanya pada Firman Tuhan, tetapi juga perkataan iblis. Dengan mengakui ini kita menerima fakta bahwa masalah utama komunikasi kita bukanlah pada teknik komunikasi, melainkan sikap hati dibaliknya. Mementingkan kepentingan diri sendiri membuat tafsiran kita terhadap perkataan Allah seringkali jauh melenceng dan berakhir dengan mengatakan apa yang bukan merupakan kehendak-Nya. Kita perlu berbicara dengan kesadaran bahwa Allah telah memberikan signifikasi pada kata-kata kita. Kita berbicara sebagai duta Allah. Seorang duta Allah berbicara berdasarkan pemahaman yang jelas tentang Firman Allah. Duta Allah berbicara hanya dengan cara Allah. Tujuan Allah tidak dapat dicapai dengan perkataan penuh ancaman, rasa bersalah, ataupun amarah yang mementingkan diri sendiri karena itu bukanlah karakter Allah. Harapan satu-satunya agar kita dapat berkata-kata seperti apa yang dikehendaki Allah adalah dengan menyerahkan hati kita untuk ditaklukkan oleh Kristus yang memampukan kita hari demi hari untuk mematikan keinginan mementingkan diri sendiri dan hidup berkenan di hadapan Allah. Mari kita setiap hari meminta pertolongan Allah untuk memampukan kita mengasihi Allah dan sesama melalui kebijaksanaan kita dalam berkata-kata terhadap siapapun orang yang kita temui. Bukan hanya apa yang kita katakan, tetapi apa yang kita putuskan untuk tidak dikatakan. Kiranya setiap perkataan kita tidak lagi berpusat pada diri sendiri, melainkan seluruhnya berpusat pada Kristus untuk menyatakan kasih dan rencana-Nya. * Penulis bekerja di NGO bidang HIV di Jabodetabek /stl Sumber: Perang dengan kata-kata: Mengenali Inti Pergumulan dalam Komunikasi Anda. Paul David Tripp. Penerbit: Momentum Christian Literature. Ligonier. The Heart of Words. Burk Parsons. https://www.ligonier.org/posts/heart-words
- Hati-hati di Jalan
Sungguh panjang perjalanan menjadi seorang dokter. Pendidikan yang ditempuh selama minimal lima tahun, belum lagi jika ingin sekolah lanjut, apalagi mengambil pendidikan spesialis tertentu. Sebuah perjalanan yang panjang dan tidak mudah. Seumpama perjalanan di padang gurun. Perjalanan di padang gurun tidaklah mudah. Ada masa dimana terus-menerus merasa haus dan kehilangan kesabaran. Ada masa dimana emosi dibawa ke sisi yang berbeda ketika malam mulai datang. Semua perjalanan ini adalah sebuah proses. Tuhan membebaskan bangsa Israel dari Mesir dengan ajaib. Namun, ini tidaklah cukup bagi bangsa Israel untuk percaya terhadap perlindungan dan penyertaan Tuhan. Dalam tiga hari perjalanan ke Tanah Perjanjian, bangsa Israel mengeluh kepada Musa karena air di Mara terasa pahit dan tidak dapat diminum (Keluaran 15:22-24). Mulai dari saat itu, orang Israel mengeluh dan tidak patuh kepada Musa. Maka dari itu, perjalanan ke Tanah Perjanjian yang seharusnya 40 hari menjadi 40 tahun. Hal yang sama, Tuhan juga mengizinkan kita untuk diterima di fakultas kedokteran. Namun dalam perjalanan, seringkali kita merasa putus asa, tidak mampu, bahkan frustasi dan marah kepada Tuhan ketika mendapati kesulitan didalamnya. Padang gurun bukanlah tujuan akhir bangsa Israel, tetapi sebuah transisi dan pemurnian iman. Begitu juga dengan perjalanan kita sebagai dokter atau tenaga medis. Jalan Terus Ketika kita sudah berhasil menjadi seorang dokter, kita merasa perjalanan kita selesai. Bekerja melayani pasien dari satu tempat ke tempat lain. Sesungguhnya, perjalanan kita belum usai, tetapi yang kita kerap lakukan adalah berhenti dan membangun tenda. Mungkin karena nyaman, merasa tidak punya kesempatan, atau kebingungan? Atau perjalanan di “padang gurun” ini terasa begitu melelahkan sehingga kita tidak sanggup untuk melangkah? Ingat, padang gurun ini bukan tujuan akhir kita. Untuk menyelesaikan perjalanan iman dengan baik, kita perlu tahu kapan harus berhenti, beristirahat, dan pulih. Datanglah kepada Tuhan, belajarlah untuk mengalihkan fokus kepada-Nya dan arahkan telinga kepada apa yang Dia perintahkan untuk kita lakukan. Terkadang Tuhan berbicara kepada kita bukan dengan cara yang dramatis, malah sangat sederhana - dengan suara yang halus dan bisikan yang lembut. Untuk mendengar bisikan, kita perlu mendekat ke sumbernya. Datanglah kepada-Nya dan bertanya apa yang bisa aku perbuat lagi? Aku harus kemana lagi? Pernah Terjebak Mungkin kita bukannya bermaksud mau berhenti dan bangun tenda saja. Namun, kita pernah mencoba melangkah dan tidak berhasil. Coba mendaftar sekolah lanjut, tapi gagal. Coba melamar ke pekerjaan lain, tetapi tidak ada kesempatan atau panggilan kerja. Kita jadi terjebak dalam situasi yang nampak datar, di tempat yang tampak biasa-biasa saja dan tanpa tujuan, begini-begini saja, yang kemudian dapat menjadi zona nyaman kita. Jika kita berada di situasi itu, tetap setia, jangan putus asa, arahkahlah pandangan dan terbukalah kepada kesempatan yang lain. Tuhan tidak pernah menetapkan sesuatu yang sia-sia untuk hidup kita. Tuhan juga tidak menyerah terhadap diri kita. Selama melalui masa-masa sulit, kita perlu belajar untuk menundukkan kepala, kuatkanlah hati dan lakukan bagian kita dengan sungguh-sungguh. Pertemuan Musa dengan Tuhan melalui semak duri menjadi penentuan hidup Musa setelah menghabiskan 40 tahun dalam hidupnya menjadi seorang gembala di padang gurun Midian. Tuhan memberikan Musa satu tujuan dan Musa berani melangkah. Ijinkanlah waktu di “padang gurun” ini menjadi tempat pertemuan secara pribadi dengan Tuhan dan menilik kembali apa yang Tuhan mau kita kerjakan. Kenali karakter-Nya Dalam perjalanan kehidupan kita yang mungkin nampak seperti melewati padang gurun, Tuhan mengijinkan cobaan datang untuk melihat apakah kita bisa percaya kepada karakter Tuhan yang tidak akan pernah berubah. Kita bisa mengenal karakter Tuhan melalui Firman-Nya. Disaat kita mengenal Dia secara pribadi, kita bisa percaya kepada Dia dengan sepenuhnya. Tidak sampai disitu, iblis menyerah tanpa henti. Iblis membawa dan menantang Yesus untuk membuktikan identitas-Nya sebagai Anak Allah. Yesus yakin sepenuhnya dengan identitas-Nya sebagai Anak Allah. Dia tidak perlu membuktikannya dan Dia percaya sepenuhnya terhadap apa yang Allah telah katakan. Meragukan identitas kita adalah cara iblis untuk membuat kita berkelana tanpa tujuan bahkan sengsara di padang gurun dan mencegah kita untuk menikmati janji Allah. Rasa tidak aman akan datang ketika kita mulai meragukan siapa diri kita sehingga kita merasa perlu membuktikan identitas diri. Kita mulai takut atas apa yang orang pikirkan terhadap kita. Temukan identitas di dalam Dia Kita semua bercela dan rusak. Mengapa harus bergantung pada penerimaan orang lain yg sama rusaknya dengan kita? Berhenti menjadi pribadi yang dibentuk orang lain, berubah lah menjadi pribadi yg dirancang Tuhan atas kita. Hidup kita tidak ditentukan oleh apa yang dilakukan atau dikerjakan, tidak juga oleh gelar dan pencapaian. Kita bebas menerima kasih Tuhan, terlepas dari apapun latar kita. Tuhan menerima kita bukan karena apa yang sudah kita perbuat. Kepercayaan diri kita berada dalam sebuah kebenaran bahwa kita adalah anak Allah. Itulah yang memberikan identitas kita. Saudara mungkin sedang dalam perjalanan yang terasa seperti di padang gurun. Bagi Anda yang baru lulus atau di tahun-tahun awal lulus dari pendidikan dokter atau dokter gigi, perjalanan ke depan sering tampak buram, tiada ujung, dan membuat Anda bingung. Namun yakinlah bahwa Tuhan mungkin mengizinkan kita melaluinya untuk melatih kita. Seringkali kita punya masa-masa putus asa dan ketakutan. Kemudian kita cenderung memilih untuk menghindari, lari, atau menyerah. Takut penolakan, takut kegagalan. Tapi, bagaimana jika perjalanan melewati padang gurun itu adalah anugerah terselubung? Bagaimana jika ketika kita menerobos padang gurun itu dan terus berjuang adalah jalan untuk menemukan tanah perjanjian? Alih-alih melarikan diri atau menyerah, berlarilah ke arah-Nya dan Tuhan akan memeluk kita. Genggamlah Tuhan, jangan lepaskan, sampai kita dituntun karena Tuhan memberikan diri-Nya bagi kita. Gurun dunia tak lagi menakutkan Kristus t’lah menang atas pencobaan Anugerah dib’ri berjalan dengan iman Sampai tiba di Tanah Perjanjian (Sepenggal lagu: Dipanggil untuk kemuliaan-Nya, KNM Perkantas 2013) *Penulis bekerja dalam bidang manajemen di salah satu grup rumah sakit swasta /stl
















