Perjalanan menjadi dokter memang tidak mudah. Di akhir pendidikan yang 6,5 tahun itu, setelah lelah menjawab pertanyaan “kamu kapan lulus?”, akhirnya tahu bahwa pertanyaan “habis ini kamu mau apa?” lebih menakutkan daripada pertanyaan yang menjemukan hati tadi. Akhirnya kita berhadapan dengan pilihan dan persimpangan hidup yang seperti tiada habisnya. Mau bekerja? Mau magang? Mau menikah? Bekerja di mana? Bekerja sebagai apa (kedokteran ternyata tidak hanya sebagai klinisi/spesialis)? Mempersiapkan sekolah lanjutan apa? Sekolah di mana? Dan lain-lain. Dan di saat kita berpikir semuanya tergantung pada kita dan usaha kita, Allah hadir dan menyatakan diri-Nya sebagai: Allah. Dan, saya mulai menyadari, hidup ini sesungguhnya bukan tentang memilih, tapi berespon.
Sebagai lulusan muda, wajar jika ambisius merencanakan masa depan. Namun percayalah bahwa Allah senantiasa menuntun langkah hidup anak-anak-Nya. Jika kita tidak bisa bekerja di “tempat kerja idaman” , tidak apa-apa, karena tidak ada satu tempat kerja yang paling ideal; tidak ada satu tempat kerja yang paling tepat. Di mana pun Tuhan menempatkan kita saat ini, itulah tempat yang tepat bagi kita. Itulah tempat di mana Tuhan mengutus kita untuk bekerja bersama-Nya. Dengan segala kesulitan dan tantangan yang kita hadapi, dengan segala “ketidaksempurnaan”nya, situasi dan kondisi itu yang Tuhan pakai untuk membentuk kita untuk semakin serupa Dia. Bukan tentang pilihan mana yang paling benar, tapi apakah kita menjalaninya dengan sikap hati yang benar.
Bagi para alumni muda, masa transisi ke dunia kerja bukan hal yang mudah. Tidak jarang kita diperhadapkan dengan kesulitan moral, etika, juga intelektual. Saat sekolah, kita hanya fokus mempelajari apa yang benar. Namun di dunia kerja sering kali kita diperhadapkan dengan kondisi yang mempertanyakan: apa yang sungguh-sungguh benar. Kita membutuhkan komunitas untuk menghadapi kesulitan realita dunia kerja. Namun inilah realita dunia, di mana Tuhan menempatkan kita untuk bekerja bagi-Nya. Bagaimana kita menjalankan peran kita sebagai anak-anak-Nya di tengah dunia yang berdosa ini? Pertanyaan besar ini, tidak untuk dijawab seorang diri. Allah memanggil gereja-Nya, orang Kristen tidak dimaksudkan untuk bekerja soliter. Orang Kristen membutuhkan komunitas untuk bergumul bersama, bertumbuh bersama.
Di tengah pandemi Covid-19 bergereja menjadi prioritas kesekian. Banyak hal yang terdampak, dan banyak yang mengeluh ketika mereka tidak lagi dapat bekerja, mencari nafkah, pergi makan keluar, travelling, atau bahkan sekadar bertemu kawan lama. Namun adakah yang mengeluh karena kita tidak lagi dapat beribadah? Pandemi ini secara tidak langsung Tuhan pakai untuk menyatakan ilah-ilah dalam hati kita. Apa yang paling kita takutkan untuk kehilangan? Apa yang kita anggap penting dan harus diperjuangkan? Jarang ada orang, bahkan dikalangan Kristen sekalipun, yang sungguh-sungguh menganggap serius pertumbuhan imannya. Ironis ketika melihat kita berani keluar untuk sekadar ngafe, atau memikul risiko besar ketika memeriksa pasien covid dengan dalih “ini pekerjaanku” (yang bukan salah pada dirinya sendiri, namun bukan menjadi inti poin kita kali ini), namun datang ke gereja beribadah menjadi hal yang seakan haram. Padahal dampak ibadah terhadap kehidupan seorang Kristen begitu sentral dan krusial. Saya sendiri merasakan ketika gereja lokal ditutup, begitu cepat rohani saya menjadi kering. Begitu mudah untuk disilaukan dengan kemuliaan semu dunia ini. Dan begitu dahsyat dampaknya dalam pekerjaan saya. Pemahaman serta kedekatan relasi kita dengan Allah menjadi poros dalam berputarnya roda kehidupan kita. Ketika poros bergeser, roda tidak mampu berputar dengan semestinya.
Setiap masa hidup ada kesulitan tersendiri. Untuk seorang muda, masa yang krusial untuk menetapkan Allah yang sejati dalam diri kita. Saat-saat membangun masa depan, pertanyaannya masa depan seperti apa yang kita rancangkan? Pergumulan kita ini, untuk kepentingan sendiri? Atau untuk kerajaan-Nya? Mari bertanya kembali pada diri sendiri, apa yang menjadi kesenangan hati kita? Apa yang menjadi kerinduan hati kita? Mari cintai Dia kembali dengan sepenuh hati kita.
Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu, biarlah hatimu bersuka pada masa mudamu, dan turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu, tetapi ketahuilah bahwa karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan!
(Pengkotbah 11:9)
*Penulis saat ini bekerja dan melayani di RS Bethesda Serukam
Comments