top of page
Subscribe
Instagram
Facebook
Donation

139 results found with an empty search

  • Bijak Memilih

    Pernah nggak membuat suatu pilihan yang disesali atau disyukuri? Biasanya yang lebih melekat yang disesali ya, “aduh, kenapa dulu nggak ambil jurusan ini aja ya?” Tanpa disadari, setiap hari kita membuat pilihan. Memilih mendaftar ke jurusan apa, menjalin hubungan dengan siapa, dan masih banyak pilihan lainnya. Semua pilihan ada konsekuensinya, baik itu panjang atau pendek dan baik atau buruk. Kalau salah potong rambut, mungkin konsekuensinya pendek karena dalam beberapa bulan sudah tumbuh lagi. Tapi, kalau salah pilih teman hidup? Cukup panjang konsekuensinya. Tahun 2024 ini adalah tahun yang sangat bersejarah karena kita akan banyak membuat pilihan. Untuk pertama kalinya Indonesia akan mengadakan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di tahun yang sama. Pada Pemilu tanggal 14 Februari nanti, pemilih akan mencoblos 5 surat suara (4 bagi warga DKI Jakarta) dan pada Pilkada tanggal 27 November nanti kita akan memilih gubernur-wakil gubernur serta bupati-wakil bupati atau wali kota-wakil wali kota. Bagi banyak orang, membuat pilihan sebanyak ini pasti akan membuat kewalahan. Jika kita tidak bijaksana dalam memilih, maka konsekuensinya minimal lima tahun ke depan. Tapi, apa yang dimaksud bijaksana memilih? Bijaksana Pertama kita awali dengan definisi kata bijaksana. Kata dalam bahasa Ibrani untuk bijaksana yang lazim digunakan dalam perjanjian lama adalah Chokma. Menurut D.M. Welton (1897), bijaksana adalah kualitas etika yang kuat, yang berakar pada takut akan Tuhan, dan menerapkan kebenaran wahyu ilahi kepada berbagai hubungan dan keadaan kehidupan. Schroeder (2023) mendefinisikan bijaksana sebagai keterampilan moral untuk hidup yang diungkapkan melalui Firman Tuhan, yang mengajarkan kita tentang bagaimana bertindak sesuai keinginan-Nya. Definisi singkat, yang saya dapatkan dari buku karakter untuk anak adalah thinking God’s way, yang terjemahannya berpikir sesuai cara Tuhan berpikir atau melihat melalui lensaNya. Apa perbedaan antara pengetahuan dan kebijaksanaan? Pengetahuan berkaitan dengan informasi dan kecerdasan. Penalaran dan pengalaman menambah apa yang kita ketahui. Sedangkan, kebijaksanaan memampukan kita untuk menggunakan pengetahuan tersebut dan membuat penilaian serta keputusan yang tepat. Keterampilan untuk menerapkan pengetahuan menunjukkan kebijaksanaan seseorang. Langkah agar Bijaksana Memilih Karena sistem negara kita adalah demokrasi, maka suara rakyat adalah suara terkuat. Makna harfiah demokrasi ditekankan oleh Abraham Lincoln ketika ia mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan oleh, untuk, dan dari rakyat" (Colby, 2017, 25). Demokrasi adalah kondisi di mana “rakyat harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan publik penting ... harus berbagi dalam merumuskan kebijakan dan bukan hanya meratifikasi keputusan yang telah dibuat seorang pemimpin sebelum pemungutan suara dilakukan” (Wittke, 1941, h. 1-2). Berdasarkan definisi tersebut, maka kita sebagai rakyat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan publik penting, termasuk di dalamnya menentukan siapa yang akan menjadi Presiden-Wakil Presiden, Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat 1, dan DPRD tingkat 2. Berikutnya adalah langkah-langkah bagaimana kita mengaplikasikan bijaksana dalam memilih di Pemilu 2024. 1. Baca Firman Tuhan agar Standar Moral kita dalam Memilih Sejalan dengan Standarnya Tuhan. Firman Tuhan pada Yeremia 29:7 mengatakan, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Perintah tersebut diberikan kepada bangsa Israel yang kala itu sedang dalam masa pembuangan akibat ketidaktaatan mereka yang seharusnya hidup bagi misinya Tuhan untuk merefleksikan kemuliaanNya di tengah bangsa lain yang tidak percaya. Namun yang mereka lakukan adalah hidup bagi diri sendiri. Atas kasih karuniaNya, Yeremia 29:7 menunjukkan bahwa misi Tuhan bagi bangsa Israel masih berlaku, yaitu menjadi berkat bagi bangsa Babilonia. Kita sebagai orang Kristen di Indonesia juga memiliki misi yang sama, yaitu untuk menjadi berkat bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kita perlu menjadikan Alkitab sebagai referensi dalam membuat pilihan agar mengerti standar Tuhan bagi seorang pemimpin seperti apa. 2. Punya Mimpi untuk Indonesia. Coba pejamkan mata dan imajinasikan Indonesia seperti apa yang ideal. Buka mata, kemudian mulai lakukan pekerjaan penting meriset kandidat mana yang dapat mewujudkan impian tersebut. Penting juga untuk mempelajari cita-cita Bapak-Bapak Bangsa ketika mewujudkan Indonesia merdeka dan ini bisa dimulai dengan membaca pidato Bung Karno pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, di mana Bung Karno mengatakan mimpinya, “Kita hendak mendirikan suatu Negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi ‘semua buat semua’.” Kita dapat memilih pemimpin yang dapat melanjutkan estafet mimpi tersebut. 3. Riset kandidat yang dapat Mewujudkan Mimpi Tersebut. Melakukan riset dapat dilakukan dengan mengikuti berita, menonton debat, menyelidiki rekam jejak, mempelajari partai pendukung, dan menganalisis visi-misi masing-masing kandidat. Jangan lupa juga melakukan riset untuk masing-masing calon legislatif yang berada di Daerah Pemilihan (Dapil) kita. 4. Pastikan dapat memilih di hari H Kategori pemilih pada pemilu ada tiga, yaitu (1) Daftar Pemilih Tetap (DPT), yaitu pemilih yang telah ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota dan untuk memeriksanya dapat mengunjungi situs KPU berikut https://cekdptonline.kpu.go.id/; (2) Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), yaitu pemilih yang karena suatu alasan memberikan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) lain di luar TPS di mana ia terdaftar, dan; (3) Daftar Pemilih Khusus (DPK), yaitu daftar pemilih yang memiliki identitas kependudukan tetapi belum  terdaftar dalam DPT atau DPTb. Jangan khawatir, untuk kategori terakhir ini, Anda tetap dapat datang ke TPS untuk memilih dari jam 12.00-13.00 WIB. 5. Bantu awasi penghitungan suara Sebaiknya jangan langsung pulang setelah memilih, tapi bantu pantau penghitungan suara. Pastikan kertas suara yang tidak terpakai agar tidak disalahgunakan. Jika ada 60 surat suara saja disalahgunakan di 820.161 TPS dalam negeri, maka akan seharga lebih dari 49 juta suara. Manfaatkan ponsel untuk mendokumentasikan dan segera laporkan jika ditemukan pelanggaran. Laporan dugaan pelanggaran pemilu bisa disampaikan kepada pengawas Pemilu sesuai tingkatan dan wilayah kerjanya paling lambat tujuh hari sejak diketahui dan/atau ditemukannya pelanggaran Pemilu. Adapun untuk melaporkan kecurangan Pemilu dapat dilakukan melalui Bawaslu, baik mendatangi kantornya langsung atau dilakukan secara online melalui laman resmi https://www.bawaslu.go.id/ maupun melalui aplikasi Gowaslu. Penutup Untuk menjadi generasi muda Kristen yang cakap mengusahakan kesejahteraan kota dan bangsanya bukan proses instan. Kecakapan ini dapat diasah dimulai dengan memilih pada Pemilu 2024 ini. Buat Anda yang menjadi pemilih pemula, mari pergunakan hak memilih ini dengan penuh tanggung jawab. Pada tanggal 14 Februari 2024, di kala dunia merayakan hari kasih sayang, kita akan merayakan kasih kita buat bangsa Indonesia dengan datang ke TPS dan memilih dengan bijak. No one is born a good citizen, no nation is born a democracy. Rather, both are processes that continue to evolve over a lifetime. Young people must be included from birth. -Kofi Annan- Referensi Aspara, D. (2023, May 11). Catat! Ini Cara Lapor Kecurangan Pemilu 2024. beritasatu.com. https://www.beritasatu.com/bersatu-kawal-pemilu/1043779/catat-ini-cara-lapor-kecurangan-pemilu-2024 Colby, Anne, et. al. (2007). Educating for Democracy: Preparing Undergraduates for Responsible Political Engagement. California: Jossey-Bass A Wiley Imprint. Schroeder, S. (2023, January 20). What does the Bible say about wisdom?. Christianity.com. https://www.christianity.com/wiki/bible/what-bible-say-about-wisdom.html#:~:text=Filled%20with%20wise%20sayings%2C%20Proverbs,to%20act%20as%20He%20desires. Welton, D. M. (1897). The Old Testament Wisdom (Chokma). The Biblical World, 10(3), 183–189. http://www.jstor.org/stable/3140110 Wittke, Carl Frederick, et. al. (1941).  Democracy is Different: Democracy Over Against Communism, Fascism, and Nazism. New York: Harper & Brothers Publishers. Penulis merupakan Co-Founder Beneran Indonesia

  • Refleksi Christian Global Health in Perspective

    Selama ini, bagaimana kita menghidupi iman dalam dunia profesional; apakah artinya menjadi dokter Kristen? Rasanya hal ini tidak cukup dipuaskan dengan sekedar menambahkan beberapa ciri dan aktivitas Kristen ke dalam keseharian kita. Diperlukan suatu cara pandang Kristen yang merubah cara kita melihat segala aspek dunia medis secara menyeluruh. Pelajaran-pelajaran di Christian Global Health in Perspective (CGHiP) telah memberikan kepada saya permulaan yang baik dalam perjalanan mengerti perspektif Allah mengenai kesehatan.  CGHiP membahas mengenai banyak hal: teologi penyakit dan kesehatan, sejarah pelayanan medis, pengaruh budaya terhadap kesehatan, serta strategi yang diadopsi gereja dalam mempromosikan kesehatan. Dalam tulisan singkat ini, saya akan membagikan empat poin untuk memancing rasa penasaran saudara terkait CGHiP. Kesehatan perlu untuk kita definisikan agar kita mengetahui apa yang kita tuju. Secara tidak sadar, kita memandang kesehatan sebagai tidak adanya penyakit, sehingga kita berhenti pada menyembuhkan penyakit dan tidak selalu melakukan upaya lain. Apakah akan terdapat perbedaan jika kita mengerti kesehatan sebagai shalom yang Tuhan sediakan saat penciptaan? Apakah semua kelemahan fisik dapat kita kategorikan sebagai penyakit, dan sebaliknya, apakah seseorang tanpa kelemahan fisik selalu dianggap sehat? Apakah upaya yang dapat kita lakukan jika kita mengerti kesehatan sebagai hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama, alam, dan diri sendiri? Seperti yang sudah kita pelajari dalam pendidikan kedokteran, memastikan etiologi merupakan suatu hal yang amat penting dalam menentukan tatalaksana definitif suatu penyakit. Sebagai contoh, pemberian antipiretik pada kasus infeksi bakterial hanya bersifat simtomatik, sedangkan pemberian antibiotik bersifat definitif, karena langsung menargetkan penyebab (root cause) penyakit yang diderita. Jika demikian, apakah perbedaan yang dapat kita lihat jika kita mulai mengerti bahwa etiologi dari semua penyakit (dis-ease atau hilangnya shalom) adalah dosa? Bagaimana patomekanisme dosa dalam menimbulkan berbagai penyakit dan bagaimana kita dapat menentukan tatalaksana yang definitif? Selama ini, bagaimana kita memandang pelayanan medis dengan pelayanan spiritual (penginjilan, pemuridan, dan sebagainya)? Apakah signifikansi pelayanan medis dalam iman Kristen? Masyarakat umum pada zaman Yesus dan para Rasul memandang Kekristenan sebagai agama orang sakit, karena walaupun agama lain menolak orang sakit, hanya Kekristenan yang menerima orang sakit dan menyembuhkan mereka. Pelayanan kesembuhan sangatlah umum dilakukan, dan menunjukkan kontras dengan agama lain yang hanya terpaut pada masalah spiritual atau non-fisik. Bagaimana pemahaman kita akan berubah setelah mengetahui bahwa Yesus tidak hanya menebus roh, tetapi juga tubuh kita? Bagaimana sikap kita dalam menyembuhkan jika kita mulai mengerti bahwa setiap pelayanan medis adalah kesaksian terhadap “the corporeality of salvation”? Bagaimana pengaruh faktor sosial dan budaya terhadap kesehatan individu? Tuhan menciptakan seluruh ciptaan sebagai suatu kesatuan dan akan menebus keseluruhannya pada hari Tuhan (Kolose 1:19-20). Penyakit suatu individu dapat dimengerti sebagai gejala dari komunitas yang sakit, sama seperti gejala individual dapat memberi petunjuk pada penyakit suatu individu. Orang Kristen dalam beberapa abad terakhir memiliki andil yang begitu besar dalam mengembangkan bidang kesehatan masyarakat, karena menyadari adanya ikatan yang erat antara ketidakadilan sistemik yang diakibatkan dosa dengan fenomenologi penyakit yang dapat diobservasi secara langsung. Bagaimanakah pengertian akan keterikatan faktor sosial terhadap kesehatan merubah persepktif dan strategi kita dalam mengupayakan kesehatan? Demikian empat poin yang dapat saya bagikan dalam artikel ini. Masih banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan melalui CGHiP dan saya sangat mendorong teman-teman dan kakak-kakak untuk diperlengkapi juga melalui CGHiP. Kiranya Tuhan menganugerahkan kesempatan dan terus memperlengkapi anak-anak-Nya demi menyatakan supremasi Kristus atas dunia kesehatan. /aas

  • Beyond Judgement Day: Telaah Kitab Zefanya

    Zefanya adalah seorang nabi yang melayani pada masa raja Yosia, raja Yehuda yang memerintah pada tahun 640-609 Sebelum Masehi (SM), ia juga turut berperan dalam masa pemerintahan Manasye yang memerintah pada tahun 696-642 SM. Zefanya termasuk sezaman dengan nabi-nabi Yehuda lainnya, seperti Mikha dan Yesaya. Pada awal pemerintahan Yosia, Zefanya mulai menantang pola jahat diantara umat Yehuda. Pola jahat yang dimulai sejak pemerintahan raja Manasye dan Amon. Zefanya memperingatkan masyarakat akan penghakiman yang akan terjadi. Dia mendapat dukungan dari raja Yosia sehingga saat itu terjadi reformasi rohani secara nasional, namun reformasi ini tidak berlangsung lama. Gelombang kejahatan kembali berlanjut, dosa terus merajalela, penyembahan berhala dan praktek menduakan Tuhan masih berlangsung. Hal ini membuat sang nabi meramalkan bahwa Tuhan akan menggunakan orang luar (yaitu Nebukadnezar) sebagai penghukuman. Berita penghukuman Zefanya mencakup penghukuman atas orang Yehuda (pasal 1), penghukuman atas bangsa-bangsa asing (pasal 2) dan penghukuman atas Jerusalem/Kerajaan Yehuda (pasal 3).  Kitab ini ditutup dengan sebuah catatan pengharapan dibalik penghukuman. Hope beyond the Judgement Day. Kitab Zefanya menawarkan pesan yang kuat tentang penghakiman, pertobatan, dan pemulihan. Hal ini merupakan pengingat bahwa Tuhan itu adil, namun penuh belas kasihan, dan bahwa setiap orang dan setiap bangsa bertanggung jawab atas tindakan mereka. Di sisi lain kita juga dapat melihat bagaimana Zefanya menerapkan kepemimpinannya dalam mengemban amanat Allah yang dipercayakan kepadanya. Penghukuman atas orang Yehuda – tiga ilustrasi Hari penghukuman atau judgement Day merupakan ajaran yang penting dalam kekristenan terutama agar kita dapat hidup benar dan mempersiapkan diri menghadapinya. Zefanya mengawali narasi tentang hari penghukuman ini dengan memakai 3 ilustrasi – the great sweep away (sapu bersih), the great sacrifice (perjamuan besar) dan the great battle (pertempuran besar). a. Sapu bersih (ayat 1-6) Keseriusan berita yang disampaikan Zefanya nampak dari istilah yang dipakainya “sapu bersih” (sweep away- NIV). Minimal 3x disebut dalam ayat 2 dan 3. Kata yang sama juga dipakai saat banjir besar pada masa Nuh. Apa saja yang akan disapu bersih dari muka bumi? Manusia dan hewan, burung di udara dan ikan di laut, orang fasik dan penyembah berhala. Dengan kata lain semua makhluk hidup akan lenyap dari muka bumi ini. Ini adalah ungkapan murka Allah atas dosa dosa manusia. Allah tidak berdiam diri seperti yang dikatakan sebagian orang. Allah menunjukkan ketidaksukaannya terhadap dosa. Bukan hanya manusia tetapi hewan yang telah dimandatkan kepada manusia juga akan dilenyapkan. Tuhan menyapu bersih seluruh ciptaan-Nya. Saat Allah merentangkan tangan-Nya (mengacungkan-TB) maka bukan hanya ciptaan-Nya saja  tapi ilah-ilah sesembahan juga dihancurkan oleh Tuhan. Ilah-ilah yang telah menawan hati banyak orang seperti Baal, dewa hujan orang Kanaan, dan Milkom, dewa orang Amon juga disapu bersih. Tidak ketinggalan para imam berhala yang memimpin pemujaan kepada ilah-ilah juga dibabat habis. Ada juga kelompok yang mendua hati, bersumpah setia pada Tuhan namun bersumpah setia juga pada dewa Milkam. Kelompok ini juga menjadi sasaran kemarahan Tuhan. Allah adalah Allah yang menginginkan kesetiaan Tunggal. b. Great sacrifice – perjamuan besar (ay 7-13) Istilah sacrifice atau perjamuan (Alkitab TB) sangat familiar dalam tata kehidupan orang Yehuda. Mereka sering melakukan upacara dengan membawa persembahan. Allah memakai ilustrasi ini untuk menggambarkan apa yang akan dialami orang Yehuda. Allah sendiri yang mempersiapkan perjamuan dan mengkuduskan para undangan-Nya (ayat 7), namun dalam perjamuan tersebut justru Allah menghukum undangan tersebut. Siapakah mereka? Mereka adalah (i) para pemuka (ii) keluarga kerajaan (iii) para pedagang dan (iv) orang-orang yang suka berdalih atau selalu mencari-cari alasan (excuse). Para pemuka yang telah membawa rakyat pada kesesatan. Para keluarga kerajaan dihukum karena kesombongan mereka. Kedua kelompok ini telah melanggar batas-batas kewenangan mereka (melompati pagar) dan merampas hak-hak sesamanya. Para pedagang dan saudagar yang tamak harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Hari itu akan segera tiba, hari dimana Allah membuat kita hanya bisa berdiam diri (ay.7), hari dimana Allah menghukum para pemimpin (ay.8), hari dimana seluruh penduduk kota meratap sedih (ay. 10), hari dimana orang kaya dan berada akan kehilangan semua milik mereka (ay.13). Hari Tuhan segera datang dan tidak akan ada yang bisa menahannya. Ironisnya, hukuman Allah tersebut dapat dihindari jika orang Yehuda kembali kepada Allah dan menyembahnya sebagai Tuhan mereka. Mereka adalah umat kesayangan Tuhan, namun mereka menolak pesan yang diberikan Allah melalui nabinya. Keangkuhan dan polusi penyembahan berhala telah menutup telinga mereka akan berita keselamatan. c. Great Battle – pertempuran besar (ay 14-18) Ilustrasi ketiga menggambarkan akan kesusahan dan kehancuran seperti sebuah kondisi paska perang. Sebuah kondisi dimana Yerusalem diserbu oleh pasukan asing Hari penghukuman akan datang dengan cepat (ay.14). Zefanya telah menubuatkan tentang hari  penghakiman Allah tersebut, sekarang dia menekankan betapa dekat dan cepatnya hari itu datang.  Orang-orang pandai dan gagah pun tidak berdaya dan tidak dapat melindungi. Mereka bukan tandingan Tuhan. Hari penghukuman datang dengan sangat mengerikan (ay.15). Sebuah hari kemurkaan dan kesusahan, hari kesia-siaan dan kehancuran, hari kegelapan dan kesuraman, hari mendung dan kegelapan pekat. Hari yang diilustrasikan sebagai perang (ay. 16), sebuah peringatan terhadap kota-kota berpagar dan terhadap menara-menara tinggi. Terompet ditiup untuk mengumpulkan rakyat saat akan  berperang. Menara-menara tinggi menjadi tempat para prajurit berusaha menangkal serangan namun hal itu tidak akan ada gunanya. Mereka tidak bisa melawan Tuhan. Hari penghukuman datang membawa pemusnahan (ay.17). Mereka akan berjalan seperti orang buta. Sebuah kebutaan rohani karena dosa terhadap Tuhan. Darah mereka akan tertumpah seperti debu, dan daging mereka seperti kotoran. Hari penghukuman datang dan tidak bisa dielakan oleh siapapun (ay.18). Api akan turun untuk membersihkan. Mereka akan disucikan oleh api Tuhan. Bumi akan dihancurkan oleh api. Ketiga ilustrasi tersebut memperlihatkan betapa Allah sangat serius tentang dosa dan hukuman dosa. Allah adalah Allah yang bertindak namun Allah juga selalu memberikan harapan kepada umat-Nya jika mereka bertobat dan kembali kepadan-Nya. Lesson learnt dari kisah Zefanya dan kepemimpinannya Allah bukanlah Allah yang berdiam diri atas segala dosa dan kejahatan umat manusia. Hari penghakiman akan datang. Hari yang penuh kengerian. Tuhan adalah Tuhan yang adil dan mencintai kebenaran.  Manusia berdosa karena menyembah ilah lain (sin of commissions) dan mengabaikan Tuhan (sin of omission). Allah tidak suka bahkan murka atas dosa-dosa terutama penyembahan berhala. Bagi kita, saat ini, Ilah-ilah lain tersebut bukan lagi berupa patung atau ukiran namun bisa berbentuk ponsel, pekerjaan, karir bahkan pelayanan itu sendiri. Mari kita telaah dengan cermat siapakah yang kita sembah dalam hidup ini? Allah selalu terbuka untuk mengampuni jika kita percaya dan datang mohon ampun dan menyembah Dia. Selalu ada harapan jika kita menghampiri-Nya. Hal lain yang dapat kita pelajari dari kepemimpinan Zefanya adalah walau ia termasuk berdarah biru, seorang keturunan raja, dia meninggalkan fasilitas kebangsawanan-nya untuk turun ke jalan mewartakan pesan Tuhan. Dia setia pada panggilan dan memilih menjadi pembawa berita walau beritanya tidak disukai oleh banyak orang. Sebuah keteladanan yang baik. Prinsip-prinsip kepemimpinan dapat diambil dari Zefanya, khususnya dalam bidang akuntabilitas, kerendahan hati, dan upaya mencapai keadilan. Penekanan Zefanya pada konsekuensi ketidaktaatan dan seruan untuk bertobat menggarisbawahi pentingnya kepemimpinan etis dan perlunya pemimpin membimbing pengikutnya dengan cara yang selaras dengan prinsip-prinsip spiritual. Pengaruh Zefanya terhadap raja Yosia sangat besar. Hal ini yang membuat sang raja mengadakan reformasi Rohani besar-besaran di Yehuda. Walaupun reformasi tersebut tidak langgeng namun kemampuan Zefanya untuk berkomunikasi dan berbagi visi dengan Yosia sangat baik. Kepemimpinan adalah pengaruh. Komunikasi adalah bagaimana menerapkan pengaruh tersebut dengan baik. Zefanya mempunyai ketrampilan komunikasi yang bisa kita teladani. /stl

  • Etika Kristen dalam Pelayanan Kesehatan: Harmoni dengan Kecerdasan Buatan

    Dalam era transformasi digital, kecerdasan buatan (AI) telah memainkan peran sentral dalam merevolusi berbagai sektor, termasuk pelayanan kesehatan di Indonesia. Perkembangan pesat dalam teknologi AI membawa potensi luar biasa untuk meningkatkan diagnosis, pengobatan, dan manajemen penyakit. Di tengah tantangan sistem kesehatan yang kompleks, AI menawarkan solusi inovatif untuk meningkatkan efisiensi, akurasi, dan aksesibilitas layanan kesehatan. Namun, sementara AI menjanjikan transformasi positif, penggunaannya juga membawa sejumlah pertanyaan etis dan tantangan yang perlu diperhatikan dengan cermat. Artikel ini akan mengeksplorasi peran evolusioner AI dalam pelayanan kesehatan, menyoroti dampak positifnya, sekaligus membahas aspek etika yang penting dalam menggabungkan kecerdasan buatan dengan nilai-nilai kesehatan dan kemanusiaan. Manfaat yang dihadirkan oleh kecerdasan buatan dalam pelayanan kesehatan Indonesia sangat besar dan beragam. Pertama, AI meningkatkan akurasi diagnosis dengan menganalisis data medis secara mendalam dan mengidentifikasi pola yang sulit dideteksi oleh mata manusia. Hal ini dapat mempercepat proses pengambilan keputusan klinis dan mengarah pada penanganan penyakit yang lebih efektif. Selain itu, sistem AI dapat digunakan untuk memprediksi risiko penyakit dan memberikan intervensi dini, memberikan potensi untuk pencegahan penyakit secara lebih efektif. Penggunaan chatbot atau asisten virtual juga mempermudah pasien dalam mendapatkan informasi kesehatan secara instan dan dapat menjadi sumber dukungan emosional. Secara umum, implementasi AI di pelayanan kesehatan bukan hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga memberikan harapan untuk meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan akses masyarakat terhadap perawatan kesehatan yang berkualitas. Beberapa contoh pemanfaatan AI yang telah dilakukan adalah penggunaan platform kesehatan berbasis AI untuk memberikan konsultasi medis secara virtual, pengembangan smart hospital untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas perawatan pasien, dan peningkatan kemampuan diagnostik berbagai penyakit seperti kanker dan retinopati diabetik. Dalam pandemi COVID-19 pemanfaatan AI berkembang dengan sangat pesat. Peranan penting AI dalam mengelola big data menjadi sangat signifikan, baik untuk pemantauan penyebaran virus secara global, pengembangan vaksin, deteksi citra radiologi, analisis prediktif kapasitas layanan kesehatan, serta berbagai analisis untuk mendukung penetapan kebijakan publik dalam penanganan pandemi global. Namun, seiring dengan manfaat yang dihadirkan oleh kecerdasan buatan dalam pelayanan kesehatan, terdapat pula sejumlah risiko dan tantangan yang perlu diperhatikan dengan serius. Salah satunya adalah ketidakjelasan dalam penentuan tanggung jawab. Meskipun AI dapat memberikan rekomendasi dan mendukung pengambilan keputusan, tanggung jawab akhir tetap harus berada pada para profesional kesehatan seperti dokter dan tenaga medis. Sejalan dengan prinsip etika Kristen, di mana setiap orang memiliki tanggung jawab moral atas tindakan dan keputusan mereka, perlu dipastikan bahwa kehadiran AI tidak mengaburkan garis tanggung jawab manusia. Selain itu, risiko pelanggaran privasi dan keamanan data tetap menjadi keprihatinan utama. Dalam pengumpulan dan pengolahan data medis oleh sistem AI, ada potensi besar bagi pelanggaran privasi pasien. Hal ini menuntut kehati-hatian ekstra dalam merancang kebijakan dan infrastruktur yang melindungi informasi pribadi dan medis secara cermat, sesuai dengan nilai-nilai etika Kristen yang menghormati privasi dan integritas setiap individu. Ketergantungan yang berlebihan pada AI juga menjadi risiko yang perlu diatasi. Alkitab mengingatkan kita dalam Kitab Mazmur 146:3, "Janganlah percaya kepada para bangsawan, kepada anak manusia yang tidak dapat memberikan keselamatan." Ketergantungan yang berlebihan pada teknologi dapat menyebabkan kehilangan kemandirian dan kebijaksanaan manusia. Sebagai umat Kristen, perlu mempertimbangkan dengan bijak bagaimana teknologi dapat mendukung, bukan menggantikan, peran manusia dalam pelayanan kesehatan demi memelihara nilai-nilai moral dan spiritual. Pemerintah Indonesia telah proaktif merumuskan kebijakan terkait Kecerdasan Buatan melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial. Dalam surat tersebut disampaikan bahwa penyelenggaraan teknologi AI harus memperhatikan nilai etika yang meliputi inklusivitas, kemanusiaan, keamanan, aksesibilitas, transparansi, kredibilitas dan akuntabilitas, perlindungan data pribadi, pembangunan dan lingkungan berkelanjutan, dan kekayaan intelektual. Kecerdasan buatan dalam pelayanan kesehatan memberikan kita akses terhadap knowledge yang luar biasa. Kalimat ini mengingatkan saya pada 3 peristiwa dalam Alkitab, yaitu (1) pohon pengetahuan (Kejadian 2), menara Babel (Kejadian 11), dan pencobaan ketiga Iblis kepada Tuhan Yesus (Matius 4). Ketiga peristiwa tersebut memiliki kesamaan tema, yaitu power dan knowledge yang secara duniawi sangat menggoda manusia. Manusia ingin mengetahui segala hal seperti Allah, manusia ingin membangun bangunan yang paling tinggi untuk melihat segala sesuatu dan menjadi tidak tertandingi, serta kekuasaan terhadap seluruh dunia yang ditawarkan oleh Iblis untuk menggoda Tuhan Yesus dan menggagalkan rencana besar penebusan Allah bagi manusia. Pada bagian lain di Alkitab kita dapat belajar salah satu kisah menarik dalam Kitab Daniel 1, khususnya ayat ke-8, “Daniel berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja; dimintanyalah kepada pemimpin pegawai istana itu, supaya ia tak usah menajiskan dirinya.” Beberapa penafsir menyatakan bahwa peristiwa tersebut setidaknya menggambarkan 3 hal utama yang dapat dipelajari: (1) Daniel patuh terhadap hukum makanan taurat, identitas budaya, serta agama yang ia percaya; kita tidak mengetahui secara pasti jenis santapan dan anggur apa yang akan diberikan kepada Daniel, tetapi untuk tidak berkompromi dan menjaga ketaatannya pada hukum yang dipercaya Daniel memilih untuk makan sayur dan minum air saja. Selain itu, Daniel dan rekannya percaya bahwa makanan yang telah ditetapkan oleh hukum Taurat akan memberikan keberkahan dan menjaga kemurnian roh dan tubuh mereka, sesuai dengan ajaran yang mereka percaya. (2) Daniel berani menyampaikan apa yang ia percaya, meskipun ia tahu konsekuensi dari perbuatannya dapat membahayakan dirinya sendiri. (3) Daniel mempertahankan penghormatannya pada Tuhan; dengan menolak makanan yang mungkin dikorbankan kepada dewa-dewa Babel, mereka menyatakan ketaatan dan pengabdian pada Tuhan mereka sebagai satu-satunya Allah yang sejati. Ketika kita diperhadapkan pada akses pengetahuan yang luar biasa, apakah kita akan sepenuhnya bergantung pada hal tersebut? Sebagaimana Daniel memilih jalan kemandirian dengan tidak bergantung sepenuhnya pada kebijaksanaan manusia, tenaga kesehatan perlu mempertimbangkan bahwa meskipun AI memberikan dukungan yang signifikan, tanggung jawab utama tetap berada di tangan mereka. Seperti yang tertulis dalam Amsal 4:7, “Permulaan hikmat ialah: perolehlah hikmat dan dengan segala yang kauperoleh perolehlah pengertian.” Kita diilhami untuk terus mengasah kebijaksanaan dan pengetahuan, sehingga teknologi hanya menjadi alat yang mendukung, bukan menggantikan, peran kritis kita dalam membuat keputusan terkait profesi kita di dunia kesehatan. Untuk mengambil pelajaran dari kisah Daniel dalam konteks pemanfaatan AI dalam pelayanan kesehatan, kita diajak untuk bersandar pada nilai-nilai etika Kristen dan memperdalam hubungan spiritual kita dengan Tuhan. Seperti Daniel yang tetap setia dalam berdoa, para tenaga kesehatan dapat menemukan kekuatan dan hikmat melalui hubungan pribadi yang baik dengan Tuhan. Saran praktis yang dapat diambil adalah menjadwalkan waktu saat teduh dan refleksi secara rutin, di mana kita dapat menenangkan pikiran dan merenungkan bagaimana kita dapat mengintegrasikan nilai-nilai etika Kristen dalam penggunaan teknologi AI. Selain itu, penting bagi tenaga kesehatan untuk terus meningkatkan pengetahuan mereka tentang perkembangan terkini dalam bidang teknologi AI dan etika kesehatan. Pelatihan lanjutan dan keterlibatan dalam diskusi etika dapat membantu mengatasi tantangan dan risiko yang mungkin timbul. Selalu membawa prinsip-prinsip etika Kristen ke dalam ruang kerja dan mengambil keputusan yang sesuai dengan nilai-nilai ini akan membantu menciptakan lingkungan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan panggilan untuk memberikan perawatan bermartabat dan berintegritas. Dengan demikian, kita dapat menjadi pionir dalam pemanfaatan AI yang bertanggung jawab, menghormati nilai-nilai etika Kristen, dan memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas tinggi. /aas

  • Untuk Apa Yesus Lahir (Manifesto Nazaret)

    Pada suatu perayaan natal, seorang  pengkotbah memulai renungan dengan bertanya: “Apa yang terjadi kalau Yesus tidak lahir sampai hari ini?” Pertanyaan itu membuat saya terkesima, karena saya belum pernah memikirkannya. Banyak dari kita akan menjawab: “aku akan tetap binasa dalam neraka” atau “tidak akan ada keselamatan“ atau “kita bukan anak –anak Allah”, “hampir seluruh dunia masih menyembah berhala”, atau jawaban-jawaban lain yang berfokus pada hubungan pribadi dengan Allah. Benarkah Yesus hanya lahir untuk pribadi demi pribadi? Benarkah sukacita gegap gempita nyanyian malaikat di padang rumput 2000 tahun yang lalu untuk itu saja? Untuk Apa Yesus Lahir Apa yang Yesus proklamirkan di sinagoge Nazaret, masa awal pelayanan-Nya mungkin dapat menjawabnya. Setelah Dia berpuasa dan dicobai Iblis, Yesus memulai pelayanan mesianik-Nya. Dia datang ke Nazaret. Pada hari sabat, di sinagoge, Yesus membacakan bagian Firman Tuhan yang dikutip dari Yesaya 61: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku , untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Lukas 4: 18-19) Yesaya menulis ratusan tahun sebelumnya, yakni suatu nubuat akan datangnya kerajaan Allah oleh sang Mesias, Yang Diurapi. Kelak bagian ini disebut orang sebagai Manifesto Nazaret, suatu pernyataan sikap yang diproklamirkan di Nazareth oleh sang Raja, Yesus Kristus. Sebagai yang diurapi oleh Allah, sang Mesias, Yesus memproklamasikan datangnya kerajaan-Nya pada hari itu: “hari ini, genaplah nats ini.” Hari itu kerajaan Allah sudah datang, bukan akan datang. Tim Keller menuliskan Kerajaan Allah itu adalah pembaruan dari seluruh dunia melalui masuknya kekuatan supernatural. Saat segala sesuatu dibawa kembali di bawah wewenang Kristus, semua akan dipulihkan menjadi sehat, indah, dan bebas. Merenungkan hal ini membuat kita mengerti mengapa malaikat surga menyanyi gegap gempita di malam kelahiran Kristus. Kelahiran yang menghadirkan kerajaan Allah di bumi yang gelap. Kerajaan Allah yang bagaimana yang Yesus hadirkan? Manifesto Nazaret 1.     Kabar baik bagi orang miskin Apakah Yesus hanya datang buat orang miskin? Apa yang dimaksud miskin disini? Kata miskin yan dipakai adalah ptokhos artinya sangat miskin: yang berharap pada Tuhan, yang tidak berguna. Dalam buku  Mengasihi Tanpa Menyakiti, Steve Corbet dan Brian Fikkert menuliskan bahwa kemiskinan terjadi karena rusaknya 4 hubungan dasar akibat masuknya dosa dalam dunia: Hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan dirinya, manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam semesta. Dosa merusak keempat hubungan itu dan membuat setiap umat manusia menderita kemiskinan: kemiskinan keintiman rohani, kemiskinan diri, kemiskinan komunitas, dan kemiskinan penatalayanan. Keempat relasi yang pada mulanya Allah ciptakan untuk membuat manusia dan seisi ciptaan hidup penuh damai sejahtera dan sukacita. Keempat kemiskinan tersebut pada sebagian orang menyebabkan kemiskinan materi, kemiskinan budaya, kemiskinan pendidikan, kemiskinan sosial, dan kemiskinan di berbagai segi kehidupan. Kemiskinan penatalayan membuat sebagian orang jatuh dalam gila kerja, eksploitasi manusia lain dan alam. Kemiskinan rohani membuat manusia jatuh lebih dalam lagi pada kemiskinan di berbagai sektor. Yah, itulah kabar baik itu. Itulah mengapa disebut kabar baik karena semua ciptaan yang jatuh dalam kemiskinan ini sedang menantikan datangnya kabar ini: pembebasan, pemulihan dan pembaharuan. 2.     Pembebasan pada tawanan, penglihatan pada yang buta dan membebaskan orang yang tertindas. Buta, tawanan, dan tertindas tidak hanya dalam hal jasmani tetapi juga secara sosial budaya dan rohani. Yesus tidak semata menyembuhkan orang yang buta secara fisik tetapi memberi pandangan kepada mereka yang buta secara rohani atau memberi pengertian kepada mereka yang tidak sanggup mengerti kebenaran. Tawanan yang berarti tawanan perang: Yesus datang untuk memberi pengampunan dan pembebasan pada yang tertawan karena dosa. Lukas 4: 18-19 dibaca dari Yesaya 60: 1-2. Pada bagian sebelumnya Yesaya  menuliskan kemarahan Tuhan pada bangsa Israel (Yesaya 58-60). Bagian ini difirmankan Tuhan sebagai teguran karena bangsa Israel mengabaikan keadilan sosial saat mereka menjalankan kegiatan keagamaan. Orang Israel masa itu mengabaikan anak yatim, janda dan orang asing. Jelaslah bahwa makna tawanan, tertindas pada bagian ini tidak semata merujuk pada hal rohani namun juga hal sosial. Sesungguhnya miskin, buta, tertawan dan tertindas menggambarkan kehidupan manusia di luar Kristus. 3.     Memberitakan tahun rahmat Tuhan telah tiba Dalam tradisi bangsa Israel, setiap tahun ke-50 merupakan tahun Yobel, tahun pembebasan atau  disebut juga tahun rahmat Tuhan. Pada tahun ini setiap tanah yang sudah digadaikan dikembalikan pada pemiliknya, budak-budak dibebaskan, hutang-hutang dihapuskan. Tahun  ini menggambarkan pemulihan: semua yang hilang dikembalikan, semua yang rusak diperbaiki dan dipulihkan. Dengan mengatakan ini  Yesus memproklamirkan dimulainya kehadiran kerajaan Allah, kerajaan  yang membawa hasrat Allah untuk menyembuhkan, merestorasi dan memperbaharui (Healing – Restoration – Renewal). Ya! Bersukacitalah, gegap gempitalah, sebab Kerajaan Allah telah datang, sedang datang, dan akan menuju kesempurnaannya pada saat kedatangan Kristus kedua. Kerajaan yang Telah, Sedang dan akan Datang Sejak kehadiran Yesus, dunia tak pernah lagi sama. Yang miskin diberi makan. Yang miskin relasi diri dan sosial seperti Zakehus dan perempuan Samaria dipulihkan serta dibebaskan dari keterasingan dan citra diri yang rusak. Yang sakit disembuhkan, yang buta dicelikkan matanya, yang tidak memahami kebenaran diberi pengertian, yang tertawan oleh roh jahat dibebaskan. Hingga pada puncaknya rusaknya hubungan dengan Allah (kemiskinan rohani) dipulihkan melalui penyaliban dan kebangkitan-Nya. Layaknya manifesto; pernyataan sikap suatu kelompok, maka apa yang Yesus kerjakan diteruskan oleh para murid-muridnya hingga hari ini. Hadirnya Roh Kudus memampukan para murid, jemaat mula mula, dan orang orang percaya sampai hari ini untuk meneruskan Manifesto Nazaret ini. Pengikut Kristus meneruskan hadirnya kerajaan Allah dalam dunia – dari satu tempat ke tempat lain sampai ke seluruh dunia, dari abad satu ke abad lain, dari suatu peradaban ke peradaban lain, dari satu bidang kehidupan ke berbagai bidang kehidupan.  Sejarah mencatat bahwa pelayanan kesehatan, Samaritan law, tatanan hukum, penghapusan perbudakan, pemerataan pendidikan  dan tingkat sosial, tatanan sosial, penghapusan perbudakan, undang-undang pernikahan yang mengatur monogami, perlindungan anak yatim dan kaum yang rentan, perkembangan seni dan ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh pengikut Kristus atau kekristenan. Sesungguhnya, sampai hari ini, dunia dengan segala kekurangan di sana sini, Kekristenan telah membawa dampak besar pada dunia. Penutup Apa yang terjadi jika Yesus belum lahir sampai hari ini? Ijinkan saya menjawab: Saya tetap hidup dalam dosa, tidak mengenal dan memiliki relasi dengan Allah. Saya dan keluarga saya mungkin akan menyembah berhala, baik berhala kuno maupun ilah-ilah modern. Saya akan hidup hanya untuk hari ini, tanpa tahu untuk apa saya hidup. Pasti saya akan bekerja tanpa ada libur di hari Minggu. Saya akan total mengejar karir, bisa jadi sampai mengabaikan anak dan suami. Mungkin malah sebaliknya, saya tidak bisa memiliki pendidikan tinggi seperti yang saya mau karena tidak diperuntukan untuk wanita atau untuk kelas sosial dimana saya berada. Saya akan hidup dalam kecemasan dan rasa takut di tengah dunia yang semakin jahat. Relasi keluarga saya buruk satu sama lain. Kehidupan pernikahan yang bebas atau mungkin tanpa pernikahan. Mungkin saya akan lahir dari keluarga yang poligami atau bisa saja pernikahan saya pun adalah pernikahan poligami. Saya akan berada di pemerintahan yang mungkin semena-mena dan perbudakan yang masih berlangsung di masyarakat. Saya akan hidup dalam tatanan hukum yang jauh dari kebenaran dan keadilan. Sarana layanan masyarakat (kesehatan, pendidikan, lingkungan pemukiman, dan lainnya) mungkin tidak dapat secara adil saya nikmati karena adanya pembedaan kelas dan golongan masyarakat. Alam ini mungkin sudah jauh lebih rusak: tidak akan ada yang mengkampanyekan ‘Go Green’, akan ada  banyak rekayasa genetika yang berdampak buruk bagi kemanusiaan karena mungkin tidak ada kajian etik yang menahannya, peperangan akan lebih banyak lagi terjadi, dan mungkin masih banyak  penjajahan di berbagai tempat. Ada banyak kemungkinan yang kita dapat tambahkan. Puji Tuhan! Kristus lahir dan kerajaan-Nya pun telah datang. Kehadiran kerajaan Allah 2000 tahun yang lalu, terus berlangsung sampai hari ini dan menuju kesempurnaannya pada kedatangan Kristus kedua kali. Kita umat percaya yang sudah terhisap di dalam warga kerajaan Allah, harus menghadirkan kerajaan Allah ini ke sekitar kita dan memberi kesempatan pada orang di sekitar kita mencicipi Kerajaan Allah yang telah hadir itu: menyembuhkan, memulihkan, dan memperbaharui. Seperti Kristus melakukannya dalam semua aspek kehidupan: rohani, jasmani, sosial, budaya, politik, kesehatan, dan ilmu pengetahuan. Seperti para murid dan orang percaya mula-mula, mari kita teruskan Manifesto Nazaret sampai sang Raja datang kembali. Melakukannya tidak sekedar berdiri di mimbar memberitakan pemulihan relasi dengan Allah, tetapi hidup di antara dan bersama manusia lain: menghadirkan kerajaan Allah melalui profesi, pertemanan, hobi, kegiatan sehari-hari, keluarga, lingkungan tempat tinggal, bangsa dan negara. Melakukannya tidak dengan mengasingkan diri agar tetap kudus, tetapi berani keluar memberi warna untuk menghadirkan proses penyembuhan, restorasi dan pembaharuan. Melakukannya mungkin tidak pada sejumlah besar orang tetapi seusai dengan apa dan siapa yang Tuhan percayakan dan bawa pada kita. Membawa kebenaran dan keadilan yang Kristus telah hadirkan untuk dapat dicicipi oleh orang di sekitar kita. Semuanya mungkin karena Allah telah hadir dan diam di dalam kita. Imanuel. Penulis adalah seorang konsultan ginjal dan hipertensi di RSUD Tarakan, Jakarta. /aas

  • Identitas yang Kuat

    Oleh: drg. Karmelia Nikke Darnesti, MKM dan dr. Yeremia Prawiro Mozart Runtu We cannot please God with any practical success if we are not spiritually well grounded. Apa yang dibutuhkan sebuah gedung pencakar langit? Dasar yang kuat. Apa yang dibutuhkan sebuah pohon untuk tegak berdiri? Akar yang kuat. Apa yang dibutuhkan seorang Kristen agar tetap kuat berdiri di tengah badai dunia? Di dunia yang penuh cemar; antara sesamamu Hiduplah saleh dan benar; Nyatakan Yesus dalammu. (Di Dunia Yang Penuh Cemar, NKB No. 204) Tentunya cuplikan syair lagu di atas bukanlah lagu yang asing bagi kita. Dunia yang kita hidupi saat ini memang penuh kecemaran dengan dosa yang merajalela. Pergeseran dan perubahan banyak terjadi, mulai dari ilmu pengetahuan dan teknologi sampai cara pandang yang dimiliki setiap orang. Sadar atau tidak, kita diarahkan untuk hidup manja dengan pola hidup yang serba instan dan menambah kenyamanan. Sejauh mana kita ikut dalam perubahan yang dunia tawarkan? Dimanakah posisi kita saat ini? Masihkah kita hidup saleh dan benar di dalam Kristus? Sebagai tenaga Kesehatan, kita diharuskan untuk belajar seumur hidup. Kita diminta mengikuti seminar, bukan hanya untuk menambah SKP melainkan untuk membaharui ilmu dan menyesuaikan dengan perkembangan dunia kedokteran. Hal ini menjadi bukti bahwa dunia memang terus berubah dan berkembang. Menjadi seorang Kristen juga harus terus belajar Firman Tuhan, karena kitab Kolose 2:6-7 menyatakan, bahwa kita tidak hanya sampai menerima Kristus, tetapi juga harus berakar dan bertumbuh di dalam Dia agar dapat menjadi pribadi yang kokoh. Oleh karena itu, sebagai seorang dokter Kristen kita diminta untuk menjadi lifelong disciple. Kekristenan tanpa hidup dalam Kristus adalah kekristenan tanpa pemuridan dan Kekristenan tanpa pemuridan adalah Kekristenan tanpa Kristus (The Cost of Discipleship, 1995). Sebagai seorang dokter Kristen, kita memiliki identitas sebagai murid Kristus yang berarti kita hidup di dalam Dia. Identitas ini juga penting untuk menentukan stand point kita, yaitu ada di dalam Allah sebagai anak Allah yang dipilih dan dikuduskan untuk memberitakan perbuatan-Nya yang besar (1 Petrus 2:9). Dengan mengetahui posisi kita di dalam Allah, cara pandang kita dalam memandang sesuatu akan berubah. Kita akan melihat dengan cara pandang kristiani, yaitu bagaimana Yesus memandang segala sesuatu. Dengan kata lain, Allah telah memberi kita identitas agar identitas-Nya dapat diproklamasikan dan kemuliaan Tuhan terlihat dalam diri kita. Oleh karena itu, identitas sebagai murid Kristus perlu kita tanamkan dalam menghadapi dunia yang cemar ini agar tidak mudah diombang-ambingkan oleh apa pun yang menimpa. Sebagai seorang murid Kristus yang telah ditebus dan diselamatkan, maka tidak ada jalan lain selain mengikut jalan Yesus. Mengikut Yesus harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pendidikan maupun profesi kedokteran kita saat ini. Lalu, bagaimana cara mengikut Yesus? Gene Rudd M.D. dan Al Weir M.D dalam buku Practice by the book: A Christian Doctor’s Guide to Living and Serving membagikan empat disiplin sebagai perisai dan pedang dalam perjalanan iman. Pertama, doa. Banyak pelajaran dari Alkitab yang bisa ditemui tentang doa dengan cara bertekun dalam firman Tuhan dan mendengarkan khotbah pendeta di gereja, tetapi pelajaran yang terbaik tentang doa adalah Tuhan menggunakan doa sebagai cara untuk membawa kita kepada-Nya. Tuhan menginginkan hati kita seutuhnya. Ya benar, kita berdoa dalam iman, secara pribadi, dan dalam persekutuan. Kita bukan hanya berdoa terus-menerus, tetapi juga harus berdoa dengan seluruh hati kita. Kedua, studi Alkitab. Jika seseorang mengamati hari demi hari kita, minggu demi minggu, bahkan tahun demi tahun kehidupan kita, adakah orang lain mendapati bahwa Alkitab benar-benar merupakan esensial di dalam hidup yang kita bangun, atau orang lain justru melihat bahwa Alkitab hanya pilihan atau bagian superfisial saja dalam hidup kita? 1 Petrus 2: 2 mengatakan kita harus terus haus akan firman-Nya sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni. Ketiga, persekutuan dengan orang percaya. Bukan hal baru sejak menjadi mahasiswa, calon dokter diharuskan untuk kuliah dari pagi hingga sore. Begitu pula saat menjalani peran sebagai koas di rumah sakit ataupun puskesmas. Saat melayani pasien pun, waktu dokter terbatas karena berbagai macam hal. Kesibukan sudah melekat dalam profesi dokter. Namun sebagai dokter dan dokter gigi Kristen, kita diminta untuk menyediakan waktu bersekutu bersama orang percaya lainnya. Ibrani 10: 24-25 meminta kita untuk saling memperhatikan supaya orang percaya saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Tuhan tidak akan mengubah peraturan-Nya karena kita adalah seorang yang sibuk. Persekutuan dengan orang percaya lainnya harus memainkan peran penting dalam hidup kita. Terakhir adalah penyembahan. Penyembahan kepada Tuhan adalah pengakuan siapa Tuhan itu: Pencipta, Pemelihara, Penebus, Dia yang ada, dan yang sudah ada dan akan datang. Tuhan adalah Alfa dan Omega (Wahyu 1:8). Beberapa dari kita lebih nyaman untuk menyembah Tuhan sendiri, namun Tuhan ingin juga agar kita datang bersama sebagai satu tubuh orang percaya yang mencari dan mengasihi-Nya. Tuhan telah meletakkan kita di gereja masing-masing, ini saatnya mengambil bagian dalam komunitas tersebut. Rutinitas yang ditawarkan dunia kerap mencuri waktu kita bersama Allah. Ketika kita tidak lagi memiliki waktu bersama Allah, lama-kelamaan kita akan melupakan identitas kita. Kita menjadi nyaman dengan diri sendiri, terlarut dalam kesibukan, dan melakukan banyak kompromi yang akhirnya menjauhkan kita dari Tuhan. Doa, Firman Tuhan, Persekutuan dan Penyembahan adalah tanda dan sumber dari kekuatan kita mengikuti Kristus. Hidup kekristenan yang benar - life – changing, kingdom – building, God – glorifying - tidak bisa hidup tanpa keempat aspek tersebut. Waktu pribadi bersama Tuhan juga momen yang penting untuk kita berhenti sejenak di tengah padatnya kegiatan dan cepatnya waktu berlalu. Hal ini menjadi sebuah keharusan bagi seorang murid Kristus yang mana waktu disediakan untuk belajar Firman Tuhan. Di tengah dunia yang terus berubah ini, hanya ada dua pilihan yang dapat dibuat. Kita mengambil disiplin spiritual tersebut dan berjalan mengikut jalan yang sudah Tuhan tunjukkan atau mengklaim kita di jalan Tuhan namun sebenarnya mengikuti jalan dunia ini dan nyaman tinggal di dalamnya. Mari bersama-sama merenungkan sejenak akan identitas kita di hadapan Allah sebagai murid Kristus dan tanyalah pada kita: Hidupmu kitab terbuka dibaca sesamamu; Apakah tiap pembacanya melihat Yesus dalammu? (Di Dunia Yang Penuh Cemar, NKB No. 204). /stl

  • Pengabdian Tertinggi vs Penawaran Tertinggi

    Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. (Matius 6:24a) Seorang rekan alumni membagikan refleksi pengalaman pribadi dan pengamatannya terhadap rekan-rekannya yang sama-sama tumbuh di PMK. Menurut pengamatannya, masa 5-10 tahun pertama seorang alumni memasuki dunia kerja adalah masa transisi yang cukup menentukan apakah seseorang akan memiliki kehidupan iman yang menyatu dengan pekerjaannya sehari-hari ataukah kesuksesan dalam karir akhirnya berpisah jalan dengan kehidupan imannya. Mungkin orang tersebut masih rutin datang ke gereja di hari minggu, namun menjalani dua kehidupan yang terpisah dengan dua norma yang berbeda. Apa makna dari pengamatan tersebut? Pertama, bahwa masa beberapa tahun pertama di dunia kerja adalah satu masa transisi yang perlu disikapi dengan serius, karena dampaknya bisa seumur hidup. Kehadiran orang-orang yang berfungsi sebagai mentor, model (teladan), dan rekan-rekan sevisi merupakan sesuatu yang penting dalam masa transisi memasuki konteks kehidupan yang berbeda. Kehadiran mereka sebagai satu kesatuan disebut “mentoring community”. Namun hal lain yang tidak kalah penting adalah bahwa masa transisi tersebut sebetulnya merupakan ujian terhadap spiritualitas yang selama ini dibangun di dunia mahasiswa. Apakah spiritualitas yang dibangun adalah spiritualitas sejati atau hanya kosmetik? Apakah iman seseorang dibangun di atas pondasi batu karang atau di atas pasir? Bagaimana dengan kehidupan Salomo? Tampaknya Salomo melalui masa awal kekuasaannya sebagai raja dengan langkah-langkah yang baik. Hal ini terlihat saat ia datang ke Gibeon mempersembahkan seribu korban bakaran di hadapan Tuhan. Satu tanda keseriusan dalam ibadahnya kepada Allah. Demikian juga ketika Tuhan menawarkan kepada Salomo untuk meminta sesuatu, bukan kekayaan atau nyawa musuh-musuhnya, melainkan hikmat agar bisa melakukan tugasnya dengan baik sebagai seorang raja. Tuhan sangat berkenan dengan permohonan tersebut dan bahkan memberikan kekuasaan dan kekayaan yang berlimpah sebagai bonus (1 Raja 3:4-14). Hal besar lain yang dikerjakannya adalah membangun Bait Allah di Yerusalem. Setelah lebih dari 480 tahun berada di tanah perjanjian, orang Israel akhirnya bisa beribadah di Bait Allah yang permanen, bukan lagi di sebuah tenda (Kemah Pertemuan). Bait Allah yang megah tersebut dibangun dengan penuh rasa hormat akan kebesaran dan kemuliaan Allah dan merupakan masterpiece yang luar biasa yang bertahan hingga hampir empat ratus tahun kemudian. Namun, ketika kekuasaan Salomo makin kokoh seiring waktu berjalan, ia makin sulit memahami siapa dirinya dan siapa Allah. Ia merasa bebas menentukan sendiri apa yang benar dan salah. Sebuah contoh yang dicatat oleh Alkitab adalah ia memuaskan nafsunya dengan mengumpulkan isteri hingga sebanyak 700 orang dan gundik 300 orang. Selanjutnya bahkan, “isteri-isterinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain.” Sangat menyedihkan bahwa Salomo yang di masa mudanya sangat menghormati Tuhan, malah ikut menyembah dan mendirikan berbagai tempat ibadah dewa-dewa yang disembah bangsa-bangsa penyembah berhala di sekitarnya: Asytoret, Milkom, Kamos, Molokh, dan lain-lain. “Demikian juga dilakukannya bagi semua isterinya, orang-orang asing itu, yang mempersembahkan korban ukupan dan korban sembelihan kepada allah-allah mereka.” (1 Raja 11:5-8). Suatu ironi yang mengerikan. Seorang yang memulai perjalanan karirnya dengan melakukan hal-hal yang baik di mata Tuhan, kemudian menyelesaikannya dengan melakukan berbagai hal yang jahat di mata Tuhan. Dan yang lebih mengerikan, hal ini terjadi pada seseorang yang dianggap memiliki hikmat yang luar biasa dan pernah mengalami dua kali Allah menampakkan diri kepadanya (11:9). Ini menjadi satu peringatan bagi siapapun untuk tidak berpuas diri dengan rasa aman yang palsu. Bukan hanya komitmen awal yang penting. Kesetiaan mengikut Tuhan langkah demi langkah hingga akhir perjalanan hidup adalah sesuatu yang tidak bisa taken for granted. Apa yang sebetulnya terjadi di balik kehidupan yang semakin menyimpang tersebut? Bila dibandingkan dengan Saul dan Daud, tampaknya Salomo tidak memiliki sesuatu yang mereka miliki. Ketika Saul melakukan hal yang mendukakan Tuhan, masih ada Samuel yang menegur (1 Samuel 15). Meskipun kemudian Saul mengeraskan hati, itu persoalan lain lagi. Ketika Daud di puncak kekuasaannya melakukan hal yang jahat di mata Tuhan, masih ada nabi Natan yang berani menegurnya dengan keras (2 Samuel 12). Namun ketika Salomo melakukan hal-hal yang sedemikian jahat di mata Tuhan, sama sekali tidak ada catatan bahwa ada seorang seperti Samuel atau Natan yang berani menegur Salomo. Tidak ada seorang pun yang berani menegur Salomo. Padahal kejahatannya seperti bola salju yang kian lama makin besar. Sehingga dalam murka-Nya kemudian Allah memutuskan untuk mengoyakkan kerajaan Israel. Satu tantangan bagi alumni adalah ketika posisi di tempat pekerjaan makin meningkat sehingga orang-orang di sekitar kita makin sungkan untuk menegur ketika kita melakukan kesalahan. Ini situasi yang berbahaya. Dalam masa transisi memasuki dunia kerja kita butuh mentoring community yang menolong kita dengan panduan hikmat dari orang-orang yang sudah lebih dulu memasuki medan pertempuran, dengan contoh-contoh nyata yang inspiratif, dan dengan dorongan semangat di saat-saat yang sulit. Namun setelah melewati masa transisi bukan berarti kita tidak lagi membutuhkan komunitas yang mendukung. Kita terus membutuhkan orang-orang seperti Samuel bagi Saul dan nabi Natan bagi Daud, yang berani menegur saat langkah kaki kita sudah menyimpang terlalu jauh. Mutually supporting community merupakan pola relasi yang lebih sesuai bagi sebagian orang yang sudah menemukan kematangan setelah melewati masa transisi, seperti yang dialami oleh Daniel, Hananya, Misael, dan Azarya di Babel. Di setiap tahapan pada dasarnya kita membutuhkan orang-orang yang bisa mengingatkan ketika kita mulai menyimpang dari kebenaran. Kita membutuhkan rekan-rekan yang dengannya kita bisa saling mendorong maupun berani untuk saling menegur ketika langkah kita mulai keluar dari jalur. Hal sangat penting ini tidak dialami oleh Salomo dan sebagian alumni pelayanan mahasiswa yang memulai perjalanan hidupnya mengikut Tuhan dengan baik, namun mengakhirinya dengan buruk. Penjelasan lain adalah bahwa kejatuhan Salomo bukan disebabkan oleh kekayaan dan kekuasaan yang makin besar. Akar dari kejatuhan itu sudah ada dalam diri Salomo. Kekuasaan dan kekayaan yang makin besar hanya memberi jalan bagi Salomo untuk mewujudkan apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Cinta akan harta dan kekuasaan lah yang menjadi jerat bagi Salomo dan banyak orang. Sangat menarik untuk kita renungkan bahwa cinta akan uang bisa terjadi pada orang kaya maupun orang miskin (contoh: orang muda yang kaya – Mat 19:16-22 vs asisten nabi Elisa – 2 Raja-raja 5:20-24). Demikian pula sebaliknya sikap tidak terikat pada harta kekayaan bisa terjadi pada orang kaya maupun miskin (contoh: Zakheus setelah bertobat – Luk 19:1-10 vs janda yang memberi persembahan di Bait Allah – Luk 21:1-4). Kekayaan atau kekuasaan bukanlah akar kejahatan. Cinta akan uang dan kekuasaan-lah yang patut diwaspadai. Cinta akan uang dan kekuasaan, entah kita sudah memilikinya atau belum, adalah akar kejatuhan bila kita tidak selesaikan dengan jujur di hadapan Allah. Sebagai makhluk yang diciptakan segambar dengan Allah, kita manusia diperlengkapi dengan berbagai kemampuan untuk meneruskan karya penciptaan dengan mengembangkan kehidupan sosial dan teknologi, yang kita kenal dengan sebutan “mandat budaya” (= mandat untuk mengembangkan peradaban yang berkenan di hadapan Allah – Kej 1:26-28). Seperti halnya karunia-karunia rohani diberikan Allah dalam bentuk yang berbeda-beda untuk kita bisa saling melayani dalam konteks kehidupan berjemaat (1 Kor 12), demikian juga talenta yang berbeda-beda (dalam berbagai bentuk kecerdasan: matematis, bahasa, seni, dan sebagainya) diberikan Allah untuk kita bisa saling melayani dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Kejatuhan manusia dalam dosa (Kejadian 3) menyebabkan disorientasi dan bahkan amnesia. Kita jadi lupa bahwa setiap kemampuan yang kita sebut talenta dan berbagai kesempatan istimewa yang kita miliki dalam hidup ini adalah titipan Sang Pencipta. Semua talenta dan kesempatan itu bukan milik kita. Itu titipan Allah. Untuk didedikasikan bagi kepentingan sesama, orang banyak. Bukan untuk dimiliki sendiri. Apalagi untuk diperjualbelikan untuk keuntungan pribadi. Apapun namanya, mulai dari penawaran terbaik dalam berkarir, keuntungan maksimal dalam berbisnis, dan sebagainya. Dosa menyebabkan amnesia dan disorientasi tersebut. Apa dampak penebusan Kristus? Karya penebusan Kristus dimaksudkan untuk membebaskan kita dari disorientasi dan amnesia tersebut. Hidup yang semula berpusat pada diri sendiri diputar seratus delapan puluh derajat menjadi hidup yang berpusat pada Allah dan diabdikan untuk melayani sesama. Dalam pengenalan akan Allah kita dimampukan untuk menemukan sumber sukacita dan kepuasan sejati. Uang dan kekuasaan hanyalah sarana yang bisa digunakan secukupnya, sesuai dengan yang dibutuhkan untuk mengerjakan misi yang Allah percayakan dalam hidup kita (Filipi 4:12-13). Posisinya adalah pelengkap, bukan sesuatu yang perlu dikejar sebagai yang utama dalam hidup (Matius 6:24-34). Kita dipanggil dari kegelapan dan hidup yang mendatangkan murka Allah kepada terang Kristus yang ajaib untuk menjalani hidup sebagai gambar Allah, sebagai rekan-rekan sekerja Allah dalam karya pemeliharaan-Nya atas seisi dunia, dalam karya penciptaan-Nya yang terus berkelanjutan untuk mengembangkan peradaban umat manusia, dan dalam karya penyelamatan-Nya atas dunia yang sudah jatuh dalam dosa. Kita dipanggil untuk menghadirkan “cicipan” kehidupan yang dipulihkan di bawah pemerintahan Allah (= Kerajaan Allah) lewat keahlian profesional dan setiap bentuk talenta dan kesempatan yang Tuhan titipkan kepada kita. Sehingga bukan hanya kita tidak patut mengejar kekayaan dan kekuasaan, melainkan kita dipanggil untuk semaksimal mungkin mendedikasikan keahlian profesional dan setiap talenta yang kita miliki untuk kepentingan Allah dan sesama. Pengabdian tertinggi, bukan penawaran tertinggi, yang perlu kita kejar dalam setiap helaan nafas kita! Hidup yang dibagikan bagi Allah dan sesama, seperti maksud Allah ketika menciptakan manusia. Dan seperti maksud Allah ketika Ia membebaskan kita dari belenggu dosa melalui karya salib Kristus. Segala kemuliaan bagi Allah! /kb

  • Dengan Gembira dan Tulus Hati

    Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. (Kisah Para Rasul 2:46a) Menyaksikan kembali apa yang dilakukan jemaat mula-mula (Kisah Para Rasul 2:41-47) mungkin membuat kita heran sekaligus iri. Jumlah yang besar itu—lebih dari 3.000 orang dewasa—tidak mengurangi kualitas persekutuan mereka. Biasanya—penyakit jemaat modern—semakin banyak anggota, semakin sulit memahami satu sama lain. Catatan Lukas memperlihatkan, jemaat mula-mula tidak membedakan antara yang rohani dan profan; antara ibadah dan kehidupan sehari-hari. Di satu sisi mereka bertekun dalam pengajaran dan persekutuan. Lukas juga menyatakan, mereka senantiasa berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Di sisi lain selalu ada warga jemaat yang menjual hartanya, kemudian membagi-bagikannya kepada warga papa sesuai kebutuhan. Mereka tak cuma bicara kasih, namun langsung mempraktikkannya. Kasih meraga dalam kehidupan mereka setiap hari. Barangkali kita merasa janggal dengan praktik seperti ini. Akan tetapi, itulah yang mereka lakukan. Jemaat mula-mula meyakini apa yang mereka miliki merupakan kepunyaan bersama. Intinya: mereka tidak ingin rekan seiman hidup kekurangan, apalagi mati kelaparan. Ibadah, Abudah, Abduh Sekali lagi, tidak hanya ibadah diutamakan, tetapi juga keseharian hidup. Dengan kata lain: setiap hari mereka beribadah melalui kata dan karya. Ibadah tidak dibatasi dan diikat ritus, tetapi merupakan gaya hidup. Itulah ibadah sejati. Kata ibadah dalam Perjanjian Baru (PB) diterjemahkan dari kata Yunani leitourgia (laos = rakyat, dan ergon = kerja), yang berarti kerja bakti yang dilakukan penduduk kota. Sejak abad ke-4 SM istilah itu dipakai untuk menggambarkan apa yang dibaktikan seseorang untuk kepentingan bersama. Ketika para penulis PB menggunakan kata ibadah memang tidak dimaksudkan untuk persoalan rohani belaka. Ibadah juga soal kerja bagi kepentingan banyak orang. Dalam bahasa Arab pun, kata ibadah—bahasa Indonesia meminjam dari bahasa Arab—sama akar katanya dengan abudah, yang berarti kerja. Kerja juga ibadah. Lagipula, baik ibadah maupun abudah juga seakar kata dengan abduh yang berarti hamba. Bisa disimpulkan, sebagai abdullah—hamba Allah—setiap orang harus melakukan baik ibadah maupun abudah. Berkenaan dengan ibadah hari Minggu dan abudah hari lainnya, Lukas menyatakan, jemaat mula-mula melakukan keduanya dengan gembira dan tulus hati. Hati Gembira Dalam hidup, hati gembira merupakan modal utama. Memang mudah dikatakan, meski sulit dipraktikkan. Mungkinkah bergembira saat hati luka? Mungkinkah bergembira saat yang didamba berbeda dengan kenyataan? Mungkinkah bergembira di tengah derita? Memang tidak mudah menjawabnya. Namun, pertanyaan yang sungguh layak diajukan: Apakah tidak ada alasan yang membuat kita bergembira? Pandanglah surya pagi! Perhatikanlah sekuntum mawar! Hiruplah wangi bunga melati! Perhatikan lelap bayi dalam dekapan bundanya! Rasakanlah kasih dan perhatian orang-orang terdekat. Apakah kita tidak merasakan kegembiraan ketika melakukan semuanya itu? Pandanglah diri kita sendiri! Bukankah kita masih hidup hingga kini? Diri kita sesungguhnya bisa menjadi alasan kuat untuk bergembira. Dunia sudah cukup suram. Janganlah tambah kesuramannya dengan kesedihan kita! Kegembiraan kita akan membuat orang sekitar turut gembira. Di atas semuanya itu, bukankah Tuhan gembala kita? ”Apakah yang kurang lagi,” mengutip Fanny Crosby, ”jika Dia panduku?” (band. KJ 408 Di Jalanku ‘Ku Diiring). Dan sebagai Gembala, Dia mengenali domba-dombanya satu per satu. Dia tidak memperlakukan mereka secara anonim. Dia juga menjamin kelangsungan hidup mereka. Apakah kenyataan ini tidak menggembirakan hati kita? Tulus Hati Agaknya ada kaitan gembira dengan tulus hati. Tulus berarti memandang orang lain tanpa prasangka. Tulus berarti bersikap jujur, terbuka, dan apa adanya. Kita sering sulit bergembira karena kita tidak mampu bersikap jujur terhadap diri sendiri, apalagi terhadap orang lain. Dan inilah masalah terbesar dalam hubungan antar sesama rekan kerja. Dalam bukunya Golok Pembunuh Naga dan Pedang Langit, Ching Yung berulang kali menyatakan bahwa seorang gagah akan melihat kegagahan dalam diri orang lain. Dua orang besar akan saling menghargai satu sama lain. Sedangkan pertemuan dua orang yang bersifat kerdil dan berpikiran sempit hanya berbuahkan pertarungan. Mereka hanya akan saling membuktikan siapa yang lebih hebat. Sejatinya, sikap tinggi hati setali tiga uang dengan rendah diri. Biasanya, orang yang rendah diri akan menutupi ketidakpercayaan dirinya dengan mengambil sikap sombong. Sebaliknya, orang yang rendah hati biasanya mempunyai rasa percaya diri yang tinggi karena telah mampu menerima kelemahan dan kekuatan dirinya secara wajar. Sehingga dia mampu menerima kelemahan dan kekuatan orang lain. Jika kita tidak mampu menerima kelemahan sendiri, jangan harapkan kita mampu menerima kelemahan orang lain. Demikian pula sebaliknya, hanya orang yang mampu menerima kekuatan dirinyalah yang mampu menerima kekuatan orang lain pula. Sesungguhnya itulah watak orang-orang yang terhisap dalam Kerajaan Allah. Di dalam kerajaan itu, Allah adalah Raja. Semua orang tak terkecuali adalah hamba-Nya. Bisa saja ada perbedaan talenta dan tanggung jawab. Namun, perbedaan talenta dan tanggung jawab bukanlah alasan untuk menilai dan merendahkan rekan kerja kita. Sebab bukan besar atau kecilnya talenta, tetapi bagaimana seseorang mampu mempertanggungjawabkan talenta dirinya. Pada kenyataannya, Tuhan memang tidak mengukur besar atau kecilnya talenta, tetapi apakah kita sungguh-sungguh dengan tulus dan setia menjalankan tugas kehambaan kita! Jika pemahaman ini disuntikkan dalam budaya kerja di rumah sakit atau kantor kita, bisa dipastikan setiap orang akan terpacu menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri tanpa rasa cemas atau khawatir. Sebab, dia yakin rekan-rekan sekerjanya siap mendukungnya! Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati. (Kis 2:46). Mari kita mulai menjalankan kehidupan kita, baik ibadah maupun abudah, layaknya jemaat mula-mula. Senantiasa bertekun menjalankan agenda dan panggilan Tuhan dengan sukacita dan tulus hati. Tuhan yang akan terus dan selalu memperlengkapi kita. /knd

  • Melayani Tuhan di tengah Bangsa

    “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” merupakan kalimat agung yang disampaikan Yesus saat murid-murid–Nya, Yakobus dan Yohanes, serta yang lainnya ingin mendapatkan kedudukan tinggi dan mulia bersama Dia (Markus 10:35-45). Apakah yang terjadi pada diri kita sebagai orang percaya akan sama dengan murid-murid Kristus dikala kita mengabdikan diri pada masyarakat? Sepertinya hal ini wajar saja karena kita memberikan seluruh pikiran, tenaga, keahlian kita dengan sebaik-baiknya bagi bangsa dan negara. Apakah ada yang salah? Sepertinya hal ini baik dan benar, namun jika kita diperhadapkan pada masalah besar yang terjadi di bangsa kita, bahkan seluruh dunia ini, maka akan nampak jelas keberadaan kita. Ambisi manusia mencari keuntungan dan nama sebesar-besarnya untuk diri  sendiri, sehingga ada yang acuh tak acuh dalam menyikap pandemi, ada yang sedikit peduli, ada yang melakukannya dengan terpaksa, terlebih lagi ada juga yang malah menyalahkan Tuhan dan orang lainnya. Dengan kata lain, ambisi kita mempengaruhi mata dalam melihat dan hati dalam merasakan sehingga betapa pentingnya kita memikirkan tujuan hidup kita yang sebenarnya, sama seperti Yesus dalam kehadiran-Nya di dunia ini. Panggilan dan kehadiran-Nya di dunia Melalui ayat di atas, kita melihat bagaimana Ia datang bukan untuk diri-Nya sendiri, melainkan untuk dunia yang telah jatuh dalam dosa. Banyak hal yang telah Ia kerjakan, misalnya dalam Yohanes 6:14, banyak orang ingin mengangkat-Nya menjadi raja, walaupun mereka sebenarnya tidak mengenal Dia yang turun dari surga karena mereka ingin menikmati roti yang diberikan-Nya dan ingin terus dikenyangkan dengan cara yang mudah. Namun, apakah Yesus tergoda oleh berbagai pujian yang diberikan manusia dan memberikan diri-Nya diangkat menjadi raja? Tentu saja jawaban-Nya dengan jelas tidak!  Sejak awal, Dia sudah memahami bahwa kehadiran-Nya di dunia adalah untuk melayani (memberi diri) sepenuhnya bagi pergumulan manusia yang menderita karena dosa, bahkan Ia akan memberikan nyawa-Nya mati di atas kayu salib menebus untuk menggantikan hukuman murka Allah yang harusnya ditimpakan pada semua umat berdosa. Itu sebabnya Ia hadir di kota-kota dan desa-desa bertemu dengan manusia yang bergumul secara fisik, mental, rohani, politik, ekonomi, dan lain sebagainya (Mat. 9:35). Sebagai orang percaya, kita hadir di dunia bukanlah kebetulan semata dan juga bukan untuk diri sendiri. Allah menciptakan kita menurut ‘gambar dan rupa-Nya’ serta  memberi  ‘kuasa’ (tanggung jawab) memelihara dunia ini. Hidup bukan untuk berdiam, melainkan berkarya bersama Dia memelihara ciptaan-Nya (Kej. 1:26-28; 2:15). Panggilan seperti ini membuat kita akan peduli pada penderitaan yang sedang dialami banyak orang karena pandemi.  John F. Kennedy (eks presiden Amerika) mengatakan:  ”Jangan tanyakan apa yang negara bisa berikan padamu, tapi tanyakan apa yang bisa kau berikan pada negara” telah memberikan inspirasi padanya untuk mengabdi sepanjang masa pemerintahannya, dan menginspirasi banyak orang melakukan hal yang sama. 2. Penglihatan-Nya begitu tajam Dengan sikap hidup untuk membawa ‘kelepasan’ bagi manusia, setiap hari Ia berjumpa dengan mereka di berbagai tempat; Matius mencatat Ia mengajar dalam rumah-rumah  ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Surga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan (Mat. 9:35). Apa yang dilakukan-Nya keluar dari hati-Nya yang paling dalam, karena ‘melihat’ mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala (36), yaitu tidak ada perlindungan, bantuan, padang rumput, dan bimbingan, sehingga berada dalam kondisi yang menyedihkan, menyakitkan, dan membawa pada kematian. Apalagi jika serigala datang, mereka tidak berdaya dan akan mati dan dimakan oleh musuh-musuh  tersebut. Yesus melihat manusia begitu rapuh (fragile) dan dalam keberdosaannya, mereka tidak ada kekuatan untuk menyelamatkan diri sendiri. Belajar dari-Nya, kita perlu peduli melihat keberadaan masyarakat di bangsa ini yang menderita, ada banyak hal bisa kita telusuri, melalui televisi, internet, dan media massa lainnya, mendengar dari tetangga atau melihatnya sendiri; di mana setiap hari yang terkena wabah covid semakin bertambah, demikian juga mereka yang harus pergi dari dunia ini. Wabah ini tidak peduli etnis, jenis kelamin, status, ekonomi, dan kedudukan manusia; siapapun bisa dihampirinya. Hal ini membuat begitu banyak orang ketakutan tertular karena akan  membawa pada kematian. 3. Hati yang penuh belas kasihan (Compassion) Maka tergeraklah Yesus oleh belas kasihan (compassion) kepada mereka. Inilah hati yang peduli, Dia tidak bisa tinggal diam di tengah-tengah kekalutan dan penderitaan yang terjadi dan untuk itulah Ia datang. Ia menghampiri dan ikut serta merasakan pergumulan penderitaan manusia, serta membawa mereka keluar dari penderitaan tersebut dengan kehadiran-Nya, penghiburan-Nya bahkan kuasa-Nya yang menyembuhkan. Ia membawa manusia mengalami pertolongan dan jalan keluar sehingga mereka menikmati kasih sayang Tuhan yang luar biasa. Adakah hati kita dipenuhi dengan kasih seperti ini setiap melihat manusia yang mengalami kesakitan, kebingungan, dan ketakuatan karena ancaman kematian? Atau hati menjadi dingin, beku, bahkan tidak perduli (que sera sera) ? Kita perlu meminta pada-Nya hati yang dapat ikut merasakan, bukan hanya sekedar emosi/perasaan, melainkan sakit yang kita rasakan sampai pada ginjal (kidney), sehingga kita tidak bisa hanya diam berpangku tangan, melainkan mendorong kita bertindak untuk menolong, melepaskan yang  menderita dari kesakitan atau pergumulannya. Semua ini bisa kita alami jika kita memiliki kasih kepada sesama. Rasul Yohanes mengatakan, bagaimana kita dapat mengasihi Allah yang tidak kelihatan jika kita tidak mengasihi saudara yang dapat kita lihat. Dengan perkataan lain, jika kita mengasihi Allah, maka kita juga dimampukan mengasihi sesama kita (1 Yoh. 4:20-21). Kasih Allah menggerakkan kita untuk peduli dan ikut terlibat menolong dengan nyata sambil mengentaskan covid 19 ini. 4. Melayani dengan berkorban Pemahaman seperti ini yang Yesus lakukan, bahwa sepanjang hidup Ia tidak berambisi untuk mencari kenikmatan semu/pribadi (lihat  Matius 4:1-11). Dari waktu ke waktu Ia bekerja tanpa kenal lelah, merasakan kepedihan dan kesusahan manusia dan Ia tidak peduli pada cemoohan, kehinaan yang menghampiri sepanjang hidupnya. Yesus dengan tekun berkarya sampai memikul salib dan kematian di bukit Golgota. Ia tahu resiko besar yang akan dialami, bahkan dengan cinta-Nya yang melampaui keberdosaan manusia (unconditional). Ia tidak menghiraukan nyawa-Nya sedikitpun, melainkan bersedia menanggung murka Allah, yaitu mati secara mengerikan di atas kayu salib (hukuman untuk budak yang melakukan kejahatan keji). Ia mengajar orang percaya, sekaligus meneladani suatu panggilan yang mulia, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salib dan mengikut Aku” (Mat. 16:24). Inilah yang harus kita renungkan bersama. Panggilan sebagai orang percaya, bukan untuk hidup bagi diri sendiri, bukan untuk kenikmatan, melainkan kita yang sudah ditebus oleh darah-Nya yang mahal adalah hidup bagi Kristus. Kematian bukanlah merupakan ketakutan (sekalipun secara fisik itu bukanlah hal yang mudah) namun karena Kristus telah mengalahkan maut, maka dibalik kematian akan ada kebangkitan dan kehidupan selama-lamanya (bdk. Filipi 1:21). Itulah juga yang diikuti oleh Marthin Luther, bapak reformator saat pandemi (black death) melanda di zamannya, di mana dalam kurun waktu 2 tahun saja 25 juta orang meninggal di jalan-jalan dan berbagai tempat di kotanya Wittenberg dan berbagai belahan di Eropa. Luther tidak ikut lari menjauhkan diri seperti banyak dilakukan orang, melainkan ia dan istrinya yang sedang mengandung tetap tinggal menolong dan menghibur yang menderita melalui Firman dan doa, bahkan merawat mereka juga di rumahnya. Melalui hidup yang bersandar dan mendengarkan pimpinan Tuhan, dia dan istrinya menjadi contoh dan kesaksian bagi banyak orang percaya, sehingga mereka bersama menghadirkan Tuhan secara nyata bagi banyak masyarakat yang menderita. Melalui pandemi yang terjadi dan kerja keras orang-orang  percaya yang mengabdi dengan kesadaran resiko tinggi akan maut, banyak orang yang akhirnya menjadi pengikut Kristus. Kini,  dunia  sedang dilanda pandemi Covid-19. Ada banyak kesaksian dari dokter dan perawat  yang melayani dengan resiko tinggi akan kematian. Monica, misalnya, seorang dokter yang melayani di Mataro. Ia mengkhawatirkan akan kurangnya peralatan yang memadai untuk kunjungan. “Meskipun saya mencintai pekerjaan saya dan saya mengambil semua tindakan pencegahan, saya sangat menyadari kerentanan saya. Saya tahu bahwa satu-satunya yang dapat menyelamatkan saya sehingga saya dapat terus merawat pasien saya adalah Tuhan. Bahkan jika ini tidak terjadi, saya percaya saya harus berada di tempat saya sekarang, dan saya meminta kekuatan-Nya. Saya juga meminta kebijaksanaan, tidak hanya untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk keluarga saya, sehingga kami dapat menghadapi apa yang akan terjadi” (kesaksian  lainnya bisa menyimak di https://evangelicalfocus.com/lifetech/5200/Christian-health-workers-facing-Covid19-I-am-very-aware-of-my-vulnerability). Hingga Sabtu 1 Agustus 2020, data Pengurus Besar IDI menyebutkan, ada 72 dokter yang meninggal akibat Covid-19 (Lihat  Kompas), merupakan data kedukaan terbesar sepanjang sejarah kedokteran di Indonesia. Mereka adalah para pahlawan di garda terdepan yang menangani masyarakat yang menderita covid di berbagai kota di Indonesia. Perjuangan mereka tidak ada yang sia-sia, melalui dedikasi dan pengorbanan ada banyak orang yang mengalami kesembuhan, sungguh suatu pelayanan yang mulia. Akhirnya, mengutip kalimat Rasul Paulus: “... jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah” (Filipi 1:22). O Ria J. Pasaribu, Executive Director Indonesian Care

  • Satu Agenda: Kristus!

    Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. (Filipi 1:21) Singkat, padat, dua kata tepat untuk ayat di atas. Surat Filipi ditulis Paulus waktu dia di penjara. Kita tahu dia dipenjara bukanlah karena dia melakukan kejahatan tapi karena kebenaran dan kebaikan yang dilakukannya demi Kristus dan Injil. Dari suratnya kepada jemaat di Filipi ini kita mengetahui bahwa pemenjaraannya sedikitpun tidak melemahkannya untuk hidup bagi Kristus dan Injil. Tapi justru dari dalam penjara, Paulus menulis surat yang sarat dengan ucapan syukur, memberi dorongan serta kesaksiannya yang begitu kuat kepada jemaat Filipi pada waktu itu, dan tentunya, saat ini kepada kita. Dari kisah Paulus ini, setidaknya kita bisa belajar dan bercermin pada tiga hal penting yaitu: Pertama: Kesulitan dan penderitaan bukanlah fokusnya. Selain suratnya kepada jemaat Filipi, hal yang senada dapat juga kita lihat dari surat Paulus kepada jemaat Korintus dalam suratnya yang kedua yaitu 2 Korintus 11: 23-33, Apakah mereka pelayan Kristus? aku berkata seperti orang gila aku lebih lagi! Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian, dan, dengan tidak menyebut banyak hal lain lagi, urusanku sehari-hari, yaitu untuk memelihara semua jemaat-jemaat. Jika ada orang merasa lemah, tidakkah aku turut merasa lemah? Jika ada orang tersandung, tidakkah hatiku hancur oleh dukacita? Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegah atas kelemahanku. Allah, yaitu Bapa dari Yesus, Tuhan kita, yang terpuji sampai selama-lamanya, tahu, bahwa aku tidak berdusta. Di Damsyik wali negeri Raja Aretas menyuruh mengawal kota orang-orang Damsyik untuk menangkap aku. Tetapi dalam sebuah keranjang aku diturunkan dari sebuah tingkap ke luar tembok kota dan dengan demikian aku terluput dari tangannya. Penderitaan dan kesulitan yang dialami Paulus bukan hanya itu. Kita juga bisa melihat waktu perpisahannya dengan para penatua jemaat Efesus dalam Kisah Para Rasul 20, Dalam pelayanan itu aku banyak mencucurkan air mata  dan banyak mengalami pencobaan dari pihak orang Yahudi   yang mau membunuh aku.  Sungguhpun demikian aku tidak pernah melalaikan apa  yang berguna bagi kamu. Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ  selain dari pada yang dinyatakan   Roh Kudus   dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku.  Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun ,   asal saja aku dapat mencapai garis akhir   dan menyelesaikan pelayanan  yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku   untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia   Allah.  Sebab itu berjaga-jagalah   dan ingatlah, bahwa aku tiga tahun  lamanya, siang malam, dengan tiada berhenti-hentinya menasihati kamu masing-masing dengan mencucurkan air mata. Agak berbeda penuturannya, pada bagian ini, Paulus menyatakan bahwa dia banyak mencucurkan air mata. Kita tahu Paulus bukanlah orang yang cengeng. Hal ini tentu membuat kita semakin memahami bahwa kesulitan dan penderitaan yang dialami Paulus tidaklah mudah, istilah sekarang bukanlah penderitaan “kaleng-kaleng” tapi ada hal penting yang kita tidak boleh lupa bahwa kesulitan dan penderitaan bukanlah fokusnya. Kedua: Kristus adalah fokusnya. Paulus tahu apa arti hidup dan untuk apa dia hidup. Karena itu fokusnya sangat jelas dan kuat yaitu Kristus, sebagaimana tertuang dalam Filipi 1:21, Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Bagaimana Paulus menjalani hidup dengan Kristus adalah fokusnya? Bukankah Paulus punya masa lalu yang buruk? Ya, Paulus punya kelemahan juga. Paulus menghadapi banyak kesulitan dan penderitaan juga tapi bukan itu fokusnya. Dia berlari-lari kepada tujuan, sebagaimana tertulis di Filipi 3:10-14, Yang kukehendaki ialah mengenal   Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya,   di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya,  supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan  dari antara orang mati.  Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna,  melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya,   karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus.  Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku   dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku,  dan berlari-lari   kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan   sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus. Ditambah lagi bagaimana Paulus mengisahkan kisahnya dalam Kisah Para Rasul 20:18-23, Kamu tahu, bagaimana aku hidup di antara kamu   sejak hari pertama aku tiba di Asia   ini:  dengan segala rendah hati aku melayani Tuhan. Dalam pelayanan itu aku banyak mencucurkan air mata   dan banyak mengalami pencobaan dari pihak orang Yahudi   yang mau membunuh aku.  Sungguhpun demikian aku tidak pernah melalaikan apa   yang berguna bagi kamu. Semua kuberitakan dan kuajarkan kepada kamu, baik di muka umum maupun dalam perkumpulan-perkumpulan di rumah kamu;  aku senantiasa bersaksi kepada orang-orang Yahudi   dan orang-orang Yunani, supaya mereka bertobat   kepada Allah dan percaya kepada Tuhan kita, Yesus Kristus.  Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh  aku pergi ke Yerusalem   dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ  selain dari pada yang dinyatakan   Roh Kudus   dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. Dia tidak punya agenda pribadi. Agendanya hanya satu, yaitu Kristus. Fokusnya adalah Kristus. Dia menyebut dirinya sebagai tawanan Roh. Menyerahkan dirinya tertawan Roh, agar hidupnya fokus pada Kristus, tidak lari dan menyimpang. Tidak tercemar dengan nilai dan kemilau dunia. Secara rela dan sadar menyerahkan diri sebagai tawanan Roh. Ketiga: Ada babak terakhirnya. Paulus kelihatannya menyadari bahwa hidup dan kesempatan itu terbatas. Akan ada waktunya tiba pada babak terakhir. Sebelum ke babak akhir akan ada babak demi babak yang harus diselesaikan. Jika mau mengakhiri babak terakhir dengan baik, tentu perlu mengakhiri setiap babak dengan baik. Karena itu Paulus selalu mengisi kesempatan dengan sebaik-baiknya. Paulus mengisahkan hal ini dalam Kisah Para Rasul 20:24-32, Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun , asal saja aku dapat mencapai garis akhir   dan menyelesaikan pelayanan   yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku  untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia   Allah. Dan sekarang aku tahu, bahwa kamu tidak akan melihat mukaku lagi,  kamu sekalian yang telah kukunjungi untuk memberitakan Kerajaan Allah. Sebab itu pada hari ini aku bersaksi kepadamu, bahwa aku bersih, tidak bersalah terhadap siapapun yang akan binasa. Sebab aku tidak lalai memberitakan seluruh maksud Allah   kepadamu. Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan,  karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik   untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah  Anak-Nya sendiri. Aku tahu, bahwa sesudah aku pergi, serigala-serigala  yang ganas akan masuk ke tengah-tengah kamu  dan tidak akan menyayangkan kawanan itu. Bahkan dari antara kamu sendiri akan muncul beberapa orang, yang dengan ajaran palsu mereka berusaha menarik murid-murid   dari jalan yang benar dan supaya mengikut mereka. Sebab itu berjaga-jagalah  dan ingatlah, bahwa aku tiga tahun  lamanya, siang malam, dengan tiada berhenti-hentinya menasihati kamu masing-masing dengan mencucurkan air mata. Dan sekarang aku menyerahkan kamu kepada Tuhan   dan kepada firman kasih karunia-Nya, yang berkuasa membangun kamu dan menganugerahkan kepada kamu bagian yang ditentukan bagi semua orang yang telah dikuduskan-Nya. Pada bagian ini kita melihat bagaimana Paulus mengakhiri cerita pelayanannya di jemaat setempat dengan mempersiapkan jemaat tersebut, memberi teladan bagi mereka, dan menyerahkannya kepada Tuhan. Menyelesaikan babak ini dengan baik. Jika kita cermati kehidupan Paulus, dia  bukan hanya mengakhiri cerita babak satu dan dua dengan baik, tapi setelah dia menjadi hamba-Nya babak demi babak kehidupannya dijalananinya dengan baik sampai babak terakhir hidupnya. Sebagaimana kita tahu dari suratnya kepada Timotius dalam 2 Timotius 4:1-7, Paulus menceritakan bahwa dia telah mengakhiri pertandingan yang baik. Jadi, bukan hanya mengakhiri babak terakhir dengan baik, dan memang itu adalah sesuatu yang sangat penting tapi pertandingan yang dijalani dan diakhiri itupun harus jelas yaitu pertandingan yang baik. Bukan pertandingan sembarangan, bukan pertandingan duniawi tapi pertandingan yang baik, pertandingan yang sejatinya bagi semua pengikut-Nya, hamba-Nya, yang Kristus menjadi fokus kehidupannya. 2 Timotius 4:1-8, Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya  dan demi Kerajaan-Nya:  Beritakanlah  firman,  siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah  dengan segala kesabaran dan pengajaran. Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat,  tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran   dan membukanya bagi dongeng. Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita,   lakukanlah pekerjaan pemberita Injil   dan tunaikanlah tugas pelayananmu! Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan   dan saat kematianku   sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan   yang baik, aku telah mencapai garis akhir   dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku  mahkota kebenaran  yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya;  tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya. Semua pasti akan ada akhir ceritanya. Pelayanan dari satu tempat ke tempat lain, dari jemaat yang satu ke jemaat lain dari peran satu ke peran lainnya. Dari satu babak ke babak berikutnya, semua ada akhir ceritanya. Kita pasti berharap akhir cerita hidup kita yang terbaik. Jika kita berharap akhir cerita kita adalah yang terbaik, berarti kita harus menjalani hidup saat ini, babak demi babak dengan baik sampai nanti tiba ke babak terakhir. Pada perikop di atas Paulus telah tiba di babak terakhir kehidupannya dengan sebuah keyakinan bahwa telah tersedia mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadanya tapi bukan hanya kepada dia, tapi juga kepada kita yang merindukan kedatangan-Nya, yang menjalani hidup bukan dengan sekedarnya, pelayanan sekedarnya, bekerja sekedarnya. Bukan! Tetapi, hidup dengan satu agenda yaitu: Kristus. Apa yang Kristus mau, apa yang Kristus perintahkan, itulah agenda kita. Tidak ada lagi agenda pribadi. Kristus dan hanya Kristuslah fokus dan segalanya. Kiranya Tuhan menolong kita hidup demikian. Amin.

  • Menghidupi Agenda Allah

    Simon mengenal pria yang sedang diikuti banyak orang di pantai pagi itu. Pria itu sedang menjadi bahan pembicaraan orang saat itu dan banyak orang mengikuti kemanapun Dia pergi. Pria itu, Yesus, yang kelak memberinya nama baru: Petrus, sangat menarik, penuh kuasa dalam mujizat dan pengajaran-Nya. Simon memperhatikan Yesus sambil membersihkan jalanya di samping perahunya. Pagi itu akan menjadi hari yang tak terlupakan bagi Simon dan teman-temannya. Hari yang mengubah agenda hidupnya. Setelah berlayar semalaman dengan sia-sia, apa yang terjadi di hari itu membuatnya sangat bersemangat: mendengarkan Yesus mengajar dari dalam perahunya, dekat dengannya, walaupun sempat bingung ketika pria itu menyuruhnya menebarkan jala di siang bolong. Belum surut rasa terkejutnya melihat jalanya yang robek karena penangkapan ikan yang sangat banyak, Simon mendengar Yesus berkata pada mereka, “Mulai sekarang engkau akan menjala manusia.” Yesus memberi mereka agenda hidup yang baru: dari penjala ikan menjadi penjala manusia. Simon Petrus pun mengikat perahunya dan meninggalkan segala sesuatu untuk mengikut Yesus. Sejak itu hidupnya tidak lagi seperti maunya. Dia yang sebelumnya dikenal sangat bersemangat dan reaktif kini tunduk dan fokus hanya pada agenda Tuhannya. Tiga setengah tahun kemudian, karena sedih, kecewa, setelah Yesus disalibkan, dia sempat kembali pada agenda lamanya: melepas ikatan perahunya dan menebar jalanya. Tuhan Yesus yang mengerti pergumulannya, menghampirinya kembali dengan kejadian yang membuatnya teringat akan kejadian pagi bersejarah  itu. Kembali Yesus memberinya agenda baru: menggembalakan domba. Peristiwa di pantai itu menjadi titik bangkitnya kembali: menjalankan agenda Allah. Sejak saat itu, setelah hari pentakosta, Petrus setia menjalankan agenda tersebut: membangun jemaat di Yerusalem, Samaria, Babilonia, dan Roma. Di akhir hidupnya, 30 tahun kemudian, kembali Yesus memberinya agenda lain. Berdasarkan naskah apokrifa  Perjanjian Baru, Acts of Peter, saat Petrus akan meninggalkan kota Roma untuk menyelamatkan diri dari penganiayaan kaisar Nero, Yesus menampakkan diri padanya di tengah jalan dan saat dia bertanya, “Kemanakah Engkau akan pergi Tuhan?, Yesus menjawab, “Aku datang untuk disalibkan kedua kalinya.” Petrus pun mengerti maksud Tuhan Yesus, itu berarti ada agenda yang harus dijalankan: menderita dan mati bagi Yesus. Dia pun kembali ke Roma dan kemudian mati disalibkan dengan posisi terbalik. Paulus, seorang yang dulunya sangat bersemangat menganiaya para pengikut Kristus, tetapi agenda hidupnya berubah setelah perjumpaannya dengan Kristus. Dalam surat-suratnya Paulus sering menyebut dirinya sebagai: Paulos doulos Iesou Christou, Paul, a slave of Jesus Christ atau Paulus, budak Yesus Kristus! Hidupnya sepenuhnya bagi Kristus, menjalankan agenda Kristus bagi-Nya. Ketika Yesus memberikan perumpamaan tentang seorang tuan yang mempercayakan talenta pada hamba-hambaNya dalam Matius 25: 14-30, kata “hamba” yang digunakan dalam perumpamaan tersebut adalah juga “Doulos”. Seorang doulos adalah budak terendah yang tidak memiliki hak atas dirinya sendiri, dia sepenuhnya milik tuannya. Dalam hidup seorang doulos tidak ada tempat bagi agenda pribadi. Seorang doulos tidak pernah mempertanyakan apalagi membantah perintah majikannya. Dia mutlak menaati perintah tuannya meskipun perintah itu sulit, berbahaya, dan dapat mengancam jiwanya. Apapun situasi dirinya, baik sedang dalam keadaan yang baik maupun tidak baik, perintah Sang Tuan harus dikerjakan. Bahkan seorang doulos tidak memiliki hak untuk mendapatkan penghargaan atau apresiasi sekalipun dari tuannya. Agenda khusus ini tidak hanya milik Petrus dan Paulus. Semua kisah di perjanjian lama dan perjanjian baru menceritakan bagaimana Allah memberi agenda yang khusus pada tiap-tiap pribadi. Seperti Petrus dan teman teman rasul lainnya, seperti para saksi iman di gereja mula-mula, seperti jejak iman yang ditinggalkan para bapa gereja dan kaum martir, sesungguhnya Allah kita masih tetap dengan cara-Nya: mempercayakan agenda khusus pada tiap-tiap anak-Nya. Tiap masa dengan orang yang berbeda dan agenda yang berbeda-beda pula. Sebelum abad ke 19, kisah tentang perbudakan dan perdagangan budak merupakan hal yang lazim dilakukan khususnya di dunia Barat sampai kemudian seorang anggota parlemen di Yorkshire Inggris pada tahun 1784-1812 bernama William Wilberforce menjadi pemimpin penghapusan perbudakan dan perdagangan budak di Inggris. Pertemuannya dengan Kristus di usia 26 tahun membuatnya meninggalkan gaya hidup bangsawan yang hedonis dan berkomitmen untuk mengabdikan hidup dan pekerjaannya bagi Tuhan. Tuhan memimpinnya pada agenda untuk melakukan reformasi sosial di Inggris setelah dia bertemu dan dibina oleh John Newton. Sejak saat itu gerakan politiknya diwarnai dengan imannya dan kerinduannya untuk memajukan kekristenan dan etika Kristen dalam hidup pribadi dan masyarakat Inggris. Dia dan teman-temannya berkampanye untuk mengakhiri perdagangan budak, membuat pamflet, buku, demonstrasi, petisi dan melobi parlemen. Sampai kemudian tahun 1807 perdagangan budak dihapuskan dan tahun 1833 Kerajaan Inggris akhirnya memberi kemerdekaan pada semua budak di wilayahnya. Allah terus memberinya agenda lain dengan mempelopori gerakan reformasi moral di masyarakat Inggris. Pada masanya Allah memakai William Wilberforce untuk melakukan agenda reformasi sosial di Inggris. Tidak semua dari kita dipercayakan agenda yang besar dan spektakuler seperti Petrus, Paulus atau William Wilberforce. Kebanyakan dari kita mungkin hanya melakukan agenda yang terlihat biasa dan tak banyak diceritakan. Tidak pernah dibayangkan oleh Prof. George Mathew bahwa dia akan menghabiskan karirnya di tempat yang dia sebut “in the middle of nowhere”. Prof. Dr. dr. George Matthew, saat ini berusia 70 tahun, seorang dokter bedah digestif senior ternama  dari India, lulusan The Royal Adelaide Hospital, University of Adelaide. Dia seorang dokter misi sejak lulus sebagai dokter umum. Setia menjalankan agenda Tuhan dalam hidupnya. Dimulai dengan menjadi dokter di sebuah rumah sakit di tempat sangat terpencil di Bhutan. Lalu agenda Tuhan membawanya kembali ke rumah sakit Christian Medical College Velore untuk menjadi staf pendidik, dekan, dan direktur RS di sana. Dia memimpin puluhan proyek riset, mempublikasikan 65 karya ilmiah selama 21 tahun terakhir. Saat memasuki usia pensiun, setelah melalui pergumulan panjang, dia memilih untuk meninggalkan tawaran menjadi direktur beberapa rumah sakit ternama di India dengan pergi keluar India menjadi dekan di Fakultas Kedokteran salah satu universitas swasta di Indonesia dan menjadi direktur suatu lembaga riset. Kembali menjadi dekan, membangun rumah sakit pendidikan yang baru berdiri. Namun setelah beberapa tahun, Prof. George Matthew merasa Tuhan menggerakkannya untuk agenda lainnya. Seseorang men-sharing-kan suatu rumah sakit misi yang membutuhkan dokter di daerah rural India: Biru, Jharkhand. Rumah sakit kecil yang terletak di daerah yang sangat miskin, terbelakang, dan tertinggal di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan keamanan. Setelah dia mengunjungi daerah tersebut, dia tahu ada agenda baru baginya. Bagi seorang dokter senior, cukup ternama di India dengan usia yang sudah lanjut (saat itu 67 tahun), dengan karir dan kehidupan cukup mapan, tidaklah mudah memutuskan untuk meninggalkan keluarga dan karirnya di Indonesia dan memulai dari awal sebagai dokter umum di rumah sakit pedalaman seperti itu. Kehadirannya, walaupun hanya dengan jabatan sebagai dokter umum tetapi dengan kemampuan bedah digestif berpengalaman tentu saja menjadi jawaban bagi daerah yang hampir tidak memiliki dokter ahli. Kesetiaannya pada pimpinan Tuhan untuk menjalankan tiap agenda Tuhan dalam setiap fase hidupnya terus dia jalankan walaupun dengan konsekuensi meninggalkan keluarga, kemapanan, dan nama besar. Para doulos-doulos ini menunjukkan ketaatannya: Petrus pergi meninggalkan perahunya, Paulus menganggap sampah semua atribut dan pencapaiannya, William Willberforce pergi meninggalkan kemapanan hidupnya, Prof George Matthew pergi meninggalkan karir dunia medis dan pendidikan yang gemilang untuk terus melakukan agenda Allah dalam hidup mereka. Hingga kini Allah masih terus bekerja di dunia yang dikasihi-Nya ini. Dia masih terus memilih banyak orang untuk melakukan agendaNya yang khusus bagi mereka. Seberapa jauh kita menyadari bahwa Dia juga sudah memilih kita untuk menjadi doulos-doulos kepunyaan-Nya yang taat melakukan agenda-Nya? Atau apakah justru kita sedang sibuk mengerjakan agenda pribadi kita selama ini? Mungkin kita berpikir, “ini agendaku akan kuberikan bagi-Mu” dan bukan sebaliknya “Mana agenda-Mu Tuhan untuk kujadikan agendaku”. “Maaf, saya sedang sibuk menyelesaikan kuliah S3”, atau “Saya masih terlibat di pelayanan gereja saat ini sehingga tidak bisa terlibat di pelayanan itu”, atau “anak-anak masih kecil”, dan banyak lagi alasan lain yang sering kita dengar ketika seseorang menolak tawaran untuk terlibat di suatu pelayanan. Kerap pula itu terucap tanpa terlebih dulu mempertimbangkan dan bertanya pada Tuhan apakah itu agenda yang Dia percayakan bagi kita. Di kehidupan dunia modern yang bergerak sangat cepat, berubah sangat dinamis, terhubung secara global, terdampak sangat kompetitif,  agenda siapakah yang sedang kita jalankan? Akankah kita berespon seperti Simon yang meninggalkan agenda hidupnya dan mengikuti agenda Tuhan atau malah berkata: “Maaf, jadwalku sudah penuh, silakan cari yang lain Tuhan" Akankah kita berespon seperti Simon yang meninggalkan agenda hidupnya dan mengikuti agenda Tuhan atau malah berkata: “Maaf, jadwalku sudah penuh, silakan cari yang lain Tuhan”.

  • Luka Batin: Pandangan Integrasi

    Pernahkah kita berespon lebih sensitif dari kebanyakan orang. Misal, di dalam klinik, saat menghadapi pasien, kita terpicu marah, larut dalam perasaan iba atau takut bertemu dengan supervisor tertentu. Atau, dalam lingkup keluarga. Mungkin saja, hal itu muncul akibat suatu cedera emosional atau yang sering disebut sebagai luka batin yang belum pulih dalam diri kita. Siapa sih yang tidak pernah terluka? It’s normal but also not normal at the same time. Normal karena hampir semua orang mengalami. Tidak normal, karena pengalaman itu tidak seharusnya dialami. Luka batin adalah istilah yang sangat luas, namun dapat dimengerti sebagai luka psikologis yang mendalam dan menimbulkan tekanan yang berat pada seseorang. Luka tersebut timbul dalam berbagai pengalaman dan persepsi yang beragam, dari ringan hingga berat di sepanjang hidup kita. Yang pasti, meski tidak berbentuk, luka tersebut memberikan rasa sakit secara emosional.Kita dapat melihatnya dalam 3 bentuk rasa sakit emosional, yaitu: Core emotional pain, yaitu rasa sakit yang muncul ketika kita menghadapi situasi yang begitu sulit, dimana kita diliputi emosi negatif (rasa takut, marah, sedih, dan lain-lain, yang melebihi kemampuan kita untuk menghadapinya (terlalu banyak, dini atau sendiri). Luka ini bisa merupakan pengalaman dikhianati, direndahkan, hingga yang lebih serius seperti trauma. Untuk yang terakhir, dapat dikatakan bahwa meski mayoritas orang memiliki luka batin, tidak semua memiliki trauma (karena tendensi saat ini untuk over-labeling trauma). Relational pain, adalah rasa sakit yang muncul akibat kebutuhan kita akan caregiver (kasih sayang, penerimaan) yang tidak terpenuhi (penolakan, pengabaian). Self pain, adalah luka yang muncul akibat penolakan terhadap dirinya dari orang-orang yang signifikan dalam hidupnya. Kerap kali orang tersebut akan hanya menampilkan dirinya agar dapat diterima. Namun hal ini menimbukan luka sebab dia meyakini bahwa diri yang sebenarnya adalah buruk. Luka batin yang belum pulih akan berdampak dalam kehidupan kita sehari-hari. Bisa muncul, sebagai “inner child” (teori Jung) yang terluka, sehingga kerap kali menimbulkan respon tertentu terhadap situasi tertentu yang berhubungan. Misal, seperti kemarahan berlebih ketika direndahkan atau ketakutan terhadap suara orang yang keras. Bisa juga muncul dalam berbagai masalah relasi pola “attachment”, misalnya ketakutan jika ditinggalkan sehingga bertindak posesif atau paranoid. Selain itu bisa juga menetap sebagai emosi yang tidak diproses, misalnya “kepahitan”, yang merupkan bentuk kemarahan dan kebencian. Bahkan luka batin yang tidak dipulihkan bisa berkembang menjadi berbagai gangguan mental (gangguan depresi, kepribadian, dan lain-lain). Apa pun bentuknya, yang pasti luka batin perlu dipulihkan, sebagaimana dampaknya yang muncul. Secara umum, penanganan luka batin terutama melalui berbagai pendekatan konseling hingga psikoterapi. Pada kasus yang kompleks sebaiknya dibantu oleh tenaga profesional (misal, kasus yang dipersulit oleh komorbid gangguan mental, pola kepribadian atau pengalaman traumatis tertentu) Selain itu, pendekatan tersebut dapat diintegrasikan dengan Alkitab. Alkitab menjadi suatu nilai yang mendasari bagaimana kita memulihkan luka batin tersebut. Alkitab bukan saja mengenai kebenaran, tetapi juga kuasa untuk mengatasinya. Bukan juga sekedar pulih, tetapi juga transformasi. Alkitab mengajak kita untuk menempatkan fokus kita terhadap Allah dan kebenaran dan kuasa-Nya. Beberapa integrasi yang dapat kita tinjau dalam menghadapi luka batin. 1. Reframing Kognitif/Pola Pikir Pola pikir sangat erat dengan psikoterapi. Misalnya distorsi kognitif seperti “should/must”, membuat sesorang sulit menerima realita yang berbeda dengan idealismenya. Distorsi “minimizing” membuat seseorang tidak dapat melihat bahwa ada sisi-sisi baik dalam setiap situasi. Alkitab juga melihat perubahan pola pikir sebagai suatu bentuk pertobatan (metanoia = change of mind). Pola pikir tidak hanya berubah, tetapi perlu semakin selaras dengan Firman Tuhan. Pola pikir yang tidak bertumpu pada diri, tapi tetapi pada Allah yang penuh kasih dan kudus. Contohnya : berhenti melihat hidup secara fatalistik, tetapi melihat Allah yang hadir dan berdaulat. 2. Pendekatan Emosional : Menerima dan memaafkan Memaafkan merupakan langkah penting dalam proses penyembuhan. Memaafkan tidak sama dengan melupakan atau mengalihkan. Memaafkan bukan berarti menganggap benar, tetapi keputusan berkali-kali untuk tidak menyimpan, bahkan membuang hal yang tidak baik (kebencian, keinginan untuk membalas dan ruminasi negatif). Bukankah masa lalu yang sudah lewat hanya dapat menjadi pelajaran. Jika hal yang tidak baik, maka tidak mungkin diubah. Hanya perlu diterima dan dimaafkan. Alkitab banyak berbicara mengenai pengampunan. Dasar iman Kristen memaafkan bukanlah sekedar untuk merasa atau menjadi lebih baik, tapi karena kita telah menerima pengampunan yang limpah dalam anugerah. Fully known, but also fully accepted and loved. Kebenaran ini yang memampukan seorang Kristen untuk mengampuni 3. Menghadapi Present Moment (Mindful) Ketika kita mengalami pengalaman sulit, kita perlu belajar menghadapinya dengan bijak dan berhenti menghindari tanggung jawab dengan terus-menerus mempersalahkan orang lain atau situasi. Meskipun kita mungkin menjadi korban, tidak berarti kita harus hidup dengan mentalitas korban. Kita tidak perlu menghidupi masa lalu, tapi fokus pada saat ini. Tidak hanya being present in the moment, tapi juga menyadari God is present and also in every moment, in my past, now and my future. 4. Pendekatan holistik Pendekatan holistik berarti melibatkan banyak aspek. Bukan saja memperbaiki secara psikologis, tetapi juga perlu dukungan medis dan sosial yang memulihkan hingga aspek spiritual. Secara pribadi, saya tidak setuju dengan pandangan yang hanya menekankan satu sisi saja (cukup dengan Alkitab). Secara medis, kehadiran terapis, diperlukan untuk suatu pola hubungan interaksi klien-terapis dalam mentransformasi luka-luka yang dimiliki. Bahkan pada kasus yang lebih berat seperti trauma, perlu teknik terapi khusus. Pada orang yang mengalami trauma, rasa sakit tersebut dapat tersimpan dalam memori tubuh sehingga tubuh berespon sedemikian rupa terhadap stressor. Hal ini perlu penanganan yang lebih lanjut, misal melalui teknik eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). Apalagi, seorang yang mengalami trauma bukan saja kesulitan dalam coping di situasi sulit tertentu, tetapi juga dipicu dari pembelajaran yang hilang dalam masa tumbuh kembangnya karena kesulitan bertumbuh dengan trauma yang ada. Dalam pendekatan integrasi dengan spiritual Kristen, memang memerlukan kehadiran tenaga medis Kristen yang tidak hanya menunjukkan karakter Kristen, tetapi kemampuan untuk integrasi dengan nilai-nilai Biblikal. Masih banyak ruang lingkup dalam pelayanan psikiatri yang perlu digumuli, sehingga tidak hanya berakhir pada terapi sebagai kunci, tetapi menggunakannya sebagai jembatan untuk bersama pasien menggumuli dasar nilai-nilai kebenaran lebih lanjut. Jika kita menyelami dinamika luka batin dengan empati, sungguh tidak mudah setiap pengalaman yang dialami setiap orang. Bagi kita yang sedang berjuang, teruslah berproses dan melangkah bersama Tuhan. Jangan biarkan tersebut tetap menganga atau terkubur tanpa dipulihkan. Luka tersebut dapat terinfeksi, tidak sehat bagi kesehatan jiwa kita maupun orang sekitar kita. Kiranya luka-luka tersebut bukan saja dilewati dan pulih, tetapi menjadi perjalanan untuk bertemu dengan Allah dan kasih-Nya. /Tnp

Hubungi Kami

Dapatkan update artikel SAMARITAN terbaru yang dikirimkan langsung ke email Anda.

Daftar menjadi Samareaders sekarang!

Instagram
Facebook
Media Samaritan
Media Samaritan

 Media Samaritan 2022

bottom of page