top of page
Subscribe
Instagram
Facebook
Donation

119 results found with an empty search

  • Nutrisi bagi Jiwa

    “You are what you eat”, Anda tentu sering mendengar perkataan ini atau bahkan mungkin kerap mengatakannya saat mengedukasi pasien. Secara sederhana, kalimat tersebut mengandung pesan untuk bijak memilih dan memilah makanan yang Anda konsumsi karena nutrisi adalah salah satu faktor penting penentu kondisi tubuh kita. Sebagai tenaga kesehatan, kita tahu bagaimana mengatur pola makan yang sehat dan bergizi seimbang, bahwa kita harus membatasi asupan ultra-processed foods untuk mendapatkan tubuh yang tetap sehat. Namun, bagaimana dengan jiwa kita? Sudahkah kita memperhatikan asupan nutrisi bagi jiwa kita? Intake seperti apa yang kita berikan bagi jiwa kita – penuh nutrisi, lebih banyak junk food, atau justru kita sedang membiarkan jiwa kita kelaparan? Layaknya makanan secara fisik, ada makanan sehat dan makanan ”cepat saji” yang tersedia bagi jiwa kita. Makanan cepat saji menawarkan rasa puas dan memberikan energi sesaat, tetapi dapat merugikan bila dikonsumsi terus menerus. Dunia di sekitar kita penuh dengan hal ini dan kita dapat mengaksesnya dengan mudah, bahkan dalam genggaman tangan. Mari mengevaluasi diri, saat kita membuka ponsel, apa yang biasanya kita baca, dengar, atau tonton? Apakah kita kerap melarikan diri dari kesibukan, kebosanan, rasa penat dengan scrolling media sosial tanpa henti atau melihat video/film/konten hiburan sampai lupa waktu? Tentu bukan berarti konten-konten tersebut salah dan tak boleh sama sekali dinikmati. Namun, hal-hal tersebut kerap kali hanya memenuhi pikiran dan jiwa kita dengan janji dan pengharapan palsu. Saat melihat kehidupan orang lain atau selebriti yang begitu sukses dan penuh pencapaian, kita mungkin saja berpikir bahwa kesuksesan dan pencapaianlah yang membuat hidup seseorang jadi lebih berarti dan bahagia. Dan jika kita mengisi pikiran kita dengan hal tersebut terus menerus, pada akhirnya kita akan berakhir dengan kekosongan dan hati yang semakin hampa. Tak hanya itu, terlalu banyak mengonsumsi junk food bagi jiwa juga akan perlahan-lahan mengurangi hasrat untuk menikmati makanan sejati yang sebenarnya diperlukan jiwa kita. Makanan bernutrisi bagi jiwa Dalam Alkitab tertulis, ”Manusia hidup bukan dari roti saja, melainkan dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Matius 4:4, Ulangan 8:3). Jiwa kita diciptakan sedemikian rupa untuk bertumbuh dan disegarkan oleh janji-janji Allah sendiri. Dan di dalam Yesus Kristus, Sang Firman yang menjadi daging (Yohanes 1:1), semua janji Allah tersebut digenapi (2 Korintus 1:20). Kebenaran inilah yang menjadi makanan bernutrisi bagi jiwa kita, menjadi antidotum melawan paham-paham dunia yang merasuki pikiran kita. Di dalam Kristus, kita menemukan identitas diri, siapa kita di hadapan Allah – pendosa yang telah ditebus oleh darah Kristus sendiri, diselamatkan dari murka Allah (Roma 5:9) untuk masuk ke dalam anugerah-Nya. Kristuslah kebenaran kita dan harta yang paling berharga, bukan materi, karier, gelar, pencapaian, seperti yang dipertontonkan dunia ini. Di dalam Kristus, ada pengharapan sejati dan sukacita penuh yang ditawarkan bagi kita (Yohanes 15:11). Segala kebenaran yang indah ini dapat kita temukan di dalam Alkitab. Diet starts now Kita mungkin sering berkelit ”Diet mulai besok” saat memulai komitmen untuk makan lebih sehat. Namun untuk jiwa kita, diet sehat harus dimulai saat ini juga. Jika Anda merasa hambar saat membaca firman Tuhan, tak ada hasrat untuk bernyanyi lagu-lagu Kristiani yang baik, atau khotbah hari Minggu berlalu begitu saja, akuilah di hadapan Tuhan dan mintalah pertolongan Roh Kudus untuk membangkitkan hasrat jiwa Anda akan Dia. Kemudian, ambillah langkah konkrit dengan mulai rutin kembali membaca Alkitab, bacalah buku-buku rohani yang baik, dan dengarkan lagu-lagu himne Kristen. Bersabarlah dalam prosesnya dan jangan berhenti meski terasa lambat atau sulit. Dia adalah Allah yang bersedia untuk ditemui dan setia pada janji-Nya. Dalam anugerah-Nya, Dia sendiri yang akan menolong kita untuk pada akhirnya dapat mengecap dan melihat kebaikan serta kesetiaan-Nya (Mazmur 34:8). *Penulis adalah seorang ibu rumah tangga penuh waktu /stl

  • Kasih yang Terlupakan

    Sedang bingung menentukan pilihan hidup selepas lulus kuliah? Anda tak sendiri! Ketika kita sudah menyelesaikan masa studi, kita diperhadapkan dengan berbagai pilihan. Kita bisa memilih: apakah melanjutkan studi, menjadi peneliti, bekerja di kota atau pedalaman, bekerja di bagian fungsional atau struktural, dan pilihan lainnya. Keputusan yang kita ambil itu, dipengaruhi harapan dari keluarga, kondisi ekonomi, pasangan hidup, atau situasi lainnya yang tentu akan berbeda antara satu orang dengan yang lain. Kalau ditanya oleh teman atau keluarga tentang apa langkah selanjutnya yang akan diambil, mungkin kita familiar dengan jawaban, “sedang menggumulkan”. Pertanyaannya, ke manakah kecenderungan hati kita, saat bergumul mengenai pilihan hidup kita? Apakah kepada pilihan yang lebih menguntungkan karir kita, zona nyaman kita, atau kepada ketaatan kita untuk menjalankan kehendak Allah dalam hidup kita, karena kita mengasihi Dia dan umat-Nya? Ketika memasuki dunia pekerjaan, kita diperhadapkan dengan berbagai pandangan dunia melalui orang-orang di sekitar kita. Tak dimungkiri, lingkungan kerja dan rutinitas dapat mempengaruhi cara pandang kita juga, termasuk cara pandang terhadap pekerjaan kita. Kita bisa terjebak melihat pekerjaan atau yang kita lakukan saat ini sebagai batu loncatan untuk mencapai ambisi pribadi kita, sehingga jatuh ke dalam kompromi untuk mencapai tujuan pribadi. Di sisi lain, kita akan menjumpai tantangan dalam pilihan yang sedang kita jalani, seperti kendala dalam studi, tempat praktik yang tidak ideal, merasa mengerjakan hal yang tidak sesuai dengan passion, berbenturan dengan rekan kerja atau regulasi di tempat kita bekerja, situasi yang berlawanan dengan hati nurani, berkurangnya waktu untuk beribadah, dan tantangan lainnya. Kesulitan yang kita hadapi membuat kita berpikir apakah langkah yang kita ambil adalah benar atau sebuah kesalahan, sehingga kita tergoda untuk berhenti berjuang. Kita menjadi lupa akan peran kita sebagai saksi Allah untuk menyatakan kasih-Nya di tengah dunia ini. Mungkinkah tantangan tersebut merupakan cara Allah untuk menguji kembali motivasi kita, dalam mengambil pilihan dalam hidup dan bagaimana kita menjalaninya? Apakah rutinitas, kesibukan, dan ambisi mengalahkan kasih kita kepada Allah dan sesama kita? Padahal. kasih kepada Allah dan sesama merupakan hukum yang terutama yang Tuhan Yesus ajarkan (Matius 22:34-40). Yesus sendiri telah memberikan teladan bagaimana ditengah kesibukan-Nya mengajar di berbagai tempat, Ia mau melihat dan hati-Nya tergerak oleh belas kasihan untuk menolong orang-orang yang terlantar, orang-orang buta, orang sakit kusta, dan janda. Namun, lebih daripada itu, karena ketaatan-Nya terhadap kehendak Bapa dan kasih kepada manusia, Ia memberikan diri-Nya untuk menebus kita dengan mati di atas kayu salib. Bagaimana dengan kita? Apakah kita juga mau taat kepada kehendak Allah, melihat apa yang menjadi kebutuhan sekitar kita, dan tergerak oleh belas kasih untuk menolong? Apakah pilihan-pilihan yang kita ambil dalam hidup yang singkat ini telah digerakkan oleh kasih ataukah oleh ambisi pribadi kita? Kiranya kasih yang sudah kita terima dari Allah, terus menggerakan kita untuk semakin mengasihi Dia dan yang dikasihi-Nya. *Penulis saat ini bekerja di sebuah rumah sakit swasta di Bandung /stl

  • Pahlawan di Tengah Kerapuhan: Eksposisi Ester bagian 1

    Kemewahan yang berakhir pahit Kitab Ester diawali dengan pertunjukkan kemewahan yang sangat luar biasa. Ahasyweros, raja Persia ke-lima, menguasai 127 daerah dari India hingga Etiopia. Setelah tiga tahun berkuasa, ia memamerkan semarak kemuliaan dan kebesaran kerajaannya berhari-hari hingga enam bulan lamanya. Raja Ahasyweros melanjutkan dengan tujuh hari perjamuan secara khusus untuk seluruh rakyatnya di puri Susan. Pesta taman itu didekor dengan tirai kain-kain halus terbaik berwarna putih, biru, ungu di tiang-tiang marmer putih. Tempat tidur dari emas dan perak ditempatkan di atas lantai pualam dan marmer putih, dengan mutiara dan batu-batu permata. Piala emas beraneka bentuk dan warna digunakan untuk menyajikan anggur yang berlimpah-limpah, semua orang bisa minum anggur dengan bebas. Masih dalam pengaruh anggur, raja meminta ratu Wasti untuk mengenakan mahkota kebesaran dan memamerkan kecantikannya kepada seluruh rakyat di puri Susan. Namun, Ratu Wasti menolak. Pesta pora yang berlimpah itu harus berakhir menyakitkan dengan perintah ratu Wasti dibuang. Sebuah tragedi pahit di ujung festival perayaan yang besar. Ester menjadi Ratu Persia Ester, nama aslinya Hadasa, salah satu orang buangan keturunan Yahudi kehilangan kedua orang tuanya ketika ia masih kecil. Ia diadopsi, diangkat menjadi anak dan dipelihara oleh sepupunya sendiri, Mordekhai. Mordekhai dan Ester lahir di tanah Persia, mereka adalah keturunan orang-orang Yahudi yang dibuang ke Babel di zaman raja Nebukadnezar. Siapa sangka, Ester, seorang yatim piatu yang dibesarkan oleh sepupunya sendiri ini di kemudian hari terpilih menjadi ratu Persia menggantikan Wasti. Siapa sangka Ester juga menjadi pahlawan penyelamat bagi orang Yahudi pada masa itu. Ester terpilih diantara banyak gadis tercantik dan terbaik dalam seleksi ratu Persia. Kecantikan dan karakter, inilah yang dimiliki Ester. Tangan kasih karunia Tuhan menghantarkannya masuk ke dalam istana raja Persia. Situasi Politik Bisa Cepat Berubah Haman orang Agag merupakan orang kedua setelah raja dalam kerajaan Persia, ia diberikan posisi paling tinggi diantara semua pembesar raja (Ester 3:1). Haman ingin memusnahkan seluruh orang Yahudi karena Mordekhai, orang Yahudi, satu-satunya yang tidak berlutut menyembah ketika ia melewatinya. Bukan hanya ingin memusnahkan, ia juga ingin merampas harta benda semua orang Yahudi di seluruh Kerajaan Persia. Raja mengabulkan permintaan Haman bahkan memberikan cincin materai kerajaan, yang keputusannya tidak bisa ditarik oleh siapapun termasuk raja sendiri. Namun, kondisi politik bisa cepat terbalik. Posisi Haman kemudian menjadi orang yang dieksekusi dengan hukuman gantung karena arogansi dan kesalahannya. Ester menang dengan menggunakan seni politik yang cantik. Bangsa Israel, bangsa buangan yang sangat rapuh, tidak punya kekuatan, namun bisa menjadi kuat dan mengalahkan musuh-musuhnya melalui kepahlawanan seorang wanita: Ester. Cerita penyelamatan Ester ini dirayakan oleh seluruh kaum Yahudi di seluruh dunia sampai hari ini dalam hari raya sukacita “Purim”. Rabi Meir Soloveichik menuliskan di New York Times bahwa perayaan Purim menandakan betapa rapuhnya keamanan orang-orang Yahudi, tetapi juga menggambarkan hadirnya kepahlawanan ditengah kerapuhan. “For such time like this” Seringkali, “For such time like this..” (Ester 4:14, NIV), dibutuhkan orang-orang yang bersedia keluar dari zona nyaman dan aman dirinya untuk berkorban bagi orang lain, seperti Ester. Jika dipikir, kemewahan kerajaan Persia yang dinikmatinya sebagai ratu bisa menjadi alasan yang cukup untuk mengambil posisi aman. Identitasnya tidak dikenal sebagai orang Yahudi. Sangat besar kemungkinan Ester lolos dari maut. Dalam kondisi bangsanya yang sangat terjepit, antara hidup dan mati, Ester meminta kepada Mordekhai agar semua orang Yahudi di Susan berkumpul dan berpuasa untuknya (tidak makan dan minum selama tiga hari). Ester tidak egois. Dia tetap ingat identitasnya, jati dirinya, dan bangsanya. Dia bertekad untuk maju menyelesaikan keadaan krisis itu: ”If I perish, I perish” (”Kalau terpaksa aku mati, biarlah aku mati” (Ester 4:16)). Kitab Ester mengingatkan kita tentang pentingnya doa dan puasa khususnya dalam situasi-situasi dan keputusan yang sulit. Bisa saja kondisi seperti ini juga kita alami. Ketika kondisi terancam, keadaan yang sangat sulit, keterpurukan yang belum pernah kita alami sebelumnya, bahkan dalam kondisi antara hidup dan mati. Doa menjadi bagian yang sangat penting diiringi dengan perencanaan yang matang dan eksekusi yang hati-hati. Saya teringat satu beberapa bulan yang lalu ada kabar seorang adik KTB, seorang dokter yang sedang bertugas di sebuah rumah sakit, sedang kritis karena terserang virus tertentu. Dari jarak jauh lewat telpon kami membuat sebuah persekutuan doa kecil dengan teman-temannya beberapa hari selama masa kritisnya. Saya ingat kadang saya berdoa sambil menggendong keponakan saya yang berusia enam bulan yang dititip di rumah kami. Sambil berharap suatu waktu saya bisa bertemu kembali dengan adik yang sedang kritis ini. Tuhan menjawab doa kami, adik ini berangsur pulih. Pengorbanan Ester mengingatkan kita pada gambaran Karya Keselamatan dalam Kristus yang datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia berdosa dari hukuman kematian kekal. Penghakiman kekal itu akan dihadapi oleh seluruh umat manusia, tidak ada yang terluput. Kemenangan Kristus atas maut ini kita rayakan dengan sukacita. Namun, tidak ada satupun kemewahan perjamuan manusia yang bisa menggambarkan sukacita dalam diri kita akan Karya Keselamatan melalui pengorbanan Kristus di Kayu Salib. Satu perjamuan yang diajarkan Kristus untuk mengenang Karya Penebusan-Nya adalah perjamuan sangat sederhana, roti dan anggur, melalui Perjamuan Kudus. Dari Kitab Ester, ada beberapa pelajaran penting yang dapat kita petik: Tetap memberikan yang terbaik di tengah kerapuhan dan keterbatasan Menggunakan setiap kesempatan yang terbuka di depan kita dengan sebaik mungkin Berdoa dan puasa untuk mencari pimpinan Tuhan Membuat perencanaan dan eksekusi yang matang dan hati-hati Terbuka terhadap pimpinan Tuhan meskipun hal itu berarti kita harus keluar dari zona aman dan nyaman kita Bersedia mengambil resiko untuk kebenaran Bersedia berkorban demi kepentingan orang lain Tetaplah sederhana. Kiranya di tahun yang baru ini, tahun politik 2023, kita bisa mengingat hal penting dari kitab Ester: meskipun kita rapuh, bersama Tuhan masih ada kesempatan bagi kita untuk berkemenangan. Amin. /stl Referensi: NIV Life Application Study Bible; Zondervan: Grand Rapids Michigan, 1997 Bechtel, C. M.; Bechtel, C. M. Esther; Interpretation, a Bible Commentary for Teaching and Preaching; Westminster John Knox Press: Louisville, Ky., 2002. https://www.nytimes.com/2020/03/08/opinion/queen-esther-purim.html

  • Bertahan, Jangan Kasih Kendor!

    Tahun 2022, bukan menjadi tahun yang mudah untuk di jalani. Tantangan bahkan kesulitan selalu ada dan setiap hari kita selalu berjuang untuk bertahan. Mungkin kita mengharapkan lebih sedikit kesulitan dan air mata di tahun yang baru. Namun, tidak ada jaminan juga tahun 2023 akan menjadi tahun yang lebih mudah. Kondisi dan situasi seringkali tidak menentu. Pandemi masih belum dituntas, sudah muncul isu resesi yang menambah kegelisahan hati. Entah dimana fase kita berada saat ini, namun kita masih bisa selalu berpegang pada satu pengharapan yang pasti. Alkitab pun diisi dengan kisah orang-orang yang mengalami rasa sakit, penderitaan, kesulitan, bahkan kehilangan yang luar biasa. Mereka tetap bertahan karena mengetahui bahwa Allah selalu memegang janji-Nya. Ibrani 11 telah memberikan kita rekam jejak para saksi iman yang mendorong kita untuk bertahan bahkan maju bukan untuk berhenti atau menyerah. Kita perlu bertahan dalam iman kepada Yesus Kristus, bahwa sekalipun ada rasa sakit, kesedihan, kekecewaan, Tuhan dapat mengubahkan menjadi suatu kebaikan. Sekarang pertanyaannya, bagaimana agar bisa bertahan? Belajar dari Abraham: Ketaatan Tanpa Kompromi Kita dapat belajar sperti Abraham yang taat ketika Tuhan memintanya untuk pergi tanpa ia tahu tujuannya. Tidak sampai disitu, Abraham juga memilih untuk percaya ketika Tuhan berjanji akan memberikan banyak keturunan walau sudah menua. Bayangkan apa yang Abraham pikirkan ketika suatu hari Tuhan memintanya untuk mempersembahkan putra yang telah dia nantikan selama bertahun-tahun sebagai korban. Namun, Abraham tetap taat bahkan percaya bahwa Tuhan akan menyediakan seekor anak domba pengganti. Terkadang, kita cenderung memilih untuk meratapi dan mengasihani diri ketika menghadapi sebuah kondisi. Tak jarang pula kita ragu-ragu dan takut melangkah. Kita memerlukan iman yang beresiko seperti Abraham. Iman sekalipun tidak ada dasar atau bukti kasat mata dari kisah sebelumnya tentang kebangkitan orang mati. Abraham tetap taat dan bersiap untuk menyembelih Ishak. Pada akhirnya Tuhan memang menyelamatkan Ishak dan menyediakan anak domba sebagai gantinya. Tuhan menginginkan ketaatan penuh Abraham. Iman Abraham adalah iman yang tidak menyerah, berani mengambil tindakan, dan bergerak maju. Iman karena sungguh-sungguh percaya kepada janji Tuhan. Iman yang membuahkan ketaatan tanpa kompromi. Belajar dari Yusuf: Tidak Berhenti Percaya Yusuf merupakan anak kesayangan Yakub dan anak satu-satunya yang diberikan jubah indah. Namun kemudian, berturut-turut Yusuf mengalami kepahitan dan kekecewaan oleh orang disekelilingnya. Dia di jual, menjadi budak di Mesir, difitnah, dikhianati, bahkan dipenjara. Tetapi, tidak peduli apa yang dia alami, Yusuf tidak pernah berhenti mempercayai Tuhan dan Tuhan tidak pernah berhenti menunjukkan kebaikan dan cinta kepadanya. Yusuf pun mendapat promosi jabatan di Mesir dan pada akhirnya, dia menyelamatkan ribuan orang dari kelaparan selama tujuh tahun, termasuk saudara-saudaranya. Setiap pengalaman menyakitkan dari masa lalu Yusuf, mempersiapkan dia untuk tujuan masa depan yang akan berdampak pada kehidupan banyak orang. Setiap fase hidup kita ini hanyalah kepingan puzzle. Kita tidak bisa melihat gambaran utuh, kita bahkan tidak bisa tahu apa rencana Tuhan berikut. Beberapa pengalaman hidup Yusuf mungkin pernah kita alami. Dikhianati oleh seorang yang dipercaya atau mungkin kita bertanya-tanya mengapa hidup kita dipenuhi dengan kekecewaan dan kesulitan. Apa pun yang kita hadapi, Tuhan tidak pernah berhenti bekerja dalam hidup kita untuk mendatangkan kebaikan. Kita tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di depan, tetapi kita bisa berjalan selangkah demi selangkah bersama Firman Tuhan yang menjadi pelita kaki kita. Sesulit apa pun yang akan kita hadapi, Tuhan akan terus menunjukkan kebaikan dan kasih sayang saat kita terus berjalan bersama-Nya. Taat dan percaya adalah kunci untuk kita bertahan. Belajar dari Daud: Jujur Kepada Tuhan Daud menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk melarikan diri dari Saul yang berulang kali mencoba membunuhnya. Selama waktu ini, Daud meratap kepada Tuhan: dia berbicara jujur ​​tentang situasinya sambil berpegang pada harapan bahwa Tuhan akan memulihkannya. Ketika kita mulai merasa terjebak dalam situasi sulit, bersedih hati atau berduka, mulailah untuk mengakui dan mengungkapkan semua kepada Tuhan. Seperti Daud yang mengungkapkan kesedihannya, disitulah Daud menemukan kesetiaan Tuhan. Berfokus pada kesetiaan Tuhan mengingatkan Daud akan karakter Tuhan, dan mengetahui karakter Tuhan membantunya berpegang pada harapan. Tuhan yang sama yang menolong Daud, juga akan menolong kita. Pengalaman Daud menjadi seorang buronan sebenarnya melatihnya untuk menjadi pemimpin dan pejuang yang dibutuhkan Israel. Kemunduran yang dialaminya memperkuat karakternya. Itulah sebabnya, apa pun yang dihadapi, berpegang lah pada harapan ini: Yesus dapat mengubah kemunduran dan kesedihan kita menjadi kebaikan untuk kemuliaan-Nya. Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Roma 8:28 (TB) Akhir kata, tetap lah jaga perspektif kita. Jangan menyerah. Jalani selangkah demi selangkah. Buanglah mentalitas korban yang selalu menggerutu dan mengeluh. Lihatlah hal yang bisa kita syukuri, dan seperti ayat dalam FIlipi 4 “…semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” Bertahan, jangan kasih kendor! Cukuplah kasih karunia itu buat kita. Pilihannya ada pada kita, mau ditaklukan atau menaklukan kesulitan? Selamat memasuki tahun yang baru! *Penulis bekerja dalam bidang manajemen di salah satu grup rumah sakit swasta /stl

  • Maria, Hamba yang Taat: Renungan Natal

    Sepanjang paruh kedua dari tahun 2022, dunia media sosial dan siaran televisi nasional kita dibanjiri dengan berita tentang kasus kriminal yang melibatkan banyak aparat penegak hukum. Selama proses peradilan dari kasus tersebut, tampak sebuah isu yang cukup jelas, yakni tentang ketaatan kepada perintah atasan yang lahir dari ketakutan yang berlebihan terhadap sang atasan. Sepanjang sejarah umat pilihan Allah diwarnai dengan pilihan untuk taat kepada penguasa atau kepada Allah yang disembahnya. Sifra dan Pua adalah bidan-bidan yang karena takut akan Tuhan, berani melawan perintah Raja Mesir yang memerintahkan mereka untuk membunuh bayi laki-laki orang Israel (Keluaran 1:15-17). Sadrakh, Mesakh dan Abednego memilih untuk tidak taat kepada Raja Nebukadnezar walau harus masuk ke dalam perapian yang menyala-nyala (Daniel 3:16-18). Peristiwa Natal, diwarnai juga oleh sebuah keputusan besar Maria untuk taat kepada rencana Allah meskipun dibayangi krisis pertunangannya, stigma sosial, serta tuduhan perzinahan yang bisa berujung pada hukuman mati. Pertunangan, pada masa itu sudah seperti sebuah pernikahan, karena menurut hukum yang berlaku saat itu keduanya hanya dapat dipisahkan oleh kematian atau perceraian. Kenyataan bahwa kehamilan yang terjadi bukan karena hubungan dengan pasangannya, merupakan sebuah perzinahan (bdk. Imamat 20:10). Menarik sekaligus takjub merenungkan respon seorang Maria dalam peristiwa pemberitahuan tentang kelahiran Yesus di Lukas 1:26-38. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” adalah jawaban Maria setelah menyimak seluruh penjelasan malaikat Gabriel tentang skenario kehamilan dan persalinannya yang melampaui akal sehat manusia sepanjang sejarah. Kata “hamba” di sini dalam bahasa aslinya adalah “bond-servant” yang memiliki konotasi budak, dengan dedikasi tanpa syarat. Kata yang sama juga digunakan Rasul Paulus saat mendeskripsikan dirinya dalam suratnya kepada Titus (Titus 1:1). Maria hanyalah seorang gadis belia ketika ia menunjukkan ketaatan penuh kepada Allah dengan segala konsekuensinya. Alkitab tidak mencatat hal-hal spektakuler pada diri Maria. Pada kejadian-kejadian yang mengguncangnya, Alkitab hanya mencatat bahwa “Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Lukas 2:19, 51). Predikat hamba ini ditunjukkan tidak hanya di saat dia menerima privilege untuk mengandung bayi Yesus, sang Mesias dengan kegembiraan dan kebahagiaan (Lukas 1:46-55), tetapi juga ketika harus melalui drama persalinan yang sangat mungkin tidak diantisipasinya (Lukas 2:1-7) dan spektakularnya penyataan Allah melalui para malaikat-Nya (Lukas 2:8-20). Tidak ada kemarahan dan kekecewaan ketika Yesus mulai menunjukkan identitas-Nya (Lukas 2:41:52), bahkan ketika harus menyaksikan dari dekat penyaliban Yesus (Yoh. 19:25). Maria konsisten dengan predikat hamba-Nya sampai akhir, hingga menjadi saksi hidup dari kebangkitan-Nya (Lukas 24:10). Ketika kita menjalani hari-hari kita, disadari atau tidak, dalam banyak hal kita diperhadapkan dengan pilihan ketaatan. Ketika Allah menebus kita dengan darah anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus, maka status hamba Allah telah melekat pada kita, yang berarti kita harus pada ketaatan penuh kepada-Nya. Ketaatan yang tidak didasari oleh ketakutan, namun karena takjub dan hormat kepada Tuan yang menebus kita dari perhambaan terhadap dosa, bahkan sebelum kita mengenal Dia. (I Petrus 1:17-19; Roma 5:8). Ketaatan yang didasari atas keyakinan bahwa Ia mengasihi kita dan akan terus bersama-sama dengan kita karena tidak ada yang bisa memisahkan kita dari kasih-Nya (Roma 8:31-38). Selamat Natal para sahabat PMdN, kiranya peristiwa Natal boleh terus mengingatkan kita semua untuk terus hidup dalam ketaatan penuh kepada Tuhan, bahkan untuk perkara yang belum kita mengerti. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” *Penulis melayani sebagai Ketua Persekutuan Medis Nasional (PMdN) Perkantas /stl

  • Bukan Yesus yang Saya Kenal

    Judul asli: The Jesus I Never Knew Penulis: Philip Yancey Jumlah halaman: 328 halaman Penerbit: Professional Books, Jakarta Setelah bertahun-tahun membaca Alkitab atau menuturkan cerita Alkitab berulang kali kepada adik-adik maupun anak-anak kita, maka kita cenderung mempunyai gambaran familiar tentang sosok Yesus. Tapi coba bayangkan kalau kita menjadi seorang pemuda yang hidup di tengah-tengah kekacauan penjajahan dari suatu bangsa besar yang melanda negeri, dan dipimpin oleh Herodes yang kejam, lalu tiba-tiba melihat ada orang yang diduga adalah Mesias, sedang membangkitkan orang mati, menyembuhkan orang lumpuh dan buta, suka bepergian mengajar sambil diikuti oleh rombongan ke sana ke mari? Orang ini dicela oleh orang Farisi, dikritik dan diawasi oleh Makhamah Agama, kata-katanya kadang menarik namun membingungkan, akan seperti apakah perspektif kita pada saat itu? Mudah menerima? Menjadi skeptis? Atau malah menentang? Tulisan-tulisan Philip Yancey memang selalu merupakan salah satu yang terbaik dalam membahas tema-tema mengenai Karunia Keselamatan. Latar belakang penulis yang adalah juga seorang jurnalis mengajak kita untuk menyimak perjalanan layaknya seorang wartawan skeptis yang mengikuti jejak Yesus yang sedang ramai diperbincangkan oleh banyak orang di tanah Yudea. Buku ini terasa sangat hangat dan dekat. Kronologi dan konteks situasi sosial maupun sejarahnya disampaikan dengan lengkap. Buku ini juga menerangkan sudut-sudut tersembunyi mengenai mujizat-mujizat-Nya, alasan-alasan mengapa ada subjek-subjek khusus dalam perumpamaan-Nya, mengapa ada pendekatan paradoksal dalam khotbah di bukit, dan tentu saja karya pengorbanan, kebangkitan, sampai kenaikan-Nya ke Sorga. Semua penjabaran ini disampaikan dalam tiga bagian besar: Who He Was?, Why He Came?, dan What He Left Behind? Walaupun buku ini sudah ditulis beberapa tahun yang lalu dan ilustrasi yang dipakai mungkin memakai cerita-cerita dari tokoh-tokoh yang cukup senior, namun konteks yang dibawakan dapat dimengerti dengan jelas, dan sangat terbantu dengan terjemahan bahasa yang sangat baik. Cara menerangkan buku ini juga cenderung mengundang pembacanya untuk kritis bertanya, sehingga dapat membuat kita menangkap suatu perspektif, dan bukan hanya suatu pesan saja. Buku ini cocok untuk dinikmati oleh siapa saja, khususnya waktu mendekati masa-masa Natal dan Paskah - yang akan semakin menambahkan pemahaman baru dalam memaknai karya dan kasih Allah. /stl

  • Belajar dari Spiritual Giants: Helen Roseveare

    Sukacita dan penderitaan seakan tidak mungkin bergandengan. Namun, sukacita sejati seorang Kristen hanya bersumber dari Allah, memancar dari dalam hati dan tidak bergantung pada kondisi apapun, bahkan dalam penderitaan sekalipun. Paulus sendiri berkata, “Sekarang aku bersukacita, bahwa aku boleh menderita karena kamu…” (Kolose 1:24a). Makna yang serupa juga terdapat dalam Yakobus 1:2 yang dalam terjemahan bahasa inggris (ESV) berbunyi, “Count it all joy, my brothers, when you meet trials of various kinds,”. Banyak dari kita yang sudah sangat sering membaca ayat-ayat tersebut dan secara kognitif menyakininya karena merupakan Firman Tuhan, namun sulit untuk benar-benar percaya apalagi menjalaninya. Begitupun yang dirasakan oleh Helen Roseveare ketika membaca ayat tersebut, yang bahkan dirinya pernah bertanya, “Bukankah itu terlalu berlebihan?” tetapi kemudian menyadari bahwa penderitaan dan kesulitan dalam Kristus merupakan hak istimewa, dan menjalaninya dengan sukacita hanyalah anugerah semata. Helen Roseveare merupakan seorang misionaris yang diutus ke Kongo pada tahun 1953. Menariknya, menjadi misionaris pernah menjadi cita-cita Helen sewaktu kecil saat seorang guru sekolah minggunya menceritakan tentang India. Dibesarkan dalam keluarga Kristen yang taat, menjadikan Helen seorang Kristen yang bertumbuh dalam pengetahuan teologia, namun sayangnya tanpa pengenalan pribadi dengan Allah. Sampai suatu hari pada tahun 1945, Helen yang saat itu merupakan mahasiswi kedokteran, menyanggupi undangan temannya untuk mengikuti sebuah kegiatan retreat di kampusnya. Tanpa disangka, kesempatan itu merupakan momen Helen bertemu secara pribadi dengan Tuhan. Pada malam terakhir dimana Helen memberikan kesaksiannya, pengkhotbah Graham Scroggie menuliskan Filipi 3:10 pada Alkitab baru Helen sambil berkata, “Malam ini Anda telah memasuki bagian pertama dari ayat tersebut, “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia”, Ini baru permulaan, dan masih ada perjalanan panjang ke depan. Doa saya untuk Anda adalah agar Anda terus membaca ayat ini untuk mengetahui "kuasa kebangkitan-Nya" dan juga, bila Tuhan berkehendak, suatu hari mungkin, "persekutuan dalam penderitaan-Nya, dimana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya." Panggilannya sebagai misionaris semakin kuat, sehingga pada sebuah pertemuan misi di Inggris Utara, Helen mendeklarasikan komitmennya secara terbuka, "Saya akan pergi ke mana pun Allah inginkan, berapa pun harganya." Setelah lulus dari Cambridge dengan gelar doktor di bidang kedokteran, Helen terus memperlengkapi dirinya secara rohani, menambah ilmu kedokterannya khususnya pengobatan tropis, dan persiapan teknis lainnya untuk menjadi seorang misionaris. Pada bulan Maret tahun 1953, dalam usia 28 tahun, Helen akhirnya tiba di wilayah timur laut Kongo. Dalam dua tahun pertama, Helen fokus mendirikan sekolah untuk melatih para wanita untuk melayani sebagai perawat dan penginjil, yang pada akhirnya akan diutus ke berbagai wilayah untuk mengoperasikan klinik dan farmasi. Pada bulan Oktober 1955, Helen kemudian dipindahkan sejauh 11 km ke daerah bernama Nebobongo dan mengubah sebuah pusat bersalin dan penyakit kusta yang sudah lama terabaikan menjadi sebuah rumah sakit dengan 100 tempat tidur yang melayani ibu hamil, penderita kusta, dan anak-anak, serta sebuah sekolah pelatihan untuk paramedis dan 48 klinik pedesaan lainnya. Dalam radius 241 km, tidak ada fasilitas layanan kesehatan lainnya selain dari yang dikerjakan oleh Helen dengan dibantu masyarakat setempat. Kebutuhan akan pelayanan medis yang sangat besar di wilayah tersebut membuat rumah sakit tersebut berkembang pesat. Akan tetapi, melayani ditengah situasi kondusif tidak lagi mudah ketika Kongo mendeklarasikan kemerdekaannya dari Belgia pada tahun 1960 dimana terjadi perebutan kekuasaan yang brutal. Walaupun demikian, Helen tetap menunjukkan ketekunannya dengan terus merawat pasien walaupun sumber daya semakin menipis. Dia terus menikmati pelayanannya bersama keluarga Gereja Afrika-nya sehingga saat itu dia dipanggil dengan sapaan akrab 'Mama Luka' yang berasal dari Lukas, penulis Injil dan juga seorang dokter dalam Alkitab. Pada tahun 1964, ketika perang saudara dan perebutan kekuasaan semakin parah, rumah sakit yang dibangunnya dihancurkan dan Helen termasuk dalam sepuluh misionaris yang ditangkap dan menjadi tahanan para pemberontak. Saat Helen berusaha untuk kabur, para pemberontak tersebut memukulnya secara brutal dan menyebabkannya terluka cukup parah. Pada 29 Oktober 1964, Helen diperkosa. Dalam ingatannya tentang peristiwa tersebut, Helen menyatakan bahwa saat itu dia merasa Tuhan telah mengecewakan dirinya dengan membuatnya mengalami hal yang begitu kejam. Akan tetapi, dalam keputusasaannya yang paling dalam, Helen merasakan hadirat Allah saat itu. “Melalui pengalaman pemerkosaan yang memilukan dan brutal, Tuhan bertemu dengan saya — dengan tangan kasih-Nya yang terulur. Itu adalah pengalaman yang sulit dipercaya: Dia benar-benar ada di sana — dan tiba-tiba aku tahu — aku benar-benar tahu bahwa kasih-Nya cukup. Dia memang mengasihiku! Dia mengerti! Tuhan sedang menawarkan sebuah hak istimewa yang tak ternilai yaitu untuk berbagi dalam sedikit persekutuan dengan penderitaan-Nya.” Selama beberapa bulan, Helen dan misionaris lainnya ditahan dengan terus diancam dibawah todongan senjata dan mengalami kekerasan yang tak terbayangkan. Sepanjang waktu ini, Helen memimpin persekutuan doa bersama tahanan lainnya untuk mendoakan para pemberontak yang menahan mereka sampai akhirnya mereka diselamatkan oleh masyarakat sekitar, para pasien, dan petugas dari rumah sakit tempat Helen melayani. Setelah menghabiskan beberapa saat di Inggris untuk pemulihan fisik dan emosionalnya, pada tahun 1966, Helen kembali ke daerah lainnya di Kongo untuk terus melanjutkan pelayanannya dalam melatih perawat dan dokter dari daerah tersebut. Dia terus setia melayani dengan penuh kasih meskipun ingatan akan peristiwa yang terjadi padanya masih membuatnya resah. Mama Luca menyadari pentingnya memberdayakan masyarakat lokal sehingga berhasil mendorong banyak muridnya menjadi dokter dan perawat. Pada tahun 1973, Helen kembali ke Inggris karena alasan kesehatan dan akhirnya menetap di Irlandia Utara. Dia menulis beberapa buku dan melayani sebagai penasihat para misionaris. Dia menyelesaikan pertandingannya pada 7 Desember 2016, di usia 91 tahun. Kehidupan Helen Roseveare mengajarkan kita untuk tidak pernah membatasi kekuatan Tuhan yang disempurnakan dalam kelemahan kita. Rasa malunya akibat peristiwa pemerkosaan menguap seiring berjalannya waktu dan bahkan pengalaman ini digunakannya untuk menyemangati orang lain yang telah mengalami kejadian serupa. Melalui pelayanannya, banyak orang menemukan kesembuhan - baik emosional maupun fisik, tetapi yang lebih utama mengenal Kristus yang sejati. Dalam seluruh peristiwa kehidupannya, Helen menemukan bahwa sukacita yang sejati dianugerahkan Allah ketika ia taat bahkan dalam kondisi yang paling buruk sekalipun. Kiranya kisah ini dapat menolong setiap kita untuk belajar bersukacita dalam kondisi apapun, termasuk dalam kesulitan dan penderitaan saat menjalani panggilan-Nya. *)Penulis saat ini bekerja di NGO bidang HIV di Jabodetabek /stl Sumber: A Woman of Whom the World Was Not Worthy: Helen Roseveare (1925-2016): https://www.thegospelcoalition.org/blogs/justin-taylor/a-woman-of-whom-the-world-was-not-worthy-helen-roseveare-1925-2016/ Helen Roseveare: Living Sacrifice: https://www.cmf.org.uk/resources/publications/content/?context=article&id=26608

  • Apakah Kamu Sungguh Sahabat Yesus?

    Eksposisi Yohanes 15:1-17 Kita hidup dalam zaman di mana Facebook hadir dan memberikan kita keleluasaan untuk jadikan “friend”, siapapun, bahkan apapun, yang kita mau. Jauh sebelum Facebook hadir, dalam sebuah kesempatan, Dr. Howard Hendriks berkata kepada para mahasiswanya, “Two things will most influence where you’ll be at ten years out of seminary: the books you read and the friends you make. Choose them both very carefully!” Saya sependapat dengan wejangan itu, sebab para sahabat adalah bagian yang signifikan dan indah dalam kehidupan. Lebih jauh lagi sebelum Horward Hendriks menyampaikan perkataan itu, Yesus telah jadikan murid-murid-Nya, yang berarti juga kita yang sunggguh adalah murid-Nya, sebagai “friend”-Nya. Dalam Yohanes 15:15, dicatat Ia berkata, “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” Ia tidak lagi memandang kita yang adalah murid-murid-Nya sebagai seorang hamba belaka—meski demikian sebenarnya status kita, sebab Dia adalah Tuhan kita. Ia memandang kita sebagai sahabat, sebab Dia telah sampaikan kepada kita segala yang telah difirmankan Sang Bapa kepada-Nya, sehingga kita bisa tahu dan percaya apa yang Dia perbuat atas firman Bapa-Nya itu.Sang Maha Raja Semesta, mau memandang kita sebagai sahabat-Nya. Sungguh suatu hal signifikan dan indah bukan? Ini pantas membuat kita tersanjung serta terdukung dalam jalani hidup ini. Hidup ini kita jalani bersama seorang Sahabat, yang adalah Sang Maha Raja Semesta. Tetapi jangan langsung merasa tersanjung terdukung saudaraku. Ada satu pertanyaan yang perlu kamu jawab: apakah kamu sungguh sahabat Yesus? Jika kamu tidak bisa, atau ragu menjawab, “Ya, aku sungguh sahabat Yesus”, maka belum dapat merasa tersanjung dan terdukung. Bila demikian adanya, apa yang kamu perlukan untuk bisa jawab, “Ya, aku sungguh sahabat Yesus”? Mari kita simak apa yang Yesus sampaikan. Setelah Ia menjadikan kita sahabat-sahabat-Nya, Yesus lanjut berkata,”Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu”(Yoh. 15:16). Kita menerima status sebagai sahabat-sahabatnya itu karena Dia telah memilih kita jadi sahabat-sahabat-Nya, bukan sebaliknya. Adalah suatu anugerah kalau kita telah jadi sahabat-sahabat-Nya. Dan anugerah itu mesti kita responi. Berespon sebagaimana biasanya dan layaknya seseorang meresponi sahabatnya. Lihat apa yang selanjutnya Yesus katakan, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap” (Yoh 15:16). Bagi kita yang Yesus sudah jadikan sahabat-sahabat-Nya, telah diberikan suatu misi, yaitu menghasilkan buah. Melihat adanya kata “pergi”, maka buah-buah yang dimaksud bukanlah karakter-karakter seperti dalam surat Galatia, melainkan orang-orang yang jadi percaya kepada Yesus dan karya-Nya, jadi murid-murid-Nya, dan kemudian juga menghasilkan buah-buah bagi Dia. Yang berarti, kita mengerjakan misi Yesus, Sahabat kita itu. Inilah respon yang Dia inginkan dari kita yang sudah dipilih-Nya jadi sahabat-sahabatnya. Kita jalani keseluruhan hidup kita bersama Sahabat kita itu, mengerjakan misi-Nya. Bukankah selayaknya demikian? Masakan Sahabat kita sudah turun ke dunia ini dan jalani seluruh hidup-Nya untuk selamatkan manusia dan hadirkan Kerajaan-Nya, kita malah cari selamat sendiri dan bangun kerajaan pribadi? Nah saudaraku, ketika kamu pergi mengerjakan profesimu, apakah itu menghasilkan buah yang tetap bagi Dia yang telah menjadikan kamu sahabat-Nya? Demikian respon pertama yang diminta dari kita. Cuma ini aja? Masih ada lagi beberapa respon lainnya yang diminta dari kita, dan semuanya terkait dengan respon pertama tadi. Tepatnya, bagaimana kita bisa pergi dan menghasilkan buah yang tetap itu bagi Yesus. Respon yang kedua, bisa kita temukan di penghujung ayat 16, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.” Yang Yesus hendak sampaikan di sini bukanlah semacam hadiah: bila kita sudah bersedia pergi dan kemudian berhasil menghasilkan buah yang tetap, maka doa kita akan dikabulkan. Tetapi yang hendak Dia sampaikan adalah keberhasilan kita dalam mengerjakan misi-Nya itu hanyalah lewat doa kita yang Allah Bapa kabulkan. Doa kita yang dikabulkan inilah satu-satunya jalan menuju keberhasilan misi itu. Dan hal ini sudah Yesus sampaikan sebelumnya ketika menyatakan bahwa kita murid-murid-Nya akan melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya lebih besar lagi. Dia berkata, “dan apapun juga yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak. Jika kamu meminta sesuatu dalam nama-Ku, aku akan melakukannya” (Yoh 14:13-14). Saudaraku, bila selama ini kamu memang sudah pergi untuk menghasilkan buah yang tetap bagi Sahabatmu, sudahkah doa jadi andalanmu, yang berarti kamu mengandalkan Dia yang mengutus kamu? Atau pengetahuan, keterampilan, pengalaman, serta peralatan dan tim yang tersedia, jadi andalanmu? Sampai di sini, mungkin kita semua bertanya, bagaimana caranya memastikan bahwa doa-doa kita menjadi doa-doa yang Allah Bapa kabulkan, sehingga buah yang tetap bisa kita hasilkan? Saya melihat Yesus menjawab pertanyaan kita ini dalam Yohanes 15:7,8 dan 14. Dan jawaban ini merupakan respon ketiga yang Dia minta dari kita. Dia berkata,”Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya. Dan dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku” (15:7-8). Dan kemudian Ia juga berkata, “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang kuperintahkan kepadamu” (15:4). Pertama-tama perhatikan apa yang saya garis bawahi, “mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya”, “jika kamu berbuah banyak”, dan “Kamu adalah sahabat-ku”. Tiga frasa ini adalah penghubung dengan status kita yang adalah sahabat-sahabat Yesus, respon kita pergi untuk menghasilkan buah yang tetap dan satu-satunya jalan untuk bisa menghasilkan buah itu yaitu doa yang dikabulkan Allah Bapa. Lalu, jawaban atas pertanyaan bagaimana caranya memastikan doa-doa kita menjadi doa-doa yang Allah Bapa kabulkan, sekaligus merupakan respon yang diminta dari kita yang telah Yesus pilih jadi sahabat-sahabatnya tampak dalam frase yang saya tebalkan, “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu”, “jikalau kamu berbuat apa yang kuperintahkan kepadamu”. Seperti ranting-ranting yang hidupnya bergantung penuh pada pokok anggur agar bisa menghasilkan buah-buah anggur yang diharapkan sang pemiliki kebun anggur, demikianlah seharusnya kita hidup bergantung penuh kepada Yesus, agar bisa pergi dan menghasilkan buah yang tetap. Seperti ranting-ranting itu yang menerima nutrien yang diperlukan untuk hidup dan menghasilkan buah, demikian seharusnya kita menerima firman Yesus. Fiman-Nya itu akan masuk serta berakar dalam hati dan pikiran kita, hingga perkataan serta perbuatan kita menghasilkan buah-buah yang tetap bagi Allah Sang Pemiliki Kebun Anggur, dan Dia dipermuliakan. Kemudian di ayat 14, tanpa metafora ranting dan pokok Anggur, Yesus menegaskan bahwa kita sungguh sahabat-sahabat-Nya bila kita menaati apa yang telah Dia firmankan. Mengapa demikian? Ingat yang Dia katakan di ayat 15 tadi, “… Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepadamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku” Kepada kita telah disampaikan firman-Nya. Kita sudah tahu firman-Nya. Maka kita harus taati firman-Nya. Ketaatan pada firman-Nya inilah yang membuat doa kita akan menjadi doa yang dikabulkan Allah. Dalam pasal terakhir kitab Injilnya, yaitu pasal 21, Yohanes menampilkan narasi yang juga menyatakan kebenaran ini. Ketika Simon Petrus dan murid-murid lainnya kembali menangkap ikan di danau Tiberias (Galilea), mereka tidak dapat 1 ekor ikan pun setelah semalaman berupaya. Kemudian Yesus yang telah bangkit menampakkan diri kepada mereka (tapi tidak mereka kenali), lalu Ia memerintahkan mereka untuk tebarkan jala di sebelah kanan perahu. Mereka taati perintah itu, dan mereka mendapatkan 153 ekor ikan yang besar-besar. Saat perintah Yesus ditaati, hasil, bahkan hasil yang luar biasa, diperoleh. Nah, bagaimana dengan ini saudaraku? Sudahkah, atau masih teruskah kamu bergantung penuh pada Sahabat kita itu dan menerima firman-Nya, secara utuh dan kaya, masuk serta berakar di hati, di pikiran, lalu keluar dalam perkataanmu, perbuatanmu? Di tengah kesibukan kerja serta segala tuntutannya yang sepertinya tanpa henti, di tengah perjuangan untuk bisa rehat atau kerjakan hal-hal kegemaranmu, serta upaya keras beri waktu untuk orang-orang yang dikasihi, masihkah ada upaya untuk beri waktu mendengarkan Sahabat kita yang telah memberikan nyawa-Nya agar kita bisa jadi sahabat-sahabat-Nya? Sekarang simak respon keempat yang Yesus minta, yang tampak mengapit pernyataan-Nya bahwa Dia telah memandang kita sebagai sahabat-sahabat-Nya. “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu …Ini perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain” (Yoh 15:12,17). Yesus meminta kita yang adalah murid-murid-Nya saling mengasihi satu sama lain, setara dengan kasih-Nya kepada kita. Seperti apa itu persisnya, dinyatakan-Nya dalam ayat 13, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanyauntuk sahabat-sahabat-Nya”. Ini merujuk kepada kasih Yesus yang ditunjukkan dengan menyerahkan nyawa-Nya agar kita bisa menjadi sahabat-sahabat-Nya. Tidak ada ekspresi kasih yang lebih besar dari ini. Dan inilah yang Yesus minta kita berikan kepada sesama murid-Nya. Sesama penerima misi-Nya untuk pergi dan menghasilkan buah yang tetap. Kita diminta untuk saling mengasihi hingga ekspresi yang tertinggi itu, agar bisa sama-sama bertumbuh kuat dan saling dukung kerjakan misi-Nya. Dan ini menuntut kita menerima maupun memberikan ekspresi kasih terbesar itu, dari atau kepada, sesama murid Kristus. Bagaimana dengan ini saudaraku? Sudahkah atau masihkan kamu mau menerima atau memberikan ekspresi kasih terbesar itu? Atau egomu membuat kamu enggan menerima atau memberikannya? Terimalah dan berikanlah ekspresi kasih terbesar itu. Bila sampai di sini dirimu hendak ajukan pernyataan dan pertanyaan, “Semua respon itu sudah saya berikan, tetapi sepertinya tetap tidak ada buah yang bisa saya hasilkan. Bagaimana jika begini?”. Atau mungkin demikian,”Semua respon itu sudah saya berikan, dan buah-buah sudah dihasilkan. Tetapi kini seperti sulit untuk terus hasilkan buah. Jika begini, adakah solusi?”. Respon terakhir yang diminta dari kita akan memberikan jawabannya, dan merupakan respon pamungkas. Mari perhatikan bagian awal perumpamaan pokok anggur dan rantingnya. Di situ Yesus berkata, "Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Kulah pengusahanya. Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah. Kamu memang sudah bersih karena firman yang telah Kukatakan kepadamu. Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (Yoh 15:1-4). Perhatikan juga awal dari bagian yang berisi pernyataan Yesus bahwa Ia menjadikan kita sahabat-sahabat-Nya, “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu” (Yoh 15:9). Solusi bagi kita yang merasa gagal untuk menghasilkan atau untuk terus menghasilkan buah hanya satu saja: tinggal di dalam Yesus, di dalam kasih-Nya, di mana kita akan menikmati layanan Allah membersihkan kita, sehingga kita bisa menghasilkan buah, dan terus menghasilkannya, sesuai dengan rencana-Nya. Kata “tinggallah” diterjemahkan dari kata yunani “meno”, yang artinya tinggal, berdiam, secara permanen. Kata ini sering dipakai untuk tindakan seseorang memegang erat sesuatu sehingga orang itu tidak akan bisa dipindahkan atau digeser. Inilah respon pamungkas yang diminta dari kita. Karena itu marilah kita tinggal, berdiam, secara permanen di dalam Yesus, di dalam kasih-Nya yang telah diberikan dalam bentuk ekspresi kasih yang terbesar. Pegang erat-erat Dia dan kasih-Nya itu. Jangan mau berpindah atau digeser keluar dari Dia dan kasih-Nya, oleh siapa pun atau apapun, hingga buah-buah yang tetap engkau hasilkan, dan terus hasilkan, hingga Allah dipermuliakan. Saudaraku, apakah kamu sungguh sahabat Yesus? Kiranya dengan anugerah-Nya, kamu bisa memberikan respon-respon yang Yesus minta itu, sehingga bisa terus bertumbuh jadi seorang yang sungguh sahabat Yesus. *Penulis merupakan staf Perkantas Jakarta /stl

  • Pesan Menteri Kesehatan di Hari Kesehatan Nasional

    Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-58 Tahun 2022 bertemakan “Bangkit Indonesiaku, Sehat Negeriku” yang menggambarkan bangkitnya semangat dan optimisme seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam menghadapi masa pandemi COVID-19. Dengan kebersamaan, bahu membahu, semangat gotong royong, masyarakat Indonesia akan dapat kembali beraktivitas dan produktif agar Indonesia juga kembali bangkit dan kembali sehat. Dalam pidatonya, Bapak Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan vaksinasi terbanyak di dunia, dengan total 442 juta dosis vaksin telah disuntikkan sampai dengan Oktober 2022. Dengan ini bisa dikatakan bahwa Indonesia termasuk negara yang mampu menghadapi krisis global dan berhasil mengendalikan pandemi COVID-19. Meski begitu, Menkes juga berpesan agar kita tidak boleh lengah karena masih ditemukan adanya kenaikan kasus COVID-19 yang mana data kematian menunjukkan 4 dari 5 pasien meninggal belum divaksinasi booster. Oleh sebab itu, Menkes terus menghimbau masyarakat untuk melengkapi vaksinasi COVID-19 dengan booster. Menkes menyatakan bahwa sebenarnya Pandemi juga menjadi momentum bagi pemerintah untuk terus berbenah. Saat ini Kemenkes sendiri juga sedang melakukan transformasi sistem kesehatan yang berfokus pada 6 pilar, untuk mewujudkan masyarakat yang sehat, mandiri, produktif, dan berkeadilan, sekaligus sebagai bentuk kesiapan pemerintah dalam menghadapi masalah kesehatan di masa yang akan datang. Apa saja keenam pilar tersebut? Pilar 1 Upaya integrasi dan revitalisasi pelayanan kesehatan primer, termasuk standar jaringan, standar layanan, serta digitalisasi sistem pelaporan. Transformasi pelayanan kesehatan primer harus mendapat perhatian khusus serta investasi kesehatan yang besar, dengan fokus pada upaya promotif dan preventif. Salah satu prioritasnya yaitu melalui penguatan sekitar 1,5 juta kader dan 300.000 Posyandu yang menjadi ujung tombak pemberian layanan kesehatan. Menkes menghimbau juga agar terus membangun gerakan yang mendorong perubahan perilaku masyarakat diikuti dengan dukungan dan peran serta pemerintah daerah beserta seluruh elemen masyarakat untuk mewujudkan pelayanan kesehatan dasar yang mudah diakses oleh seluruh masyarakat. Pilar 2 Transformasi layanan rujukan. Hal ini bertujuan untuk mendekatkan akses layanan kesehatan kepada masyarakat. Kementerian Kesehatan mengembangkan jejaring layanan rujukan untuk penanganan penyakit katastropik yang menjadi penyebab kematian tinggi dan beban pembiayaan besar, antara lain stroke, kanker, jantung, ginjal, serta kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Pada pilar ini, Menkes menyebutkan akan memperkuat sisi supply melalui peningkatan kapasitas infrastruktur dan kompetensi SDM dalam menyediakan layanan kesehatan, sehingga layanan rujukan tersedia dan dapat diakses di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota. Pilar 3 Transformasi sistem ketahanan kesehatan, percepatan ketahanan farmasi dan alat kesehatan. Hal ini terus dilakukan, agar produk obat, vaksin, dan alat kesehatan dapat diproduksi dari hulu ke hilir dan dimanfaatkan di dalam negeri. Di samping ketersediaan produk farmasi dan alat kesehatan, pemerintah juga mendorong kesiapsiagaan menghadapi krisis kesehatan melalui tenaga cadangan kesehatan. Partisipasi tenaga kesehatan dan non-kesehatan sewaktu-waktu dapat diaktifkan ketika terjadi krisis. Oleh sebab itu, akan dilakukan pendataan tenaga cadangan dan pelatihan untuk dapat melengkapi keterampilan yang diperlukan saat terjadi krisis. Serta melakukan koordinasi dan mobilisasi tenaga cadangan di skala kabupaten/kota, provinsi, maupun nasional dengan cepat dan tepat. Pilar 4 Transformasi pembiayaan kesehatan untuk memastikan pembiayaan yang cukup, adil, efektif, dan efisien yang dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, mempercepat produksi National Health Account (NHA) untuk kebijakan pembiayaan kesehatan yang lebih berbasis bukti. Kedua, menjaga kualitas layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui reviu tahunan tarif JKN. Ketiga, kendali mutu dan biaya yang berbasis bukti untuk pelayanan kesehatan yang lebih efektif dan efisien melalui peningkatan penerapan Penilaian Teknologi Kesehatan (Health Technology Assessment - HTA). Keempat, memperkuat sinergi pembiayaan kesehatan antara pemerintah pusat, daerah, swasta dan organisasi lainnya melalui Konsolidasi Pembiayaan Kesehatan. Pilar 5 Transformasi SDM Kesehatan dalam peningkatan jumlah, pemerataan, serta meningkatkan kualitas tenaga kesehatan, untuk memberikan pelayanan kesehatan berkualitas hingga pelosok Indonesia. Dalam hal ini, Menkes menyebutkan target optimis dengan angka ideal dokter 1 banding 1.000 populasi dan pemenuhan nakes di Puskesmas dan RSUD sesuai standar. Beberapa program unggulan tengah dilakukan, yaitu melalui implementasi Academic Health System, pemberian 10.000+ beasiswa bagi dokter, spesialis, dan fellowship, serta peningkatan kualitas melalui pelatihan yang terintegrasi sesuai kebutuhan pelayanan. Pilar 6. Transformasi teknologi kesehatan di Indonesia menuju sistem kesehatan yang tangguh dan terintegrasi. Transformasi ini dilakukan salah satunya dengan melakukan integrasi data rekam medis pasien di fasyankes ke dalam satu platform Indonesia Health Services (IHS) yang diberi nama SATUSEHAT. Selain itu juga dilakukan inovasi bioteknologi, yakni Biomedical Genome-Based Science Initiative (BGS-I), untuk menerapkan pengobatan yang lebih personal dan presisi. Menkes menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan memulai dengan melakukan 10.000 sekuensing DNA, berbasis penyakit kanker, stroke, genetik, diabetes, dan wellness and beauty. Indonesia nantinya akan membangun bank data dari genomik penduduk Indonesia yang akan terintegrasi dengan data medisnya. Menkes berharap dengan implementasi keenam pilar tersebut sistem kesehatan Indonesia, bahkan dunia, dapat bertransformasi menjadi sistem kesehatan yang tangguh terhadap krisis kesehatan, termasuk pandemi. Dalam mencapai semua ini, kita semua masih perlu terus berjuang dalam membangun kesehatan Indonesia. Kita perlu memiliki visi yang sama demi mewujudkan transformasi kesehatan di Indonesia. Seperti yang disampaikan juga oleh Menkes dalam pidatonya bahwa kita harus terus mendorong masyarakat untuk terbangunnya gerakan masyarakat hidup bersih dan sehat, melalui konsumsi makanan bergizi seimbang, melakukan aktifitas fisik setiap hari, dan mencuci tangan dengan sabun; mendorong masyarakat untuk memeriksakan kesehatannya secara rutin, baik pemeriksaan ibu hamil, pemantauan tumbuh kembang balita, imunisasi, pemeriksaan penyakit-penyakit sesuai siklus hidup; dan kita juga perlu untuk terus mengembangkan diri dan organisasi dalam kompetensi dan memberikan pelayanan kesehatan terbaik kepada masyarakat. Sebagai insan kesehatan Kristiani yang sudah menerima anugerah Kristus, kita juga perlu untuk terus menajamkan dan menyelaraskan visi kita. Siapkah kita untuk menjadi ujung tombak dalam transformasi kesehatan ini? Indonesia membutuhkan transformasi, tidak hanya transformasi, tetapi sebenarnya lebih dari itu, yaitu penebusan Kristus. Mari kita ambil bagian melalui profesi yang kita tekuni saat ini demi terwujudkan transformasi kesehatan di Indonesia. Kalau tidak dimulai dari diri kita, siapa lagi? PS: Pidato Menkes dapat dilihat melalui situs berikut https://youtu.be/FiTX6K8asnw /knd

  • Gereja yang Tak Tergantikan

    Lima hingga sepuluh tahun lalu, pernahkah kita membayangkan bahwa beribadah di gereja tidak selalu berarti benar-benar pergi dan bisa dilakukan di rumah melalui layar? Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya bahwa akan ada masanya dimana beribadah dapat dilakukan secara online dengan kemajuan teknologi. Saat pandemi COVID-19 begitu kritis, kita tentu bersyukur dengan adanya teknologi yang memungkinkan kita untuk tetap beribadah tanpa meningkatkan risiko penularan yang saat itu masih sangat tinggi dan vaksin masih dalam proses pengembangan. Namun, fenomena ”gereja online” pada masa itu membuat saya justru semakin meyakini satu hal: pertemuan fisik dan persekutuan dengan orang percaya lainnya di gereja itu tak akan pernah tergantikan. Komunitas yang berharga Saat kita beriman pada kematian dan kebangkitan Kristus, kita menerima anugerah Roh Kudus dan menjadi anggota keluarga kerajaan Allah (Efesus 1:5,13). Kita pun menjadi bagian dari pekerjaan Tuhan melalui gereja-Nya di dunia dan juga dipanggil untuk bersekutu dan melayani dalam gereja lokal tempat kita beribadah. Kristus sendiri begitu mengasihi gereja-Nya, Dia memenangkannya dengan darah-Nya sendiri (Kisah Para Rasul 20:28). Ia memberi jaminan bahwa alam maut tak akan berkuasa atas jemaat-Nya (Matius 16:18). Adakah komunitas lain dibentuk oleh dunia ini yang demikian? Jika kita berkata kita mengasihi Kristus, sudah sepatutnya kita pun mengasihi gereja yang dikasihi-Nya. Lantas, apa yang kurang dengan gereja virtual? Bukankah secara esensi sama saja dengan gereja seperti biasa? Bukankah hal tersebut telah menjadi solusi saat pandemi dan mungkin menjadi jalan keluar bagi kaum profesional dengan jadwal yang sibuk, termasuk para tenaga medis? Sesungguhnya, ada banyak yang hilang jika kita hanya mengandalkan pertemuan ibadah secara daring. Dalam gereja, kita bisa menyembah Allah bersama-sama sebagai satu tubuh. Kita adalah bagian dari gereja, tetapi Tuhanlah kepalanya. Mengikuti ibadah di gereja memberikan kita kesempatan untuk benar-benar duduk, diam, tenang, mendengar firman, sesuatu yang sangat sulit dilakukan di waktu lain dalam hari-hari kita yang kerap dipenuhi dengan gawai, sosial media, berbagai pertemuan pekerjaan. Mendedikasikan waktu dua jam penuh untuk menyembah dan mendengar Tuhan dalam gereja pun melatih pikiran dan jiwa kita untuk tidak dipusingkan dengan hal-hal dunia yang merenggut sukacita dan belajar untuk berserah pada Allah yang memegang kendali. Gereja juga memberikan lingkungan yang baik untuk bertumbuh sebagai orang Kristen. Di dalam gereja, kita akan bertemu, bertegur sapa, dan bertukar hidup dengan orang-orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Dalam organisasi profesi mungkin akan cukup mudah memahami cara pikir rekan sejawat kita karena berasal dari profesi yang serupa, tetapi dalam gereja, mungkin diperlukan seni tersendiri untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain yang berasal dari profesi yang berbeda-beda. Kita dapat mempertajam karakter kita ketika bergaul dengan anggota tubuh Kristus yang berbeda karakter dan cara pandang. Kita belajar untuk mengakui kesalahan, memberi pengampunan, dan meneruskan kasih karunia kepada sesama kita dalam gereja karena mereka juga adalah saudara di dalam Kristus. Gereja memang bukanlah komunitas yang sempurna. Tak jarang kita mendengar banyak hal tak menyenangkan terjadi di dalam gereja bahkan mungkin kita melihat atau mengalaminya sendiri. Namun, jika kita hanya fokus melihat cacat dari gereja saja, maka bisa jadi kita telah terjatuh dalam tipuan si jahat. Salah satu pekerjaan Iblis adalah membuat mata kita tertutup dari keindahan gereja dan membuat kita merasa gereja sudah begitu bobrok dan tak ada yang bisa diperjuangkan lagi di dalamnya. Syukur kepada Allah bahwa di dalam Kristus, kita tetap memiliki pengharapan bahwa Dia sendirilah yang terus menjaga gereja-Nya hingga Dia datang kembali. Oleh kuasa Roh Kudus, kita akan ditolong untuk terus mengasihi gereja, bagaimanapun tak sempurnanya ia. Gereja online telah Tuhan pakai untuk menjaga umat-Nya bahkan memperluas kerajaan-Nya selama masa pandemi. Namun, gereja secara fisik tetap tak tergantikan dan kehadiran kita pun terus dinanti (Ibrani 10:24-25). Betapapun padatnya pekerjaan Anda sepanjang minggu, betapapun lelahnya perjalanan menuju tempat ibadah, bagaimanapun tidak sempurnanya gereja Anda, teruslah berjuang untuk hadir, menyembah, melayani, dan bersaksi di dalam dan melalui gereja. *Penulis melayani sebagai ibu rumah tangga dan bekerja sebagai medical editor paruh waktu /stl

  • Melakukan Pekerjaan-Pekerjaan yang Lebih Besar, Mission Impossible or Possible?

    Eksposisi Yohanes 14:12-17 Beberapa hari belakangan ini saya membantu seorang anak Kelompok Tumbuh Bersama (KTB), yang bergumul dengan sebuah penugasan dari atasannya. Dia ditunjuk menjadi salah satu utusan dari beberapa kantor pemerintah daerah di Indonesia dalam konferensi perubahan iklim di Paris akhir November nanti. Anak KTB saya ini merasa kemampuannya berbahasa Inggris masih kurang, apalagi bila nanti harus presentasi dan berdiskusi dalam konferensi itu. Dan ini pertama kalinya dia diutus ke luar negeri. Penugasan ini jadi suatu “mission impossible” buat dia, meskipun dia sadar ini adalah kesempatan istimewa untuk kerjakan panggilan Tuhan dalam profesinya. Sesungguhnya pergumulan seperti ini sering kita hadapi sebagai murid-murid Kristus yang berusaha taati panggilan-Nya. Maka penting bagi kita untuk bisa hadapi pergumulan ini dengan benar. Bila kita simak isi pasal keempatbelas Injil Yohanes, tampak pada bagian intinya Yesus memberikan suatu penugasan yang saya pikir akan menjadi suatu “mission imposible” bagi murid-murid-Nya saat itu—maupun juga kita murid-murid-Nya saat ini. Ia berkata kepada mereka, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu” (Yoh. 14:12). Bila kita perhatikan konteksnya dalam Injil Yohanes, pasal ini terdapat dalam suatu bagian besar di mana Yesus membukakan diri-Nya lebih lagi secara eksklusif kepada murid-murid-Nya, terkait Ia akan kembali kepada Bapa-Nya. Ia juga telah memberitakan kepada mereka tentang kematian-Nya dan bahwa Ia akan dikhianati (Yoh. 12:20-36, 13:18-30). Yesus tahu perasaan dan pikiran murid-murid-Nya mendengar hal itu. Sebab itu Ia berusaha menenangkan kegelisahan hati mereka, dan meminta mereka percaya bahwa Dia pergi untuk menyiapkan tempat di rumah Bapa, dan akan kembali untuk membawa mereka ke sana (Yoh. 14:1-3). Dan untuk bisa menikmati itu, hanya 1 syarat yang harus dipenuhi mereka: percaya kepada Yesus dan pekerjaan-pekerjaan-Nya (Yoh. 14:4-11). Sungguh menenangkan bukan? Tetapi saya pikir, pasti murid-murid jadi gelisah lagi saat mendengar pernyataan Yesus di ayat 12 tadi. “Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan Yesus secara lebih besar lagi? Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sama besar saja sulit, bagi kami yang masih baru magang saja dalam misi Yesus, banyak kelemahan, banyak kekurangan. Belum lagi kondisi sekitar tak mendukung. Yesus saja bilang Dia akan dikhinati dan mati, karena pekerjaan-pekerjaan-Nya. Apalagi kalau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar lagi”, mungkin demikian pikir mereka. Saya yakin, kita juga berpikir demikian. Melihat kemampuan diri. Melihat kelemahan dan kegagalan diri. Melihat kondisi keluarga. Melihat kondisi dunia saat ini. Melihat orang-orang yang Tuhan percayakan untuk kita layani. Mission impossible juga itu. Ya tentu akan demikian adanya bila kita hanya memandang kepada hal-hal di atas. Tetapi akan lain halnya bila kita memandang kepada Yesus dan apa yang Ia firmankan itu. Pertama, mari simak apa yang Yesus maksud dengan “melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu”. Kata yang digunakan pakai untuk “pekerjaan-pekerjaan” itu dipakai berulang kali dalam pelayanan Yesus yang tercatat di Injil Yohanes: (1) menginjili perempuan Samaria [4:34]; (2) Menyembuhkan orang lumpuh di kolam Bethesda [5:20; 7:21]; (3) Menyembuhkan orang yang buta dari lahir [9:3,4]; (4) Beragam mujizat [7:3; 10:25,32,33,37,38; 14:11,12; 15:24]; (5) Pengajaran Yesus [10]; (6) Keseluruhan pelayanan Yesus [5:36; 17:4]. Jadi, “pekerjaan-pekerjaan” ini menyangkut segala bentuk pelayanan yang Yesus kerjakan. Jika dikaitkan dengan kita, maka akan mencakup segala macam pekerjaan yang Tuhan percayakan untuk kita kerjakan sebagai bagian dari misi-Nya. Kedua, simak frase “yang lebih besar dari pada itu”. Frase ini diterjemahkan dari kata “meizona”, yang artinya lebih besar dalam kualitas, lebih bernilai penting, atau lebih impresif. Mengapa pekerjaan-pekerjaan ini lebih besar dalam kualitas, lebih bernilai penting, lebih impressif? Dan pekerjaan macam apa ini? Jawabannya bisa kita dapat dari apa yang ada di ujung ayat 12, “Sebab Aku pergi kepada Bapa”. Bagaimana caranya Yesus pergi kepada Bapa? Melalui kematian-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pekerjaan Yesus, yang Yesus katakan akan kita kerjakan itu, adalah meyaksikan lewat perkataan dan perbuatan kita, sesuai dengan panggilan dan karunia-Nya kepada kita masing-masing, tentang karya-Nya yang telah selesai sempurna di kayu salib, dan tentang Kerajaan-Nya yang telah Dia hadirkan. Pekerjaan pelayanan Yesus sebelum kematian dan kebangkitan-Nya, hanyalah awal dari dua hal tersebut. Sebab itu, pekerjaan pelayanan yang kita kerjakan karena Dia sudah mati dan bangkit itu, “lebih besar” dari pekerjaan pelayanan-Nya itu. Nah, sekarang tinggal melihat apakah ini tepat kita pandang sebagai suatu “mission impossible” atau “mission possible”? Untuk hal ini, Yesus telah memberikan pertolongan besar bagi kita lewat 4 hal yang Dia nyatakan. Kita sudah dimungkinkan untuk mengerjakan pekerjaaan-pekerjaan yang lebih besar itu. Lihat Yesus berkata “Sebab Aku pergi kepada Bapa” (14:12). Bagi murid-murid-Nya saat itu, Dia baru akan pergi kembali kepada Bapa-Nya, lewat kematian dan kebangkitan-Nya. Tetapi bagi kita, murid-murid-Nya yang hidup di zaman ini, jelas Dia telah mati dan bangkit, dan telah kembali kepada Bapa. Jadi kita sudah dimungkinkan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pekerjaan-pekerjaan-Nya. Kedua, Kita berdoa saja sehingga pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar itu jadi “mission possible”. Lihat Yesus berkata, “dan apa juga yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak. Jika kamu meminta sesuatu kepada-Ku dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya. (14:13-14)" Ketika kita menaikkan permohonan “dalam nama Yesus”, yang artinya melalui Yesus, yang telah ada di surga dan duduk di sebelah kanan Allah Bapa, sebagai perantaraan, maka Yesus sendiri yang akan memberikan apa yang kita minta itu. Perhatikan dua kali Yesus katakan “Aku akan melakukannya”. Dia yang telah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang Bapa perintahkan dalam misi-Nya di dunia ini, akan terus mengerjakannya. Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan besar itu dari surga sebagai respon terhadap doa-doa yang kita murid-murid-Nya naikkan dari dunia ini. Dia mengerjakan-Nya di dalam dan melalui kita. So, mission possible! Hanya saja, masihkan kita mengerjakan tugas panggilan kita dengan sikap dalam nama-Nya? Ketiga, supaya Dia bisa mengerjakan itu di dalam dan melalui kita, kita diminta “…mengasihi Aku, … menuruti segala perintahKu”. Ingat bahwa pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar itu adalah kesaksian kita akan karya-Nya yang telah selesai sempurna di kayu salib, dan tentang Kerajaan-Nya yang telah Dia hadirkan. Sudah jelas kita harus menunjukkan Dia adalah Sang Raja dalam hidup kita dengan menaati perintah-perintah-Nya. So, mission possible jika kita taati segala perintah-Nya. Hidup dan melayani sesuai Injil-Nya. Hanya, masihkan kita terus taati segala perintah-Nya, ketika godaan dan tantangan datang mengancam? Dan itu lahir dari kasih kita kepada-Nya? Keempat, sebagai pamungkas, Yesus menjanjikan “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu (14:16-17)” Yesus janjikan Roh Kudus, yang disebut sebagai “seorang Penolong yang lain”. Kata Yunaninya Parakletos. Kata ini lebih cocok diterjemahkan seperti dalam New English Translation, “another Advocate”. Sebab Yesus sedang menggunakan gambaran situasi dalam ruang sidang pengadilan. Seorang advokat akan memberikan advokasi-advokasi atau dukungan-dukungan terhadap posisi atau sudut pandang orang yang didampinginya dalam proses pengadilan. Dan ini dilakukan terus selama proses pengadilan itu. Ini peran yang dimainkan Roh Kudus terhadap murid-murid ketika mereka mengerjakan misi yang Yesus berikan. Sebelum Yesus kembali kepada Bapa, Dialah yang memainkan peran ini bagi murid-murid-Nya. Setelah Yesus kembali kepada Bapa, Roh Kudus akan menggantikan Yesus jalankan peran itu. Itu sebabnya Yesus bilang “seorang Advokat yang lain”. Dan, Advokat Pengganti ini akan mendampingi murid-murid selamanya, berdiam di dalam murid-murid-Nya. Di dalam kita juga tentunya. Dan Advokat ini telah diberikan kepada kita bukan? Kurang apa lagi agar pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar itu jadi mission possible? Hanya apakah kita mendengarkan dan menerima advokasi-advokasi Advokat kita ini? Dan kita terus berdoa dan berjuang hidup kudus, agar Advokat kita ini bisa terus bekerja di dalam kita? Kiranya anugerah Tuhan cukup bagi kita masing-masing, sehingga kita dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan Yesus yang lebih besar lagi, dan dunia bisa mendengar serta melihat Dia, karya-Nya yang telah selesai sempurna di kayu salib, serta Kerajaan-Nya yang sudah, sedang dan akan datang. *Penulis merupakan staf Perkantas Jakarta /stl

  • Meneliti Manusia dan Mengenal Allah

    Pada tahun 1972 sekelompok peneliti menghentikan sementara proses penelitian teknologi DNA rekombinan. Sebuah teknologi yang menjadi pintu gerbang dan salah satu teknologi kunci untuk penelitian-penelitian canggih saat ini. Peristiwa tersebut merupakan penghentian kali pertama yang dilakukan oleh peneliti secara sukarela. Para peneliti saat itu takut bahwa penelitian mereka akan menghasilkan “Frankencells” yang mungkin saja resisten terhadap antibiotik, menimbulkan wabah, atau menginduksi terjadinya kanker. Kita tidak mengetahui pasti proses diskusi para peneliti saat itu, mungkin ada pro dan kontra ketika mereka akhirnya memutuskan penghentian sementara karena alasan kemungkinan dampak buruk dan dampak sosial yang mungkin dihasilkan. Selanjutnya, mereka membuat komite multidisiplin untuk menilai berbagai kemungkinan dan mencegah terjadinya dilema maupun konsekuensi etik dalam penelitian tersebut. Langkah yang sangat langka, menarik, dan akhirnya berdampak bagi dunia penelitian. Saat ini kita dapat menjumpai berbagai protokol penelitian, forum diskusi, badan penelaah, lembaga, dan pusat studi bioetika yang sangat membantu peneliti, khususnya saat menghadapi dilema etik dalam penelitian. Saat ini, peneliti bukan saja dapat menggunakan teknologi DNA rekombinan seperti yang dikembangkan pada tahun 1972. Publikasi penelitian telah menggambarkan betapa jauhnya penelitian telah berkembang dengan adanya sel punca embrionik manusia yang dapat dikembangkan menjadi “apa saja”. Dengan teknologi yang ada manusia dengan mudah dapat mempelajari, memodifikasi, dan memperbaiki gen. Manusia juga dapat “menciptakan” berbagai organ untuk pendidikan maupun terapi berbagai penyakit. Di satu sisi kemampuan manusia untuk menciptakan dan melakukan penelitian terhadap model telah membantu mengatasi dilema etik dibandingkan dengan penelitian yang harus dilakukan pada manusia yang hidup. Namun, di sisi lain perkembangan risiko terjadinya dilema etik juga semakin berkembang karena kemungkinan terciptanya “Frankencells” akan terus ada dan risikonya semakin tinggi seiring dengan bertambahnya jumlah dan perkembangan teknologi. Dalam menghadapi dilema etik secara umum kita mengenal beberapa prinsip seperti: (1) Removal (penghindaran total) terhadap seluruh hal yang terkait dengan kondisi tersebut; (2) Disclosure (pengungkapan) terhadap hal-hal yang mungkin menempatkan kita pada kondisi konflik kepentingan (misalnya pengungkapan terhadap hal-hal atau dukungan yang kita dapatkan); (3) Recusal (abstain) yaitu tidak ikut dalam pengambilan keputusan bila ada konflik kepentingan yang terjadi; (4) Penggunaan pihak ketiga dalam kondisi konflik kepentingan. Untuk dilema etik dalam proses penelitian prinsip disclosure dan penggunaan pihak ketiga untuk menilai batasan etik merupakan praktik standar yang saat ini telah diterapkan sebelum penelitian dimulai dengan adanya penilaian etik oleh lembaga independen. Selain melakukan tinjauan etik secara ilmiah dan nalar manusia, sebagai anak Tuhan tentu kita juga perlu mempelajari beberapa prinsip Alkitab terkait penelitian dan penciptaan. Dalam Perjanjian Lama kita mengetahui bahwa Allah menciptakan manusia “sempurna” yang serupa dan segambar dengan Allah, berkuasa, dan diberkati (Kejadian 1:26-30). Awal kisah indah manusia yang kemudian diganti dengan dosa dan segala akibatnya (Kejadian 3). Dalam perjanjian baru kita menerima penebusan Kristus dan pemulihan manusia. Rangkaian penciptaan-kejatuhan-penebusan-pemulihan menjadi dasar cara pandang kristiani dalam memaknai karya Allah dalam hidup manusia. Dalam hal penelitian, perkembangan teknologi, dan ilmu kesehatan, seharusnya kita senantiasa melakukan refleksi berdasarkan cara pandang tersebut. Dalam meneliti maupun berkarya dalam hidup ini kita perlu menelaah kembali apakah kita melakukan untuk membuktikan kemampuan kita, mendapatkan pengakuan dari orang lain, atau murni kita melakukan karena panggilan dan rencana Allah dalam hidup kita? Seringkali dan berulangkali kita tidak menyadari bahwa dosa dan ego dalam kehidupan kita begitu dominan dan menjauhkan kita dari pimpinan Roh Kudus. Dalam konteks penelitian di Indonesia saat ini teknologi dan sistem penelitian kita masih tertinggal dari negara-negara yang jauh lebih maju, tetapi tidak menutup kemungkinan anak Tuhan untuk terlibat langsung maupun ikut menelaah perkembangan yang terjadi. Tentu kita tidak menyatakan bahwa penelitian dan penemuan baru yang terkait dengan manusia adalah hal yang salah. Kita yakin dan percaya bahwa Tuhan turut bekerja dalam segala perkembangan yang ada dalam kehidupan kita. Namun, jangan sampai kita terlelap atau terbenam dalam kecanggihan teknologi dan menjauhkan diri dari pimpinan Roh Kudus. *) Penulis saat ini bekerja sebagai dokter manajerial di RS UKRIDA /stl

Hubungi Kami

Dapatkan update artikel SAMARITAN terbaru yang dikirimkan langsung ke email Anda.

Daftar menjadi Samareaders sekarang!

Instagram
Facebook
Media Samaritan
Media Samaritan

 Media Samaritan 2022

bottom of page