139 results found with an empty search
- Rejoice in the midst of suffering
Belajar bersyukur dalam kesesakan adalah proses yang sedang saya jalani. Dua tahun yang lalu, kami dianugerahi Tuhan seorang anak yang punya kelainan bawaan berat dengan survival rate yang rendah pada saat dilahirkan. Di tengah kerinduan kami untuk mempunyai seorang anak, diagnosis dokter saat itu tentunya membuyarkan pengharapan dan kerinduan kami tentang masa depan anak kami. Kekhawatiran tentang proses kehamilan sampai melahirkan, kebingungan tentang persiapan yang harus kami lakukan pasca anak kami lahir cukup memberikan tekanan dan kedukaan dalam masa saya mengandung. Dalam pandangan saya sebagai manusia, kehamilan dan melahirkan pasti menjadi fase yang paling berat, namun ternyata fase setelah kehilangan anak jauh lebih berat daripada yang saya bayangkan Di saat Tuhan panggil kembali anak kami, keluarga terutama saya sebagai seorang ibu mengalami dukacita yang luar biasa. Proses kehamilan yang tidak mudah, penuh dengan kekhawatiran tentang kesehatan, proses kelahirannya, persiapan yang kami harus lakukan sebagai orang tua sangat sulit dan menguras tenaga. Segala rencana yang kami persiapkan, ternyata tidak berjalan sesuai dengan yang direncanakan dan itu membuat kekecewaan dan dukacita yang mendalam bagi saya sebagai orang tua. Bagaimana saya tetap bisa berperan sebagai istri dan orang tua di saat energi dan pikiran saya tersita dalam masa berduka membuat saya semakin menutup diri dan mengalihkan duka saya dan bersikap baik-baik saja. Sama seperti Tuhan telah menyertai saya dan keluarga dari awal proses ini sampai saat ini, Tuhan menaruh kegelisahan di hati saya bahwa saya menjalani proses berduka dalam cara yang salah. Ternyata, Tuhan sediakan pertolongan tepat pada waktu-Nya lewat orang-orang dan cara yang mengagumkan. Tuhan mengizinkan saya bertumbuh dalam proses berduka, belajar mengekspresikan diri dengan jujur baik kepada Tuhan maupun orang di sekitar kita dan menerima rasa sedih karena kehilangan orang yang dikasihi, sekalipun itu sulit. Saya percaya bahwa Tuhan mengizinkan rasa dukacita itu hadir dalam kehidupan saya agar saya dibentuk dan belajar, bahwa Tuhan punya rencana yang baik untuk kita yang mengasihi-Nya (Roma 8:28). Sesuatu yang saya pelajari bahwa bersukacita dalam kesesakan bukan berarti kita tetap tertawa pada saat kita harus menangis, atau kita berpura-pura baik-baik saja saat kita memang butuh pertolongan. Di dalam Pengkhotbah 3 dikatakan segala sesuatu ada waktunya, ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa, ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal. Bersukacita dalam kesesakan maknanya lebih jauh tentang bagaimana kita menikmati setiap waktu yang Tuhan beri dengan tetap bersyukur bahwa kita diizinkan untuk melewati proses itu dan bertumbuh di dalamnya. Bersukacita dalam kesesakan saya maknai dengan bersyukur; bahwa saya bisa menangis, bisa mengekspresikan rasa dukacita saya yang mendalam karena kehilangan seseorang yang dikasihi. Dalam Filipi tertulis “nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” Berdoa dan minta Tuhan untuk menyertai dalam masa berduka dan membuka hati kita untuk dibentuk-Nya. Not time will heal, tapi Tuhan yang memulihkan. Saya tidak tahu kapan masa berduka saya akan selesai, tapi saya menjalaninya dengan pengharapan bahwa sukacita dan damai sejahtera sesungguhnya sudah saya temukan di dalam Dia - Tuhan yang mengasihi dan rela disalib untuk dosa manusia. *Penulis melayani di salah satu RSUD di Jakarta /stl
- Compassion Under Tension
Compassion berasal dari bahasa Latin Pati yang berarti “to suffer with” atau dapat diartikan sebagai perasaan sangat kuat yang lebih dalam dari simpati disertai keinginan yang besar untuk menolong karena didorong adanya perasaan berbelas-kasihan yang dalam. Compassion dalam bahasa Indonesia dikenal juga dengan belas kasihan, seringkali menjadi alasan seseorang dalam memilih profesi dokter atau tenaga medis lainnya. Seorang dokter yang saya kenal baik, menjadi dokter karena terinspirasi kisah David Livingstone, dokter dan misionaris, yang melayani masyarakat Afrika hingga akhir hidupnya karena didorong oleh belas kasihan pada mereka yang belum mengenal injil dan jauh dari kedokteran modern. Demikian juga ketika saya akhirnya memutuskan untuk menjadi psikiater, hati saya sungguh tergerak ketika melihat kehidupan para ODGJ yang menderita karena penyakitnya dan tambah menderita karena seringkali tidak ada yang mengerti dan menolong mereka, malahan mendapatkan stigma negatif dan perlakuan tidak manusiawi dari orang di sekitarnya. Seiring berjalannya waktu, melalui sistem pendidikan dan praktek kedokteran, melihat bagaimana teladan senior dalam memperlakukan pasien, serta terlalu banyaknya penderitaan di sekitar kita dapat membuat perasaan menjadi tumpul sebagai bentuk mekanisme pertahanan mental. Besarnya tuntutan pendidikan dan pekerjaan baik secara fisik maupun mental membuat seseorang melihat pasien tidak lagi sebagi subjek belas kasihan tetapi sebagai objek. Misalnya, ketika berjalan di bangsal mungkin beberapa dari kita tidak lagi mengenali pasien dengan nama, melainkan “Bed A pasien kanker stadium terminal status DNR”, bahkan kita seperti kehabisan energi untuk mengenali dan mendalami penderitaan yang dialami pasien tersebut. Setelah beberapa tahun menjalani pendidikan ataupun praktek kedokteran, seringkali dokter menjadi dingin dan datar dalam membicarakan kondisi pasien yang kritis atau memberikan kabar buruk mengenai kondisi pasien kepada keluarga tanpa melibatkan perasaan. Dewasa ini, semakin marak dokter dan tenaga medis yang terlalu sibuk karena banyaknya jumlah pasien dan terburu-buru saat menangani pasien. Pekerjaan menjadi rutinitas melelahkan yang membuatnya kehilangan kepekaan untuk merasakan penderitaan pasien, bahkan hilangnya belas kasihan terhadap pasien ataupun keluarga. Adakah teladan yang benar-benar menunjukkan kepedulian dan belas kasihan terhadap orang yang dilayani? Saya rasa tidak ada tokoh yang lebih baik dalam menunjukkan teladan pelayanan penuh belas kasihan yang tidak ada habisnya dibanding Yesus sendiri. Yesus, ditengah kesibukannya, menjadi teladan belas kasihan yang nyata. Yesus tidak pernah tidak sibuk di sepanjang hidup-Nya. Ia memberikan pelayanan-Nya berkeliling mengajar para murid-Nya dan orang banyak serta menyembuhkan banyak orang. Namun, melihat penderitaan di sekeliling tidak pernah menjadikan-Nya terlalu sibuk untuk sekedar berhenti dan menyentuh, bahkan ketika para murid menghalangi orang buta yang berteriak memanggil Yesus, atau perempuan yang dianggap najis karena perdarahan menyentuh jubah Yesus. Yesus melihat lebih jauh daripada yang dilihat para murid-Nya. Dia dapat mengenali kebutuhan terdalam dari penderitaan seseorang. Ketika sedang berjalan melewati Nain, Yesus melihat acara pemakaman seorang janda yang memakamkan putra tunggalnya; “Dan Ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepadanya “Jangan menangis” (Lukas 7:13). Yesus melihat janda tersebut telah kehilangan satu-satunya pengharapan dalam hidup yang membuatnya berduka sangat dalam. Ia sangat tergerak oleh belas kasihan sehingga Ia berhenti dan menghidupkan kembali putra janda tersebut. Sebagai seorang dokter yang sudah bertahun-tahun menjalankan profesi, menyaksikan ratusan mungkin ribuan kasus yang sama dan begitu banyak penderitaan membuat hati kita mengeras. Hal sederhana seperti menatap mata pasien ketika berbicara, mendengarkan dengan sungguh-sungguh setiap keluhan dan cerita pasien, mencoba memahami kecemasan pasien dan keluarganya, atau memberikan sentuhan yang mungkin sudah jarang kita lakukan. Hati Kristus-lah yang kita butuhkan, hati yang remuk melihat penderitaan sesama, yang menggerakkan kita untuk melakukan tindakan kedokteran kita dengan berbeda. Kita hadir seutuhnya dalam penderitaan pasien dan menolong mereka sehingga dapat merasakan kasih Tuhan mengalir memberikan kelegaan, kesembuhan, dan pemulihan. Berdoalah - minta hati seperti Yesus dan cara pandang Yesus melihat dunia ini. Biarkanlah Tuhan melembutkan hati kita yang mungkin sudah mengeras agar dapat melayani pasien-pasien yang kita hadapi dengan penuh belas kasihan. Bangunlah hubungan pribadi dengan Tuhan setiap hari, yang menjaga hati kita tetap selaras dengan hati Tuhan, agar kita memiliki kepekaan untuk melihat dan mengetahui apa yang akan Yesus lakukan ketika berhadapan dengan situasi tertentu. Seperti layaknya dua orang sahabat yang saling memiliki perasaan dan mengetahui persis apa yang disukai dan tidak disukai sahabatnya karena kedekatan relasi serta pengenalan yang baik. Jangan tinggalkan hubungan pribadi dengan Tuhan, jangan tinggalkan persekutuan pribadi kita dengan-Nya setiap hari agar memiliki kepekaaan dan hati seperti Kristus. *Penulis saat ini melayani sebagai psikiater di Jakarta /stl
- Bersukacitalah Senantiasa: Toxic Positivity?
Orang yang mengalami depresi seringkali disematkan stigma “kurang iman”. Saat Alkitab dengan jelas menyatakan untuk kita “bersukacitalah senantiasa” (Filipi 4:4), namun mereka yang depresi sangat sulit untuk merasa bahagia (bahagia dan sukacita adalah kata yang dapat digunakan bergantian). Akhirnya, mereka yang dengan kondisi depresi diasumsikan sebagai orang yang tidak percaya dan abai mempraktekan Firman Tuhan dalam hidup sehari-hari. Tidak heran jika seringkali penyelesaian gangguan mood cukup dalam dimensi rohani, karena di dalam Tuhan seseorang seharusnya senantiasa bersukacita. Bisa jadi, justru himbauan bersukacita malah menjadi beban yang membuat seseorang semakin terpuruk dalam kondisi depresi, jika diberikan tanpa empati. Namun memang aneh, perintah ini seakan-akan adalah suatu ide toksik positivitas. Bagaimana kita bisa bersukacita di saat-saat sulit, bahkan dalam kondisi depresi. Apakah ini artinya menyangkali keberadaan sesungguhnya. Jadinya, seakan-akan perintah ini mengabaikan kompleksitas aspek psikologis manusia bahwa kita semua dapat mengalami beragam emosi, termasuk kesedihan, kecemasan, hingga gangguan seperti depresi. Ada beberapa hal yang dapat kita refleksikan : Emosi negatif adalah manusiawi. Bahkan, emosi kita seringkali kompleks dan terjalin bersama. Kita bisa merasakan sukacita dan kesedihan pada saat yang sama, seperti yang tercermin dalam kehidupan Yesus. Ia adalah "Man of Sorrow", namun juga merasakan sukacita, bahkan di tengah penderitaan salib. Christian worldview tidak melihat depresi semata dosa, tetapi dampak dari kejatuhan manusia dan dunia yang berdosa. Begitu banyak faktor seseorang mengalami depresi. Respon dan kerentanan kita dapat membuat kita mengalami depresi. Psikososial dunia berdosa juga bisa membebani seseorang sehingga jatuh dalam kondisi depresi. Jadi tantangan untuk bersukacita adalah hal nyata, terlepas dari sekedar peran iman seseorang. Namun perintah Tuhan ini mengingatkan kita - di dalam Tuhan, kita bisa bersukacita walau menghadapi situasi yang sulit. Memang, Alkitab mengajarkan suatu paradoks yang perlu dipahami melalui kacamata iman. Saat kita melihat orang lain, situasi, lingkungan, bahkan diri kita sendiri, ada saatnya kita kehabisan alasan untuk bersukacita. Namun, selalu ada alasan: di dalam Tuhan. Perintah untuk bersukacita “di dalam Tuhan”, berarti sukacita bertumpu pada keberadaan Allah yang berdaulat, tidak berubah, setia memelihara dan baik dalam segala rancangan-Nya. Sukacita ini mampu melampaui berbagai situasi, bahkan keberadaan diri kita. Sukacita merupakan keputusan kita. Baik apa yang kita pikiran dan lakukan. Bagaimana jika perasaan kita sulit untuk sukacita? Apakah sukacita berarti “emotionless” dan dibuat-buat. Dalam pandangan kognitif, pikiran, perasaan dan perilaku itu berkaitan. Ketika kita memutuskan untuk pemikiran kita diarahkan pada sukacita di dalam Tuhan, maka perasaan dan perilaku kita akan juga selaras. Juga, saat kita melakukan hal-hal yang membawa sukacita di dalam Tuhan, maka perasaan dan pemikiran kita juga akan selaras. Lebih jauh lagi, di dalam Tuhan, bukan sekedar keputusan stoik, namun sukacita ada di dalam anugerah Tuhan. Mengutip Alcorn mengenai sukacita, “People can borrow certain values from a Christian worldview, but without faith in Christ and the indwelling Spirit as an agent of change, they’re left without a solid foundation for happiness.”** Di dalam Tuhan, ada dasar yang teguh untuk bersukacita. Lebih dari itu, Ia memberikan kekuatan yang memampukan kita untuk bersukacita, bahkan di situasi yang sulit. Ini adalah sukacita yang bisa melampaui situasi. Terakhir, sukacita ataupun kebahagiaan adalah hal yang perlu kita kejar. Namun, temukanlah di dalam Tuhan. *Penulis saat ini melayani di Bandung ** Randy Alcorn, Happiness, 2015 /stl
- Kristus, Tuhan yang Tersalib dan Penderitaan Kita - Eksposisi Filipi
Ketuhanan Kristus adalah salah satu pengajaran yang sangat penting dalam Alkitab. Yesus Kristus adalah Tuhan yang berkuasa dan berdaulat atas alam semesta. Dia ada sebelum segala ciptaan dan segala sesuatu diciptakan di dalam Dia. Di dalam Dia, kita hidup, bergerak dan ada. Kita tidak mungkin hidup di luar Dia. Yang menarik, Alkitab juga mengklaim bahwa Yesus bukan hanya pencipta, Tuhan di atas segala tuhan dan Raja di atas segala raja. Dia bukan hanya Allah yang transenden, tetapi Ia juga adalah Tuhan atau Allah yang imanen, yang berinkarnasi menjadi manusia. Ia rela merendahkan diri begitu rendah sehingga Ia bisa merasakan penderitaan kita. Dalam Filipi 2:6-8 jelas dituliskan bagaimana Yesus merendahkan diri. Hal ini dinyatakan secara negatif (apa yang tidak dilakukan, ayat 6) maupun positif (apa yang dilakukan, ayat 7-8). Secara negatif pada ayat 6 di jelaskan bahwa Yesus yang walaupun dalam rupa Allah, atau adalah Allah itu sendiri, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan. Yesus kemudian secara positif, mengosongkan diri dan mengambil rupa hamba dan menjadi sama dengan manusia. Yesus merendahkan diri dengan menjadi manusia dan hamba. Ia bukan hanya datang menjadi manusia, tetapi Ia datang menjadi hamba/pelayan, seperti tertulis dalam Matius 20:28, “sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”. Yesus merendahkan diri sampai sebegitu rendah karena Ia datang untuk melayani manusia bahkan sampai mati di kayu salib. Kematian di kayu salib bukan hanya kematian yang rendah, melainkah kematian yang begitu hina dan merupakan aib yang sangat besar karena itu berarti terkutuk (Galatia 3:13). Dalam budaya Yunani-Romawi, kematian di kayu salib adalah kematian yang sangat mengerikan. Akibatnya anak-anak kecil dilarang untuk membicarakan tentang hal ini karena dianggap tabu dan tidak pantas. Ada sadisme yang berlebihan dan kesakitan yang tak terkatakan dalam penyaliban. Sikap Kristus yang tidak mau mempertahankan semua keistimewaan-Nya sebagai Allah merupakan wujud kerendahan hati yang luar biasa. Dia melepaskan hak-hak prerogatif-Nya sebagai Allah. Dia menjadikan diri-Nya terbatas dalam banyak hal (misalnya, Ia bisa lelah, haus) bahkan Ia mengizinkan diri-Nya untuk dikhianati, disangkali, diludahi, ditampar, dipukuli, hingga disalibkan. Dia menjadikan diri-Nya bergantung total pada Bapa walaupun Dia sendiri sebenarnya sempurna dan setara dengan Bapa. Tidak sampai di situ saja. Dia bahkan rela menjadi hamba yang merengkuh penderitaan dan kematian paling merendahkan dan menyakitkan. Semua ini Dia lakukan demi kita, orang-orang yang hina dan berdosa. Allah yang begitu agung dan mulia, yang jauh dari penderitaan, menjadi mungkin menderita, bahkan telah mengalami penderitaan yang sangat hebat karena rela menjadi manusia dan terpaku di kayu salib. Dia mengalami penderitaan bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara psikologis, emosional, sosial, politik yang spiritual. Apa yang kita bisa pelajari dari fakta bahwa Yesus yang walaupun adalah Tuhan di atas segala tuhan, tetapi telah rela merendahkan diri hingga mati di kayu salib untuk menggantikan kita? Apa hubungan perendahan diri Kristus, salib, dan penderitaan yang begitu besar, dengan segala hal yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia? Kekristenan tidak menjawab pertanyaan itu. Tuhan memberikan – bukan jawaban atas dilema intelektual – tetapi penyelesaian atas masalah tersebut melalui Kristus yagn walaupun Tuhan yang secara logika tidak mungkin menderita, rela datang ke dunia merendahkan diri menjadi hamba dan memikul penderitaan yang begitu hebat di salib. Di tengah penderitaan dunia (seperti perang di Ukraina yang sudah menelan banyak korban, bencana alam, kemiskinan, dan penindasan), kita melihat TUhan bersama kita dan percaya bahwa Dia mampu menanggung beban kita dan membebaskan kita dari keputusasaan. Mengapa? Karena Dia tidak jauh dari rasa sakit kita, dari penderitaan kita, dari air mata dan dukacita kita. Dia memahami penderitaan kita karena Yesus Kristus – Allah dalam rupa manusia – menderita di kayu salib. Karena salib, kita tahu bahwa Tuhan tidak pernah absen dari penderitaan dan rasa sakit kita. Karena saliblah, kita dapat mengalami pengampunan dan rekonsiliasi dan perdamaian dengan Allah. Karena salib, kita mempunyai pengharapan yang kokoh bahwa Allah adalah sungguh Immanuel. Saat kita menyaksikan kejahatan dan penderitaan di dunia ini, kita mungkin berteriak ”Dimana Allah? Mengapa Tuhan ijinkan ini terjadi?” Tuhan tidak memberi kita penjelasan. Dia memberi kita Anak-Nya yang Tunggal yang telah merendahkan diri menjadi manusia, menjadi hamba dan mati di kayu salib. Salib adalah jawaban Allah atas seruan kita. /stl *Penulis saat ini melayani di OMF Indonesia.
- Pekerjaan yang Membawa Sukacita: Refleksi MMC XVI
“Your vocation in life is where your greatest joy meets the world’s greatest need” – Frederick Buecher Memiliki pekerjaan yang membawa sukacita bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga orang lain adalah impian yang tampak idealis bagi mahasiswa yang baru lulus. Namun, idealis tanpa dasar biblikal dapat membawa celaka terutama bagi tenaga medis yang baru lulus. Mereka hanya menilai pekerjaan berharga berdasarkan penilaian manusia semata, iming sukacita berdasarkan materi, ketenaran, dan ambisi. Untuk itulah, Medical Mission Course (MMC) XVI tahun 2023 kembali diadakan, 5 Maret – 23 April 2023. Dari MMC pertama hingga sekarang, Allah sungguh menunjukkan tuntunan-Nya. Selama dua tahun terakhir, MMC diselenggarakan secara virtual dari domisili masing-masing karena pandemi. Namun, memperhatikan kondisi pandemi yang semakin terkendali dalam beberapa bulan belakangan, rangkaian MMC XVI dapat dilaksanakan secara tatap muka seperti semula. Allah terus menyertai, Allah yang sama dari dulu hingga sekarang. Rangkaian MMC XVI diikuti oleh 10 peserta, 7 dokter umum dan 3 perawat dari berbagai daerah berkumpul di Jakarta selama empat minggu. Seminggu pertama dimulai dengan sesi kelas dasar untuk memperlengkapi bagaimana mencari kehendak Allah secara mandiri, mengenal gambaran besar misi global Allah, mengenali dan menggumulkan panggilan pribadi secara spesifik dalam dunia misi medis. Kemudian selama dua minggu selanjutnya masuk ke sesi eksplorasi dengan membukakan berbagai lembaga misi yang dapat menjadi rekan sekerja, kesempatan mendengar life sharing dari para tenaga medis kristen misioner, serta mendapat pemaparan dari 6 bidang misi medis; Cross Cultural Mission, Urban Mission & Neglected People, Medical Mission Networking, Health Policy, Law & Management, serta Mission Hospital. Beberapa sesi dilakukan secara hybrid sehingga peserta dapat bertemu beberapa narasumber secara virtual dari berbagai daerah yang tidak memungkinkan ke Jakarta. Seminggu terakhir di Jakarta, peserta mendapat kesempatan untuk melakukan praktik lapangan di dalam kota (Jakarta dan Bogor) bersama beberapa lembaga sehingga dapat terjun langsung dalam pelayanan yang dilakukan dalam lembaga tersebut. Selama waktu praktik lapangan baik dalam kota maupun luar kota, peserta diberi kesempatan memilih satu dari enam pilihan bidang misi medis yang dipaparkan sebelumnya untuk menjadi langkah awal dalam menemukan dan menekuni panggilannya. Kemudian, selama dua minggu, rangkaian MMC XVI terpisah menjadi dua tim; RSU Bethesda Serukam dan RS Mardi Waluyo Lampung. Peserta dapat mengobservasi pelayanan klinis dan administratif rumah sakit misi, melihat gambaran kesempatan dan tantangan pelayanan misi dalam rumah sakit, pelayanan kerohanian serta belajar memberitakan Injil kepada para pasien dengan menerapkan prinsip Pelatihan Saline. Peserta juga mendapatkan kesempatan mendengar langsung kesaksian hidup dari staf, dokter, dan pelayan di masing-masing rumah sakit. Baik RSU Bethesda Serukam maupun RS Mardi Waluyo memiliki program unggulan masing-masing yang memperkaya pengalaman para peserta. Peserta mengobservasi pelayanan FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) dan PKMD (Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa) yang merupakan program tetap RSU Bethesda Serukam. Sedangkan di RS Mardi Waluyo Lampung, peserta belajar konsep pelayanan ekstramural, mendapatkan pengalaman secara nyata dalam melihat, mempelajari, dan terlibat dalam pelayanan misi ekstramural, serta mendapatkan kesempatan live in di daerah terpencil, sehingga peserta melayani sesuai dengan kebutuhan desa tersebut. Peserta kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan minggu terakhirnya dengan beberapa sesi dan konseling akhir, serta ditutup dengan ibadah penutup dan pengutusan. Rangkaian MMCV XVI selama 7 minggu itu berjalan dengan baik berkat penyertaan Tuhan. Terlepas dari segala kekurangan, doa terus mengalir bagi kesepuluh peserta – Tuhan berkenan memampukan dan meneguhkan mereka dalam mengerjakan panggilan agung Allah, setia dan taat sampai akhir. Sebagai panitia, kami bersyukur dapat menjadi perpanjangan tangan Tuhan, bersama seluruh mentor, narasumber, lembaga/yayasan misi yang sudah terlibat serta donatur yang telah setia mendukung dan mendoakan. Kiranya kita terus berjalan dalam rencana Tuhan, setia mendengar-Nya dan tetap penuhi panggilan-Nya. *Penulis merupakan salah satu panitia MMC XVI /stl
- Mengelola Stres Lewat Keintiman Pasutri
Perubahan drastis telah melanda institusi pernikahan dewasa ini. Perubahan tersebut membawa konsekuensi yang luar biasa, antara lain mengubah perasaan, harapan, nilai-nilai dan pola tingkah laku manusia. Salah satu dimensi keluarga yang sangat dipengaruhi adalah hilangnya relasi yang intim antara suami-istri. Keadaan sosial masyarakat kini melahirkan masyarakat dan keluarga yang makin individualis dan impersonal. Akibatnya manusia makin jauh dari relasi, bahkan dari orang terdekat sekalipun seperti keluarga. Di sisi lain, manusia pada dasarnya adalah mahluk sosial (social being). Artinya, manusia membutuhkan ikatan (bonding) atau hubungan yang intim dengan orang-orang yang terdekat, khususnya keluarga. Ikatan batin ini penting sebab menjadikan seseorang tahan terhadap stres dan kecemasan. Akibat tuntutan kehidupan dan nilai hidup yang mengutamakan uang membuat banyak ibu harus bekerja di luar rumah. Bekerja tentu bukan masalah, namun akibatnya mereka menjadi kurang mempunyai waktu menciptakan hubungan yang saling membangun dengan pasangan dan anak-anak. Berkurangnya waktu bersama keluarga, khususnya anak-anak, menambah stres dan konflik tersendiri. Konflik tersebut menurut James Levine adalah konflik antara ‘mengutamakan kehidupan kerja atau keintiman keluarga’. Baik suami maupun istri mengalami stres, yang berperanan menciptakan keluarga-keluarga yang disfungsi. Keintiman Tinggi, Stres Rendah Beberapa hasil penelitian menunjukkan keintiman berkaitan erat dengan stres. Relasi yang intim bisa menjadi semacam benteng bagi efek negatif dari stres. Survei membuktikan, mereka yang intim dengan pasangan, lebih sedikit mengalami sindrom yang berkaitan dengan stres dan paling cepat mengatasi berbagai penyakit. Mereka juga paling sedikit kemungkinan kumat dengan penyakitnya dibandingkan mereka yang tidak memiliki relasi yang intim. Untuk itu, orang yang menikah perlu belajar merawat dan mengembangkan keintiman, sebab ini berkaitan dengan kesehatan Anda. Secara praktis, berikanlah waktu yang cukup bersama pasangan. Usahakan Anda menjadi teman bicara yang menyenangkan, sedikit ada humor dan canda. Sukalah membantu ketika pasangan membutuhkan pertolongan. Anda tidak hanya fokus pada bisnis dan karir pribadi, sebaliknya perhatikan pada pasangan Anda. Berusahalah memikirkan bagamana agar pasangan Anda senang dan puas. Merawat cinta berarti peduli, bersedia berbagi dan menyatakan diri pada pasangan tanpa rasa takut atau berpura-pura. Ada kerelaan memelihara pasangan dan memproteksi kebutuhan fisiknya dengan baik. Dalam hal ini termasuk berkorban bagi pasangan, membela pasangan saat dia terancam. Semua ini akan memberikan pasangan Anda rasa aman yang paling mendasar. Bentuk-bentuk keintiman antara lain: Keintiman emosi. Ini merupakan pengalaman kedekatan secara perasaan, kemampuan membagikan perasaan secara terbuka, dan mendapat perhatian penuh dari pasangan. Wujudnya adalah kerinduan untuk bersama, ada kesukaan ngobrol dan jalan berdua. Intinya, sediakan waktu bermesraan secara emosi. Keintiman sosial. Pengalaman memiliki teman dan kegiatan sosial bersama-sama. Wujudnya, tidak mudah cemburu. Sebaliknya mau akrab bergaul dengan sahabat pasangan Anda. Menyediakan waktu ngobrol dan bertemu dengan sahabat masing-masing. Keintiman seksual (bagi suami-istri). Ini adalah pengalaman menyatakan afeksi, sentuhan, kedekatan secara fisik dan aktivitas seksual. Wujudnya adalah punya rasa tertarik pada tubuh pasangan, mengalami orgasme dan bebas dalam mengkomunikasikan masalah seksual. Tipsnya, sediakan waktu berkala menikmati hubungan seksual dengan pasangan Anda sesuai kebutuhan dan kesepakatan, juga kreatif melakukannya. Keintiman rekreasional. Pengalaman membagi kesukaan lewat hobi, olahraga, dan rekreasi bersama. Kemampuan menikmati waktu senggang bersama. Rencanakan berlibur setidaknya dua kali setahun, yang menyenangkan bagi kedua belah pihak termasuk anak-anak. Keintiman spiritual. Kemampuan menikmati persekutuan bersama secara rohani, bertumbuh secara iman serta saling mendoakan. Selain menikmati iman yang utuh, perlu saling menguatkan saat pasangan dalam kondisi tertekan dan banyak pergumulan. Anda menjadi teman sharing menyenangkan dan menguatkan Jika Anda bisa membangun dan merawat keintiman di atas, maka Anda membawa kenikmatan, kepuasan pada pasangan dan diri Anda sendiri. Anda menikmati kegembiraan, kedamaian, ketentraman, dan minim stres. Sebaliknya, jika Anda tidak merawat cinta dan keintiman dapat membawa hasil yang negatif. Kiranya Tuhan terus menolong dan memelihara keintiman Anda dan pasangan, bagi kemuliaanNya. *Penulis melayani sebagai konselor di Layanan Konseling Keluarga dan Karir LK3 /stl Referensi: 1. Len Sperry & J. Carlson. Marital Therapy. Love Publishing Company, Colorado, 1991 2. Seni Merawat Keluarga, Julianto Simanjuntak dan Roswitha Ndraha (Pelikan Indonesia) 3. Mengubah Pasangan Tanpa Perkataan (Julianto Simanjuntak dan Roswitha Ndraha , VISI- Bandung) 4. Alasan-alasan Mempertahankan Perkawinan (Benjamin Utomo dan Julianto Simanjuntak)
- Kebebasan Melalui Self-Forgetfulness
Judul : The Freedom of Self-Forgetfulness: The Path to True Christian Joy Penulis : Timothy Keller Halaman : 48 pages Penerbit : 10Publishing, 2012 Cukup sulit mencari padanan kata “self-forgetfulness” dalam bahasa Indonesia yang singkat tanpa mengurangi maknanya. Self-forgetfulness menekankan pentingnya orientasi pada apa kata Tuhan daripada opini orang lain bahkan opini kita sendiri. Dalam buku ini, Tim Keller mengulas self-forgetfulness sebagai tanda hidup yang telah bertransformasi. Kita sebagai manusia dihadapkan pada dua potensi cara pandang ekstrim yang perlu diwaspadai. Cara pandang yang terlalu tinggi terhadap self esteem (umumnya diterjemahkan sebagai “harga diri”), merupakan penyebab dari banyak permasalahan. Di jaman kuno, jemaat Korintus saling membanggakan diri sebagai murid dari Apolos, sebagian membanggakan Paulus, sehingga berpotensi perpecahan dan konflik horizontal yang akhirnya memicu teguran dari Paulus. Begitu juga sebaliknya, cara pandang yang terlalu rendah terhadap self esteem juga problematik. Kita dapat melihat orang melakukan kriminalitas, melakukan penganiayaan, kecanduan, yang jika ditelisik disebabkan oleh rasa tidak puas atas citra dirinya. Membangun identitas di atas cara pandang yang keliru, baik terlalu tinggi maupun terlalu rendah memandang citra diri, adalah ibarat balon. Meski tampak berisi, balon hanya kosong berisi angin; ia juga “membengkak” yang menyakitkan; serta “mudah meletus” alias rapuh. Dengan demikian, cara pandang yang tepat terhadap self-esteem menjadi kunci. Ini akan menjauhkan kita dari overthinking sehingga membuat kita terbebas dari intimidasi pikiran yang tidak perlu. Paulus menunjukkan bagaimana Injil telah mengubahkan caranya memandang harga dirinya dan identitasnya. Egonya berubah total setelah mengalami perjumpaan dengan Kristus. Cara pandang Paulus mengenai dirinya tidak terikat pada penilaian orang lain terhadap Paulus. Namun sebaliknya juga tidak lantas Paulus mengikuti opini dirinya sendiri. Adalah jebakan juga jika kita hidup menurut standar pendapat kita sendiri, yang menjadikan kita keras kepala dan menghalangi diri menjadi pribadi yang lebih baik. Paulus hanya peduli terhadap penilaian Tuhan atas dirinya. Perlu diperhatikan bahwa hal ini tidak ada kaitannya dengan dosa. Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa, dan di antara mereka akulah, kata Paulus, yang paling berdosa. Dosanya dan identitasnya tidak saling berhubungan. Paulus menolak mencampurkannya. Dia tidak ingin naturnya sebagai orang berdosa menghancurkan cara pandangnya terhadap citra dirinya. Ini tesnya: orang yang self-forgetful tidak akan sedemikian sakit hati karena kritik. Kritik tidak akan menghancurkannya, tidak akan mengganggunya. Orang yang hancur karena kritik menandakan bahwa ia menaruh terlalu banyak kepeduliannya pada pikiran orang lain. Demikian sebaliknya, orang juga bisa hancur justru karena orang tidak mau mendengar kritik sama sekali. Mereka tidak belajar dari kritik karena tidak peduli. Orang yang self-forgetful mendengarkan kritik dan melihatnya sebagai peluang untuk perbaikan. Terdengar idealis memang, namun sebetulnya ini merupakan akibat logis dari pengenalan akan Tuhan. Semakin kita mengerti Injil maka sudah sepantasnya kita semakin ingin berubah ke arah yang lebih baik. Paulus memberikan teladan dan menunjukkan cara mengalami transformasi cara pandang terhadap diri sendiri. Paulus, dan semestinya kita juga, meyakini ultimate verdict bahwa kita berharga di mata Tuhan dan hanya penilaian Tuhanlah yang berarti bagi kita. Tidak seperti worldview lain dimana kita berbuat baik demi memperoleh perkenanan Tuhan. Dalam kekristenan perkenanan Tuhanlah yang terlebih dahulu menuntun kita pada pertobatan dan buah yang baik dalam hidup kita. Tuhan terlebih dahulu mengasihi dan menerima kita, sehingga kita tidak perlu mempesona siapapun untuk membuat kita nampak lebih baik. Self-forgetfullnes menjadi tanda transformasi hidup dan cara pandang terhadap citra diri, sehingga kita tidak perlu membangun identitas kita di atas kekosongan, yang kemudian menjadikan hidup kita dapat seturut dengan kehendak Allah. /stl
- Apakah Bayi Tabung dapat Menjadi Pilihan bagi Orang Kristen?
dr. Kurnia Baraq, M.Med** dan Dr. dr. Lydia Pratanu, MS*** Pada tahun 1978, dunia digemparkan oleh kelahiran bayi Louis sebagai bayi tabung pertama. Kala itu, tuba fallopi yang tersumbat menjadi latar belakang utama In Vitro Fertilization (IVF) dilakukan – saat ini, hal tersebut tidak lagi menjadi satu-satunya motivasi, dimana perkembangan teknologi molekuler terjadi sangat pesat. Proses bayi tabung, sejak awal menjadi sarang dari berbagai isu etik yang memicu banyak perdebatan oleh berbagai kalangan termasuk orang Kristen. Infertilitas bukanlah suatu hal yang asing dalam kekristenan. Alkitab cukup sering mencatat tentang infertilitas – simak saja Abraham dan Sarah, Hana dan Elkana, dan lain sebagainya. Pasutri Kristen yang rindu menggenapi mandat Allah untuk berkembang biak dan bertambah banyak namun menghadapi masalah infertilitas pada akhirnya diperhadapkan dengan opsi IVF bilamana berbagai opsi lainnya terbukti tidak berhasil. Sebagian dari kita mungkin akan langsung berkata tidak. Tapi, penulis ingin mengajak kita belajar beberapa proses dari IVF yang sarat dengan berbagai isu etik sebelum mengambil keputusan. Pasangan yang akan melalui proses bayi tabung terlebih dahulu harus menjalani pengobatan untuk memperbaiki kualitas sperma bagi laki-laki dan super ovulasi untuk menghasilkan lebih banyak telur bagi perempuan. Selanjutnya, sampel sperma dikeluarkan dengan cara masturbasi dan sejumlah telur yang dihasilkan akan diambil secara langsung melalui proses ovum pick up. Proses fertilisasi di laboratorium mulai terjadi di tahap selanjutnya. Untuk meningkatkan angka keberhasilan terjadinya pembuahan, satu sperma hidup disuntikkan ke pusat sel telur (sitoplasma) yang telah matang (Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI)) dan dikulturisasi sampai mencapai tahapan blastocyst yang terdiri dari 50 – 200 sel untuk dilakukan pre-implantation genetic screening (PGT) yang bertujuan untuk mengidentifikasi terjadinya aneuploidy (PGT-A) yaitu keadaan kekurangan ataupun kelebihan kromosom seperti down syndrome, monogenic disease (PGT-M) yaitu keadaan seperti thalassemia, dan structural abnormalities (PGT-S). Tahapan ini dimungkinkan ketika teknologi sequencing merambah masuk ke dunia kesehatan. Sampel yang digunakan adalah trophectoderm yang merupakan lapisan terluar blastocyst dancikal bakal plasenta. Bila tidak ditemukan masalah dalam screening tersebut maka embrio akan diimplantasi ke dinding rahim dan perkembangan kehamilan secara normal akan dilewati oleh calon ibu tersebut. Sebaliknya, bila ditemukan masalah, menghancurkan embrio menjadi pilihan. Lalu, bagaimana perspektif kita sebagai orang Kristen? Kita percaya bahwa setiap individu merupakan mahakarya unik yang diciptakan Tuhan, tetapi kemudian rusak akibat dosa dan akhirnya sangat rentan mengalami berbagai penyakit serta kecacatan. Dalam hal ini, penggunaan teknologi medis dapat dianalogikan dengan restorasi seni yang menggunakan teknologi canggih dan terkadang invasif untuk mengembalikan sebuah mahakarya. Yang perlu digarisbawahi adalah hasil akhir dari restorasi seni adalah dikembalikannya mahakarya tersebut sesuai dengan niat seniman aslinya. (Wyatt, John. Matters of life and Death, IVP, 2014) Pemanfaatan teknologi reproduksi IVF untuk memulihkan fungsi reproduksi seorang perempuan yang merupakan sebuah mahakarya yang ‘rusak’ akibat infertilitas dapat dilihat sebagai pemulihan suatu ciptaan. Teknologi IVF tidak diperkenankan mengubah desain asal dari the genetic mother, the carrying mother, and the social mother – sebagai desain yang kita percayai dalam iman Kristiani. Dengan kata lain, anak yang lahir melalui teknologi IVF adalah buah persatuan kasih yang secara genetika berasal dari sel sperma dan sel telur kedua orangtuanya sebagai pasangan suami istri dalam pernikahan yang saling mengasihi, dan kemudian dikandung dan dilahirkan oleh ibunya sendiri. Proses bayi tabung pada akhirnya merupakan alat bantu saat organ reproduksi mengalami ketidakmampuan untuk menghasilkan keturunan. Teknologi IVF, perubahan desain, dan nasib embrio Kecanggihan teknologi reproduksi telah membuka peluang terhadap keinginan berdosa manusia untuk mengubah desain Sang Pencipta. Penggunaan donor sel telur, donor sperma, dan bahkan ibu pengganti atau yang kita kenal sebagai surrogate mother telah benar-benar mengubah desain Allah sebagai Pencipta. The God given system of a person dimulai dari pertemuan sperma dan sel telur, sehingga perubahan terhadap esensi pernikahan pria dan wanita yang mencerminkan ikatan hubungan Allah Tritunggal bukanlah ide yang benar. Selain itu, seleksi embrio, pembekuan embrio cadangan untuk reinsertion bila terjadi kegagalan implantasi, dan screening embrio terhadap berbagai kondisi patologis juga menjadi dilema etik yang tidak bisa diabaikan. Kebanyakan nasib akhir dari embrio-embrio tersebut hanya seputar: tetap dipertahankan untuk berkembang atau dimusnahkan (tentunya dengan persetujuan pemilik embrio tersebut). Alkitab sangat jelas mengajarkan kita untuk menghargai kehidupan sejak dalam kandungan. Menghargai setiap jiwa manusia yang telah diciptakan segambar dan serupa dengan Allah dimana Allah-lah sebagai sumber hidup dan Pencipta, bukan manusia. Mazmur 139:13, “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku”. Penutup Bagi orang Kristen, bayi tabung tidak terbatas tentang boleh atau tidak. Sudah seharusnya sebagai pasangan yang bergumul untuk mempunyai keturunan ataupun kita sebagai tenaga medis dan juga seorang Kristen untuk mempunyai pengetahuan yang komprehensif terkait teknologi reproduksi ini. Tentu, iman kita kepada Kristus dan pengetahuan tidak boleh dipisahkan. Karena itu, setiap kemajuan teknologi harus berpedoman pada prinsip memuliakan Allah termasuk teknologi IVF yang kita percaya merupakan anugerah Allah sebagai teknologi restoratif yaitu pemulihan ciptaan sesuai dengan desain Sang Pencipta. *Ditulis dr. Kurnia Baraq, dari seminar “Bayi tabung dan perspektif Kristen” pada 6 Maret 2023 oleh Dr. dr. Lydia Pratanu, MS **Penulis bekerja di NGO bidang HIV di Jabodetabek ***Penulis bekerja di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta /stl
- Perawat Masa Kini: Tantangan dan Pergumulannya
Profesi perawat merupakan salah satu bagian dari tenaga kesehatan dengan proporsi terbanyak di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan tahun 2022 yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tenaga kesehatan di Indonesia mencapai 1,4 juta orang. Dari jumlah tersebut, paling banyak adalah perawat dengan jumlah 563 ribu orang. Hal ini mencerminkan bahwa perawat mempunyai peran yang penting terhadap peningkatan mutu pelayanan kesehatan baik di area pelayanan rumah sakit maupun di puskesmas. Ada beberapa tantangan yang dihadapi perawat saat ini, antara lain: Banyaknya pendidikan tinggi keperawatan yang tidak terstandar Hal ini mempengaruhi kemampuan perawat baru dalam memberikan pelayanan yang profesional dan mempengaruhi kemampuan adaptasi perawat di dunia kerja. Oleh karena itu pentingnya pemerintah memperhatikan standar berdirinya suatu Lembaga Pendidikan Kesehatan (Keperawatan). Saat ini mayoritas pendidikan perawat masih diploma, oleh karena itu pemerintah dan pihak rumah sakit memberikan kesempatan perawat dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang Ners atau Magister Keperawatan sehingga perawat mampu bermitra dengan dokter dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Persepsi perawat adalah “pembantu” dokter hanya bisa dihilangkan dengan peningkatan pendidikan dan kompetensi perawat. Harapan pasien terhadap pelayanan yang lebih baik. Adalah harapan setiap pasien untuk menerima pelayanan kesehatan yang baik. Ketika mendapatkan tindakan atau terapi, yang pasien harapkan adalah perawat yang melayani memiliki kemampuan dan komunikasi yang baik. Sebagai contoh ada perawat yang ahli dalam memasang intravenous (IV) line tetapi tampak jutek atau tidak ramah tentu akan membuat pasien mengeluh. Demikian pula sebaliknya, perawat yang sangat ramah tetapi tidak mampu memasang IV line dengan baik juga akan menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan bagi pasien. Aspek lain dalam pelayanan kesehatan saat ini adalah memberikan edukasi. Salah satu standar pelayanan rumah sakit adalah pasien dan keluarga pasien dilibatkan dalam semua aspek perawatan dan tata laksana medis mereka melalui edukasi. Pasien dan keluarga diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan mengenai kondisi medisnya, diagnosis pasti, serta rencana perawatan dan terapi. Dalam hal ini, individu yang memberikan edukasi diharapkan memiliki pengetahuan tentang topik yang akan diedukasikan dan keterampilan komunikasi untuk melaksanakan edukasi tersebut. Disinilah kemampuan perawat untuk memberikan edukasi kepada pasien menjadi sebuah tantangan. Hal ini karena pasien mengharapkan adanya penjelasan yang detail terhadap kondisi penyakitnya ataupun terkait rencana tindakan yang akan dilakukan setiap harinya. Disaat dokter tidak selalu ada di ruangan perawatan atau hanya mempunyai waktu yang terbatas saat visit pasien, perawat harus bisa hadir dan menjawab tantangan ini. Oleh karena itu perawat perlu meningkatkan kemampuannya terkait penyakit dan perawatannya sehingga bisa memberikan edukasi yang sejalan dengan program dokter yang merawat. Perawat juga harus mampu membuat rencana perawatan sesuai bidang pelayanan keperawatan yang mencakup bio, psiko, sosio dan spiritual pasien. Tantangan kuantitas dan kualitas pelayanan keperawatan. Masalah yang lain adalah beban Kerja perawat yang tinggi. Salah satu komplain pasien yang paling sering di sampaikan adalah respon perawat yang lama terhadap panggilan pasien. Hal ini bisa diakibatkan karena perawat yang memiliki beban kerja yang tinggi serta perbandingan perawat dan pasien yang tidak sesuai sehingga perawat harus melakukan beberapa tugas dalam satu waktu. Belum lagi perawat masih harus melakukan tugas-tugas non keperawatan seperti tugas administrasi, mengantarkan pasien untuk pemeriksaan diagnostik dan yang lainnya. Oleh karena itu pemerintah atau rumah sakit harus membuat regulasi terkait perbandingan pasien dan perawat dan membuat job desk perawat. Hal ini akan membuat perawat mampu fokus dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Tantangan untuk tetap menjadi Garam dan terang. Perawat merupakan profesi yang sering sekali Tuhan ijinkan melihat pribadi manusia dari lahir sampai menutup mata. Melihat pribadi yang mengalami kesakitan dan ketidakberdayaan, marah, putus asa dan mencari pertolongan Tuhan. Oleh karena itu, kita sebagai perawat harus meningkatkan pengetahuan kita, ketrampilan dan komunikasi kita yang baik sehingga bisa menjadi berkat bagi pasien-pasien yang kita rawat. Menjadi perpanjangan kasih Tuhan. Mengisi diri dengan Firman Tuhan adalah dasar yang penting karena kita tidak akan mampu memberikan pelayanan yang baik jika tanpa pertolongan-Nya. Firman Tuhan dalam Kolose 3: 23 berkata “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia”, kiranya menguatkan kita dalam memberikan pelayanan yang terbaik, tidak menjadi “hambar” atau “marah” ketika berhadapan dengan pasien yang terkadang menjadi kasar atau tidak sabar dalam “penderitaan” mereka. Kiranya Tuhan memampukan kita menjalankan panggilan sebagai perawat. /stl *Penulis saat ini bekerja sebagai perawat
- Tak Ada Dikotomi dalam Pelayanan Misi: Misi Integral (bagian 2)
Misi Integral – Misi Allah “Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi.” (Efesus1:9-10) Rencana Allah adalah membawa kesembuhan dan kesatuan pada semua ciptaan di dalam dan melalui Yesus Kristus. Misi Allah adalah menebus seluruh ciptaan yang dirusak oleh dosa kepada suatu kumpulan ciptaan baru yang di dalamnya adalah seluruh ciptaan yang telah ditebus melalui salib dan kebangkitan Kristus. Rencana Allah tersebut tampak sebagai suatu metanaratif Alkitab yang dimulai sejak Kejadian hingga Wahyu yaitu penciptaan, kejatuhan, penebusan dan ciptaan baru yang terpusat dan disatukan di dalam Kristus. Penciptaan: menyatakan manusia yang diciptakan segambar dengan Allah, potensi bersekutu dengan Allah yang hidup dan yang mempunyai misi / mandat melipatgandakan dan memenuhi bumi. Kejatuhan dalam dosa: memerosotkan manusia ke dalam realitas bumi yang telah dikutuk serta kefasikan manusia dan iblis sehingga secara jasmani berada di bawah kehancuran dan kematian, secara intelektual menggunakan kekuatan rasionalitas untuk memberi alasan dan menormalkan kejahatan yang manusia lakukan dan secara sosial relasi manusia terpecah dan secara rohani manusia terasing dari Allah Penebusan: Allah memilih untuk tidak menghancurkan ciptaan-Nya melainkan menebusnya dan melakukannya dalam sejarah melalui beberapa orang dan peristiwa yang dimulai dari panggilan Abraham hingga pada kedatangan Kristus kedua kalinya. Tindakan Allah yang tunggal dan menyelamatkan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian lama dan perjanjian baru. Perjanjian lama menunjukan cakupan maksud penebusan Allah yang dijabarkan dalam sebuah konteks sejarah dan budaya dan memberikan model bagi kita dalam detail yang menajubkan tentang rencana keselamatan sedangkan Perjanjian Baru menunjukan proses penebusan dimana segala sesuatu diperdamaikan dengan Kristus, proses inkarnasi yang menghadirkan Allah tepat di samping kita melalui melalui salib dan kebangkitan Kristus. Ciptaan baru: kedatangan kembali Kristus menyatakan penggenapan terakhir dari keseluruhan maksud sejarah yaitu penebusan dan pembaruan seluruh ciptaan Allah Dengan melihat metanarasi di atas maka sangat jelaslah bahwa keseluruhan isi Alkitab tersebut telah dengan tegas menyatakan misi Allah pada dunia ini yaitu membawa segala sesuatu di surga dan di bumi menjadi satu di dalam Kristus, merekonsiliasinya melalui darah-Nya di kayu salib, mentransformasikan ciptaan-Nya yang telah rusak oleh dosa kepada ciptaan baru dan memberkati seluruh bangsa melalui Injil Yesus. Mentransformasikan dunia yang retak dan berserakan di bawah penghakiman Allah menuju umat yang baru yang diperdamaikan oleh darah Kristus dari semua suku bangsa, bangsa-bangsa, semua lidah dan bahasa akan bersama sama memuji Tuhan. Ia juga menghancurkan kuasa kematian dan kejahatan saat Yesus datang kembali membentuk pemerintahan-Nya yang kekal, penuh dengan keadilan dan kedamaian, dan akhirnya Ia akan tinggal bersama sama kita dan kerajaan dunia akan menjadi kerajaaan milik Allah dan Yesus akan memerintah selamanya. Dengan demikian mendegradasi makna misi Kristen menjadi hanya suatu pesan yang dikomunikasi secara oral dalam bentuk pengabaran Injil saja, dapat berkembang menjadi suatu kesalahpahaman mengenai rencana Allah, bahwa Dia hanya ingin “ menyelamatkan jiwa” dan bukan dalam rangka mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya baik yang ada dibumi maupun di surga (Kolose 1:20) dan bahwa manusia hanya memerlukan pendamaian dengan Allah dibanding menikmati pengalaman kesempurnaan hidup. Misi Umat Allah: Misi Gereja Tuhan mengundang dan memanggil kita untuk bersama-Nya memenuhi rencana besar-Nya untuk semua ciptaan-Nya. Misi Allah haruslah menjadi misi umat Allah, misi itulah yang menjadi misi gereja. Dengan demikian misi gereja adalah kelanjutan dari tindakan penebusan Allah, kelanjutan dari tindakan penyelamatan Allah, ini adaah otoritas terbesar dan amanat tertinggi yang diberikan kepada gereja. Ada banyak upaya untuk mendefinisikan dan menggambarkan misi gereja. Salah satu yang definisi yang banyak diadopsi oleh banyak gereja adalah yang dibuat oleh Dewan Konsultatif Anglikan pada tahun 1984. Dewan tersebut menyusun pernyataan misi untuk Persekutuan Anglikan sedunia yang kemudian diadopsi oleh konferensi pada uskup Lambeth pada tahun 1988 sebagai ’Lima Tanda Misi’. Lima tanda misi tersebut meliputi Penginjlan : Menyatakan kabar baik Pengajaran : Mengajarkan , membaptis dan pemeliharaan orang percaya baru Belas kasihan : Merespon kebutuhan manusia dengan pelayanan kasih Keadilan : Mencari dan mentransformasikan ketidakadilan Peduli ciptaan : Memperjuangkan dan melindungi ciptaan dan mempertahankan kehidupan di bumi Lima tanda misi tersebut kemudian diringkas menjadi suatu 3 misi gereja: Membangun gereja (melalui penginjilan dan pengajaran), membawa orang kepada pertobatan, iman dan ketaatan sebagai murid Yesus. Melayani masyarakat ( melalui belas kasihan dan keadilan) sebagai respon atas pengutusan kita “ kedalam dunia” untuk mengasihi dan melayani, menjadi garam dan terang , melakukan hal baik dan memberikan kesejahteraan bagi orang disekitar kita Peduli terhadap ciptaan ( melalui melalui penggunaan yang benar atas sumber daya melalui aksi dan kepedulian) , memenuhi misi Allah yang pertama kali diberikan pada manusia pada kejadian 1 dan 2. Dengan demikian misi gereja yang diemban haruslah bersifat multisegi dan melibatkan semua komponen natur manusia, dan juga misi yang harus bergantung pada misi Allah yang meliputi seluruh ciptaan dan keseluruhan hidup manusia. Misi yang berorientasi pada kepuasan pemenuhan kebutuhan manusia, termasuk didalamnya kebutuhan akan Tuhan, kebutuhan akan makanan, cinta, rumah, pakaian dan kesehatan mental. PENUTUP Misi integral berarti memahami, memproklamirkan, dan menghidupi kebenaran alkitabiah bahwa Injil adalah Kabar Baik Allah, melalui salib dan kebangkitan Yesus Kristus, untuk individu, komunitas , dan untuk ciptaan yang telah rusak dan menderita karena dosa. Ketiganya tercakup dalam kasih penebusan dan misi Allah, ketiganya harus menjadi bagian dari misi komprehensif umat Allah. Misi integral adalah proklamasi dan demonstrasi Injil. Sebagai bagian dari penginjilan , tujuan proklamasi Kabar Baik tentang Yesus Kristus bukanlah merubah seseorang menjadi soerang individual yang religius yang memisahkan diri dari dunia dalam rangka menikmati keselamatan, tetapi malah sebaliknya tujuan penginjilan adalah mengangkat komunitas komunitas orang percaya untuk hidup dalam terang. Komunitas yang tidak hanya berbicara tentang kasih Tuhan tetapi juga mendemonstrasikanya dalam bentuk yang konkrit, dengan cara melakukan pekerjaan baik yang telah Tuhan sediakan bagi mereka (lih. Efesus 2: 10) dengan penekanan pada perubahan hidup manusia dalam semua dimensinya menurut rencana Tuhan dan memampukan manusia menikmati kelimpahan hidup yang Tuhan ingin berikan dan Tuhan Yesus bagikan pada mereka. Apa yang dialami oleh Manju (artikel bagian 1) dapat menjadi teladan pelayanan kesehatan di tempat kita bekerja, sebagai klinisi, manajemen atau pembawa kebijakan untuk dapat menolong orang yang datang kepada kita bukan saja menolong fisiknya yang sakit tetapi juga dapat menyembuhkan kondisi sosial ataupun ekonomi dan terutama spiritualnya. Berjumpa dengan Tuhan melalui penyembuhan sakit dan pemulihan sosial serta ekonominya - itulah misi integral. *Penulis melayani sebagai neurolog di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta /stl Referensi: Lausanne Movement. Integral Mission is defined as to the poor and oppressed. https://lausanne.org/networks/issues/integral-mission Sherman AL.2011 Kingdom Calling, Penatalaksanaan Vokasi Untuk Kebaikan Bersama. Literatur Perkantas, Jakarta Stot.J. 1994 Isu Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani Yayasan Komunikasi Bina Kasih. Jakarta The Micah Declaration on Integral Mission in Tim Chester (ed) Justice , Mercy and Humility. Integral Mission and the poor. Charlisle, UK. Paternoster.2002.p.19 Vinot.R. What is Integral Mission.www.alnation.ac.uk Wright.C. Integral Mission and The Great Commision. https://www.loimission.net/wp-content/uploads/2014/03/f
- Misi Integral: Yang Sering Luput dalam Pelayanan Misi (bagian 1)
Istilah misi integral bukanlah suatu kata yang umum didengar dikalangan orang orang Kristen bahkan dikalangan aktivis gereja sekalipun. Padahal, topik misi integral harusnya memiliki porsi yang lebih besar terutama saat kita membicarakan tentang misi. Micah Declaration (2001) mendefiniskan misi integral sebagai suatu proklamasi dan demonstrasi gereja, proklamasi yang kita nyatakan memiliki konsekuensi sosial sedangkan keterlibatan sosial yang dilakukan memiliki konsekuensi evangelistik. Deklarasi tersebut menunjukan penegasan bahwa tidak ada dikotomi alkitabiah antara tanggungjawab penginjilan dan sosial dalam pelayanan pengabaran Injil. Kisah seorang penderita kelumpuhan yang ditulis dalam Interseve International berikut ini mungkin dapat menolong untuk dapat memahami misi integral dalam aplikasi dan konteks medis.Manju berusia 19 tahun, cantik dan cerdas, sedang mempersiapkan studi untuk menjadi perawat. Melihat kondisi negara tempat dia tinggal dan dia bisa memilih profesi perawat, dapat disimpulkan bahwa dia tidak memiliki masalah ekonomi. Sampai suatu pagi dia terbangun dalam kondisi lumpuh pada kedua kakinya dan terdiagnosa sebagai myelitis transversa. Suatu kondisi yang jarang ditemukan dan sangat sulit untuk pulih sempurna. Dia hanya bisa terbaring di tempat tidur dan tidak dapat mengontrol miksi maupun defekasi. Setelah terdiagnosa keluarganya membawanya ke ibukota Kathmandu hingga akhirnya ke rumah sakit di India. Setelah menjalani pengobatan selama berminggu-minggu, kondisi kelumpuhan tidak mengalami perbaikan hingga akhirnya keluarga memutuskan membawanya ke dukun. Karena tidak ada perubahan, keluarga Manju menyerah dan Manju dibawa pulang. Dia telah putus asa untuk sembuh dan dapat berjalan seperti sediakala, tetapi masih memiliki tekad untuk berjalan dengan mengandalakn furnitur sederhana di rumah dan dinding untuk setidaknya mengelilingi rumahnya. Setelah satu setengah tahun menjalani kelumpuhannya, Manju semakin tertekan dan depresi. Ia kehilangan harapan untuk berjalan, menikah atau bekerja, dan pada masa depresi itu dia bertemu dengan seorang perawat di Pokhara dan mengajurkannya untuk berobat ke RS tempat dia bekerja. Segera setelah dia datang ke RS tersebut, para dokter yang memeriksa dan mengobatinya melihat tekadnya yang keras untuk ’bangkit kembali’. Manju bekerja keras untuk menggunakan otot yang lemah akibat penyakitnya dan belajar dengan cepat dengan cara terbaik untuk mengoptimalkan semua otot yang lemah tersebut. Dengan belat kaki dan kruk dia mulai berjalan di sekitar rumah sakit, menolak bantuan ketika dia jatuh, belajar mengendalikan usus dan kandung kemihnya. Tetapi hal lain yang penting di RS itu dia mendengar tentang Yesus, dan pada akhirnya menjadikanNya Tuhan atas hidupnya. Para dokter menantikan apa yang Tuhan mau dalam hidupnya, mereka juga mengatur agar dia mengikuti kursus untuk mempelajari keterampilan kantor, dan sungguh menyenangkan bertemu dengannya dari waktu ke waktu, tumbuh secara spiritual dan berkembang sebagai pribadi yang dewasa. Dari perubahan-perubahan yang terjadi pada Manju, perubahan manakah dalam hidupnya yang lebih penting? Apakah perubahan fisiknya yang sudah lebih baik dan mampu berjalan, atau secara sosial, dimana dia yang tadinya sangat bergantung pada keluarganya, saat ini telah menjadi mandiri, atau transformasi spiritualnya dimana dia telah menemukan kedamaian, kebahagiaan dan jaminan keselamatan hanya ditemukan di dalam Yesus Kristus. Ketiga perubahan yang terjadi pada dia adalah penting bagi setiap orang yang Tuhan kasihi. Terfokus hanya pada satu area perubahan saja dan mengesampingkan yang lain akan membuat dia menjadi suatu pribadi yang tidak utuh. Terpusat pada sisi kemajuan rehabilitasi fisik dan sosial dan mengabaikan perubahan spiritualnya akan membuatnya menjadi monumen kebanggaan manusia tanpa mengakui Tuhan yang menciptakan dan menyembuhkan. Sedangkan terfokus dan sosialnya akan membuatnya percaya pada Tuhan tetapi tetap dalam situasi putus asa. Seringkali konteks misi integral menjadi tidak jelas saat dilakukan di banyak tempat dan kesempatan seperti misalnya pada banyak proyek pengembangan masyarakat miskin yang dilakukan oleh orang orang Kristen atau ternyata hanya didonasi orang Kristen. Kegiatan tersebut kerap digaungkan sebagai misi integral, mereka menyebutnya sebagai “pekerjaan baik yang dilakukan oleh orang baik”. Dalam kondisi seperti itu aroma “Tuhan Yang Hidup” sulit untuk dirasakan. Misi dengan cara seperti itu bisa saja dapat dilakukan oleh hanya agensi atau kelompok orang-orang belum mengenal Kristus. Dalam konteks pelayanan medis, sebagai contoh sederhana, kita menemukan banyak kegiatan bakti sosial dan kesehatan masyarakat marginal di daerah rural yang diselenggarakan atas nama lembaga Kristen atau gereja, ternyata pelaku kegiatan tersebut banyak dikerjakan oleh tenaga kesehatan yang belum mengenal Kristus. Setelah acara selesa, tidak ada kelanjutan terhadap kondisi kerohanian masyarakat yang dilayani. Hal ini tentu saja bertentangan dengan apa yang Alkitab tegaskan bahwa manusia tanpa Kristus akan lenyap. Memberi pelayanan kesehatan adalah sangat baik tapi mengingkari perlunya Kabar Baik disampaikan adalah juga mengingkari hakekat manusia yang sakit dan miskin juga memerlukan tabib untuk keselamatan hidupnya. Menolak untuk menyatakan Kabar Baik tentang kasih anugerah Tuhan yang menyelamatkan, akan membuat kita sudah gagal menjalankan mandat yang disampaikan oleh Alkitab. Kontras dengan kondisi di atas, adalah pelayanan misi evangelikal yang ekslusif yang mengabaikan kondisi fisik dan sosial manusia yang dilayani. Yang penting adalah menerima Injil, karena kehidupan kekal lebih utama dan mengabaikan bahwa mereka tetap miskin, tetap sakit dan tetap tidak berdaya. Bila kita membaca 1 Yohanes 3 : 17, “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimana kasih Allah dapat tetap dalam dirinya?”. Demikian juga saat Yesus mengilustrasikan tentang siapakah sesamamu manusia dalam Lukas 10 : 27 untuk mempertegas “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan segenap akal budimu”, Yesus mencontohkan perumpamaan orang Samaria yang baik hati. Yakobus menyimpulkannya dengan jelas di Yakobus 2: 14, berbicara tentang iman tanpa bukti praktis dari iman itu dalam tindakan kasih untuk orang lain adalah sia-sia. Misi integral adalah tentang melakukan transformasi total dalam kehidupan setiap manusia, merupakan suatu bentuk perubahan radikal yang dibawa oleh Yesus dan para pengikutnya. Yesus tidak hanya berkata: “Sembuhlah”, tetapi juga, “Dosamu sudah diampuni”, dengan kedua aspek disatukan dalam pernyataan sederhana, “imanmu telah menyembuhkanmu”. Melakukan misi integral berarti mengasihi pribadi manusia seutuhnya melalui transformasi dan penyembuhan Tuhan yang bekerja di semua bagian kehidupan manusia. Misi yang menjawab keinginan seseorang untuk dapat berjalan lagi, untuk dapat bekerja lagi, untuk bebas dari kecanduan narkoba, dan pada saat yang sama ingin melihat orang yang sama diubah menjadi anak Tuhan dengan harapan bukan hanya untuk masa depan mereka di bumi, tetapi juga untuk masa depan kekal mereka. Titik awal memahami misi integral adalah dengan memahami rencana Allah yang melibatkan seluruh ciptaan. Alkitab secara tegas menyatakan bahwa penyelamatan yang Allah lakukan adalah melibatkan “surga dan bumi yang baru” dan ini berarti bahwa kita tidak dapat memandang keselamatan sebagai bagian yang terpisah dengan proses penciptaan. Rencana keselamatan tidak semata mata pada kehidupan individu di surga tetapi melibatkan transformasi total dari ciptaan termasuk di dalamnya manusia. Itulah misi Allah. *Penulis melayani sebagai neurolog di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta /stl
- Hari Tuberkulosis Sedunia 2023: Kita Akhiri TBC, Indonesia Bisa!
Tenaga kesehatan di Indonesia tentu tak asing dengan penyakit tuberkulosis atau dikenal dengan TB. Faktanya, tahun 2022 Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan beban penyakit tuberkulosis tertinggi kedua di dunia (setelah India dan sebelum Cina). Penyakit ini masih menjadi beban kesehatan yang signifikan di Indonesia dengan estimasi insiden sebesar 969.000 kasus per tahun dan 354 Per 100.000 penduduk dengan mortalitas 144.000 per tahun. Per jam, 16 orang meninggal karena penyakit yang bisa dicegah dan disembuhkan ini. Belum lama ini kita memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS) yaitu tanggal 24 Maret. Tema global Hari TB Sedunia adalah “Yes! We can End TB" dan tema yang dipilih oleh Indonesia adalah tema yang berkaitan dengan kerja sama multipihak untuk mencapai eliminasi TB, yaitu “Ayo Bersama Akhiri TBC, Indonesia Bisa!”! Pertanyaannya, mampukah? Beberapa hal berikut diperlukan untuk dapat mewujudkan cita-cita bersama menuju eliminasi TB 2030 (insiden 65 per 100.000 penduduk dan kematian turun menjadi 6 per 100.000 penduduk), yaitu: Meningkatkan keterlibatan sector swasta sebanyak 90% untuk memberikan pelayanan TB sesuai standar Meningkatkan upaya modernisasi diagnosis TB dalam layanan pemerintah dan swasta sehingga 90% pasien yang bergejala TB bisa didiagnosis Percepatan upaya penemuan kasus aktif dan “demand generation” untuk menurunkan keterlambatan diagnosis sebesar 30% pada orang-orang yang bergejala TB Menemukan dan mengobati 30% TB sub-klinis sebelum bergejala Pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) kepada kontak serumah dan ODHIV (orang dengan HIV) Post exposure vaccine dengan efikasi sebesar 60% pada 65% populasi dengan ILTB (infeksi laten TB Apa itu TPT? Terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) merupakan pengobatan yang ditawarkan kepada seseorang yang terinfeksi dengan kuman Mycobacterium tuberculosis dan berisiko sakit TB, oleh karenanya ini juga disebut sebagai pengobatan infeksi laten tuberkulosis atau terapi pencegahan TB. Tidak semua orang yang terinfeksi kuman tuberkulosis (TBC) akan berkembang menjadi TB aktif. Beberapa orang dengan kuman TBC dorman atau “tidur” akan berkembang menjadi TBC aktif ketika daya tahan tubuh melemah. Kondisi ini disebut Infeksi Laten Tuberkulosis (ILTB), dan perlu diberikan terapi pencegahan tuberkulosis untuk mencegah seseorang berkembang menjadi TBC aktif. TPT menjadi penting untuk diberikan pada infeksi TBC, khususnya pada mereka yang berisiko tinggi untuk berkembang menjadi TBC aktif, serta untuk menghindari timbulnya beban ekonomi akibat berkembangnya TBC aktif. Apakah TPT Meningkatkan Risiko Resistansi Kuman TBC? Tidak. Anggapan bahwa TPT meningkatkan risiko resistansi adalah mitos yang menghambat program pencegahan TBC dan individu untuk mengakses TPT. Ada beberapa alasan mengapa berkembangnya resistansi sangat tidak mungkin: TPT diberikan pada mereka yang terbukti tidak memiliki TBC aktif TBC aktif dapat disingkirkan dengan cepat dan mudah menggunakan algoritma skrining sederhana Individu dengan infeksi TBC hanya memiliki bakteri dalam jumlah kecil yang bereplikasi secara lambat di dalam paru. Bakteri “tersembunyi” yang dalam jumlah kecil ini memiliki risiko yang kecil untuk menyebabkan terjadinya resistansi OAT Sebagian besar kasus resistansi OAT terjadi akibat pengobatan TBC aktif yang kurang optimal, oleh karena itu mencegah berkembangnya infeksi TBC menjadi TBC aktif dapat mencegah terjadinya resistansi OAT secara keseluruhan Studi-studi yang telah dilakukan tidak dapat menemukan bukti ilmiah yang berkaitan antara resistansi OAT dan penggunaan isoniazid atau golongan rifamisin Siapa saja yang perlu mendapatkan TPT? Kontak serumah: orang yang tinggal serumah minimal satu malam, atau sering tinggal serumah pada siang hari dengan kasus indeks dalam 3 bulan terakhir sebelum kasus indeks mulai mendapat obat anti tuberkulosis (OAT). Orang dengan HIV/AIDS (ODHIV) karena memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Kelompok risiko lainnya dengan HIV negatif yaitu: pasien immunokompremais lainnya (pasien yang menjalani pengobatan kanker, pasien yang mendapatkan perawatan dialisis, pasien yang mendapat kortikosteroid jangka panjang, dll), serta kelompok Warga Binaan Penjara (WBP), petugas kesehatan, sekolah berasrama, dll Apa saja paduan obat yang diberikan untuk TPT di Indonesia saat ini? Ada dua pilihan utama untuk TPT yaitu: paduan 6H (Isoniazid) dan 3HP (Isoniazid/Rifapentine). Paduan 6H adalah: paduan isoniazid (INH) yang diberikan selama 6 bulan dan dikonsumsi satu kali sehari. Paduan 3HP adalah: paduan TPT jangka pendek. Merupakan paduan kombinasi 2 jenis obat, rifapentine (P) dan isoniazid (H) yang dikonsumsi satu kali seminggu selama 3 bulan. Paduan 3HR: kombinasi isoniazid dan rifapimcin yang diminum setiap hari selama 3 bulan. 1 bulan = 28 hari, total 84 dosis 3HP, obat baru ya? Benar! 3HP adalah paduan Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) jangka pendek yang direkomendasikan oleh WHO. Paduan ini kombinasi dosis tinggi Isoniazid (H) dan dosis tinggi Rifapentine (P) seminggu sekali selama tiga bulan. Total dosis sebanyak 12 dosis. Jauh lebih sedikit dibandingkan dengan regimen lainnya. 3HP berkaitan dengan toksisitas hati yang lebih rendah dan tingkat penyelesaian pengobatan yang lebih tinggi dibandingkan regimen lain. Siapa yang Mendapat 3HP? Seseorang tanpa adanya TBC aktif dan tidak memiliki kontraindikasi berikut, dapat memulai TPT dengan 3HP: Umur < 2 tahun Hepatitis aktif (akut atau kronis) ALT/AST > 3x batas atas normal (terlepas dari gejala) Konsumsi lcohol rutin dan berat Neuropati Perifer Wanita usia subur yang tidak menggunakan kontrasepsi apapun Ibu hamil atau menyusui Sedang menjalani terapi antiretroviral (ART) berbasis protease inhibitor Individu yang berisiko mengalami neuropati perifer harus diberikan suplemen vitamin B6 (pyridoxine) bersamaan dengan 3HP. Namun jika tidak tersedia vitamin B6 seharusnya tidak menunda untuk memulai TPT dengan 3HP. Bagaimana Seharusnya 3HP Diberikan? Dokter harus memilih cara pemberian, baik diamati secara langsung atau dilakukan sendiri berdasarkan yang berlaku di daerah tersebut, karakteristik individu dan preferensi, serta pertimbangan lainnya. Termasuk risiko berkembang menjadi penyakit TBC aktif yang parah. Jika dalam proses konsumsi obat paduan 3HP, pasien mengalami kejadian tidak diharapkan. Maka dianjurkan untuk tidak melanjutkan pemakaian obat paduan 3HP lebih lanjut sampai adanya penilaian tingkat keparahan. Penanganan efek samping harus selalu berpedoman pada skrining TBC aktif. Riwayat pernah TBC aktif, Riwayat adanya efek samping, jenis permulaan dan durasi serta tingkat keparahan, dan pemeriksaan fisik yang relevan. Itulah paparan singkat mengenai tuberkulosis dan pengobatannya yang terkini. Mulai saat ini, setiap dokter yang bisa menemukan kasus TB aktif, juga diharapkan mampu menemukan TB sub klinis maupun TB laten. Dengan identifikasi kasus sedini mungkin dan pengobatan yang tepat, bukan tak mungkin cita-cita menuju eliminasi TB 2030 dapat dicapai. *Penulis bekerja di organisasi yang fokus dalam penanggulangan tuberkulosis /stl
















