Belajar bersyukur dalam kesesakan adalah proses yang sedang saya jalani. Dua tahun yang lalu, kami dianugerahi Tuhan seorang anak yang punya kelainan bawaan berat dengan survival rate yang rendah pada saat dilahirkan. Di tengah kerinduan kami untuk mempunyai seorang anak, diagnosis dokter saat itu tentunya membuyarkan pengharapan dan kerinduan kami tentang masa depan anak kami. Kekhawatiran tentang proses kehamilan sampai melahirkan, kebingungan tentang persiapan yang harus kami lakukan pasca anak kami lahir cukup memberikan tekanan dan kedukaan dalam masa saya mengandung. Dalam pandangan saya sebagai manusia, kehamilan dan melahirkan pasti menjadi fase yang paling berat, namun ternyata fase setelah kehilangan anak jauh lebih berat daripada yang saya bayangkan
Di saat Tuhan panggil kembali anak kami, keluarga terutama saya sebagai seorang ibu mengalami dukacita yang luar biasa. Proses kehamilan yang tidak mudah, penuh dengan kekhawatiran tentang kesehatan, proses kelahirannya, persiapan yang kami harus lakukan sebagai orang tua sangat sulit dan menguras tenaga. Segala rencana yang kami persiapkan, ternyata tidak berjalan sesuai dengan yang direncanakan dan itu membuat kekecewaan dan dukacita yang mendalam bagi saya sebagai orang tua.
Bagaimana saya tetap bisa berperan sebagai istri dan orang tua di saat energi dan pikiran saya tersita dalam masa berduka membuat saya semakin menutup diri dan mengalihkan duka saya dan bersikap baik-baik saja. Sama seperti Tuhan telah menyertai saya dan keluarga dari awal proses ini sampai saat ini, Tuhan menaruh kegelisahan di hati saya bahwa saya menjalani proses berduka dalam cara yang salah. Ternyata, Tuhan sediakan pertolongan tepat pada waktu-Nya lewat orang-orang dan cara yang mengagumkan. Tuhan mengizinkan saya bertumbuh dalam proses berduka, belajar mengekspresikan diri dengan jujur baik kepada Tuhan maupun orang di sekitar kita dan menerima rasa sedih karena kehilangan orang yang dikasihi, sekalipun itu sulit. Saya percaya bahwa Tuhan mengizinkan rasa dukacita itu hadir dalam kehidupan saya agar saya dibentuk dan belajar, bahwa Tuhan punya rencana yang baik untuk kita yang mengasihi-Nya (Roma 8:28).
Sesuatu yang saya pelajari bahwa bersukacita dalam kesesakan bukan berarti kita tetap tertawa pada saat kita harus menangis, atau kita berpura-pura baik-baik saja saat kita memang butuh pertolongan. Di dalam Pengkhotbah 3 dikatakan segala sesuatu ada waktunya, ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa, ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal. Bersukacita dalam kesesakan maknanya lebih jauh tentang bagaimana kita menikmati setiap waktu yang Tuhan beri dengan tetap bersyukur bahwa kita diizinkan untuk melewati proses itu dan bertumbuh di dalamnya. Bersukacita dalam kesesakan saya maknai dengan bersyukur; bahwa saya bisa menangis, bisa mengekspresikan rasa dukacita saya yang mendalam karena kehilangan seseorang yang dikasihi. Dalam Filipi tertulis “nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” Berdoa dan minta Tuhan untuk menyertai dalam masa berduka dan membuka hati kita untuk dibentuk-Nya. Not time will heal, tapi Tuhan yang memulihkan. Saya tidak tahu kapan masa berduka saya akan selesai, tapi saya menjalaninya dengan pengharapan bahwa sukacita dan damai sejahtera sesungguhnya sudah saya temukan di dalam Dia - Tuhan yang mengasihi dan rela disalib untuk dosa manusia.
*Penulis melayani di salah satu RSUD di Jakarta
/stl
Comments