119 results found with an empty search
- Hal yang Paling Saya Takutkan
Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati (Filipi 3:10-11). Mengikuti program MMC adalah hal yang diluar planning hidup saya. Saat pertama sekali disharingkan untuk join, saya merasa berat untuk ikut dan ini akan mengganggu plan yang sudah saya atur, yaitu untuk langsung bekerja dan menjalankan rencana jangka panjang yang sudah saya buat sebelumnya. Namun, Tuhan berbicara perlahan kepada saya melalui firman dan melalui orang-orang yang Tuhan pakai untuk mendorong saya mengikuti program ini dan perlahan saya mulai menyadari bahwa saya perlu menggumulkan dengan serius dan fokus tentang visi saya. Saya yakin MMC pasti akan menolong saya untuk melihat panggilan saya lebih jelas lagi. Setelah pergumulan yang panjang, saya menjawab “iya” untuk bergabung di MMC. Diluar planning saya, ternyata Tuhan menetapkan saya untuk ikut MMC supaya belajar taat dan percaya bahwa ini pilihan yang terbaik yang pasti berguna untuk memperlengkapi saya untuk visi kedepannya. Kegiatan MMC menjadi wadah dimana Tuhan banyak berbicara kepada saya, melalui setiap pemaparan materi, yakni selama di OMF, praktik lapangan di Jakarta-Bogor, praktik lapangan di RS Mardi Waluyo Lampung, pouse and pondering, di sesi mentoring, bahkan melalui sharing kelompok bersama teman-teman peserta lainnya. Hal yang paling saya takutkan dalam hidup adalah ketika saya “meleset” dan “tidak berfungsi” sebagaimana Tuhan menciptakan saya. Karir adalah untuk itu kamu dibayar, sedangkan visi adalah untuk itu kamu diciptakan. Saat bergumul, yang membuat saya semakin teguh untuk mengikuti MMC adalah saya punya kesempatan untuk fokus bergumul bagi visi pribadi saya. Saya bersyukur untuk apa yang sudah saya lakukan di MMC, membagikan kasih Tuhan kepada orang lain yang berbeda suku dengan saya, memperhatikan kondisi kesehatan mereka, berdoa bagi mereka, berbagi duka dan tawa. Terkadang ada rasa lelah didalamnya karena saya masih hidup didalam daging yang bisa lemah dan sakit, tapi mengingat bahwa pekerjaan didalam Tuhan itu tidak pernah sia-sia, dan didalam Kristus pekerjaan dan kasih kita menjadi sempurna, saya menjadi semakin mengagumi Allah. Kerinduan terbesar saya adalah ketika saya pulang kepada Bapa, Dia akan menyambut saya dengan senyuman dan berkata “Hai hambaku yang baik dan setia, kamu telah mengakhiri pertandingan dengan baik dan telah hidup sebagaimana Aku menciptakanmu”. Ketakutan terbesar saya adalah berjalan diluar kehendak Tuhan, karena seberapapun saya berhasil di mata dunia, sementara Tuhan sama sekali tidak berkenan, maka betapa menyedihkannya hidup saya. “Tuhan ini aku, utus aku kemana Tuhan mau, hanya sertailah aku”. Segala hormat dan kemuliaan hanya bagi Yesus Kristus, yang telah menyelamatkan saya melalui kematian-Nya dan telah bangkit mengalahkan maut di mana tempat saya seharusnya berada, segala pujian hanya bagi Dia yang memperlengkapi saya dan membuat saya semakin mengenal-Nya melalui MMC, sehingga hati saya semakin mengasihi-Nya. Soli Deo Gloria! *Penulis adalah salah satu peserta MMC XVI /stl
- Petualangan bersama Tuhan belum Selesai
Shalom! Perkenalkan, saya Livia Difyanty, biasa dipanggil Livia, dokter umum lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Solo angkatan 2016. Saya lahir dan besar di kota Bandung. Saat ini akan menjalani masa internship di RS Aisyiyah, Muntilan, periode Mei 2023-2024. Setelah saya lulus UKMPPD di akhir tahun 2022, saya bertanya kepada Tuhan: “Apa yang akan saya lakukan selama menunggu masa internship yang baru akan saya ikuti di bulan Mei 2023?”, sampai pertanyaan “Tuhan memanggil aku untuk jadi dokter yang seperti apa ya?” Tuhan menjawab saya melalui ajakan seorang kakak (alumni MMC) untuk mengikuti MMC di awal tahun 2023. Jawaban yang sungguh tepat dari Tuhan untuk semua pertanyaan di kepala saya saat itu. Melalui kegiatan MMC, saya rindu untuk mengetahui apa yang menjadi panggilan Allah bagi saya secara khusus. Saya juga ingin mengetahui apa yang menjadi isi hati Allah di muka bumi ini. Sepanjang mengikuti MMC dari awal hingga akhir, Tuhan seperti sedang berbicara kepada saya secara pribadi. Jika harus memilih 1 sesi yang paling berkesan, maka saya akan memilih sesi Alone with God. Titik yang sangat mengubahkan hidup saya, ketika saya di minggu pertama melakukan simulasi Alone with God. Sekian lama saya tidak menyadari kekeringan di dalam diri saya. Tuhan bukakan keadaan saya yang sangat kering dan betapa saya sangat memerlukan Dia. Sekian lama saya seperti sedang berlari tanpa arah dan tujuan di suatu padang gurun, tetapi di momen itu, Tuhan menarik saya untuk duduk diam, tersungkur di hadapan-Nya, dan menikmati Dia. Saya hanya bisa menangis dan tertunduk lemas di hadapan-Nya, menyadari betapa hancur dan berdosanya saya sebagai anak yang dikasihi-Nya. Betapa haus dan keringnya saya, yang sangat membutuhkan jamahan dan air hidup-Nya. Saya sangat bersyukur kepada-Nya karena Dia mengingatkan saya akan kasih mula-mula yang seharusnya saya miliki untuk-Nya, yang terlebih dahulu mengasihi saya. Tuhan membukakan banyak pandangan baru yang belum saya lihat sebelumnya. Cara saya memandang visi Allah secara global menjadi sangat berubah. Sekarang saya mengetahui kalau Allah sangat rindu melihat semua suku bangsa menyembah-Nya. Apakah saya mau menjadi anak-Nya yang punya kerinduan yang sama dan taat membagikan Injil-Nya? Tuhan pun perlahan memberikan kepekaan kepada saya akan panggilan yang sedang Tuhan kerjakan dalam diri saya. Tidak hanya itu, selama MMC, Tuhan seperti sedang “menghancurkan” bejana hati saya untuk Tuhan bentuk menjadi yang baru. Tuhan memulihkan relasi saya dengan-Nya dan juga sesama, serta membentuk karakter saya untuk menjadi pribadi yang semakin serupa dengan-Nya. Setelah MMC ini, banyak PR yang harus saya selesaikan. Mengalami pemulihan dari Tuhan di dalam diri saya telah mendorong saya untuk berkomitmen untuk terus bergumul bersama-Nya. Menggumulkan tujuan Allah dalam hidup saya secara khusus, mengetahui panggilan-Nya dalam hidup saya, dan bagaimana saya belajar taat langkah demi langkah menjadi sesuatu yang akan terus saya pergumulkan. Dan yang ada di depan mata saya sekarang adalah masa internship. Kiranya saya dapat menyaksikan Kristus melalui keseluruhan hidup saya selama masa ini. Akhir kata, MMC ini adalah salah satu bentuk ketaatan saya pada Tuhan untuk memenuhi panggilan-Nya. Panggilan-Nya untuk membentuk saya semakin serupa gambar-Nya dan memproses saya untuk melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya. Petualangan bersama dengan Tuhan belum selesai, masih ada banyak langkah yang harus dijalani, memenuhi visi yang Tuhan berikan dalam hidup saya, dan terus menghidupi apa yang Roma 12:1 katakan. Kemuliaan hanya bagi Allah! Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke manapun engkau pergi." (Yosua 1:9) *Penulis adalah salah satu peserta MMC XVI /stl
- Hanya Sekedar Kata-kata Tak Berarti
Tiada hari dilalui tanpa kata-kata. Berbicara merupakan aktivitas paling umum dari manusia. Seseorang bisa mengucapkan ribuan kata per hari terlepas dari kepribadiannya yang mungkin pendiam. Berbagai konteks komunikasi dijalani setiap hari seperti obrolan bertukar sapa antar tetangga, memesan makanan di restoran, bercanda dengan kawan, deep talk dengan pasangan, konsultasi antara dokter dan pasien, mendiskusikan kasus bersama sejawat, bahkan membicarakan calon presiden selanjutnya. Setiap perkataan yang kita ucapkan dapat membangun, tapi tidak sedikit juga yang tidak bermakna dan akhirnya malah menyakiti. Bahkan mungkin, kita sendiri pernah dilukai melalui perkataan seseorang. Kesimpulan yang umum ketika hal yang menyakitkan terjadi lewat sebuah pembicaraan adalah nada dan cara berbicara yang perlu diperbaiki. Tapi, apakah dengan mempelajari teknik komunikasi yang tepat dapat memastikan tidak ada orang yang tersakiti lewat perkataan kita? Artikel ini ingin mengajak setiap kita yang membaca untuk merenungkan kembali fondasi dan tujuan dari setiap perkataan kita. Hal yang menganggumkan adalah fakta bahwa kata-kata yang pertama kali didengar Adam dan Hawa adalah perkataan yang diucapkan Allah sendiri. Allah yang mencipta menggunakan bahasa yang dapat dipahami ciptaan-Nya untuk menyatakan diri-Nya, rencana-Nya, dan tujuan-Nya. Adam dan Hawa pun diizinkan berespon kepada Allah menggunakan kata-kata yang sama. Alkitab menyatakan kepada kita betapa indahnya komunikasi antara Allah dan manusia yang menggambarkan relasi Pencipta dan ciptaan yang begitu dekat. Hal ini menyadarkan kita bahwa setiap perkataan yang diucapkan manusia sejatinya adalah milik Allah karena Dia-lah yang mengizinkan kita berbicara. Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap kata yang kita ucapkan memenuhi standar Allah dan sesuai dengan kehendak-Nya. Sayangnya, keindahan relasi komunikasi di atas telah berlalu sejak Adam dan Hawa melanggar perkataan Allah dan memilih mendengar pembicara lain yang memutar-balikkan kebenaran. Iblis menawarkan kebohongan yaitu penafsiran yang salah terhadap perkataan Allah yang akhirnya membuat Adam dan Hawa melawan Allah. Kita semua tahu apa yang terjadi setelahnya (lih. Kejadian 3). Melalui perkataan yang seharusnya menyatakan kasih, Adam dan Hawa akhirnya saling menuduh dan menyalahkan. Mereka bahkan berani menyalahkan Allah atas apa yang terjadi. Disini kita mengerti bahwa bila perkataan yang diucapkan tidak berdasarkan kebenaran dari Allah dan tafsiran yang tepat atas perkataan-Nya, maka pilihan lainnya hanyalah kebohongan dari Iblis. Saat ini kita tinggal di dalam dunia yang telah jatuh dalam dosa. Perkataan manusia kini penuh dengan kecaman, tuduhan, kebencian, ketidaksabaran, kebohongan, kutukan, dlsb. Ah, saya tidak seperti itu! Benarkah? Kita mungkin tidak menggunakan perkataan yang kasar atau berisi kutukan. Tapi, berapa dari kita yang pernah menggunakan kata-kata untuk menekan, menyinggung ataupun menyakiti lawan bicara kita sebagai bentuk pembelaan diri? Yakobus 3:9-10, Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi. Kita perlu mengakui dengan rendah hati bahwa setiap perkataan kita nyatanya berakar bukan hanya pada Firman Tuhan, tetapi juga perkataan iblis. Dengan mengakui ini kita menerima fakta bahwa masalah utama komunikasi kita bukanlah pada teknik komunikasi, melainkan sikap hati dibaliknya. Mementingkan kepentingan diri sendiri membuat tafsiran kita terhadap perkataan Allah seringkali jauh melenceng dan berakhir dengan mengatakan apa yang bukan merupakan kehendak-Nya. Kita perlu berbicara dengan kesadaran bahwa Allah telah memberikan signifikasi pada kata-kata kita. Kita berbicara sebagai duta Allah. Seorang duta Allah berbicara berdasarkan pemahaman yang jelas tentang Firman Allah. Duta Allah berbicara hanya dengan cara Allah. Tujuan Allah tidak dapat dicapai dengan perkataan penuh ancaman, rasa bersalah, ataupun amarah yang mementingkan diri sendiri karena itu bukanlah karakter Allah. Harapan satu-satunya agar kita dapat berkata-kata seperti apa yang dikehendaki Allah adalah dengan menyerahkan hati kita untuk ditaklukkan oleh Kristus yang memampukan kita hari demi hari untuk mematikan keinginan mementingkan diri sendiri dan hidup berkenan di hadapan Allah. Mari kita setiap hari meminta pertolongan Allah untuk memampukan kita mengasihi Allah dan sesama melalui kebijaksanaan kita dalam berkata-kata terhadap siapapun orang yang kita temui. Bukan hanya apa yang kita katakan, tetapi apa yang kita putuskan untuk tidak dikatakan. Kiranya setiap perkataan kita tidak lagi berpusat pada diri sendiri, melainkan seluruhnya berpusat pada Kristus untuk menyatakan kasih dan rencana-Nya. * Penulis bekerja di NGO bidang HIV di Jabodetabek /stl Sumber: Perang dengan kata-kata: Mengenali Inti Pergumulan dalam Komunikasi Anda. Paul David Tripp. Penerbit: Momentum Christian Literature. Ligonier. The Heart of Words. Burk Parsons. https://www.ligonier.org/posts/heart-words
- Hati-hati di Jalan
Sungguh panjang perjalanan menjadi seorang dokter. Pendidikan yang ditempuh selama minimal lima tahun, belum lagi jika ingin sekolah lanjut, apalagi mengambil pendidikan spesialis tertentu. Sebuah perjalanan yang panjang dan tidak mudah. Seumpama perjalanan di padang gurun. Perjalanan di padang gurun tidaklah mudah. Ada masa dimana terus-menerus merasa haus dan kehilangan kesabaran. Ada masa dimana emosi dibawa ke sisi yang berbeda ketika malam mulai datang. Semua perjalanan ini adalah sebuah proses. Tuhan membebaskan bangsa Israel dari Mesir dengan ajaib. Namun, ini tidaklah cukup bagi bangsa Israel untuk percaya terhadap perlindungan dan penyertaan Tuhan. Dalam tiga hari perjalanan ke Tanah Perjanjian, bangsa Israel mengeluh kepada Musa karena air di Mara terasa pahit dan tidak dapat diminum (Keluaran 15:22-24). Mulai dari saat itu, orang Israel mengeluh dan tidak patuh kepada Musa. Maka dari itu, perjalanan ke Tanah Perjanjian yang seharusnya 40 hari menjadi 40 tahun. Hal yang sama, Tuhan juga mengizinkan kita untuk diterima di fakultas kedokteran. Namun dalam perjalanan, seringkali kita merasa putus asa, tidak mampu, bahkan frustasi dan marah kepada Tuhan ketika mendapati kesulitan didalamnya. Padang gurun bukanlah tujuan akhir bangsa Israel, tetapi sebuah transisi dan pemurnian iman. Begitu juga dengan perjalanan kita sebagai dokter atau tenaga medis. Jalan Terus Ketika kita sudah berhasil menjadi seorang dokter, kita merasa perjalanan kita selesai. Bekerja melayani pasien dari satu tempat ke tempat lain. Sesungguhnya, perjalanan kita belum usai, tetapi yang kita kerap lakukan adalah berhenti dan membangun tenda. Mungkin karena nyaman, merasa tidak punya kesempatan, atau kebingungan? Atau perjalanan di “padang gurun” ini terasa begitu melelahkan sehingga kita tidak sanggup untuk melangkah? Ingat, padang gurun ini bukan tujuan akhir kita. Untuk menyelesaikan perjalanan iman dengan baik, kita perlu tahu kapan harus berhenti, beristirahat, dan pulih. Datanglah kepada Tuhan, belajarlah untuk mengalihkan fokus kepada-Nya dan arahkan telinga kepada apa yang Dia perintahkan untuk kita lakukan. Terkadang Tuhan berbicara kepada kita bukan dengan cara yang dramatis, malah sangat sederhana - dengan suara yang halus dan bisikan yang lembut. Untuk mendengar bisikan, kita perlu mendekat ke sumbernya. Datanglah kepada-Nya dan bertanya apa yang bisa aku perbuat lagi? Aku harus kemana lagi? Pernah Terjebak Mungkin kita bukannya bermaksud mau berhenti dan bangun tenda saja. Namun, kita pernah mencoba melangkah dan tidak berhasil. Coba mendaftar sekolah lanjut, tapi gagal. Coba melamar ke pekerjaan lain, tetapi tidak ada kesempatan atau panggilan kerja. Kita jadi terjebak dalam situasi yang nampak datar, di tempat yang tampak biasa-biasa saja dan tanpa tujuan, begini-begini saja, yang kemudian dapat menjadi zona nyaman kita. Jika kita berada di situasi itu, tetap setia, jangan putus asa, arahkahlah pandangan dan terbukalah kepada kesempatan yang lain. Tuhan tidak pernah menetapkan sesuatu yang sia-sia untuk hidup kita. Tuhan juga tidak menyerah terhadap diri kita. Selama melalui masa-masa sulit, kita perlu belajar untuk menundukkan kepala, kuatkanlah hati dan lakukan bagian kita dengan sungguh-sungguh. Pertemuan Musa dengan Tuhan melalui semak duri menjadi penentuan hidup Musa setelah menghabiskan 40 tahun dalam hidupnya menjadi seorang gembala di padang gurun Midian. Tuhan memberikan Musa satu tujuan dan Musa berani melangkah. Ijinkanlah waktu di “padang gurun” ini menjadi tempat pertemuan secara pribadi dengan Tuhan dan menilik kembali apa yang Tuhan mau kita kerjakan. Kenali karakter-Nya Dalam perjalanan kehidupan kita yang mungkin nampak seperti melewati padang gurun, Tuhan mengijinkan cobaan datang untuk melihat apakah kita bisa percaya kepada karakter Tuhan yang tidak akan pernah berubah. Kita bisa mengenal karakter Tuhan melalui Firman-Nya. Disaat kita mengenal Dia secara pribadi, kita bisa percaya kepada Dia dengan sepenuhnya. Tidak sampai disitu, iblis menyerah tanpa henti. Iblis membawa dan menantang Yesus untuk membuktikan identitas-Nya sebagai Anak Allah. Yesus yakin sepenuhnya dengan identitas-Nya sebagai Anak Allah. Dia tidak perlu membuktikannya dan Dia percaya sepenuhnya terhadap apa yang Allah telah katakan. Meragukan identitas kita adalah cara iblis untuk membuat kita berkelana tanpa tujuan bahkan sengsara di padang gurun dan mencegah kita untuk menikmati janji Allah. Rasa tidak aman akan datang ketika kita mulai meragukan siapa diri kita sehingga kita merasa perlu membuktikan identitas diri. Kita mulai takut atas apa yang orang pikirkan terhadap kita. Temukan identitas di dalam Dia Kita semua bercela dan rusak. Mengapa harus bergantung pada penerimaan orang lain yg sama rusaknya dengan kita? Berhenti menjadi pribadi yang dibentuk orang lain, berubah lah menjadi pribadi yg dirancang Tuhan atas kita. Hidup kita tidak ditentukan oleh apa yang dilakukan atau dikerjakan, tidak juga oleh gelar dan pencapaian. Kita bebas menerima kasih Tuhan, terlepas dari apapun latar kita. Tuhan menerima kita bukan karena apa yang sudah kita perbuat. Kepercayaan diri kita berada dalam sebuah kebenaran bahwa kita adalah anak Allah. Itulah yang memberikan identitas kita. Saudara mungkin sedang dalam perjalanan yang terasa seperti di padang gurun. Bagi Anda yang baru lulus atau di tahun-tahun awal lulus dari pendidikan dokter atau dokter gigi, perjalanan ke depan sering tampak buram, tiada ujung, dan membuat Anda bingung. Namun yakinlah bahwa Tuhan mungkin mengizinkan kita melaluinya untuk melatih kita. Seringkali kita punya masa-masa putus asa dan ketakutan. Kemudian kita cenderung memilih untuk menghindari, lari, atau menyerah. Takut penolakan, takut kegagalan. Tapi, bagaimana jika perjalanan melewati padang gurun itu adalah anugerah terselubung? Bagaimana jika ketika kita menerobos padang gurun itu dan terus berjuang adalah jalan untuk menemukan tanah perjanjian? Alih-alih melarikan diri atau menyerah, berlarilah ke arah-Nya dan Tuhan akan memeluk kita. Genggamlah Tuhan, jangan lepaskan, sampai kita dituntun karena Tuhan memberikan diri-Nya bagi kita. Gurun dunia tak lagi menakutkan Kristus t’lah menang atas pencobaan Anugerah dib’ri berjalan dengan iman Sampai tiba di Tanah Perjanjian (Sepenggal lagu: Dipanggil untuk kemuliaan-Nya, KNM Perkantas 2013) *Penulis bekerja dalam bidang manajemen di salah satu grup rumah sakit swasta /stl
- Rejoice in the midst of suffering
Belajar bersyukur dalam kesesakan adalah proses yang sedang saya jalani. Dua tahun yang lalu, kami dianugerahi Tuhan seorang anak yang punya kelainan bawaan berat dengan survival rate yang rendah pada saat dilahirkan. Di tengah kerinduan kami untuk mempunyai seorang anak, diagnosis dokter saat itu tentunya membuyarkan pengharapan dan kerinduan kami tentang masa depan anak kami. Kekhawatiran tentang proses kehamilan sampai melahirkan, kebingungan tentang persiapan yang harus kami lakukan pasca anak kami lahir cukup memberikan tekanan dan kedukaan dalam masa saya mengandung. Dalam pandangan saya sebagai manusia, kehamilan dan melahirkan pasti menjadi fase yang paling berat, namun ternyata fase setelah kehilangan anak jauh lebih berat daripada yang saya bayangkan Di saat Tuhan panggil kembali anak kami, keluarga terutama saya sebagai seorang ibu mengalami dukacita yang luar biasa. Proses kehamilan yang tidak mudah, penuh dengan kekhawatiran tentang kesehatan, proses kelahirannya, persiapan yang kami harus lakukan sebagai orang tua sangat sulit dan menguras tenaga. Segala rencana yang kami persiapkan, ternyata tidak berjalan sesuai dengan yang direncanakan dan itu membuat kekecewaan dan dukacita yang mendalam bagi saya sebagai orang tua. Bagaimana saya tetap bisa berperan sebagai istri dan orang tua di saat energi dan pikiran saya tersita dalam masa berduka membuat saya semakin menutup diri dan mengalihkan duka saya dan bersikap baik-baik saja. Sama seperti Tuhan telah menyertai saya dan keluarga dari awal proses ini sampai saat ini, Tuhan menaruh kegelisahan di hati saya bahwa saya menjalani proses berduka dalam cara yang salah. Ternyata, Tuhan sediakan pertolongan tepat pada waktu-Nya lewat orang-orang dan cara yang mengagumkan. Tuhan mengizinkan saya bertumbuh dalam proses berduka, belajar mengekspresikan diri dengan jujur baik kepada Tuhan maupun orang di sekitar kita dan menerima rasa sedih karena kehilangan orang yang dikasihi, sekalipun itu sulit. Saya percaya bahwa Tuhan mengizinkan rasa dukacita itu hadir dalam kehidupan saya agar saya dibentuk dan belajar, bahwa Tuhan punya rencana yang baik untuk kita yang mengasihi-Nya (Roma 8:28). Sesuatu yang saya pelajari bahwa bersukacita dalam kesesakan bukan berarti kita tetap tertawa pada saat kita harus menangis, atau kita berpura-pura baik-baik saja saat kita memang butuh pertolongan. Di dalam Pengkhotbah 3 dikatakan segala sesuatu ada waktunya, ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa, ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal. Bersukacita dalam kesesakan maknanya lebih jauh tentang bagaimana kita menikmati setiap waktu yang Tuhan beri dengan tetap bersyukur bahwa kita diizinkan untuk melewati proses itu dan bertumbuh di dalamnya. Bersukacita dalam kesesakan saya maknai dengan bersyukur; bahwa saya bisa menangis, bisa mengekspresikan rasa dukacita saya yang mendalam karena kehilangan seseorang yang dikasihi. Dalam Filipi tertulis “nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” Berdoa dan minta Tuhan untuk menyertai dalam masa berduka dan membuka hati kita untuk dibentuk-Nya. Not time will heal, tapi Tuhan yang memulihkan. Saya tidak tahu kapan masa berduka saya akan selesai, tapi saya menjalaninya dengan pengharapan bahwa sukacita dan damai sejahtera sesungguhnya sudah saya temukan di dalam Dia - Tuhan yang mengasihi dan rela disalib untuk dosa manusia. *Penulis melayani di salah satu RSUD di Jakarta /stl
- Compassion Under Tension
Compassion berasal dari bahasa Latin Pati yang berarti “to suffer with” atau dapat diartikan sebagai perasaan sangat kuat yang lebih dalam dari simpati disertai keinginan yang besar untuk menolong karena didorong adanya perasaan berbelas-kasihan yang dalam. Compassion dalam bahasa Indonesia dikenal juga dengan belas kasihan, seringkali menjadi alasan seseorang dalam memilih profesi dokter atau tenaga medis lainnya. Seorang dokter yang saya kenal baik, menjadi dokter karena terinspirasi kisah David Livingstone, dokter dan misionaris, yang melayani masyarakat Afrika hingga akhir hidupnya karena didorong oleh belas kasihan pada mereka yang belum mengenal injil dan jauh dari kedokteran modern. Demikian juga ketika saya akhirnya memutuskan untuk menjadi psikiater, hati saya sungguh tergerak ketika melihat kehidupan para ODGJ yang menderita karena penyakitnya dan tambah menderita karena seringkali tidak ada yang mengerti dan menolong mereka, malahan mendapatkan stigma negatif dan perlakuan tidak manusiawi dari orang di sekitarnya. Seiring berjalannya waktu, melalui sistem pendidikan dan praktek kedokteran, melihat bagaimana teladan senior dalam memperlakukan pasien, serta terlalu banyaknya penderitaan di sekitar kita dapat membuat perasaan menjadi tumpul sebagai bentuk mekanisme pertahanan mental. Besarnya tuntutan pendidikan dan pekerjaan baik secara fisik maupun mental membuat seseorang melihat pasien tidak lagi sebagi subjek belas kasihan tetapi sebagai objek. Misalnya, ketika berjalan di bangsal mungkin beberapa dari kita tidak lagi mengenali pasien dengan nama, melainkan “Bed A pasien kanker stadium terminal status DNR”, bahkan kita seperti kehabisan energi untuk mengenali dan mendalami penderitaan yang dialami pasien tersebut. Setelah beberapa tahun menjalani pendidikan ataupun praktek kedokteran, seringkali dokter menjadi dingin dan datar dalam membicarakan kondisi pasien yang kritis atau memberikan kabar buruk mengenai kondisi pasien kepada keluarga tanpa melibatkan perasaan. Dewasa ini, semakin marak dokter dan tenaga medis yang terlalu sibuk karena banyaknya jumlah pasien dan terburu-buru saat menangani pasien. Pekerjaan menjadi rutinitas melelahkan yang membuatnya kehilangan kepekaan untuk merasakan penderitaan pasien, bahkan hilangnya belas kasihan terhadap pasien ataupun keluarga. Adakah teladan yang benar-benar menunjukkan kepedulian dan belas kasihan terhadap orang yang dilayani? Saya rasa tidak ada tokoh yang lebih baik dalam menunjukkan teladan pelayanan penuh belas kasihan yang tidak ada habisnya dibanding Yesus sendiri. Yesus, ditengah kesibukannya, menjadi teladan belas kasihan yang nyata. Yesus tidak pernah tidak sibuk di sepanjang hidup-Nya. Ia memberikan pelayanan-Nya berkeliling mengajar para murid-Nya dan orang banyak serta menyembuhkan banyak orang. Namun, melihat penderitaan di sekeliling tidak pernah menjadikan-Nya terlalu sibuk untuk sekedar berhenti dan menyentuh, bahkan ketika para murid menghalangi orang buta yang berteriak memanggil Yesus, atau perempuan yang dianggap najis karena perdarahan menyentuh jubah Yesus. Yesus melihat lebih jauh daripada yang dilihat para murid-Nya. Dia dapat mengenali kebutuhan terdalam dari penderitaan seseorang. Ketika sedang berjalan melewati Nain, Yesus melihat acara pemakaman seorang janda yang memakamkan putra tunggalnya; “Dan Ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepadanya “Jangan menangis” (Lukas 7:13). Yesus melihat janda tersebut telah kehilangan satu-satunya pengharapan dalam hidup yang membuatnya berduka sangat dalam. Ia sangat tergerak oleh belas kasihan sehingga Ia berhenti dan menghidupkan kembali putra janda tersebut. Sebagai seorang dokter yang sudah bertahun-tahun menjalankan profesi, menyaksikan ratusan mungkin ribuan kasus yang sama dan begitu banyak penderitaan membuat hati kita mengeras. Hal sederhana seperti menatap mata pasien ketika berbicara, mendengarkan dengan sungguh-sungguh setiap keluhan dan cerita pasien, mencoba memahami kecemasan pasien dan keluarganya, atau memberikan sentuhan yang mungkin sudah jarang kita lakukan. Hati Kristus-lah yang kita butuhkan, hati yang remuk melihat penderitaan sesama, yang menggerakkan kita untuk melakukan tindakan kedokteran kita dengan berbeda. Kita hadir seutuhnya dalam penderitaan pasien dan menolong mereka sehingga dapat merasakan kasih Tuhan mengalir memberikan kelegaan, kesembuhan, dan pemulihan. Berdoalah - minta hati seperti Yesus dan cara pandang Yesus melihat dunia ini. Biarkanlah Tuhan melembutkan hati kita yang mungkin sudah mengeras agar dapat melayani pasien-pasien yang kita hadapi dengan penuh belas kasihan. Bangunlah hubungan pribadi dengan Tuhan setiap hari, yang menjaga hati kita tetap selaras dengan hati Tuhan, agar kita memiliki kepekaan untuk melihat dan mengetahui apa yang akan Yesus lakukan ketika berhadapan dengan situasi tertentu. Seperti layaknya dua orang sahabat yang saling memiliki perasaan dan mengetahui persis apa yang disukai dan tidak disukai sahabatnya karena kedekatan relasi serta pengenalan yang baik. Jangan tinggalkan hubungan pribadi dengan Tuhan, jangan tinggalkan persekutuan pribadi kita dengan-Nya setiap hari agar memiliki kepekaaan dan hati seperti Kristus. *Penulis saat ini melayani sebagai psikiater di Jakarta /stl
- Bersukacitalah Senantiasa: Toxic Positivity?
Orang yang mengalami depresi seringkali disematkan stigma “kurang iman”. Saat Alkitab dengan jelas menyatakan untuk kita “bersukacitalah senantiasa” (Filipi 4:4), namun mereka yang depresi sangat sulit untuk merasa bahagia (bahagia dan sukacita adalah kata yang dapat digunakan bergantian). Akhirnya, mereka yang dengan kondisi depresi diasumsikan sebagai orang yang tidak percaya dan abai mempraktekan Firman Tuhan dalam hidup sehari-hari. Tidak heran jika seringkali penyelesaian gangguan mood cukup dalam dimensi rohani, karena di dalam Tuhan seseorang seharusnya senantiasa bersukacita. Bisa jadi, justru himbauan bersukacita malah menjadi beban yang membuat seseorang semakin terpuruk dalam kondisi depresi, jika diberikan tanpa empati. Namun memang aneh, perintah ini seakan-akan adalah suatu ide toksik positivitas. Bagaimana kita bisa bersukacita di saat-saat sulit, bahkan dalam kondisi depresi. Apakah ini artinya menyangkali keberadaan sesungguhnya. Jadinya, seakan-akan perintah ini mengabaikan kompleksitas aspek psikologis manusia bahwa kita semua dapat mengalami beragam emosi, termasuk kesedihan, kecemasan, hingga gangguan seperti depresi. Ada beberapa hal yang dapat kita refleksikan : Emosi negatif adalah manusiawi. Bahkan, emosi kita seringkali kompleks dan terjalin bersama. Kita bisa merasakan sukacita dan kesedihan pada saat yang sama, seperti yang tercermin dalam kehidupan Yesus. Ia adalah "Man of Sorrow", namun juga merasakan sukacita, bahkan di tengah penderitaan salib. Christian worldview tidak melihat depresi semata dosa, tetapi dampak dari kejatuhan manusia dan dunia yang berdosa. Begitu banyak faktor seseorang mengalami depresi. Respon dan kerentanan kita dapat membuat kita mengalami depresi. Psikososial dunia berdosa juga bisa membebani seseorang sehingga jatuh dalam kondisi depresi. Jadi tantangan untuk bersukacita adalah hal nyata, terlepas dari sekedar peran iman seseorang. Namun perintah Tuhan ini mengingatkan kita - di dalam Tuhan, kita bisa bersukacita walau menghadapi situasi yang sulit. Memang, Alkitab mengajarkan suatu paradoks yang perlu dipahami melalui kacamata iman. Saat kita melihat orang lain, situasi, lingkungan, bahkan diri kita sendiri, ada saatnya kita kehabisan alasan untuk bersukacita. Namun, selalu ada alasan: di dalam Tuhan. Perintah untuk bersukacita “di dalam Tuhan”, berarti sukacita bertumpu pada keberadaan Allah yang berdaulat, tidak berubah, setia memelihara dan baik dalam segala rancangan-Nya. Sukacita ini mampu melampaui berbagai situasi, bahkan keberadaan diri kita. Sukacita merupakan keputusan kita. Baik apa yang kita pikiran dan lakukan. Bagaimana jika perasaan kita sulit untuk sukacita? Apakah sukacita berarti “emotionless” dan dibuat-buat. Dalam pandangan kognitif, pikiran, perasaan dan perilaku itu berkaitan. Ketika kita memutuskan untuk pemikiran kita diarahkan pada sukacita di dalam Tuhan, maka perasaan dan perilaku kita akan juga selaras. Juga, saat kita melakukan hal-hal yang membawa sukacita di dalam Tuhan, maka perasaan dan pemikiran kita juga akan selaras. Lebih jauh lagi, di dalam Tuhan, bukan sekedar keputusan stoik, namun sukacita ada di dalam anugerah Tuhan. Mengutip Alcorn mengenai sukacita, “People can borrow certain values from a Christian worldview, but without faith in Christ and the indwelling Spirit as an agent of change, they’re left without a solid foundation for happiness.”** Di dalam Tuhan, ada dasar yang teguh untuk bersukacita. Lebih dari itu, Ia memberikan kekuatan yang memampukan kita untuk bersukacita, bahkan di situasi yang sulit. Ini adalah sukacita yang bisa melampaui situasi. Terakhir, sukacita ataupun kebahagiaan adalah hal yang perlu kita kejar. Namun, temukanlah di dalam Tuhan. *Penulis saat ini melayani di Bandung ** Randy Alcorn, Happiness, 2015 /stl
- Kristus, Tuhan yang Tersalib dan Penderitaan Kita - Eksposisi Filipi
Ketuhanan Kristus adalah salah satu pengajaran yang sangat penting dalam Alkitab. Yesus Kristus adalah Tuhan yang berkuasa dan berdaulat atas alam semesta. Dia ada sebelum segala ciptaan dan segala sesuatu diciptakan di dalam Dia. Di dalam Dia, kita hidup, bergerak dan ada. Kita tidak mungkin hidup di luar Dia. Yang menarik, Alkitab juga mengklaim bahwa Yesus bukan hanya pencipta, Tuhan di atas segala tuhan dan Raja di atas segala raja. Dia bukan hanya Allah yang transenden, tetapi Ia juga adalah Tuhan atau Allah yang imanen, yang berinkarnasi menjadi manusia. Ia rela merendahkan diri begitu rendah sehingga Ia bisa merasakan penderitaan kita. Dalam Filipi 2:6-8 jelas dituliskan bagaimana Yesus merendahkan diri. Hal ini dinyatakan secara negatif (apa yang tidak dilakukan, ayat 6) maupun positif (apa yang dilakukan, ayat 7-8). Secara negatif pada ayat 6 di jelaskan bahwa Yesus yang walaupun dalam rupa Allah, atau adalah Allah itu sendiri, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan. Yesus kemudian secara positif, mengosongkan diri dan mengambil rupa hamba dan menjadi sama dengan manusia. Yesus merendahkan diri dengan menjadi manusia dan hamba. Ia bukan hanya datang menjadi manusia, tetapi Ia datang menjadi hamba/pelayan, seperti tertulis dalam Matius 20:28, “sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”. Yesus merendahkan diri sampai sebegitu rendah karena Ia datang untuk melayani manusia bahkan sampai mati di kayu salib. Kematian di kayu salib bukan hanya kematian yang rendah, melainkah kematian yang begitu hina dan merupakan aib yang sangat besar karena itu berarti terkutuk (Galatia 3:13). Dalam budaya Yunani-Romawi, kematian di kayu salib adalah kematian yang sangat mengerikan. Akibatnya anak-anak kecil dilarang untuk membicarakan tentang hal ini karena dianggap tabu dan tidak pantas. Ada sadisme yang berlebihan dan kesakitan yang tak terkatakan dalam penyaliban. Sikap Kristus yang tidak mau mempertahankan semua keistimewaan-Nya sebagai Allah merupakan wujud kerendahan hati yang luar biasa. Dia melepaskan hak-hak prerogatif-Nya sebagai Allah. Dia menjadikan diri-Nya terbatas dalam banyak hal (misalnya, Ia bisa lelah, haus) bahkan Ia mengizinkan diri-Nya untuk dikhianati, disangkali, diludahi, ditampar, dipukuli, hingga disalibkan. Dia menjadikan diri-Nya bergantung total pada Bapa walaupun Dia sendiri sebenarnya sempurna dan setara dengan Bapa. Tidak sampai di situ saja. Dia bahkan rela menjadi hamba yang merengkuh penderitaan dan kematian paling merendahkan dan menyakitkan. Semua ini Dia lakukan demi kita, orang-orang yang hina dan berdosa. Allah yang begitu agung dan mulia, yang jauh dari penderitaan, menjadi mungkin menderita, bahkan telah mengalami penderitaan yang sangat hebat karena rela menjadi manusia dan terpaku di kayu salib. Dia mengalami penderitaan bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara psikologis, emosional, sosial, politik yang spiritual. Apa yang kita bisa pelajari dari fakta bahwa Yesus yang walaupun adalah Tuhan di atas segala tuhan, tetapi telah rela merendahkan diri hingga mati di kayu salib untuk menggantikan kita? Apa hubungan perendahan diri Kristus, salib, dan penderitaan yang begitu besar, dengan segala hal yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia? Kekristenan tidak menjawab pertanyaan itu. Tuhan memberikan – bukan jawaban atas dilema intelektual – tetapi penyelesaian atas masalah tersebut melalui Kristus yagn walaupun Tuhan yang secara logika tidak mungkin menderita, rela datang ke dunia merendahkan diri menjadi hamba dan memikul penderitaan yang begitu hebat di salib. Di tengah penderitaan dunia (seperti perang di Ukraina yang sudah menelan banyak korban, bencana alam, kemiskinan, dan penindasan), kita melihat TUhan bersama kita dan percaya bahwa Dia mampu menanggung beban kita dan membebaskan kita dari keputusasaan. Mengapa? Karena Dia tidak jauh dari rasa sakit kita, dari penderitaan kita, dari air mata dan dukacita kita. Dia memahami penderitaan kita karena Yesus Kristus – Allah dalam rupa manusia – menderita di kayu salib. Karena salib, kita tahu bahwa Tuhan tidak pernah absen dari penderitaan dan rasa sakit kita. Karena saliblah, kita dapat mengalami pengampunan dan rekonsiliasi dan perdamaian dengan Allah. Karena salib, kita mempunyai pengharapan yang kokoh bahwa Allah adalah sungguh Immanuel. Saat kita menyaksikan kejahatan dan penderitaan di dunia ini, kita mungkin berteriak ”Dimana Allah? Mengapa Tuhan ijinkan ini terjadi?” Tuhan tidak memberi kita penjelasan. Dia memberi kita Anak-Nya yang Tunggal yang telah merendahkan diri menjadi manusia, menjadi hamba dan mati di kayu salib. Salib adalah jawaban Allah atas seruan kita. /stl *Penulis saat ini melayani di OMF Indonesia.
- Pekerjaan yang Membawa Sukacita: Refleksi MMC XVI
“Your vocation in life is where your greatest joy meets the world’s greatest need” – Frederick Buecher Memiliki pekerjaan yang membawa sukacita bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga orang lain adalah impian yang tampak idealis bagi mahasiswa yang baru lulus. Namun, idealis tanpa dasar biblikal dapat membawa celaka terutama bagi tenaga medis yang baru lulus. Mereka hanya menilai pekerjaan berharga berdasarkan penilaian manusia semata, iming sukacita berdasarkan materi, ketenaran, dan ambisi. Untuk itulah, Medical Mission Course (MMC) XVI tahun 2023 kembali diadakan, 5 Maret – 23 April 2023. Dari MMC pertama hingga sekarang, Allah sungguh menunjukkan tuntunan-Nya. Selama dua tahun terakhir, MMC diselenggarakan secara virtual dari domisili masing-masing karena pandemi. Namun, memperhatikan kondisi pandemi yang semakin terkendali dalam beberapa bulan belakangan, rangkaian MMC XVI dapat dilaksanakan secara tatap muka seperti semula. Allah terus menyertai, Allah yang sama dari dulu hingga sekarang. Rangkaian MMC XVI diikuti oleh 10 peserta, 7 dokter umum dan 3 perawat dari berbagai daerah berkumpul di Jakarta selama empat minggu. Seminggu pertama dimulai dengan sesi kelas dasar untuk memperlengkapi bagaimana mencari kehendak Allah secara mandiri, mengenal gambaran besar misi global Allah, mengenali dan menggumulkan panggilan pribadi secara spesifik dalam dunia misi medis. Kemudian selama dua minggu selanjutnya masuk ke sesi eksplorasi dengan membukakan berbagai lembaga misi yang dapat menjadi rekan sekerja, kesempatan mendengar life sharing dari para tenaga medis kristen misioner, serta mendapat pemaparan dari 6 bidang misi medis; Cross Cultural Mission, Urban Mission & Neglected People, Medical Mission Networking, Health Policy, Law & Management, serta Mission Hospital. Beberapa sesi dilakukan secara hybrid sehingga peserta dapat bertemu beberapa narasumber secara virtual dari berbagai daerah yang tidak memungkinkan ke Jakarta. Seminggu terakhir di Jakarta, peserta mendapat kesempatan untuk melakukan praktik lapangan di dalam kota (Jakarta dan Bogor) bersama beberapa lembaga sehingga dapat terjun langsung dalam pelayanan yang dilakukan dalam lembaga tersebut. Selama waktu praktik lapangan baik dalam kota maupun luar kota, peserta diberi kesempatan memilih satu dari enam pilihan bidang misi medis yang dipaparkan sebelumnya untuk menjadi langkah awal dalam menemukan dan menekuni panggilannya. Kemudian, selama dua minggu, rangkaian MMC XVI terpisah menjadi dua tim; RSU Bethesda Serukam dan RS Mardi Waluyo Lampung. Peserta dapat mengobservasi pelayanan klinis dan administratif rumah sakit misi, melihat gambaran kesempatan dan tantangan pelayanan misi dalam rumah sakit, pelayanan kerohanian serta belajar memberitakan Injil kepada para pasien dengan menerapkan prinsip Pelatihan Saline. Peserta juga mendapatkan kesempatan mendengar langsung kesaksian hidup dari staf, dokter, dan pelayan di masing-masing rumah sakit. Baik RSU Bethesda Serukam maupun RS Mardi Waluyo memiliki program unggulan masing-masing yang memperkaya pengalaman para peserta. Peserta mengobservasi pelayanan FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) dan PKMD (Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa) yang merupakan program tetap RSU Bethesda Serukam. Sedangkan di RS Mardi Waluyo Lampung, peserta belajar konsep pelayanan ekstramural, mendapatkan pengalaman secara nyata dalam melihat, mempelajari, dan terlibat dalam pelayanan misi ekstramural, serta mendapatkan kesempatan live in di daerah terpencil, sehingga peserta melayani sesuai dengan kebutuhan desa tersebut. Peserta kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan minggu terakhirnya dengan beberapa sesi dan konseling akhir, serta ditutup dengan ibadah penutup dan pengutusan. Rangkaian MMCV XVI selama 7 minggu itu berjalan dengan baik berkat penyertaan Tuhan. Terlepas dari segala kekurangan, doa terus mengalir bagi kesepuluh peserta – Tuhan berkenan memampukan dan meneguhkan mereka dalam mengerjakan panggilan agung Allah, setia dan taat sampai akhir. Sebagai panitia, kami bersyukur dapat menjadi perpanjangan tangan Tuhan, bersama seluruh mentor, narasumber, lembaga/yayasan misi yang sudah terlibat serta donatur yang telah setia mendukung dan mendoakan. Kiranya kita terus berjalan dalam rencana Tuhan, setia mendengar-Nya dan tetap penuhi panggilan-Nya. *Penulis merupakan salah satu panitia MMC XVI /stl
- Mengelola Stres Lewat Keintiman Pasutri
Perubahan drastis telah melanda institusi pernikahan dewasa ini. Perubahan tersebut membawa konsekuensi yang luar biasa, antara lain mengubah perasaan, harapan, nilai-nilai dan pola tingkah laku manusia. Salah satu dimensi keluarga yang sangat dipengaruhi adalah hilangnya relasi yang intim antara suami-istri. Keadaan sosial masyarakat kini melahirkan masyarakat dan keluarga yang makin individualis dan impersonal. Akibatnya manusia makin jauh dari relasi, bahkan dari orang terdekat sekalipun seperti keluarga. Di sisi lain, manusia pada dasarnya adalah mahluk sosial (social being). Artinya, manusia membutuhkan ikatan (bonding) atau hubungan yang intim dengan orang-orang yang terdekat, khususnya keluarga. Ikatan batin ini penting sebab menjadikan seseorang tahan terhadap stres dan kecemasan. Akibat tuntutan kehidupan dan nilai hidup yang mengutamakan uang membuat banyak ibu harus bekerja di luar rumah. Bekerja tentu bukan masalah, namun akibatnya mereka menjadi kurang mempunyai waktu menciptakan hubungan yang saling membangun dengan pasangan dan anak-anak. Berkurangnya waktu bersama keluarga, khususnya anak-anak, menambah stres dan konflik tersendiri. Konflik tersebut menurut James Levine adalah konflik antara ‘mengutamakan kehidupan kerja atau keintiman keluarga’. Baik suami maupun istri mengalami stres, yang berperanan menciptakan keluarga-keluarga yang disfungsi. Keintiman Tinggi, Stres Rendah Beberapa hasil penelitian menunjukkan keintiman berkaitan erat dengan stres. Relasi yang intim bisa menjadi semacam benteng bagi efek negatif dari stres. Survei membuktikan, mereka yang intim dengan pasangan, lebih sedikit mengalami sindrom yang berkaitan dengan stres dan paling cepat mengatasi berbagai penyakit. Mereka juga paling sedikit kemungkinan kumat dengan penyakitnya dibandingkan mereka yang tidak memiliki relasi yang intim. Untuk itu, orang yang menikah perlu belajar merawat dan mengembangkan keintiman, sebab ini berkaitan dengan kesehatan Anda. Secara praktis, berikanlah waktu yang cukup bersama pasangan. Usahakan Anda menjadi teman bicara yang menyenangkan, sedikit ada humor dan canda. Sukalah membantu ketika pasangan membutuhkan pertolongan. Anda tidak hanya fokus pada bisnis dan karir pribadi, sebaliknya perhatikan pada pasangan Anda. Berusahalah memikirkan bagamana agar pasangan Anda senang dan puas. Merawat cinta berarti peduli, bersedia berbagi dan menyatakan diri pada pasangan tanpa rasa takut atau berpura-pura. Ada kerelaan memelihara pasangan dan memproteksi kebutuhan fisiknya dengan baik. Dalam hal ini termasuk berkorban bagi pasangan, membela pasangan saat dia terancam. Semua ini akan memberikan pasangan Anda rasa aman yang paling mendasar. Bentuk-bentuk keintiman antara lain: Keintiman emosi. Ini merupakan pengalaman kedekatan secara perasaan, kemampuan membagikan perasaan secara terbuka, dan mendapat perhatian penuh dari pasangan. Wujudnya adalah kerinduan untuk bersama, ada kesukaan ngobrol dan jalan berdua. Intinya, sediakan waktu bermesraan secara emosi. Keintiman sosial. Pengalaman memiliki teman dan kegiatan sosial bersama-sama. Wujudnya, tidak mudah cemburu. Sebaliknya mau akrab bergaul dengan sahabat pasangan Anda. Menyediakan waktu ngobrol dan bertemu dengan sahabat masing-masing. Keintiman seksual (bagi suami-istri). Ini adalah pengalaman menyatakan afeksi, sentuhan, kedekatan secara fisik dan aktivitas seksual. Wujudnya adalah punya rasa tertarik pada tubuh pasangan, mengalami orgasme dan bebas dalam mengkomunikasikan masalah seksual. Tipsnya, sediakan waktu berkala menikmati hubungan seksual dengan pasangan Anda sesuai kebutuhan dan kesepakatan, juga kreatif melakukannya. Keintiman rekreasional. Pengalaman membagi kesukaan lewat hobi, olahraga, dan rekreasi bersama. Kemampuan menikmati waktu senggang bersama. Rencanakan berlibur setidaknya dua kali setahun, yang menyenangkan bagi kedua belah pihak termasuk anak-anak. Keintiman spiritual. Kemampuan menikmati persekutuan bersama secara rohani, bertumbuh secara iman serta saling mendoakan. Selain menikmati iman yang utuh, perlu saling menguatkan saat pasangan dalam kondisi tertekan dan banyak pergumulan. Anda menjadi teman sharing menyenangkan dan menguatkan Jika Anda bisa membangun dan merawat keintiman di atas, maka Anda membawa kenikmatan, kepuasan pada pasangan dan diri Anda sendiri. Anda menikmati kegembiraan, kedamaian, ketentraman, dan minim stres. Sebaliknya, jika Anda tidak merawat cinta dan keintiman dapat membawa hasil yang negatif. Kiranya Tuhan terus menolong dan memelihara keintiman Anda dan pasangan, bagi kemuliaanNya. *Penulis melayani sebagai konselor di Layanan Konseling Keluarga dan Karir LK3 /stl Referensi: 1. Len Sperry & J. Carlson. Marital Therapy. Love Publishing Company, Colorado, 1991 2. Seni Merawat Keluarga, Julianto Simanjuntak dan Roswitha Ndraha (Pelikan Indonesia) 3. Mengubah Pasangan Tanpa Perkataan (Julianto Simanjuntak dan Roswitha Ndraha , VISI- Bandung) 4. Alasan-alasan Mempertahankan Perkawinan (Benjamin Utomo dan Julianto Simanjuntak)
- Kebebasan Melalui Self-Forgetfulness
Judul : The Freedom of Self-Forgetfulness: The Path to True Christian Joy Penulis : Timothy Keller Halaman : 48 pages Penerbit : 10Publishing, 2012 Cukup sulit mencari padanan kata “self-forgetfulness” dalam bahasa Indonesia yang singkat tanpa mengurangi maknanya. Self-forgetfulness menekankan pentingnya orientasi pada apa kata Tuhan daripada opini orang lain bahkan opini kita sendiri. Dalam buku ini, Tim Keller mengulas self-forgetfulness sebagai tanda hidup yang telah bertransformasi. Kita sebagai manusia dihadapkan pada dua potensi cara pandang ekstrim yang perlu diwaspadai. Cara pandang yang terlalu tinggi terhadap self esteem (umumnya diterjemahkan sebagai “harga diri”), merupakan penyebab dari banyak permasalahan. Di jaman kuno, jemaat Korintus saling membanggakan diri sebagai murid dari Apolos, sebagian membanggakan Paulus, sehingga berpotensi perpecahan dan konflik horizontal yang akhirnya memicu teguran dari Paulus. Begitu juga sebaliknya, cara pandang yang terlalu rendah terhadap self esteem juga problematik. Kita dapat melihat orang melakukan kriminalitas, melakukan penganiayaan, kecanduan, yang jika ditelisik disebabkan oleh rasa tidak puas atas citra dirinya. Membangun identitas di atas cara pandang yang keliru, baik terlalu tinggi maupun terlalu rendah memandang citra diri, adalah ibarat balon. Meski tampak berisi, balon hanya kosong berisi angin; ia juga “membengkak” yang menyakitkan; serta “mudah meletus” alias rapuh. Dengan demikian, cara pandang yang tepat terhadap self-esteem menjadi kunci. Ini akan menjauhkan kita dari overthinking sehingga membuat kita terbebas dari intimidasi pikiran yang tidak perlu. Paulus menunjukkan bagaimana Injil telah mengubahkan caranya memandang harga dirinya dan identitasnya. Egonya berubah total setelah mengalami perjumpaan dengan Kristus. Cara pandang Paulus mengenai dirinya tidak terikat pada penilaian orang lain terhadap Paulus. Namun sebaliknya juga tidak lantas Paulus mengikuti opini dirinya sendiri. Adalah jebakan juga jika kita hidup menurut standar pendapat kita sendiri, yang menjadikan kita keras kepala dan menghalangi diri menjadi pribadi yang lebih baik. Paulus hanya peduli terhadap penilaian Tuhan atas dirinya. Perlu diperhatikan bahwa hal ini tidak ada kaitannya dengan dosa. Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa, dan di antara mereka akulah, kata Paulus, yang paling berdosa. Dosanya dan identitasnya tidak saling berhubungan. Paulus menolak mencampurkannya. Dia tidak ingin naturnya sebagai orang berdosa menghancurkan cara pandangnya terhadap citra dirinya. Ini tesnya: orang yang self-forgetful tidak akan sedemikian sakit hati karena kritik. Kritik tidak akan menghancurkannya, tidak akan mengganggunya. Orang yang hancur karena kritik menandakan bahwa ia menaruh terlalu banyak kepeduliannya pada pikiran orang lain. Demikian sebaliknya, orang juga bisa hancur justru karena orang tidak mau mendengar kritik sama sekali. Mereka tidak belajar dari kritik karena tidak peduli. Orang yang self-forgetful mendengarkan kritik dan melihatnya sebagai peluang untuk perbaikan. Terdengar idealis memang, namun sebetulnya ini merupakan akibat logis dari pengenalan akan Tuhan. Semakin kita mengerti Injil maka sudah sepantasnya kita semakin ingin berubah ke arah yang lebih baik. Paulus memberikan teladan dan menunjukkan cara mengalami transformasi cara pandang terhadap diri sendiri. Paulus, dan semestinya kita juga, meyakini ultimate verdict bahwa kita berharga di mata Tuhan dan hanya penilaian Tuhanlah yang berarti bagi kita. Tidak seperti worldview lain dimana kita berbuat baik demi memperoleh perkenanan Tuhan. Dalam kekristenan perkenanan Tuhanlah yang terlebih dahulu menuntun kita pada pertobatan dan buah yang baik dalam hidup kita. Tuhan terlebih dahulu mengasihi dan menerima kita, sehingga kita tidak perlu mempesona siapapun untuk membuat kita nampak lebih baik. Self-forgetfullnes menjadi tanda transformasi hidup dan cara pandang terhadap citra diri, sehingga kita tidak perlu membangun identitas kita di atas kekosongan, yang kemudian menjadikan hidup kita dapat seturut dengan kehendak Allah. /stl
- Apakah Bayi Tabung dapat Menjadi Pilihan bagi Orang Kristen?
dr. Kurnia Baraq, M.Med** dan Dr. dr. Lydia Pratanu, MS*** Pada tahun 1978, dunia digemparkan oleh kelahiran bayi Louis sebagai bayi tabung pertama. Kala itu, tuba fallopi yang tersumbat menjadi latar belakang utama In Vitro Fertilization (IVF) dilakukan – saat ini, hal tersebut tidak lagi menjadi satu-satunya motivasi, dimana perkembangan teknologi molekuler terjadi sangat pesat. Proses bayi tabung, sejak awal menjadi sarang dari berbagai isu etik yang memicu banyak perdebatan oleh berbagai kalangan termasuk orang Kristen. Infertilitas bukanlah suatu hal yang asing dalam kekristenan. Alkitab cukup sering mencatat tentang infertilitas – simak saja Abraham dan Sarah, Hana dan Elkana, dan lain sebagainya. Pasutri Kristen yang rindu menggenapi mandat Allah untuk berkembang biak dan bertambah banyak namun menghadapi masalah infertilitas pada akhirnya diperhadapkan dengan opsi IVF bilamana berbagai opsi lainnya terbukti tidak berhasil. Sebagian dari kita mungkin akan langsung berkata tidak. Tapi, penulis ingin mengajak kita belajar beberapa proses dari IVF yang sarat dengan berbagai isu etik sebelum mengambil keputusan. Pasangan yang akan melalui proses bayi tabung terlebih dahulu harus menjalani pengobatan untuk memperbaiki kualitas sperma bagi laki-laki dan super ovulasi untuk menghasilkan lebih banyak telur bagi perempuan. Selanjutnya, sampel sperma dikeluarkan dengan cara masturbasi dan sejumlah telur yang dihasilkan akan diambil secara langsung melalui proses ovum pick up. Proses fertilisasi di laboratorium mulai terjadi di tahap selanjutnya. Untuk meningkatkan angka keberhasilan terjadinya pembuahan, satu sperma hidup disuntikkan ke pusat sel telur (sitoplasma) yang telah matang (Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI)) dan dikulturisasi sampai mencapai tahapan blastocyst yang terdiri dari 50 – 200 sel untuk dilakukan pre-implantation genetic screening (PGT) yang bertujuan untuk mengidentifikasi terjadinya aneuploidy (PGT-A) yaitu keadaan kekurangan ataupun kelebihan kromosom seperti down syndrome, monogenic disease (PGT-M) yaitu keadaan seperti thalassemia, dan structural abnormalities (PGT-S). Tahapan ini dimungkinkan ketika teknologi sequencing merambah masuk ke dunia kesehatan. Sampel yang digunakan adalah trophectoderm yang merupakan lapisan terluar blastocyst dancikal bakal plasenta. Bila tidak ditemukan masalah dalam screening tersebut maka embrio akan diimplantasi ke dinding rahim dan perkembangan kehamilan secara normal akan dilewati oleh calon ibu tersebut. Sebaliknya, bila ditemukan masalah, menghancurkan embrio menjadi pilihan. Lalu, bagaimana perspektif kita sebagai orang Kristen? Kita percaya bahwa setiap individu merupakan mahakarya unik yang diciptakan Tuhan, tetapi kemudian rusak akibat dosa dan akhirnya sangat rentan mengalami berbagai penyakit serta kecacatan. Dalam hal ini, penggunaan teknologi medis dapat dianalogikan dengan restorasi seni yang menggunakan teknologi canggih dan terkadang invasif untuk mengembalikan sebuah mahakarya. Yang perlu digarisbawahi adalah hasil akhir dari restorasi seni adalah dikembalikannya mahakarya tersebut sesuai dengan niat seniman aslinya. (Wyatt, John. Matters of life and Death, IVP, 2014) Pemanfaatan teknologi reproduksi IVF untuk memulihkan fungsi reproduksi seorang perempuan yang merupakan sebuah mahakarya yang ‘rusak’ akibat infertilitas dapat dilihat sebagai pemulihan suatu ciptaan. Teknologi IVF tidak diperkenankan mengubah desain asal dari the genetic mother, the carrying mother, and the social mother – sebagai desain yang kita percayai dalam iman Kristiani. Dengan kata lain, anak yang lahir melalui teknologi IVF adalah buah persatuan kasih yang secara genetika berasal dari sel sperma dan sel telur kedua orangtuanya sebagai pasangan suami istri dalam pernikahan yang saling mengasihi, dan kemudian dikandung dan dilahirkan oleh ibunya sendiri. Proses bayi tabung pada akhirnya merupakan alat bantu saat organ reproduksi mengalami ketidakmampuan untuk menghasilkan keturunan. Teknologi IVF, perubahan desain, dan nasib embrio Kecanggihan teknologi reproduksi telah membuka peluang terhadap keinginan berdosa manusia untuk mengubah desain Sang Pencipta. Penggunaan donor sel telur, donor sperma, dan bahkan ibu pengganti atau yang kita kenal sebagai surrogate mother telah benar-benar mengubah desain Allah sebagai Pencipta. The God given system of a person dimulai dari pertemuan sperma dan sel telur, sehingga perubahan terhadap esensi pernikahan pria dan wanita yang mencerminkan ikatan hubungan Allah Tritunggal bukanlah ide yang benar. Selain itu, seleksi embrio, pembekuan embrio cadangan untuk reinsertion bila terjadi kegagalan implantasi, dan screening embrio terhadap berbagai kondisi patologis juga menjadi dilema etik yang tidak bisa diabaikan. Kebanyakan nasib akhir dari embrio-embrio tersebut hanya seputar: tetap dipertahankan untuk berkembang atau dimusnahkan (tentunya dengan persetujuan pemilik embrio tersebut). Alkitab sangat jelas mengajarkan kita untuk menghargai kehidupan sejak dalam kandungan. Menghargai setiap jiwa manusia yang telah diciptakan segambar dan serupa dengan Allah dimana Allah-lah sebagai sumber hidup dan Pencipta, bukan manusia. Mazmur 139:13, “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku”. Penutup Bagi orang Kristen, bayi tabung tidak terbatas tentang boleh atau tidak. Sudah seharusnya sebagai pasangan yang bergumul untuk mempunyai keturunan ataupun kita sebagai tenaga medis dan juga seorang Kristen untuk mempunyai pengetahuan yang komprehensif terkait teknologi reproduksi ini. Tentu, iman kita kepada Kristus dan pengetahuan tidak boleh dipisahkan. Karena itu, setiap kemajuan teknologi harus berpedoman pada prinsip memuliakan Allah termasuk teknologi IVF yang kita percaya merupakan anugerah Allah sebagai teknologi restoratif yaitu pemulihan ciptaan sesuai dengan desain Sang Pencipta. *Ditulis dr. Kurnia Baraq, dari seminar “Bayi tabung dan perspektif Kristen” pada 6 Maret 2023 oleh Dr. dr. Lydia Pratanu, MS **Penulis bekerja di NGO bidang HIV di Jabodetabek ***Penulis bekerja di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta /stl