Melalui pandemi Covid-19, masyarakat kini lebih sadar dan menaruh perhatian pada masalah kesehatan. Terkait sifat airborne Covid-19, kualitas udara menjadi hal yang sangat diperhatikan dalam keseharian. Namun, seberapa familiar kita dengan dampak kualitas udara terhadap kesehatan manusia?
Pastinya sudah kita sadari bahwa udara yang kita hirup dari waktu ke waktu akan berdampak pada kesehatan. Sayangnya, bahaya polusi udara seringkali terabaikan; mungkin kita anggap hal yang sudah biasa saja, toh tidak ada dampak akut yang dirasakan, dan juga rasanya apatis mengingat minimnya solusi nyata yang dapat diambil. Padahal, analisis Global Burden of Disease tahun 2019 menempatkan polusi udara sebagai bahaya lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia, sejajar dengan faktor risiko kesehatan lainnya seperti merokok dan diet tidak sehat.
Lebih mengkhawatirkan lagi, terdapat disparitas beban polusi udara pada negara dengan indeks sosiodemografis menengah ke bawah. Fenomena ini dapat dijelaskan oleh pesatnya laju perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang, disertai tingginya aktivitas manusia dan proses urbanisasi besar-besaran. Selain beban pajanan (exposure) yang lebih tinggi, populasi di negara berkembang juga lebih rentan karena situasi double dan triple burden of diseases. Akibatnya, polusi udara semakin eksis sebagai kontributor mortalitas dan morbiditas di negara-negara tersebut.
Memangnya, seberapa serius sih masalah polusi udara dan bagaimana efeknya terhadap kesehatan manusia? Secara umum, WHO memperkirakan bahwa 9 dari 10 manusia terpapar udara dengan kadar polutan di atas ambang yang disarankan. Polusi udara pun berkontribusi terhadap 7 juta kematian prematur setiap tahunnya. Analisis dampak kesehatan polusi udara umumnya dikaitkan dengan penyakit jantung iskemik, stroke, penyakit paru obstruktif kronik, infeksi saluran napas bawah, dan kanker paru. International Agency for Research on Cancer mengklasifikasikan polusi udara sebagai IARC group 1 (karsinogenik bagi manusia). Dalam perkembangannya, polusi udara juga dikaitkan dengan outcome negatif dari kehamilan seperti kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah, maupun penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus tipe II dan Alzheimer’s. Dapat kita simpulkan bahwa polusi udara memiliki skala pajanan yang sangat luas dan menimbulkan efek negatif bagi seluruh kelompok populasi.
Lebih jauh lagi, polusi udara juga secara tidak langsung dapat mempengaruhi status kesehatan individu maupun populasi. Misalnya, keberadaan polutan di udara juga berkaitan dengan proses perubahan iklim dengan semua efek katastropiknya bagi kesehatan. Selain itu, polusi udara juga mempengaruhi perilaku kesehatan suatu komunitas, misalnya membuat masyarakat enggan untuk berolahraga atau melakukan aktivitas fisik di luar ruangan.
Terkait Covid-19, banyak studi menunjukkan asosiasi antara polusi udara dan peningkatan transmisi, tingkat keparahan, dan mortalitas akibat Covid-19. Jangan lupa, polusi udara di dalam ruangan juga perlu diwaspadai dengan semakin panjangnya durasi kita berada di dalam ruangan disertai banyaknya aktivitas disinfeksi yang sudah menjadi rutinitas baru di masa pandemi.
Pada akhirnya, solusi masalah polusi udara memang tidak berada di tangan individu. Sebagai praktisi kesehatan, bagian kita adalah menyadari besarnya risiko kesehatan yang ditimbulkan polusi udara. Dengan demikian, kita dapat memperhitungkan faktor risiko pasien dengan lebih komprehensif, menyampaikan komunikasi risiko dengan efektif, dan memberikan manajemen yang tepat sasaran. Lebih jauh lagi, berbekal scientific evidence, profesional medis dapat menjadi advokat bagi individu, komunitas, hingga skala yang lebih besar untuk perbaikan kualitas udara di masa yang akan datang.
*) Penulis menyelesaikan studi di Occupational and Environmental Health di Monash University. Saat ini bekerja sebagai occupational health service provider di suatu perusahaan multinasional.
/stl
Comments