top of page

Bersukacitalah Senantiasa: Toxic Positivity?



Orang yang mengalami depresi seringkali disematkan stigma “kurang iman”. Saat Alkitab dengan jelas menyatakan untuk kita “bersukacitalah senantiasa” (Filipi 4:4), namun mereka yang depresi sangat sulit untuk merasa bahagia (bahagia dan sukacita adalah kata yang dapat digunakan bergantian). Akhirnya, mereka yang dengan kondisi depresi diasumsikan sebagai orang yang tidak percaya dan abai mempraktekan Firman Tuhan dalam hidup sehari-hari. Tidak heran jika seringkali penyelesaian gangguan mood cukup dalam dimensi rohani, karena di dalam Tuhan seseorang seharusnya senantiasa bersukacita. Bisa jadi, justru himbauan bersukacita malah menjadi beban yang membuat seseorang semakin terpuruk dalam kondisi depresi, jika diberikan tanpa empati.


Namun memang aneh, perintah ini seakan-akan adalah suatu ide toksik positivitas. Bagaimana kita bisa bersukacita di saat-saat sulit, bahkan dalam kondisi depresi. Apakah ini artinya menyangkali keberadaan sesungguhnya. Jadinya, seakan-akan perintah ini mengabaikan kompleksitas aspek psikologis manusia bahwa kita semua dapat mengalami beragam emosi, termasuk kesedihan, kecemasan, hingga gangguan seperti depresi.


Ada beberapa hal yang dapat kita refleksikan :

  1. Emosi negatif adalah manusiawi. Bahkan, emosi kita seringkali kompleks dan terjalin bersama. Kita bisa merasakan sukacita dan kesedihan pada saat yang sama, seperti yang tercermin dalam kehidupan Yesus. Ia adalah "Man of Sorrow", namun juga merasakan sukacita, bahkan di tengah penderitaan salib.

  2. Christian worldview tidak melihat depresi semata dosa, tetapi dampak dari kejatuhan manusia dan dunia yang berdosa. Begitu banyak faktor seseorang mengalami depresi. Respon dan kerentanan kita dapat membuat kita mengalami depresi. Psikososial dunia berdosa juga bisa membebani seseorang sehingga jatuh dalam kondisi depresi. Jadi tantangan untuk bersukacita adalah hal nyata, terlepas dari sekedar peran iman seseorang.


Namun perintah Tuhan ini mengingatkan kita - di dalam Tuhan, kita bisa bersukacita walau menghadapi situasi yang sulit. Memang, Alkitab mengajarkan suatu paradoks yang perlu dipahami melalui kacamata iman. Saat kita melihat orang lain, situasi, lingkungan, bahkan diri kita sendiri, ada saatnya kita kehabisan alasan untuk bersukacita. Namun, selalu ada alasan: di dalam Tuhan.


Perintah untuk bersukacita “di dalam Tuhan”, berarti sukacita bertumpu pada keberadaan Allah yang berdaulat, tidak berubah, setia memelihara dan baik dalam segala rancangan-Nya. Sukacita ini mampu melampaui berbagai situasi, bahkan keberadaan diri kita. Sukacita merupakan keputusan kita. Baik apa yang kita pikiran dan lakukan.


Bagaimana jika perasaan kita sulit untuk sukacita? Apakah sukacita berarti “emotionless” dan dibuat-buat. Dalam pandangan kognitif, pikiran, perasaan dan perilaku itu berkaitan. Ketika kita memutuskan untuk pemikiran kita diarahkan pada sukacita di dalam Tuhan, maka perasaan dan perilaku kita akan juga selaras. Juga, saat kita melakukan hal-hal yang membawa sukacita di dalam Tuhan, maka perasaan dan pemikiran kita juga akan selaras.


Lebih jauh lagi, di dalam Tuhan, bukan sekedar keputusan stoik, namun sukacita ada di dalam anugerah Tuhan. Mengutip Alcorn mengenai sukacita, “People can borrow certain values from a Christian worldview, but without faith in Christ and the indwelling Spirit as an agent of change, they’re left without a solid foundation for happiness.”** Di dalam Tuhan, ada dasar yang teguh untuk bersukacita. Lebih dari itu, Ia memberikan kekuatan yang memampukan kita untuk bersukacita, bahkan di situasi yang sulit. Ini adalah sukacita yang bisa melampaui situasi. Terakhir, sukacita ataupun kebahagiaan adalah hal yang perlu kita kejar. Namun, temukanlah di dalam Tuhan.


*Penulis saat ini melayani di Bandung

** Randy Alcorn, Happiness, 2015


/stl


130 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page