139 results found with an empty search
- Keadilan yang Menjadi Tanggung Jawab Kita (Bagian 1)
Penulis : dr. Maria Simanjuntak, SpPD, KGH-KIC dr. Bobby Simarmata, M.Sc Seorang influencer Indonesia ternama pernah berkata dalam salah satu YouTube-nya, “Hidup mengajarkan bahwa keadilan itu adalah bonus, hadiah. Kalau dapat ‘Alhamdulilah’, kalau tidak ‘That’s life’”. Pernyataan tersebut diucapkan saat mengomentari hukuman yang dijatuhkan hakim pada para pengeroyoknya. Seolah-olah menurutnya ketidakadilan dalam putusan peradilan di Indonesia adalah hal yang biasa. Terhadap ketidakadilan yang terjadi di bidang hukum mungkin kita berkata: ”Itu bukan ranah kita sebagai tenaga kesehatan”. Sementara itu, Mikha menyerukan dalam kitab Mikha 6:8 “Wahai manusia, engkau telah diberitahu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN daripadamu selain menegakkan keadilan, mencintai kesetiaan , dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu.”(Terjemahan VAB) Apakah tuntutan TUHAN untuk menegakkan keadilan tidak berlaku untuk tenaga kesehatan seperti kita ? Menegakkan Keadilan di Bidang Layanan Kesehatan Adanya Sistem Jaminan Sosial Nasional bidang Kesehatan (BPJS) sejak 31 Desember 2013 merupakan oase bagi ketidak adilan layanan kesehatan di Indonesia. Layanan kesehatan yang dulu hanya mampu dijangkau masyarakat menengah atas atau setidaknya yang memiliki asuransi (ASKES atau asuransi swasta) kini dapat diakses oleh mayarakat ekonomi lemah. Berawal dari seorang tokoh bernama Prof. Dr. Gerrit Augustinus Siwabessy yang adalah menteri kesehatan di era presiden Soekarno setelah dr. Leimena tahun 1966-1978. Beliau adalah seorang dokter ahli radiologi nuklir kelahiran Maluku 1914, lulusan sekolah kedokteran NIAS (Neederlandsch Indische Artsen School) Surabaya (kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga). Oleh dr. Leimena, yang merupakan menteri kesehatan RI kala itu, dr. G. A. Siabessy dikirim untuk belajar radiologi ke Universitas London dan Rumah Sakit Hammersmith London dengan beasiswa British Council. Disanalah dr. G. A. Siwabessy mempelajari sistem kesejahteraan di bidang kesehatan. Ketika menjabat sebagai menteri kesehatan, beliau pun mengembangkan Asuransi Kesehatan (Askes) yang merupakan cikal bakal BPJS. Hal ini kemudian berlanjut pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000, saat Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang Pengembangan Konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sesuai dengan UUD 1945 dan perubahannya tahun 2002. Melalui proses yang panjang, akhirnya Presiden Megawati mengesahkan UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN pada 19 Oktober 2004, sehingga Indonesia masuk dalam daftar ‘negara dengan jaminan sosial’. Dalam melaksanakan UU SJSN, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk program JKN, sebuah program layanan kesehatan yang berkualitas dan berkesinambungan bagi seluruh penduduk Indonesia, yang mulai berlaku pada 1 Januari 2014. Tahun 1999, penderita penyakit ginjal kronik tahap akhir yang tidak memiliki uang atau asuransi tidak akan dapat menjalani terapi pengganti ginjal seperti hemodialisa, CAPD apalagi transplantasi. Jika tidak memiliki uang atau asuransi, maka seorang penderita jantung koroner tidak dapat menjalani operasi jantung bypass. Begitu juga tindakan kesehatan lainnya seperti kemoterapi dan radioterapi maupun pemeriksaan seperti CT scan, MRI, endoskopi. Dahulu pemeriksaan dan tindakan tersebut amat terbatas untuk dirasakan oleh mereka yang tak memiliki asuransi kesehatan. Berkat BPJS, tindakan dan pemeriksaan tersebut kini bisa dinikmati. Dahulu poliklinik penyakit kronis hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu, peserta ASKES atau jaminan perusahaan. Kini, semua itu bisa diakses oleh masyarakat ekonomi lemah tanpa harus menjual segala kepunyaannya. Inilah yang disebut “Do Justly” di bidang layanan kesehatan. Lantas, apakah layanan kesehatan setelah era JKN sudah benar-benar berjalan dengan baik dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia? (bersambung ke bagian 2) /stl
- Apakah yang Dituntut Tuhan: Eksposisi Mikha bagian 3
Kala kita makan, minum, bernapas dan menghadapi berbagai pergumulan, siapakah pemberi dan penolong hidup kita? Ingatkah kita selalu pada pemberi berkat dan pertolongan ini? Atau kita menikmati dan menganggapnya itu kekuatan dan hikmat diri sendiri. Kitab Mikha pasal 6 diawali dengan pengaduan sekaligus pertanyaan keras dari Tuhan, Baiklah dengar firman yang diucapkan TUHAN: Bangkitlah, lancarkanlah pengaduan di depan gunung-gunung, dan biarlah bukit-bukit mendengar suaramu! Dengarlah, hai gunung-gunung, pengaduan TUHAN, dan pasanglah telinga, hai dasar-dasar bumi! Sebab TUHAN mempunyai pengaduan terhadap umat-Nya, dan Ia beperkara dengan Israel. "Umat-Ku, apakah yang telah Kulakukan kepadamu? Dengan apakah engkau telah Kulelahkan? Jawablah Aku! (ayat 1-3) Pengaduan yang disampaikan Tuhan melalui nabi Mikha sungguh suatu pengaduan yang sangat menyedihkan (God is in pain) kepada umat-Nya, Israel. Apakah yang sedang terjadi? Nabi Mikha menyampaikan beberapa isu yang bertolak belakang antara Israel dengan Tuhan. 1. Adakah yang jahat Tuhan lakukan bagi mereka? Tidak ada! Sebaliknya, Ia telah melakukan hal-hal yang baik bagi mereka, tetapi mereka membalas dengan penolakan dan pemberontakan, kasih dibalas dengan kemunafikan, kejahatan, serta pemberontakan. 2. Bahkan lebih lagi, Tuhan telah menyelamatkan Israel dari perbudakan yang kejam, dari penjajahan Mesir melalui hamba-hamba-Nya: Musa, Harun dan Miryam keluar ke tempat yang penuh harapan dan berkat (ay. 4). Israel menjadi umat Allah dan Allah telah menjadi Tuhan mereka. 3. Mereka dilepaskan dari berbagai usaha pembunuhan yang dilakukan oleh Balak (raja Moab), Tuhan intervensi agar Bileam tidak melakukan kutukan pada Israel dari Sitim sampai Gilgal (Bilangan 22-24). Begitu luar biasanya Tuhan melindungi umat-Nya (ay.5). Seandainya Israel mengingat perbuatan-perbuatan Tuhan yang luar biasa mengasihi dan menyelamatkan dari berbagai kesusahan dan marabahaya, hal ini akan membawa mereka makin mengenal Allah dan perbuatan-perbuatan keadilan Tuhan dan bersyukur memuliakan Tuhan (5). Mengingat karya dan kebaikan Tuhan menolong untuk kita belajar peduli pada manusia lainnya yang mengalami ketidakadilan secara ekonomi, sosial, rohani dan lain sebagainya, bukan acuh tak acuh melihat penderitaan/kesengsaraan orang lain, tapi menolong mereka keluar dari penderitaan dan memberikan pengharapan baru. Raja Daud mengingatkan jiwanya “Puji Tuhan hai jiwaku dan janganlah lupakan segala kebaikan Tuhan...” (Maz. 103). Sayangnya, kebaikan Tuhan yang demikian tidak diingat dan disyukuri oleh umat-Nya. Mereka justru secara lahiriah beribadah pada Tuhan, tetapi dalam perbuatan sehari-hari banyak melakukan ketidakadilan. Bukan kemunafikan yang Tuhan berkenan, melainkan hidup ibadah yang benar. Tuhan berkata pada nabi Yesaya ”Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! (Yesaya 58:6-7). Hal serupa juga dikatakan nabi Mikha “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?”(6:8). Ibadah syukur yang benar dilanjutkan dengan misi peduli pada sesama, mengasihani manusia yang terbelenggu dari berbagai kelaliman, ketidakadilan, membela yang lemah, memberikan pengharapan baru dalam kehidupan, sama seperti yang Tuhan lakukan bagi mereka. Setia berlaku ramah, mengampuni sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan penuh kebencian, kemunafikan, dan perselisihan. Umat Allah yang mengalami kasih setia Tuhan memiliki hati yang selalu terbuka dan siap melakukan kebaikan bagi sesama sehingga melalui kehadiran komunitas umat Allah, shalom dialami oleh banyak orang yang sengsara di sekitarnya. Beribadah yang benar membawa pada kesadaran hidup adalah anugerah Tuhan, bukan kehebatan, kepintaran, dan kesuksesan kita. Melainkan selalu mengingat penebusan-Nya membawa pada kerendahan hati dan terbuka menerima dan menolong yang susah. Kerendahan hati membawa kita bersedia ‘inkarnasi’ seperti Kristus bersedia turun dan bergaul dengan yang susah dan menderita, serta mengangkat mereka keluar dari lembah kekelaman. Itulah panggilan sejati yang berkenan pada Tuhan bagi kita umat-Nya. Spurgeon menyebut, "Kerendahan hati yang sejati adalah memikirkan diri sendiri dengan benar, bukan dengan kejam. Ketika Anda telah menemukan siapa Anda sebenarnya, Anda akan menjadi rendah hati, karena Anda bukanlah apa-apa untuk dibanggakan. Menjadi rendah hati akan membuat Anda aman. Menjadi rendah hati akan membuatmu bahagia. Menjadi rendah hati akan membuat musik di hati Anda ketika Anda pergi tidur. Menjadi rendah hati di sini akan membuat Anda bangun bertumbuh makin menyerupai Kristus.” 4. Mikha mengakhiri seruannya dengan mengajak umat kembali pada Tuhan yang kasih setia-Nya tidak pernah berubah, yang mengampuni, memperbaharui dan akan menggembalakan umat-Nya setelah mengijinkan mereka dibuang. Masa pembuangan adalah proses melembutkan hati mereka yang keras, membentuk kembali karakter, dan membawa pertobatan sejati. Ia bersedia kembali menggembalakan umat-Nya, ini suatu berita bahagia, berita baik, memberikan pengharapan luar biasa melalui kehadiran Mesias yang melayani, melepaskan, mati dan bangkit. “... Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10). Refleksi: Kiranya kita selalu mengingat kasih dan penebusan Allah, membawa pengucapan syukur mendalam, serta dengan rendah hati bangkit melepaskan yang tertawan dari berbagai tekanan sosial, ekonomi, politik, rohani secara keseluruhan, itulah yang berkenan kepada Tuhan. “Datanglah kerajaan-Mu!” *)Penulis adalah executive director Indonesian Care /stl
- Melayani Tuhan di tengah Bangsa
“Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10:45) merupakan kalimat yang disampaikan Yesus saat murid-muridNya, Yakobus dan Yohanes serta yang lainnya ingin mendapatkan kedudukan tinggi dan mulia bersama Dia. Ambisi manusia kerap membuat seseorang mencari keuntungan dan nama sebesar-besarnya untuk diri sendiri. Dengan kata lain, ambisi kita mempengaruhi mata dalam melihat dan hati dalam merasakan sehingga betapa pentingnya kita memikirkan tujuan hidup kita yang sebenarnya, sama seperti Yesus dalam kehadiran-Nya di dunia ini. Mari belajar dari Teladan Agung kita bagaimana melayani Tuhan di tengah dunia. Panggilan dan kehadiran Kristus di dunia Markus 10:45 memperlihatkan bahwa Kristus datang bukan untuk diriNya sendiri, melainkan untuk dunia yang telah jatuh dalam dosa. Sejak awal, Dia sudah memahami bahwa kehadiran-Nya di dunia adalah untuk melayani (memberi diri) sepenuhnya bagi pergumulan manusia yang menderita karena dosa, bahkan Ia akan memberikan nyawa-Nya mati di atas kayu salib menebus untuk menggantikan hukuman murka Allah yang harusnya ditimpakan pada semua umat berdosa. Itu sebabnya Ia hadir di kota-kota dan desa-desa bertemu dengan manusia yang bergumul secara fisik, mental, rohani, politik, ekonomi, dan lain sebagainya (Mat. 9:35). Sebagai orang percaya, kita hadir di dunia bukanlah kebetulan semata dan juga bukan untuk diri sendiri. Allah menciptakan kita menurut ‘gambar dan rupa-Nya’ serta memberi ‘kuasa’ (tanggung jawab) memelihara dunia ini. Hidup bukan untuk berdiam, melainkan berkarya bersama Dia memelihara ciptaan-Nya (Kej. 1:26-28; 2:15). Panggilan seperti ini membuat kita akan peduli pada penderitaan yang sedang dialami banyak orang di sekitar kita. Penglihatan Kristus yang begitu tajam Kitab Injil mencatat bagaimana Yesus mengajar, memberitakan Injil Kerajaan Surga, melenyapkan penyakit dan kelemahan, membawa kelepasan bagi manusia. Apa yang dilakukan-Nya keluar dari hati-Nya yang paling dalam, karena ‘melihat’ mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala. Yesus melihat manusia begitu rapuh (fragile) dan dalam keberdosaannya, mereka tidak ada kekuatan untuk menyelamatkan diri sendiri. Kita bisa belajar dari Yesus bagaimana Dia melihat dunia ini. Belajar dari-Nya, kita perlu peduli melihat keberadaan masyarakat di bangsa ini yang menderita, ada banyak hal bisa kita telusuri, melalui televisi, internet, dan media massa lainnya, mendengar dari tetangga atau melihatnya sendiri. Penyakit, kemiskinan, pergumulan, penderitaan adalah hal-hal yang kita bisa lihat di sekitar kita, jika kita membuka mata dan hati kita. Hati yang penuh belas kasihan (Compassion) “Maka tergeraklah Yesus oleh belas kasihan (compassion) kepada mereka.” Inilah hati yang peduli, Dia tidak bisa tinggal diam di tengah-tengah kekalutan dan penderitaan yang terjadi dan untuk itulah Ia datang. Ia menghampiri dan ikut serta merasakan pergumulan penderitaan manusia, serta membawa mereka keluar dari penderitaan tersebut dengan kehadiran-Nya, penghiburan-Nya bahkan kuasa-Nya yang menyembuhkan. Ia membawa manusia mengalami pertolongan dan jalan keluar sehingga mereka menikmati kasih sayang Tuhan yang luar biasa. Adakah hati kita dipenuhi dengan kasih seperti ini setiap melihat manusia yang mengalami kesakitan, kebingungan, dan ketakuatan karena ancaman kematian? Atau hati menjadi dingin, beku, bahkan tidak peduli? Kita perlu meminta pada-Nya hati yang dapat ikut merasakan, bukan hanya sekedar emosi/perasaan, melainkan sakit yang kita rasakan sampai pada ginjal (kidney), sehingga kita tidak bisa hanya diam berpangku tangan, melainkan mendorong kita bertindak untuk menolong, melepaskan yang menderita dari kesakitan atau pergumulannya. Melayani dengan berkorban Dari waktu ke waktu Yesus bekerja tanpa kenal lelah, merasakan kepedihan dan kesusahan manusia dan Ia tidak peduli pada cemoohan, kehinaan yang menghampiri sepanjang hidupnya. Yesus dengan tekun berkarya sampai memikul salib dan kematian di bukit Golgota. Ia tahu resiko besar yang akan dialami, bahkan dengan cinta-Nya yang melampaui keberdosaan manusia (unconditional). Yesus berkata, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salib dan mengikut Aku” (Mat. 16:24). Panggilan sebagai orang percaya, bukan untuk hidup bagi diri sendiri, bukan untuk kenikmatan, melainkan kita yang sudah ditebus oleh darah-Nya yang mahal adalah hidup bagi Kristus. Kematian bukanlah merupakan ketakutan (sekalipun secara fisik itu bukanlah hal yang mudah) namun karena Kristus telah mengalahkan maut, maka dibalik kematian akan ada kebangkitan dan kehidupan selama-lamanya (bdk. Filipi 1:21 Tak ada yang mengatakan bahwa melayani Tuhan di tengah dunia yang penuh dengan penderitaan dapat dilakukan dengan mudah. Akan ada banyak pergumulan, tantangan, bahkan pengorbanan yang kerap perlu kita hadapi dan lakukan. Namun, teladan Kristus dan pertolongan dari Roh Kudus kiranya memampukan dan menolong kita untuk melakukannya dalam hidup dan profesi kita hingga kita dapat berkata seperti Rasul Paulus ”…jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah” (Filipi 1:22). *)Penulis adalah Executive Director Indonesian Care Diadaptasi dari majalah Samaritan cetak edisi II tahun 2020 dengan beberapa perubahan.
- Lewati Quarter Life Crisis Bersama Sang Guru
Quarter life crisis? Ya! Ini fenomena yang sangat dekat dengan kita orang muda. Entah kita sudah melewati, sedang mengalami, atau akan menjalaninya di kemudian hari. Quarter life crisis adalah krisis akibat rasa kuatir, kegelisahan, dan kebingungan mengenai arah dan tujuan hidup. Umumnya dialami pemuda usia 18-30 tahun mengenai persoalan karier, pasangan hidup, dan kehidupan sosial. Pemicunya bisa berasal dari internal diri kita sendiri, misal karena kita kuatir tentang masa depan yang sepertinya tidak jelas, sedangkan teman-teman sebaya sudah meraih mimpinya masing-masing. Bisa juga berasal dari eksternal, misalnya karena tuntutan orang tua, ataupun tekanan sosial dari teman serta kerabat. Quarter life crisis ini bisa kita alami sejak masih kuliah, tetapi akan bertambah intensitasnya ketika sudah lulus. Ketika masih masa kuliah, kita masih memiliki satu goal yang jelas, yaitu lulus. Tetapi setelah lulus, apa goal selanjutnya? Buat yang sudah lulus jadi dokter, ada begitu banyak pilihan. Bekerja di mana? Sebagai klinisi atau peneliti? Atau opsi untuk jadi entrepreneur, sepertinya oke juga. Kalau mau lanjut sekolah juga ada banyak pilihan jurusan baik di dalam maupun di luar negeri. Ini baru masalah karir, belum lagi ada masalah percintaan dan keluarga. Kita dihadapkan dengan pertanyaan yang harus kita jawab: “Di mana posisi saya di dunia ini? Apa langkah yang harus saya ambil?” Pertanyaan tersebut akan terus membingungkan bila kita melupakan identitas kita yang paling mendasar, yaitu identitas sebagai murid Kristus. Tanpa kesadaran ini, kita tidak akan memiliki tujuan hidup yang berkenan kepada Allah. Bila kita sadar bahwa kita murid Kristus, pertanyaan kita seharusnya: “Di mana Tuhan mau membentuk saya? Di mana Tuhan mau saya berkarya, menikmati, dan memuliakan-Nya?” Pergumulan menjadi murid ini juga dialami oleh murid-murid Yesus di abad pertama. Mari kita melihat secara singkat bagaimana Yesus mendidik para murid-Nya. Pertama, Yesus memanggil murid-Nya satu-persatu dan memberi mereka identitas yang baru. Mereka bukan lagi penjala ikan. Mereka bukan “orang Zelot” yang menentang keras penjajahan Romawi, dan mereka juga bukan pemungut cukai yang menjadi antek Romawi. Bukankah orang Zelot dan pemungut cukai tidak akan akur bila masih memegang identitas lama mereka? Kini mereka memiliki identitas yang sama, yaitu murid Yesus. Mereka adalah penjala manusia; garam dan terang dunia. Mereka adalah ranting-ranting yang perlu terus tinggal pada pokok anggur supaya dapat berbuah. Identitas inilah yang menjadi dasar bagaimana mereka harus hidup dan membuat keputusan. Kedua, Yesus mendidik para murid-Nya melalui berbagai pengajaran dan perumpamaan mengenai Kerajaan Allah. Iman timbul dari pendengaran akan Firman. Apakah saat ini Anda merasa iman Anda sedang mandek bahkan merosot? Sangat mungkin salah satu penyebabnya kita tidak lagi menikmati merenungkan Firman Tuhan. Bila kita terlalu sibuk hingga “tak ada waktu” untuk merenungkan Alkitab, hati-hati, sudah pasti kesibukan Anda melampaui apa yang Tuhan kehendaki bagi Anda. Ketiga, Yesus “membiarkan” murid-murid-Nya mengambil langkah yang salah. Yesus tidak menempatkan mereka di kondisi tanpa kebimbangan, di mana semua serba pasti hingga mereka tidak dapat berbuat salah. Sebaliknya para murid kerap salah dalam bertindak, mereka salah motivasi, mereka salah memahami arti Kerajaan Allah, mereka kurang iman dan meragukan Sang Guru. Namun Yesus terus mendidik mereka dengan teguran supaya mereka belajar mengenal kebenaran. Mengikut Tuhan bukan berarti perjalanan hidup kita akan selalu lancar tanpa hambatan. Seringkali ada belokan di sana dan di sini. Kadang ada belokan yang diakibatkan kesalahan kita karena gagal memahami kehendak Allah. Namun yang lebih penting apakah kesalahan tersebut membentuk kita untuk lebih tangguh dan peka kehendak Allah atau tidak. Lebih dari itu, kadang ada hal yang kita sangka belokan ternyata bukan. Kadang kita ditempatkan di posisi yang tidak kita sukai sehingga kita merasa terjebak. Sangat mudah bagi kita untuk menganggapnya sebagai kesalahan dan berusaha untuk segera keluar. Namun bagaimana bila Tuhan memang ingin kita melayani di tempat itu? Sebab kehendak kita yang berdosa seringkali bertentangan dengan kehendak Allah. Hendaknya kita tidak buru-buru meninggalkannya sebelum kita berusaha menjalaninya dengan hati yang rela dan taat. Selanjutnya baru kita mempergumulkan kembali apakah memang melayani di posisi itu adalah kehendak Allah atau bukan. Keempat, ada kalanya murid-murid kecewa dan kembali ke kehidupannya yang lama. Setelah Yesus ditangkap dan disalibkan, para murid tercerai-berai. Petrus kembali ke kehidupan lamanya sebagai nelayan. Namun setelah kebangkitan-Nya, Yesus sekali lagi memanggilnya untuk menggembalakan domba-domba-Nya (Yoh 21:1-19). Ada kalanya dalam perjalanan hidup, kita mengalami kekecewaan yang membuat kita terjatuh terlalu dalam. Namun seperti gembala yang mencari domba-Nya yang hilang, Tuhan juga akan menarik kita kembali untuk mengikut Dia. Jadi, mungkinkahkita survive melalui quarter life crisis? Adalahsuatu hal yang wajar ketika kita memiliki kekuatiran akan masa kini maupun masa depan. Pertanyaan yang sesungguhnya adalah, bersama siapa kita menghadapi krisis kekuatiran tersebut? Berjalan bersama Tuhan bukan berarti semua jalan di depan akan menjadi jelas. Bukankah bila semuanya jelas, kita mudah untuk merasa tidak perlu Tuhan lagi? Mengikut Tuhan berarti berjalan selangkah-demi selangkah, setia mengerjakan apa yang ada di depan mata kita. Tidak perlu tengok kanan-kiri adu nasib dengan teman atau kerabat kita. Fokus mengerjakan apa yang Tuhan percayakan pada kita, di sini dan saat ini. Ketika Tuhan membuka satu langkah di depan dan kita taat, Dia akan membukakan langkah berikutnya. Berjalan menjadi murid Kristus merupakan perjalanan yang nyaman. Kita tidak tahu apa yang ada di depan, tetapi kita tahu bahwa masa depan kita berada dalam tangan Dia yang Pengasih. Satu hal terakhir, bagaimana bila kita sudah berjalan menyimpang terlalu jauh dari jalan Tuhan? Bagaimana bila kita sudah terjerumus terlalu dalam? Ingatlah bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan domba-Nya. Mungkin membaca artikel ini adalah cara Tuhan untuk mengingatkan Anda bahwa ada Tuhan yang penuh kasih yang menunggu Anda untuk kembali. Jangan biarkan iblis terus mendakwa nurani Anda bahwa tidak ada lagi harapan untuk kembali. Iblis memang terus berusaha mengintimidasi, membuat Anda merasa terlalu berdosa sehingga tidak mungkin diampuni. Bila Anda terus percaya kebohongan tersebut, selamanya Anda benar-benar tidak dapat kembali. Seperti anak bungsu yang hilang, bila dia tidak percaya bahwa bapa-nya penuh kasih, selamanya dia tidak akan berani kembali dan berakhir mati di kandang babi. Segera kembali, bertobatlah dan minta kepada Bapa untuk mengampuni dosa Anda. Memang untuk itulah Yesus Kristus mati di kayu salib. Supaya kita disucikan dan dapat kembali hidup mengikuti jalan-Nya. Kiranya Roh Kudus boleh memberi penghiburan dalam perjalanan kita menjadi murid Kristus! *)Penulis merupakan anggota tim redaksi Samaritan.
- Potret Kesenjangan dan Ketidakadilan di Amerika Serikat: Mampukah Berlaku Adil dan Berbelas Kasih?
(Bagian 2) Pesan Tuhan bagi Saya Kitab Mikha diawali dengan kemarahan Tuhan atas penindasan oleh para pemimpin, imam, dan orang kaya di Israel terhadap rakyat yang lemah. Tuhan membenci ketidakadilan. Diskriminasi rasial, kesenjangan kesejahteraaan, dan kesenjangan kesehatan merupakan bentuk-bentuk ketidakadilan dalam konteks kesehatan masyarakat di tempat saya berada sekarang. Saya bersyukur Tuhan membuka wawasan saya tentang kondisi ini dan mempertemukan saya dengan orang-orang yang hidupnya didedikasikan untuk berjuang melawan diskriminasi dan menciptakan keadilan kesehatan dalam kapasitas mereka masing-masing. Merenungkan perintah Tuhan untuk berlaku adil dalam Mikha 6:8, menyadarkan saya, bahwa banyak hal yang saya sudah tahu tetapi sedikit yang sudah saya kerjakan. Saya berdoa agar Tuhan terus memberi kepekaan, keresahan, dan kemarahan akan ketidakadilan di sekitar saya serta memampukan saya untuk berkontribusi melawan ketidakadilan dengan ilmu, keahlian, dan pengalaman yang telah Ia anugerahkan. Kontras dengan pengalaman banyak imigran lain, betapa banyak privileges yang bisa saya nikmati. Saya beruntung memiliki rekan-rekan kerja yang menghargai keberagaman dan mendorong saya untuk terus berkembang. Ketika menghadapi tantangan terkait identitas saya sebagai imigran, ada orang-orang yang bersedia membantu. Saya juga bisa leluasa memilih pelayanan kesehatan yang terbaik dan selama ini mendapat perlakuan cukup baik dari tenaga kesehatan yang merawat saya. Banyak orang kulit berwarna tidak seberuntung saya. Saya akan sulit berbelas kasihanbila tidak menyadari privileges ini. Saya tidak pernah mengalami dan tidak bisa sepenuhnya mengerti pengalaman mereka yang rasa sakitnya kerap diabaikan, frustrasi pasien yang tidak bisa berobat karena tidak mampu membayar, kebingungan pasien yang tidak berbahasa Inggris dalam memahami kerumitan sistem kesehatan di AS, atau keputusan pasien untuk tidak menebus resep demi menyediakan makanan untuk keluarga. Bintik buta ini bisa menjadikan saya salah satu dari tenaga kesehatan yang mendiskriminasi pasien-pasien tersebut. Saya bersyukur Tuhan menganugerahkan pemahaman ini saat saya memulai perjalanan karir di negara ini. Kiranya ketika saya melangkah lebih jauh, Tuhan memampukan untuk terus mengoreksi bintik buta di dalam diri saya dan meniru belas kasih-Nya kepada umat yang sakit, lemah, dan tertindas. Kitab Mikha ditutup dengan pengharapan akan janji Tuhan yang akan menyelamatkan Israel, yang juga merupakan nubuat tentang Yesus Kristus. Hidup dalam dunia yang penuh ketidakadilan, pengharapan menjadi satu-satunya penopang. Kitab Mikha mengingatkan saya bahwa Tuhanlah yang menyempurnakan pekerjaan anak-anak-Nya. Hanya Dia yang berkuasa mewujudkan keadilan yang sempurna. Mungkin karena inilah kita diminta untuk hidup dalam kerendahan hati di hadirat-Nya. Tanpa kerendahan hati, saya akan terjebak dalam ilusi. Merasa membela perkara Tuhan saat yang saya kerja adalah ambisi pribadi. Atau frustrasi, melihat ketidakadilan di mana-mana dan merasa pekerjaan yang saya lakukan tidak berarti. Atau terdesensitisasi, berhenti mengevaluasi diri, tidak lagi memeriksa bias-bias pribadi, dan akhirnya menjadi bagian dari sistem yang menindas mereka yang lemah. Berlaku adil dan berbelas kasih mustahil dilakukan tanpa kerendahan hati. Tuhan telah terlebih dahulu berbelas kasih kepada saya yang penuh dosa dan berkenan melibatkan saya yang lemah dalam pekerjaan-Nya menciptakan keadilan di dunia. Bisa mengambil bagian kecil dalam misi besar ini merupakan kehormatan dan sukacita bagi saya. Kiranya seperti Nabi Mikha, Tuhan terus memperlengkapi saya dengan kekuatan dan Roh-Nya (Mikha 3:8) untuk bekerja dengan setia dan memuliakan nama-Nya. *) Penulis saat ini bekerja sebagai research consultant untuk Center for Community Health Education Research and Service (CCHERS), sebuah organisasi nirlaba yang melakukan riset, edukasi, pemberdayaan masyarakat, dan advokasi untuk menciptakan keadilan kesehatan (health equity) bagi komunitas underserved. Bersama suami tinggal di kota Boston, AS. /stl
- Potret Kesenjangan dan Ketidakadilan di Amerika Serikat: Mampukah Berlaku Adil dan Berbelas Kasih?
(Bagian 1) Ke Mana Tuhan Memimpin Saya Selama empat tahun terakhir, saya bekerja untuk sebuah organisasi nirlaba bernama Center for Community Health Education Research and Service (CCHERS) di kota Boston, Amerika Serikat (AS). Saya memulai sebagai volunteer dalam sebuah program youth participatory action research yang merekrut para pelajar SMA dari komunitas underserved dan kulit berwarna (1). Saya bertugas membekali mereka dengan dasar metodologi penelitian dan mendampingi selama durasi proyek penelitian mereka. Walaupun mereka belum berpengalaman meneliti, saya kagum dengan kepekaan mereka atas berbagai masalah sosial di sekitar mereka dan inisiatif mereka untuk menjadi bagian dari solusi. Youth investigators ini memilih topik, mendesain kuesioner, mengorganisir focus group discussions, dan menganalisis serta menyajikan hasil penelitian. Kelompok yang saya dampingi memilih untuk meneliti dampak gentrifikasi di Chinatown terhadap kualitas hidup penduduk lokal. Banyak ruko di area tersebut berubah menjadi rental AirBnB atau apartemen mewah. Akibatnya, banyak penduduk lokal tergusur, harga properti menjulang tinggi, dan Chinatown menjadi kotor, bising, dan tidak lagi nyaman bagi penduduk lokal yang masih bertahan. Kami sempat menyusuri rusun-rusun yang masih tersisa, yang mayoritas saling berdempetan, kurang ventilasi, dan dihuni oleh lebih dari satu keluarga. Di akhir program, youth investigators menyusun rekomendasi dan menyampaikannya ke city councilors (2). Tidak lama berselang, saya mendapat kesempatan bekerja sebagai research project manager. Saya mengelola sebuah penelitian tentang keterlibatan komunitas kulit berwarna dalam komite etik penelitian rumah sakit. Perubahan yang diharapkan adalah terwakilinya suara komunitas ras/etnis minoritas dalam keputusan-keputusan penting, termasuk layak tidaknya suatu penelitian dilakukan. Ini dilatarbelakangi oleh distrust kepada institusi pendidikan akibat praktik-praktik penelitian yang amoral terhadap orang-orang berkulit berwarna di masa lalu dan, saat ini, penelitian yang terlalu white-oriented sehingga tidak menjawab kebutuhan komunitas ras/etnis minoritas. Dunia pendidikan AS telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah praktik-praktik ini. Namun, agar perubahan menjadi semakin berdampak, pasien dan masyarakat awam dari ras/etnis minoritas perlu dilibatkan secara nyata (tidak hanya untuk memenuhi kuota) dalam posisi-posisi strategis. Bersama para youth investigators dan city councilor usai sesi diskusi. Foto milik Councilor Ed Flynn. Saya bekerja erat dengan community advisory group yang terdiri atas pasien dan aktifis sosial. Mereka memberi arahan atas desain hingga diseminasi penelitian untuk memastikan bahwa topik yang diteliti relevan dan proses penelitian bersifat inklusif serta menghormati hak-hak peserta penelitian. Walaupun bukan ilmuwan, mereka fasih tentang isu-isu kesehatan, keadilan sosial, dan etika penelitian. Pendekatan yang disebut patient-centered outcome research ini menempatkan community advisors sebagai ahli, yang posisinya setara dengan klinisi atau peneliti. Bila klinisi dan peneliti dianggap ahli dalam bidang keilmuan mereka masing-masing, community advisors memiliki ekspertise yang unik tentang pengalaman mereka sebagai pasien, peserta penelitian, atau penerima layanan kesehatan. Apa yang Saya Pelajari Pengalaman bekerja di CCHERS membuka mata saya akan besarnya disparitas kesehatan di AS. Ada dua sebab mendasar, yaitu kesenjangan kesejahteraan dan kesenjangan rasial. Kelompok ras/etnis minoritas cenderung kurang sejahtera dibandingkan warga kulit putih. Menurut data The Federal Reserve System tahun 2019, median kekayaan warga kulit putih delapan kali lipat warga kulit hitam, lima kali lipat warga keturunan Amerika Latin, dan tiga kali lipat warga etnis minoritas lainnya. Status ekonomi yang rendah membuat seseorang tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan, tidak memiliki asuransi, dan hidup di lingkungan yang tidak menyehatkan. Maka tidak heran bila kelompok ras/etnis minoritas secara umum juga memiliki morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Di AS, warna kulit menentukan seberapa sejahtera dan sehatnya seseorang. Kesenjangan rasial tidak timbul dengan sendirinya. Seorang berkulit berwarna menjadi kurang sejahtera dan lebih sakit bukan karena warna kulit mereka. Bukan pula karena mereka lebih malas, lebih bodoh, atau kurang beruntung. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa pendidikan yang lebih tinggi tidak memperbaiki situasi, karena ternyata kesenjangan kesejahteraan dan kesehatan dialami oleh kelompok ras/etnis minoritas di semua level pendidikan. Kesenjangan rasial adalah akibat dari diskriminasi (rasisme) terhadap warga kulit berwarna yang telah mengakar sejak berdirinya negara ini. Rasisme terjadi dalam berbagai rupa. Kelompok ras/etnis tertentu sering mendapat label negatif dan karenanya diperlakukan dengan tidak adil. Polisi dengan mudah menangkap atau menyiksa seorang berkulit hitam karena mereka dicurigai sebagai kriminal. Pengungsi dari Timur Tengah dianggap berbahaya dan lebih sulit masuk ke AS dibandingkan mereka yang berasal dari Eropa. Sejak sebelum COVID19 menjadi pandemi, warga berlatar belakang Asia Timur telah menderita hinaan hingga kekerasan fisik karena dicap pembawa virus. Rasisme dalam level personal (personally mediated racism) seperti ini masih mewarnai kehidupan masyarakat AS. Dalam konteks pelayanan kesehatan, bias dan prasangka terhadap pasien berkulit berwarna tidak jarang menyebabkan misdiagnosis, keterlambatan terapi, hingga kematian. Diskriminasi juga mewarnai berbagai kebijakan dan institusi (institutionalized racism). Kantor saya berlokasi di bagian kota Boston yang didominasi warga berkulit hitam dan keturunan Amerika Latin. Area-area seperti ini seringkali sudah “ditandai” dan dijauhi oleh investor (praktik redlining), sehingga umumnya kurang berkembang, minim ruang terbuka hijau, minim sumber makanan bergizi, dan dibanjiri junk food. Penduduknya seringkali kesulitan memperoleh asuransi kesehatan, asuransi kendaraan, atau kredit rumah. Akibatnya, mereka lebih mudah sakit dan, bila sakit, mengalami kondisi yang lebih berat. Di area yang sama berdiri sekolah kedokteran dan rumah sakit-rumah sakit “kelas dunia”, yang sering disebut medical mecca. Namun, warga lokal berkulit berwarna cenderung menghindari fasilitas-fasilitas ini. Di sana, mereka sering diperlakukan secara diskriminatif sehingga tidak merasa welcomed. Hal ini terjadi karena tempat-tempat ini tidak banyak mempekerjakan tenaga kesehatan berkulit berwarna, yang biasanya lebih dipercaya oleh pasien-pasien dari latar belakang ras/etnis minoritas yang sama. Saat ini, saya membantu sebuah studi yang mengukur dampak diskriminasi terhadap kesehatan mental dan kualitas tidur. Dampak rasisme terhadap kesehatan sangat destruktif dan dapat dialami sejak sebelum seseorang lahir. Sebagai contoh, angka kematian ibu berkulit hitam dan keturunan Amerika Indian mencapai 2-3 kali lipat ibu berkulit putih. Angka kematian bayi yang lahir dari ibu berkulit hitam lebih tinggi 2 kali lipat dari bayi yang lahir dari ibu berkulit putih.(1–3) Rentang usia orang-orang berkulit hitam lebih pendek 4 tahun dari mereka yang berkulit putih. Warga kulit berwarna, yang berpendidikan tinggi sekalipun, kerap menghadapi diskriminasi, baik dalam level personal maupun institusional, dari hari ke hari, di tempat kerja, sekolah, fasilitas umum, klinik, atau rumah sakit. Ini menciptakan stres jangka panjang, berbagai penyakit kronik dan gangguan mental, dan trauma dari generasi ke generasi. Melihat kondisi nyata tersebut, saya merenungkan pesan Tuhan dalam Kitab Mikha kepada saya. (Bersambung ke bagian 2) *) Penulis saat ini bekerja sebagai research consultant untuk Center for Community Health Education Research and Service (CCHERS), sebuah organisasi nirlaba yang melakukan riset, edukasi, pemberdayaan masyarakat, dan advokasi untuk menciptakan keadilan kesehatan (health equity) bagi komunitas underserved. Bersama suami tinggal di kota Boston, AS. (1) Komunitas kulit berwarna (communities of color atau people of color) adalah istilah inklusif yang lazim digunakan untuk menyebut orang-orang dari kelompok ras atau etnis minoritas secara kolektif. Termasuk dalam kelompok ini adalah American Indians/Alaska Natives (AIAN), Native Hawaiians or other Pacific Islanders (NHOPI), Africans/African Americans (Black people), Hispanic (Amerika Latin), dan Asians. (2) Di Indonesia, city councilors dapat disamakan dengan anggota DPRD tingkat kota. Referensi: Peterson EE, Davis NL, Goodman D, et al. Racial/Ethnic Disparities in Pregnancy-Related Deaths - United States, 2007-2016. Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR). http://dx.doi.org/10.15585/mmwr.mm6835a3. Published 2019. Accessed July 27, 2022. Melillo G. Racial Disparities Persist in Maternal Morbidity, Mortality, and Infant Health. American Journal of Managed Care. https://www.ajmc.com/view/racial-disparities-persist-in-maternal-morbidity-mortality-and-infant-health. Published 2020. Accessed July 27, 2022. Artiga S, Pham O, Orgera K, Ranji U. Racial Disparities in Maternal and Infant Death: An Overview. Kaiser Family Foundation. https://www.kff.org/racial-equity-and-health-policy/issue-brief/racial-disparities-maternal-infant-health-overview/. Published 2020. Accessed July 27, 2022.
- Allah yang Berdaulat: Eksposisi Mikha Bagian 2
Saat membaca kitab Mikha, kita dapat melihat bagaimana orang-orang yang menduduki posisi di pemerintahan pada waktu itu, bahkan para nabi di bait Tuhan, tidak menghormati Tuhan. Mereka dengan sengaja melakukan perbuatan-perbuatan yang memuakkan Tuhan; kesucian diganti dengan kekotoran dan kebobrokan, sehingga Tuhan harus menyembunyikan wajah-Nya (Mikha 3:4). Tuhan melihat perbuatan-perbuatan para pemimpin dan nabi begitu brutal. Hal ini tentu tidak asing bagi kita karena kerap kali mereka yang memegang kekuasaan justru menyalahgunakan kekuasaan tersebut. Lantas, apa yang sebenarnya telah terjadi (Mikha 3)? 1. Pemimpin kaum Israel membenci kebaikan dan mencintai kejahatan Para pemimpin kaum Israel yang seharusnya melindungi dan mengusahakan kesejahteraan masyarakat, ironisnya justru membenci kebaikan dan mencintai kejahatan. Mereka melakukan kekejian kepada masyarakat yang miskin, merebut kepunyaan mereka dengan kerakusan sehingga menambah penderitaan di berbagai sisi kehidupan. Hati dan pikiran mereka telah menyimpang, memakai berbagai hal fasilitas seperti kedudukan, kemampuan, dan kuasa untuk kepentingan, kesenangan, serta kekayaan pribadi. Mereka lupa bahwa panggilan hidup di marketplace adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan kota. Akibatnya, masyarakat pun menderita karena banyak mengalami ketidakadilan. 2. Hamba Tuhan melayani kepentingan diri sendiri Para hamba Tuhan yang melayani di bait Allah, seharusnya melayani umat dengan hikmat dan cinta kasih; kedapatan hanya melayani untuk kepentingan diri sendiri. Mereka memberkati dan melayani dan menyampaikan kata-kata yang baik memberkati umat yang dapat memberikan keuntungan besar; namun, bagi umat yang tidak dapat memberikan keuntungan, mereka akan menyampaikan peringatan-peringatan keras, bahkan hukuman. Mereka nampak sangat aktif melayani namun hati mereka jauh daripada Tuhan, hidup penuh kemunafikan! Perbuatan-perbuatan yang dilakukan para pemimpin dan para nabi yang tidak menghormati dan menaati Tuhan telah membuat Ia sangat muak, sehingga kala mereka berseru, justru Allah tidak akan menjawab bahkan menyembunyikan wajah-Nya terhadap mereka. Ini adalah titik terendah dan mengerikan bila pemimpin tidak lagi mengalami hubungan yang dekat dengan Tuhan. Pemimpin tidak dapat melihat visi, kekuatan, serta pengharapan dari Dia. Kepemimpinan yang tumpul, bodoh dan gelap adanya. (Mikha 3:7). Kepemimpinan seperti ini hanya akan membuat bangsa menjadi liar, buas, dan ketidakadilan merajalela (if there is no vision the people perish, bdk. Amsal 29:18). Hari menjadi suram bagi mereka (Mikha 3:6). Bagaimana dengan kepemimpinan di gereja, pemerintahan, masyarakat, bahkan di rumah tangga sekalipun? Pemimpin atau hamba Tuhan/majelis seperti apakah kita ini? Apakah yang kita kerjakan itu baik atau buruk? Apa yang kita lakukan dalam hidup ini sebagai kaum profesional di marketplace, juga bagi para hamba Tuhan? Begitu pula sebagai seorang dokter dan dokter gigi Kristen, apakah yang dicari melalui posisi, keahlian, dan kepercayaan yang diberikan? Sudah bukan rahasia dalam dunia medis ada banyak perbuatan tidak benar yang ditutupi. Apakah kita melakukan pekerjaan kita hanya untuk memperkaya diri sendiri dan membuat diri ini menjadi popular, hingga kita menghalalkan segala cara untuk itu. Semua akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Bagaimana masa depan bangsa Israel dengan kepimpinan yang bobrok seperti ini? Di sinilah kita belajar bahwa Allah adalah Allah yang berdaulat. Keajaiban Allah selalu terjadi dan di tengah kegelapan Allah tidak tinggal diam. Ia memanggil Nabi Mikha untuk mengadili mereka semua. Dalam kehidupan bangsa yang merosot dibutuhkan pemimpin yang berintegritas, hamba yang setia mengabdi sepenuhnya kepada Tuhan. Mikha seorang pemimpin yang penuh dengan kekuatan, dengan Roh Tuhan (Mikha 3:8) dengan keadilan dan keperkasaan yang dikaruniakan Tuhan dengan berani Ia memberitakan kepada Yakub pelanggarannya dan kepada Israel dosanya. Selanjutnya dengan berani Mikha menubuatkan kehancuran semua pemimpin dan nabi yang tidak adil, melakukan berbagai kejahatan, bahkan Sion akan dibajak dan Yerusalem akan dihancurkan (Mikha 3:11-12). Restorasi/pemulihan yang dilakukan Allah dimulai dengan mengadili dan menghancurkan (bukan dibuang) untuk dapat memperbaikinya kembali. Keberanian melakukan kritik pada pemerintah yang tidak jujur dan hamba Tuhan yang melayani dengan kerakusan, membutuhkan keberanian, hikmat yang luar biasa bagi Mikha yang memiliki integritas dalam hidupnya. Jika tidak, maka dia hanya akan dicemooh bahkan dibunuh. Tuhan yang memanggil Mikha juga adalah Tuhan yang mendampinginya melakukan pelayanan yang Allah kehendaki (Kis. 1:8). Kedekatan bersama Tuhan serta mendengar, menghormati dan mengandalkan Tuhan adalah dasar penting bagi seorang pemimpin, apalagi tengah dunia yang bengkok ini. Dengan demikian, seorang pemimpin bisa hidup fokus, peka dan berani menghadapi berbagai hal di jamannya. Pemimpin yang dipenuhi oleh Roh Allah, adalah pemimpin yang berintegritas dan memahami apa yang dimilikinya (posisi, uang, waktu dan kuasa) merupakan anugerah yang Tuhan percayakan dan dipakai semaksimal mungkin untuk mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat (pemimpin seperti ini dikenal dengan nama Tsaddiq). Revitalisasi Sion -Yerusalem (Mikha 4) a. Pembaharuan yang dilakukan Allah adalah merevitalisasi Sion menjadi kerajaan damai. Akan tiba saatnya Sion-Yerusalem yang hancur dibangun kembali oleh Allah, di mana sekali lagi akan menjadi tempat kehadiran Allah, di sanalah manusia berduyun-duyun kembali mencari kebenaran, bertemu dengan Tuhan (Mikha 4:1-2) b. Ia akan menjadi hakim antara banyak bangsa, menjadi wasit bagi suku-suku bangsa yang besar yang jauh; serta mereka akan menempa pedang untuk membajak, tombak-tombak jadi pisau pemangkas, bukan lagi untuk berperang melainkan bekerja untuk membangun kesejahteraan hidup mereka (Mikha 4:3-4) c. Semua yang lemah dan terpencar karena dicelakakan Tuhan akan dikumpulkan-Nya dijadikan pangkal suatu keturunan, serta suatu bangsa yang diusir suatu bangsa yang kuat akan menjadi raja sampai selama-lamanya (Mikha 4:6-7). Pembaharuan akan Kerajaan Allah terus dilanjutkan oleh Allah. Kristus adalah pemimpin yang sejati, yang datang dalam kegelapan namun tidak larut, melainkan Ia menerangi kegelapan. Ia melepaskan manusia dari berbagai sakit penyakit, perbudakan dan ketidak adilan. Puncaknya, Ia mempersembahkan diri-Nya hancur mati di kayu salib untuk membayar semua hutang dosa kita dan merekonsiliasikan hubungan kita dan segala ciptaan yang telah dirusak oleh dosa, kembali kepada Allah. Melalui Dia kita kembali menjadi umat Allah dan menyembah Dia, raja atas segala sesuatu sampai selama-lamanya. *) Penulis adalah Executive Director Indonesian Care /stl
- Pro Life, Tidak Mudah Dikerjakan: Laporan Kunjungan Dr. Calum Miller
Aborsi merupakan salah satu isu yang seringkali dibahas dalam dunia internasional. Isu ini mengundang banyak perdebatan dan perbedaan pandangan. Secara garis besar terdapat dua jenis pandangan yang selalu menjadi kontras satu dengan yang lainnya, yaitu pandangan Pro Life dan Pro Choice. Secara sederhana, pandangan Pro Life menolak tindakan aborsi, kecuali dalam keadaan tertentu seperti kegawatdaruratan medis (keadaan patologis pada kehamilan yang mengancam nyawa sang ibu dan anak dalam kandungan). Pada sisi yang lain, pandangan Pro Choice mendukung tindakan aborsi karena pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan aborsi merupakan hak setiap perempuan untuk memilih. Meresponi isu aborsi yang besar ini, pada 3-10 Agustus 2022 Indonesia mendapatkan kesempatan dikunjungi seorang dokter dan peneliti dari University of Oxford yang memegang posisi Pro Life, yaitu dr. Calum Miller. Dr. Miller meneliti isu-isu aborsi, merupakan bagian dari Oxford Centre for Christian Apologetics, dan tergabung dalam Canopy Global Foundation (sebuah badan yang bergerak dalam meresponi masalah eksploitasi manusia, aborsi, dan hak perempuan). Dr. Miller mengunjungi Jakarta untuk memberikan advokasi mengenai posisi Pro Life: apa dan mengapa Pro Life. Dr. Miller mengunjungi dan menemui beberapa tokoh, seperti drg. Kartini Rustandi dari bagian Productive and Elderly Age Health Kementerian Kesehatan, Yvonne K. Nafi dan Djarot Dimas dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, KH Taufik Damas dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta, Pdt. Sylvana Maria Apituley (mantan tenaga ahli utama di kantor staf presiden, dr. Nafsiah Mboi (mantan Menteri Kesehatan RI), Pdt. Jacky Manuputty dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Jessica Tanoesoedibjo, Rahayu Saraswati dari Partai Gerindra, dan Kurniasih Mufidayati dari Partai Keadilan Sejahtera. Selain itu, dr. Miller juga sempat berdiskusi dengan beberapa orang jurnalis dan memberikan kuliah mengenai fakta-fakta aborsi serta bukti ilmiahnya di beberapa universitas ternama, di antaranya adalah Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia, FK Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, FK Universitas Krida Wacana, dan FK Universitas Kristen Indonesia. Saat ini, Indonesia memang melarang praktik aborsi secara umum, kecuali dalam beberapa kondisi tertentu (Pasal 75 UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan). Dalam kunjungan-kunjungan tersebut pun semua pihak yang ditemui berpandangan sama: dalam waktu dekat praktik abortion on-demand tidak akan dilegalkan secara hukum. Dr. Miller mengunjungi Indonesia justru karena posisi Indonesia saat ini adalah Pro Life. Beliau sungguh berharap agar negara-negara yang masih memegang posisi Pro Life, ke depannya mereka akan tetap memegang posisi Pro Life. Beliau selalu memberikan peringatan untuk berhati-hati karena ada negara-negara yang sebelumnya sangat anti aborsi, tetapi karena tekanan dari dunia internasional yang begitu hebat, negara tersebut dengan segera berubah posisi menjadi negara yang melegalkan aborsi, misalnya Republik Irlandia. Indonesia pun sebenarnya sudah mendapatkan tekanan yang serupa, baik dari luar maupun dari beberapa gerakan yang muncul dari dalam negara sendiri. Oleh sebab itu, selagi posisi Indonesia masih menolak aborsi secara umum, dr. Miller berharap kedatangannya dapat lebih menguatkan posisi Pro Life yang saat ini dipegang. Bergerak dalam bidang advokasi, maka isu aborsi ini bukanlah isu yang harus diperhatikan oleh tenaga kesehatan saja. Banyak pihak harus dilibatkan untuk menguatkan posisi Pro Life, di antaranya adalah politisi, pakar hukum, aktivis masyarakat, pemuka agama, jurnalis, aktivis media sosial, serta tenaga pendidik dalam sekolah dan perguruan tinggi. Inilah mengapa dr. Miller menemui tokoh-tokoh dari berbagai macam sektor. Beberapa saran dari dr. Miller terkait langkah konkrit yang bisa diambil oleh Indonesia saat ini adalah membentuk sebuah kelompok strategis yang terdiri dari orang-orang lintas sektor yang disebutkan sebelumnya. Diharapkan ada orang-orang kunci dalam kelompok tersebut untuk mengkoordinir dan menggerakkan gerakan Pro Life di Indonesia. Selain itu, beberapa langkah kerja yang bisa dimulai adalah mendesain kurikulum sex education yang baik untuk anak-anak remaja, serta melatih guru-guru sekolah mengenai sex education ini. Selain itu, dalam level perguruan tinggi, khususnya fakultas kedokteran, desain modul bioetika dan konten mengenai aborsi dalam modul tersebut diharapkan bisa diajarkan kepada para mahasiswa. Para pemuka agama pun diharapkan juga harus mulai mengajarkan mengenai konsep human dignity, aborsi, dan Pro Life ini kepada para jemaatnya. Hal ini mungkin tidak akan mudah untuk dikerjakan, karena kita sedang melawan arus dunia yang bergerak menuju ke arah pro aborsi. Meskipun masih sangat awal, semoga perjuangan ini dapat membuat orang-orang Indonesia melihat, bahwa kehidupan itu indah, sehingga ia merupakan sesuatu yang harus dilidungi dan bukan diakhiri. Pertemuan Dr. Calum Miller dan Tim Kerja Bioethics PMdN bersama Kementerian Kesehatan RI. Sumber: foto koleksi pribadi penulis *) Penulis merupakan bagian dari Tim Kerja Bioethics PMdN
- Parenting? Saya Tidak Mampu!
Kesadaran para orangtua akan pentingnya belajar parenting meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Ledakan informasi dapat dengan mudah diakses secara online, mulai dari teknik meng-ASI-hi, 10 kata pujian untuk membangun kepercayaan diri anak, sampai tahapan pendidikan seksual sejak anak sampai remaja. Tidak sedikit orangtua yang berupaya membekali diri melalui “pembelajaran” secara online ataupun memilih mengikuti kelas-kelas parenting secara fisik. Untuk memberikan pola asuh terbaik bagi perkembangan fisik dan mental anak merupakan salah satu tujuan. Harapan terbesarnya adalah agar anak-anak yang dibesarkan dengan teknik parenting berbasis “ilmiah” ini nantinya dapat menjadi dewasa yang produktif, stabil secara emosional, serta unggul dari segi akademik dan pencapaian materi. Lalu, apakah hal ini cukup? “Tidak ada hal yang lebih utama dibandingkan dipakai Tuhan menjadi alat untuk membentuk jiwa seorang manusia”. Menjadi orangtua merupakan panggilan bagi setiap manusia dalam menggenapi mandat Allah untuk bertambah banyak dan penuhi bumi. Bukan hanya sekedar membesarkan anak-anak secara fisik, tetapi agar mereka dapat menaklukkan bumi dan berkuasa atas segala apa yang ada diatasnya sesuai dengan definisi Allah. Tanpa definisi Allah, manusia akhirnya hanya akan merusak dan bukan memelihara bumi, gagal menjadi representasi kemuliaan Allah, seperti apa yang kita alami saat ini. Untuk tujuan yang mulia ini, setiap orangtua perlu menyadari tugas yang diberikan sendiri oleh Allah, yaitu untuk membesarkan dan mendidik setiap anak menjadi pribadi yang mengenal Allah dan sepenuhnya taat kepada-Nya. “Sudahkah kita memprioritaskan kerohanian anak-anak kita?” merupakan pertanyaan yang perlu untuk kita renungkan kembali sebagai orangtua. Tidak sedikit anak-anak yang jarang melihat sosok papa (bahkan kedua orangtua) di rumah karena kesibukan pekerjaan. Kebanyakan alasan dibaliknya adalah untuk memberikan kehidupan yang layak dan kesempatan sekolah yang terbaik. Sayangnya, ketika tanggung jawab perkembangan kognitif anak dapat dipenuhi oleh seluruh fasilitas pendidikan terbaik yang disediakan, kebutuhan mereka akan Firman Tuhan menjadi terabaikan dan panggilan mendidik kerohanian anak malah dibebankan ke pertemuan sekolah minggu yang maksimal hanya 2 jam per minggu. Tentu maksud untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak yang dianugerahkan Tuhan tidaklah salah, tapi kita perlu dengan rendah hati melakukan introspeksi, apakah “maksud baik” kita benar-benar baik menurut Allah atau murni untuk memuaskan keinginan kita saja? Tidak ada orangtua yang dapat membantah fakta bahwa parenting memang hal yang sulit, tapi Allah tidak sedang memberikan mission impossible. Dia tidak mengirim orangtua ke medan tempur pengasuhan anak tanpa ikut turut serta. Kesempatan menjadi orangtua tidak ditentukan berdasarkan kemampuan orang tersebut, tetapi semata-mata karena anugerah Allah. Setiap orangtua perlu mengakui bahwa “saya tidak mampu” menjadi orangtua, sehingga jalan satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah berlari kepada Allah meminta pertolongan. Dan Dia tidak jauh! Perjalanan sebagai orangtua yang penuh tantangan dapat menolong kita untuk semakin mengenal dan mengasihi Allah. Referensi: Paul David Tripp. Parenting: 14 Gospel Principles That Can Radically Change Your Family. [Terjemahan Indonesia: Bijak menjadi Orang Tua; Penerbit Literatur Perkantas] *)Penulis saat ini bekerja di NGO bidang HIV di Jabodetabek
- Merayakan Kemerdekaan dengan Penuh Dedikasi dan Cinta
Shalom! Perkenalkan, saya Ivan Reynaldo Lubis, teman-teman biasa memanggil Rey. Saya alumnus FK Maranatha Bandung dan saat ini melayani di Yayasan doctorSHARE, mengurus program-program yang dimandatkan pihak manajemen. Sebelumnya, saya menjabat Kepala RS Apung Nusa Waluya 2, salah satu kapal RS Apung yang dimiliki yayasan doctorSHARE. Akan tetapi, karena baru saja diterima kuliah S2, posisi tersebut saya serahkan pada seorang kolega. Saya mengenal doctorSHARE pada tahun 2016, di Sumba Barat Daya, NTT ketika bertugas sebagai dokter PTT di sana. Ketika itu, salah satu RS Apung milik Yayasan doctorSHARE datang ke Sumba untuk memberikan pelayanan medis berupa pengobatan dan operasi gratis bagi masyarakat. Setelah itu, saya rajin mengikuti kegiatan volunteer di doctorSHARE ke berbagai daerah, baik melalui RS Apung ataupun melalui Flying Doctor. Sejak tahun 2019 hingga saat ini, saya menjadi staf. Kenapa tertarik bergabung? Karena kesamaan panggilan dan visi, untuk melayani masyarakat di pedalaman/pinggiran melalui profesi medis. Selama bekerja, saya sangat menikmati sekali pelayanan ini, sebab terasa nyata sekali menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk melayani mereka yang marjinal. Melayani mereka yang tidak bisa membalas balik apa yang sudah kita lakukan, rasanya seperti makin dekat dengan Tuhan. Melayani di RS Apung membuat saya banyak bertemu masyarakat dari berbagai latar belakang. Begitu banyak hal, membuat saya banyak sekali belajar berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan keperbedaan yang ada, khususnya perbedaan bahasa dan adat istiadat. Meskipun demikian, pengalaman tersebut sangat seru sekali. Perbendaharaan bahasa serta pola perilaku yang luas membantu saya memiliki pendekatan yang baik terhadap setiap pasien. Banyak sekali hal baik yang saya alami selama melayani di RS Apung. Mulai dari providensia Allah terkait kebutuhan-kebutuhan primer di kapal hingga bagaimana diperlakukan dengan sangat baik oleh pasien. Ketulusan dan rasa terima kasih yang besar dari mereka akan pelayanan kami ditunjukkan melalui antaran-antaran yang ada. Mulai dari sekarung rambutan hingga berkilo-kilo ikan segar. Mulai dari undangan-undangan makan, hingga diberi kehormatan memberi nama kepada bayi yang baru lahir. Satu kata: AMAZING! Sebenarnya, ada banyak cerita yang bisa saya tulis, namun tentu tidak akan muat terangkum di sini. Saya hanya bisa mengajak adik-adik dokter yang baru lulus ataupun teman-teman sejawat yang sedang bergumul dengan panggilannya, untuk mendoakan dengan serius hendak menjadi dokter seperti apa dan di bidang apakah kalian nantinya. Sebagai anak bangsa Indonesia dan juga sebagai dokter yang sudah mengenal Tuhan, menjadi dokter apapun sama baiknya, asal mempermuliakan Tuhan dalam pelayannnya. Dokter klinisi di RS besar kah? Dokter peneliti kah? Dokter yang juga dosen kah? Dokter birokrat kah? Dokter yang memegang tampuk kekuasaan kah? Atau dokter yang bermisi di pedalaman seperti saya ini? Semua keren dan punya kontribusi yang sama. Selama menjalankan profesi dengan baik dan penuh hasrat, saya kira kita akan memberi dampak besar bagi komunitas dan juga bagi bangsa. Mari rayakan kemerdekaan RI dengan menjadi dokter-dokter yang mengabdi dengan penuh dedikasi dan cinta, sebagaimana yang Tuhan inginkan kita lakukan. Merdeka! *)Penulis saat ini melayani di Yayasan doctorSHARE /stl
- Saat Hati Nurani Dokter Alami Dilema
Perkembangan ilmu kedokteran, teknologi di bidang kesehatan, dan konektivitas antar manusia terjadi begitu cepat dan tidak terbendung. Banyak batasan-batasan ilmu yang terlampaui dalam satu dekade terakhir. Kecepatan perkembangan tersebut tidak dapat diikuti oleh perkembangan aturan hukum maupun pembahasan etik yang mendalam. Secara praktis, kemajuan ilmu kedokteran, teknologi di bidang kesehatan, dan konektivitas antar manusia menimbulkan berbagai permasalahan pada pelaksanaan hukum dan etika yang berlaku di masyarakat. Tenaga kesehatan adalah manusia yang memiliki nilai dan kepercayaan yang dianut. Tidak jarang nilai dan kepercayaan tersebut bertentangan dengan etika yang berlaku di masyarakat sehingga tenaga kesehatan memilih untuk tidak melakukan tindakan tertentu atas keberatan hati nurani atau conscentious objection. Beberapa contoh topik yang seringkali menimbulkan dilema etik dalam praktik kedokteran adalah aborsi, kontrasepsi darurat, bayi tabung, maupun transfusi darah pada kepercayaan tertentu. Perkembangan teknologi semakin mendorong munculnya dilema etik pada praktik kedokteran termasuk pada topik-topik tersebut. Pada 3-5 Juli 2022, World Medical Association (WMA) bekerjasama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengadakan konferensi dengan topik utama pembahasan mengenai keberatan hati nurani. Pada artikel ini tidak dibahas secara mendalam mengenai diskusi yang terjadi dalam konferensi tersebut, tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait keberatan hati nurani di antaranya: keberatan hati nurani tetap harus mengutamakan keselamatan pasien dokter yang memilik keberatan hati nurani terhadap tindakan tertentu menghormati hak otonomi pasien, khususnya hak atas informasi sesama sejawat menghargai hak atas keberatan hati nurani yang dilakukan. Sesuai dengan panggilan mulia tenaga kesehatan dalam membaktikan hidupnya untuk kemanusiaan, maka keberatan hati nurani tidak menghilangkan prioritas pertolongan terhadap nyawa pasien. Hal ini berarti tenaga kesehatan tidak melakukan keberatan hati nurani dalam konteks kegawatdaruratan atau kondisi yang mengancam nyawa pasien. Tenaga kesehatan mengutamakan pelayanan untuk menyelamatkan nyawa pasien yang merupakan hak asasi bagi setiap manusia. Prinsip tersebut secara universal tidak banyak dipertentangkan baik secara teori maupun praktik. Otonomi pasien merupakan salah satu nilai penting yang berkembang dan merubah konstruksi hubungan dokter-pasien yang dahulu didominasi oleh dokter menjadi setara antara dokter dengan pasien. Bahkan pada beberapa kondisi justru dominasi pasien sebagai pemilik tubuh yang akan diobati nampak nyata. Hal ini menyebabkan praktik keberatan hati nurani perlu dicermati dengan baik. Tenaga kesehatan yang memilih untuk tidak melakukan tindakan tertentu karena keberatan hati nurani perlu menginformasikan pilihannya kepada pasien. Permasalahan akan timbul terkait informasi mengenai pelayanan selanjutnya yang dibutuhkan oleh pasien. Misalnya, pada kasus seorang pasien yang ingin melakukan aborsi, maka tenaga kesehatan yang tidak bersedia melakukannya karena keberatan hati nurani perlu menginformasikan kepada pasien. Perdebatan terjadi mengenai apakah tenaga kesehatan tersebut harus merujuk pasien kepada tenaga kesehatan lain yang bersedia melakukan aborsi atau tidak. Dari sisi tenaga kesehatan yang keberatan untuk melakukan tindakan aborsi bila ia memberikan rujukan atau informasi, maka dapat dianggap bahwa ia mendukung atau memfasilitasi pasien untuk melakukan aborsi. Di sisi pasien, ada kebutuhan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai dan tidak membahayakan dirinya. Prinsip ketiga terkait keberatan hati nurani adalah hak setiap tenaga kesehatan yang perlu dihargai. Secara teori prinsip ini dapat dipahami dan tidak banyak diperdebatkan. Pada praktiknya tidak dapat dipungkiri bahwa seringkali terdapat ujaran antar tenaga kesehatan yang merendahkan sejawat lain yang berbeda pendapat. Dalam era konektivitas yang tinggi saat ini, ujaran tersebut dapat tersampaikan dengan luas dalam waktu yang cepat. Hal ini tentu menuntut kedewasaan dan kesadaran dari setiap tenaga kesehatan untuk saling menghormati pendapat maupun pilihan dari sejawat. Sebagai anak Tuhan tentu kita juga tidak terlepas dari dilema etik dalam praktik. Perkembangan ilmu sebagai anugerah Tuhan tentu perlu disikapi dengan bijak karena pengetahuan yang dimiliki bagaikan pedang bermata dua. Sebagai anak Tuhan kita telah diberikan panduan dan pembimbing untuk menghadapi berbagai permasalahan dalam hidup, termasuk dilema etik. Panduan kita adalah alkitab sebagai firman Tuhan yang hidup dan nyata tertulis, sedangkan pembimbing kita adalah Roh Kudus yang memberikan kita hikmat untuk memahami firman Tuhan. Dalam menentukan sikap kita perlu memahami apa yang Tuhan inginkan melalui pengetahuan yang kita miliki. Sayangnya dilema etik dapat muncul kapan saja dan dimana saja dalam praktik kita sehari-hari. Oleh karena itu, kita perlu mempersiapkan diri dengan baik, kita perlu memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan dan mempelajari firman-Nya. Bukan hanya sekedar membaca Alkitab, tetapi juga merenungkan dan memahami panggilan Tuhan dalam hidup kita dan nilai-nilai apa yang kita bawa dalam praktik. Ingatlah bahwa, “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan” (Amsal 1:7) dan kita adalah surat Kristus yang membawa kemuliaan Tuhan di dalam hidup kita (2 Korintus 3). *) Penulis saat ini bekerja sebagai dokter manajerial di RS UKRIDA
- Hilangnya Integritas Hidup Umat Allah: Eksposisi Mikha bagian 1
Kata “integritas” tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi kita dan sudah menjadi bahasa umum tentang nilai kehidupan yang utuh (luar-dalam). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan integritas sebagai “mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan”. Integritas juga dapat berarti kejujuran. Israel sebagai umat Allah memiliki integritas kehidupan yang tinggi, karena dipilih dan dipanggil Allah serta ditebus melalui anugerah-Nya. Tak hanya menjadi umat Allah, Israel juga dipanggil untuk menjadi alat-Nya untuk menjadi berkat bagi dunia ini (Kej. 12:2-3). Suatu hari, Tuhan memanggil Mikha dari Moresyet menjadi nabi-Nya (700 tahun sebelum kehadiran Mesias) untuk menyampaikan suatu nubuatan akan apa yang akan terjadi bagi umat-Nya di kemudian hari. Mikha (arti namanya: who can be like you, Lord atau ”siapakah yang seperti Engkau, Tuhan”) hidup sejaman dengan nabi Yesaya, di mana kondisi Israel telah terbagi dua (Israel dan Yehuda). Mikha dipanggil menjadi nabi pada zaman pemerintahan Raja Yotam, Ahaz, dan Hizkia dimana saat-saat itu ada banyak kemerosotan hidup yang terjadi di kalangan umat-Nya dan hal-hal ini merupakan kekejian di mata Tuhan. Umat Allah tidak lagi hidup secara terintegritas, ada ‘jarak’ (gap) dalam kehidupan mereka sebagai umat Allah dimana penyembahan yang mereka lakukan dalam bait Allah tidak lagi sesuai dengan kehidupan sosial mereka di tengah masyarakat (perhatikan hal ini juga yang terjadi pada Yes 58). Hal ini membuat Allah keluar dari bait-Nya. Kitab Mikha dibagi menjadi 3 bagian: Pasal 1-2: Allah menghampiri untuk mengadili umat-Nya, Israel Pasal 3-5: Teguran, hukuman juga bagi hamba-hamba Tuhan Pasal 6-7: Penebusan dan restorasi yang akan dilakukan Allah Allah menghampiri dan mengadili umatNya (Mikha 1-2) Bagian awal kitab Mikha memperlihatkan bagaimana Allah keluar dari bait-Nya dan menghampiri serta mengadili umat-Nya (pasal 1-2). a. Apakah yang dilakukan umat Israel sehingga Allah datang dan mengadili mereka? Pelanggaran Yakub serta dosa kaum Israel membuat Allah datang dan mengadili mereka (ay 5). Para pemimpin (raja, pemuka, dan nabi-nabi) memperkaya diri melalui pencurian dan kerakusan terhadap orang-orang miskin di Samaria dan Yerusalem (2:1-2, 8-9). Sebagai contoh: Raja Ahab mengambil paksa kebun Anggur keluarga Naboth, karena Naboth mempertahankan tanah warisan keluarganya, namun Raja Ahab merebut, hal yang sama sekali tidak boleh dilakukan dan melanggar hukum Taurat (Bilangan 36:7), bahkan Ahab melalui istrinya menuduh Naboth melalui tuduhan palsu di pengadilan, sehingga Naboth dihukum mati (1 Raja-raja 21). b. Para pemuka agama/nabi-nabi melayani untuk kepentingan mereka sendiri, mendapatkan keuntungan dari mereka yang mampu membayarnya. c. Umat Allah sendiri menjadi musuh pada sesamanya dengan melakukan penindasan terhadap yang mereka yang miskin dan lemah dengan merebut kepunyaan mereka secara semena-mena. Allah tidak membiarkan semua ini terjadi dan hukuman akan segera datang, di mana Kerajaan Assyria dan Babilonia akan menghampiri untuk menyerang dan meluluh lantahkan Yehuda dan Yerusalem. Bait Allah yang merupakan kebanggaan umat Allah akan dihancurkan (2: 4-7;3), sesuatu hal yang tidak pernah mereka pikirkan. Apakah Allah kurang sabar terhadap umat-Nya? (2:7) Tidak! Allah adalah Allah yang panjang sabar. Dalam kasih-Nya, Ia menegur umat-Nya yang telah mendua hati. Umat Allah beribadah kepada Tuhan di bait-Nya, namun hati mereka menyeleweng, berzinah mengikuti ilah-ilah lain serta melakukan banyak ketidakadilan, kejahatan kepada sesama umat yang lemah dan miskin. Dengan perkataan lain, Allah tidak akan tinggal diam melihat semua kejahatan dan kelaliman umat-Nya yang melakukan ketidak adilan pada yang lemah dan miskin. Ia sendiri menjadi “hakim” atas umat-Nya, supaya mereka bertobat. Hukuman dan teguran Tuhan seharusnya membawa umat kembali kepada-Nya. Ini menjadi pelajaran penting bagi kita, jika gereja/umat Allah tidak lagi melaksanakan misi Allah maka Allah pun bisa meninggalkan gereja/umat-Nya, bahkan mengadilinya. Pengharapan dan Restorasi (2:12-13) Namun, sekali lagi kita melihat kasih dan kesetiaan Allah yang luar biasa, Dia sendiri akan menjadi ”gembala” bagi umat yang tersisa (yang mau kembali kepada-Nya) dan Ia akan berjalan di muka serta menjadi pemimpin yang membebaskan mereka sehingga umat-Nya mengalami restorasi (pemulihan); kembali hidup bersama dengan Allah sepenuhnya. Ia bahkan bersedia memakai kita kembali dalam profesi masing-masing untuk melakukan pekerjaan restorasi bagi kesejahteraan kota dimana kita tinggal, bangsa kita bahkan dunia ini. Ia memperlengkapi dan memberi kuasa melalui Roh Allah sendiri yang memimpin kita melaksanakan panggilan-Nya sampai Ia datang kembali. Terpujilah Tuhan, di Yerusalem baru. Refleksi dan Respon Sejauh mana kita mengenal Dia dan membawa kita sungguh kembali diperbaharui oleh-Nya? Adakah kita memikirkan dan turut mengerjakan kesejahteraan sesama melalui profesi dan talenta yang Ia sudah karuniakan atau kita lupa dan hanya menggunakan untuk kepentingan memperkaya diri dan kelompok kita saja? Apakah suatu hari Tuhan akan mengadili kita juga untuk mempertanggungjawabkan panggilan-Nya sama seperti yang dilakukan-Nya pada umat-Nya melalui kitab Mikha? *) Penulis adalah Executive Director Indonesian Care /stl
















