139 results found with an empty search
- Ketika Bejanamu Penuh dan Hendak Bermisi
Ketika muda, sebagai seorang dokter Kristen, saya sering berpikir untuk memperlengkapi diri dengan banyak ilmu dan keterampilan, supaya dapat memberikan pelayanan kesehatan yang baik di tempat saya bermisi. Saya ingin cerita tentang seorang dokter Kristen bernama dr. Ragland Arul Chandran Paul (RAC Paul) dan istrinya, dr. Iris Grace Rajakumari yang menjadi misionaris pada tahun 1971 di Malkangiri, sebuah distrik kecil di India. Mereka membuka klinik sederhana dan melayani masyarakat Bondo sambil menterjemahkan Alkitab ke Bahasa Bondo agar suku tersebut dapat mengenal Injil. Ketika remaja, RAC Paul pernah mengalami sakit serius dan hampir meninggal. Hanya karena pertolongan Tuhan, RAC Paul berhasil melewati pengalaman hidup dan mati tersebut. Pengalaman itu kemudian mendorongnya untuk bersungguh-sungguh menjalani kehidupan iman Kristen dan menerima panggilan sebagai seorang misionaris sekaligus dokter Kristen bagi suku Bondo. Ia pun bertemu dengan calon istrinya dr. Iris Grace Rajakumari yang juga terpanggil untuk menjadi dokter misi. Mereka akhirnya menikah dan bersama menjalani panggilan Tuhan untuk melayani Suku Bondo. Di masa akhir hidupnya, RAC Paul mengalami gagal ginjal yang membuatnya menjalani banyak pengobatan, termasuk prosedur transplantasi ginjal, dan dalam sakitnya, ia tetap giat mengabarkan Injil kepada banyak pasien yang ia temui saat dirawat bersama. Setelah RAC Paul dipanggil Tuhan, pelayanan misinya tidak berhenti, tetapi dilanjutkan oleh istri dan anak-anaknya. Pada tahun 1994, dr. Iris mendirikan Reaching Hand Society (RHS), yang hingga kini telah menjangkau lebih dari 700 dari 926 desa di Malkangiri, melakukan pengeboran sebanyak 300 sumur, menurunkan angka kasus polio menjadi 0%, dan pada akhirnya mendirikan St. Luke’s Hospital. Kini kita mengenal bagaimana sepasang suami istri dokter dipakai Tuhan untuk suku Bondo di sebuah distrik kecil di India. Bagaimana dengan kita? Apakah kita terpanggil menjadi dokter Kristen yang bermisi ke daerah terpencil untuk membawa kisah kasih Kristus kepada banyak orang yang belum mengenal-Nya? Ataukah kita masih bergumul dengan bejana kosong dimana kita masih merasa kurang pintar atau pun kurang ahli, sehingga ragu untuk melangkah pergi? dr. RAC Paul dan dr. Iris Grace mungkin merasa membawa bejana yang kosong tetapi dalam kepenuhan iman dan kuasa Kristus. Mereka meninggalkan kehidupan yang nyaman dan memilih berespon terhadap panggilan Allah untuk membangun dan mengelola sebuah klinik kecil untuk dapat melayani suku Bondo secara holistik termasuk membuat Injil dapat dipahami dalam Bahasa Bondo. Di lain pihak, ketika kita merasa sudah siap dengan membawa bejana yang sudah penuh dengan begitu banyak pencapaian, kepintaran, keahlian, dan kemapanan hidup, dan hendak pergi untuk pelayanan misi, maka tundalah keinginan itu dan kosongkan bejana yang penuh dengan segala kelebihan dan ego diri sendiri tersebut. Sebaliknya, isilah bejana hidup dengan Iman dan kasih Kristus, dan pergilah menjalani panggilan misi sebagai dokter Kristen. 2 Korintus 4:7, “Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami.” Penting untuk diingat bahwa modal awal untuk bermisi adalah Iman dan Panggilan Allah, dan dalam menjalani misi tersebut, Kristus sendiri yang akan mengisi terus bejana hidup kita dan memperlengkapi kita. Sebagai dokter Kristen, marilah kita tetap setia menggumuli panggilan Tuhan dalam hidup kita, dan bertekun dalam menjalaninya, sampai akhir Tuhan memanggil kita pulang. “Soli Deo Gloria” — segala kemuliaan hanya bagi Allah, yang dari Dia, oleh Dia, dan kepada Dialah segala sesuatu (Roma 11:36) /kb
- Ketika Rumah Sakit Misi Menurunkan Layar dan Kehilangan Awaknya
credit : rawpixel.com Ketika dokter Kristen mendengar tentang Rumah Sakit Misi Kristen, saya berharap yang kita pikirkan adalah Rumah Sakit yang melayani pasien-pasiennya dengan semangat misi kristiani dan memberikan pelayanan kesehatan kepada sesama tanpa memandang perbedaan, pemberitaan Injil, dan melayani sesama seperti teladan Kristus. Semoga saja generasi sekarang ini, ketika mendengar tentang Rumah Sakit Misi Kristen, tidak mendadak alergi, karena berpikir harus pergi ke tempat yang terpencil, bekerja keras, dibayar murah, dan hidup jauh dari kenyamanan dunia, dan akhirnya menjauhi beritanya, panggilan-Nya, atau bahkan menganggap segala sesuatu tentang Rumah Sakit Misi Kristen itu seperti alergen untuk tubuh yang harus dihindari. Kitab Matius, 9:36 “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala” dan Kitab Matius 14:14, “Ketika Yesus mendarat dan melihat orang banyak yang besar jumlahnya, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit.” Kita sebagai dokter Kristen belajar dari teladan Kristus untuk tidak hanya melayani pasien-pasien kita karena belas kasih kita kepada mereka yang membutuhkan pengobatan semata, tetapi kita juga terpanggil untuk melayani mereka yang terhilang secara rohani seperti domba yang tidak bergembala. Rumah Sakit Misi Kristen dibentuk untuk menjadi “menara gading” pengabaran Injil melalui pelayanan kesehatan yang mengedepankan teladan kasih Kristus. Begitu sulit pengelolaan keuangan rumah sakit karena sebagian besar 'keuntungan' habis terpakai untuk menolong pasien-pasien yang tidak mampu atau sekedar menutup dana jaminan kesehatan yang memang tidak sesuai. Rumah Sakit Misi Kristen biasanya sederhana, tidak memiliki banyak alat canggih, karena semakin sederhana dan efektif pelayanannya, maka semakin banyak hasil keuntungan pelayanan yang bisa dipakai kembali untuk memberkati banyak pasien-pasien yang tidak mampu. Ketika kita sebagai Dokter Kristen masa kini berpikir, ah jaman sekarang kan sudah ada jaminan kesehatan pemerintah yang gratis, tetapi pernahkah kita berpikir bahwa akses transportasi pasien yang jauh ke pusat kesehatan yang layak dan biaya transportasi yang menurut orang kota itu murah, di daerah terpencil bisa menjadi sangat mahal. Saya pernah menangis dalam hati karena seorang pasien yang sesak napas tidak memiliki uang dua puluh ribu rupiah untuk menyewa ojek motor ke rumah sakit. Akhirnya, ia meninggal di rumah dalam kesendirian, dan ditangisi oleh anak remajanya yang baru pulang dari bekerja di ladang yang mendapati ayahnya sudah meninggal. Sebagai tenaga kesehatan Kristen, mungkin yang saat ini sedang menikmati kenyamanan hidup dan beribadah, pernahkah terpikirkan tentang masih banyaknya rumah sakit misi Kristen yang memerlukan bantuan tenaga untuk dapat melayani domba-domba yang tidak bergembala? Atau, mungkinkah kita pernah menepis pemikiran yang merasa tidak cukup melayani Tuhan bahkan ketika kita sudah melayani secara aktif di Gereja lokal dan aktif dalam penginjilan pribadi kepada orang-orang di sekitar kita? Seorang dokter senior Kristen pernah membahas cerita tentang persembahan janda miskin (Markus 12:41-44), di mana seorang janda miskin memberi dari kekurangannya dan kata Tuhan Yesus, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan.” Dalam konteks pelayanan misi di daerah terpencil, maukah kita meneladani janda miskin tersebut dengan memberikan waktu hidup kita yang hanya satu kali ini untuk melayani Allah dengan bekerja di rumah sakit misi Kristen? Seperti ada tertulis, jika Allah yang memanggil dan mengutus, maka Ia sendiri yang akan membuka jalan . Tak ada rintangan yang terlalu besar, tak ada hati yang terlalu keras, ketika tangan Tuhan yang bekerja. “Soli Deo Gloria” — segala kemuliaan hanya bagi Allah, yang dari Dia, oleh Dia, dan kepada Dialah segala sesuatu (Roma 11:36). /kb
- Taat dan Percaya
Misionaris. Bermisi. Dua kata yang terasa begitu asing. Tak pernah terbayang akan melayani di tempat yang berjarak 1.600 km dari kampung halaman. Hal yang tidak mungkin terpikirkan bagi saya yang baru terlibat aktif melayani di gereja di usia 15 tahun dan kemudian bergabung dengan Persekutuan Mahasiswa Kristen di bangku kuliah. Pengalaman ke daerah terpencil? Belum pernah. Pelayanan ke luar yang pernah dilakukan hanyalah sesekali ikut dalam pelayanan kesehatan ke panti asuhan atau panti jompo. Sehingga menjadi seorang dokter misi di daerah terpencil terasa sangat mustahil. Bahkan untuk sekadar mendoakannya pun, saya tidak berani. Alasan yang sering muncul: “Masih banyak hal yang bisa dikerjakan di sini.” Tahun 2017 menjadi titik balik penting dalam perjalanan sebagai dokter. Masa internship baru saja selesai, dan pergumulan soal tempat kerja mulai muncul. Di tengah masa pencarian itu, seorang kakak KTB mengingatkan tentang Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam—dan permintaan sederhana pun muncul: “Doakan, ya.” Meskipun hati dipenuhi rasa takut dan keraguan, doa itu pun dimulai dan dijawab dengan panggilan Tuhan untuk melangkah keluar dari zona nyaman: menjadi seorang dokter di Serukam, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Pada akhirnya, panggilan Tuhan ditaati. Menjadi dokter umum di Serukam bukan perkara mudah. Banyak pasien datang dalam kondisi berat, sementara fasilitas sangat terbatas. Pekerjaan tak pernah habis: visite pasien di bangsal, siap sedia terhadap panggilan dari IGD, membantu di poliklinik, menjadi asisten operasi, bahkan sesekali mengajar di Akademi Keperawatan. Kadang dikirim melayani ke desa-desa terpencil bersama tim. Di tengah semua itu, persiapan akreditasi pun harus dilakukan—tak jarang malam dilalui di rumah sakit demi menyelesaikan pekerjaan. Lelah? Sudah pasti. Doa penuh keluh pun sampai tak terhitung dinaikkan: “Tuhan, ini terlalu berat. Saya tidak sanggup.” Dan Tuhan menjawab melalui berbagai cara. Dia beranugerah dengan menyatakan kemahakuasaan-Nya melalui mukjizat. Pasien yang dirawat berbulan-bulan, akhirnya pulih dan pulang dengan senyum. Terkadang Tuhan juga menjawab lewat rekan-rekan kerja: “Terima kasih ya, sudah berjuang.” Kadang juga jawaban datang lewat teladan para konsulen: di tengah kesibukan, mereka selalu mengingatkan kami untuk mendoakan pasien. Bahkan keindahan langit saat pulang ke rumah menjadi hiburan dari-Nya—pengingat akan karya-Nya yang agung dan luar biasa. Jawaban Tuhan datang dalam berbagai bentuk, namun pesannya tetap satu: “Ini bukan tentang kamu. Ini tentang Aku dan pekerjaan-Ku. Aku yang memanggil kamu, Aku pula yang akan menolongmu menyelesaikannya.” Kini, setelah menyelesaikan pendidikan sebagai Spesialis Penyakit Dalam, pelayanan akan dilanjutkan kembali di Serukam—dengan tantangan yang mungkin lebih besar. Tapi satu hal pasti: Tuhan masih berkarya. Sungguh suatu kehormatan bila Tuhan masih berkenan memakai seorang pribadi yang penuh kelemahan dan menjadi bagian dari karya-Nya yang ajaib melalui pelayanan misi. Syukur dan pujian hanya bagi Tuhan. "Ia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya." — 1 Tesalonika 5:24
- Bagian Pertama: Menantikan Sang Mesias dengan Respon yang benar
Saat ini kita kembali memasuki masa Natal di penghujung tahun 2024. Pertanyaan yang patut kita renungkan sebagai orang percaya adalah apa yang sudah ataupun sedang kita persiapkan? Siapakah atau apakah yang kita nantikan? Bagaimana kita meresponi masa Natal ini? Sembari kita merefleksikan pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis mengajak untuk kita dapat melihat kembali apa yang tertulis di Alkitab tentang tiga kelompok orang yang berespon terhadap berita lahirnya Sang Mesias yaitu kelompok orang yang tidak menantikan, ingin terlihat seakan menantikan, dan yang benar menantikan kehadiran Sang Mesias. Bagaimana respon mereka dan hal apa yang dapat kita pelajari dari mereka (baca Matius 2:1-18). Setelah bangsa Israel secara bertahap kembali ke Yerusalem dari pembuangan di Babel sejak tahun 537/538 SM, pembangunan Bait Allah dan pembacaan Taurat kembali dilakukan setelah sekian lama. Namun, pengembalian jati diri dan identitas sebagai umat Allah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pengaruh budaya asing dan penyembahan ilah-ilah dari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah rupanya begitu kental mempengaruhi bangsa Israel. Kawin campur, pelanggaran pada hukum Taurat seperti pengabaian perpuluhan dan hari Sabat, serta moralitas yang rusak akibat pengaruh budaya asing, terutama dari budaya Helenistik yang dominan, menjadi gambaran kondisi buruk bangsa Israel saat itu. Ditambah lagi dengan bangsa-bangsa lain yang menjajah mereka silih berganti dari Persia, Yunani, sampai dengan Romawi. Di masa-masa tersebut, orang Yahudi merasa begitu terpuruk dan menderita sehingga janji akan keselamatan oleh Sang Mesias menjadi pengharapan mereka satu-satunya. Sayangnya, masa-masa penantian tersebut diperburuk dengan tidak adanya suara Tuhan. Masa tersebut disebut sebagai masa keheningan 400 tahun, yaitu sejak 420 SM (masa Maleakhi) sampai abad ke 1. Inilah salah satu masa terburuk bagi bangsa Israel, bukan hanya karena kondisi hidup mereka, tetapi juga karena ketiadaan wahyu Allah. Yang tidak menantikan Sang Mesias Respon pertama atas berita kelahiran Sang Mesias yang akan kita pelajari adalah respon dari Herodes. Para majus dari timur tiba di Yerusalem untuk menemukan Sang Mesias. Namun, respon Herodes malah terkejut (Mat. 2:3). Kata “terkejut” tersebut menggunakan bahasa Yunani ταράσσω, yang menurut Craig Bloomberg seorang teolog Perjanjian Baru, lebih tepat diterjemahkan sebagai “dalam kekacauan” atau bahkan “ketakutan”. Kenapa Herodes ketakutan? Herodes, raja Yudea saat itu, merupakan keturunan Edom yang cukup familiar terhadap nubuatan Sang Mesias dan Kerajaan-Nya. Setelah 35 tahun bertahta sebagai raja kecil, kabar penggenapan janji Allah membuatnya iri hati dan takut kehilangan jabatannya sebagai ‘raja’. Bukan saja ia berharap bahwa penggenapan janji tersebut gagal, Herodes tidak ragu untuk melakukan segala cara demi menggagalkan hadirnya Sang Mesias dengan caranya sendiri. Ia menggali informasi dari para majus dan bahkan mengumpulkan imam kepala dan para ahli Taurat bangsa Yahudi untuk bisa mendapatkan lokasi dan waktu yang tepat terkait lahirnya Sang Raja. Hati jahatnya pun mengakibatkan tangis dan ratapan yang teramat sedih bagi para ibu yang kehilangan anak akibat rasa takut dan cemburu si raja kecil (Mat. 2:16-18). Bagaimana dengan kita saat ini? Mungkin sebagian dari kita berkata “Jelas aku bukan seperti Herodes yang ingin membunuh Yesus!”. Namun dengan tidak menempatkan Kristus sebagai satu-satunya Raja dalam kehidupan kita, kita tidak berbeda dengan Herodes. Sikap hati yang ingin bebas mendefinisikan apapun, tidak mau tunduk pada kebenaran Firman Tuhan, dan hanya mau mendengarkan apa yang mau kita dengar, merupakan ciri sikap hati “raja kecil” yang menganggap kebenaran Allah sebagai ancaman terhadap otoritas keakuan diri kita, yang pada akhirnya secara sadar atau tidak menjadikan Tuhan sebagai “musuh” yang kehadiran-Nya merupakan gangguan bagi kenyamanan diri dalam keberdosaan. Yang sepertinya menantikan Sang Mesias Kelompok orang yang kedua adalah para imam kepala dan ahli Taurat. Menariknya di masa ketika Allah ”diam”, bangkitlah dua kelompok keagamaan utama Yahudi yaitu yang disebut Farisi yang terkenal legalistik dan kelompok Saduki yang dikenal sangat liberal. Para Imam dan ahli Taurat ini tentu bisa menjawab dengan sangat akurat saat Herodes bertanya di mana Mesias akan dilahirkan, “Di Bethlehem, di tanah Yudea…” seperti yang tertulis di Mikha 5:1. Imam kepala merupakan pemimpin agama Yahudi dengan jabatan tertinggi yang mengemban tugas utama untuk mengawasi jalannya ibadah di Bait Suci, sedangkan ahli Taurat memang bertugas untuk mempelajari hukum Taurat (atau Perjanjian Lama bagi orang Kristen). Sehingga, sudah tidak heran mereka begitu memahami nubuat terkait kedatangan Mesias yang dijanjikan. Dan sebagai pemimpin agama, seharusnya pengetahuan mereka diikuti dengan kerinduan yang teramat dalam akan datangnya Sang Mesias ”untuk membebaskan umat Allah dari penjajahan bangsa Romawi kala itu” (hal ini pun merupakan interpretasi superfisial dan keliru). Namun, respon imam kepala dan para ahli Taurat hanya berhenti di situ. Mereka menjawab pertanyaan Herodes yang sedang kebakaran jenggot tentang Kristus yang sudah lahir. Lalu, mereka mungkin kembali ke aktivitas hidup keagamaan mereka tanpa aksi apapun. Sebagai pemimpin yang harusnya sadar akan kondisi buruk bangsanya, mereka harusnya jadi pihak yang paling merindukan penggenapan janji kedatangan Mesias. Sudah seharusnya mereka berespon dengan segera ikut para majus untuk menyambut kehadiran Sang Raja. Mesias yang dinanti-nantikan telah lahir, tunggu apa lagi?! Sangat disayangkan, mereka tidak melakukan apa-apa. Pemahaman kognitif yang dalam tentang Firman Tuhan tidak serta merta membuahkan respon yang benar di hadapan Tuhan. Orang Kristen yang sepertinya terlihat rajin menggali kebenaran Alkitab dan pergi beribadah, belum tentu benar-benar menanti-nantikan Kristus. Banyak yang melakukannya hanya untuk memuaskan otak atau memuaskan perasaan atau memang sekedar mencari nafkah dengan profesi rohaniawan. Kristus hanya penting selama mendatangkan keuntungan. Sudah sejauh mana kita mempersiapkan diri di masa Natal ini? Benarkah Sang Mesias yang kita nanti-nantikan? Sejauh mana kita menyadari kemerosotan kita sehingga menyadari signifikansi kedatangan Kristus? Kiranya refleksi dari tulisan ini mendorong setiap kita yang membaca untuk sungguh-sungguh merindukan pengenalan yang sejati akan Allah melalui momen Natal di bulan ini. Minggu depan, kita akan melanjutkan untuk mempelajari respon kelompok orang yang ketiga yaitu yang menantikan Sang Mesias dan berespon dengan benar atas kelahiran Sang Raja Damai.
- Paradoks dalam Kehidupan Kristen: Eksposisi Filipi Bagian 1
Filipi 1:1-2:11 Jika kita membaca berbagai tulisan mengenai surat Filipi, kita akan menemukan sejumlah paradoks – sesuatu yang berlawanan dengan pendapat umum. Bagaimana mungkin bersukacita dalam penderitaan? Bagaimana mungkin memberi dalam kekurangan? Bagaimana mungkin menghibur dalam kedukaan? Bagaimana mungkin peduli kepada persoalan orang lain dalam persoalan diri sendiri yang tidak kunjung usai? Surat kepada jemaat Filipi ini dikirimkan melalui Epafroditus. Ia akhirnya diutus Paulus untuk kembali ke Filipi setelah ia pulih dari sakitnya yang begitu parah, bahkan hampir mati (Fil. 2:25-28). Oleh karena pekerjaan Kristus, Epafroditus hampir saja kehilangan jiwanya, kata Paulus (Fil. 2:30). Surat ini sendiri ditulis oleh Paulus saat ia berada di penjara di Roma (Fil. 1:7, 13-14; 2:17). Selayaknya dalam penjara, tentu saja Paulus juga mengalami berbagai pergumulan, keterbatasan, dan bahkan penderitaan. Kita bisa bandingkan saat Paulus di Filipi dan yang akhirnya dipenjarakan. Saat itu pakaiannya dikoyakkan, didera berulang-ulang, dan dipenjarakan dalam kondisi kaki terpasung (Kis. 16:22-24). Gambaran seperti ini tentu saja jauh berbeda dengan penjara saat ini. Berkaca dari peristiwa itulah mengapa jemaat Filipi akhirnya mengirim Epafroditus untuk membantu Paulus dalam kesukarannya sekaligus menitipkan sejumlah uang yang akan sangat diperlukan oleh Paulus (Bdk. Fil. 2:25; 4:15-16; 18). Walau pemenjaraan di Filipi berbeda dengan pemenjaraan Paulus di Roma oleh karena di sana ia berada di tahanan rumah (Kis. 28:16, 30-31), kondisi Paulus tetap tidak mudah. Apalagi tradisi gereja meyakini bahwa Paulus akhirnya mati martir di Roma tidak terlalu lama setelah surat ini dikirimkan. Jadi, jika kita menarik situasi Paulus ini ke masa dimana kita berada, sangat sulit memahami Paulus akhirnya tetap bersyukur, bersukacita, dan tetap dikasihi dan dihormati. Apa yang membuat Paulus bersyukur? (1:1-11) Setelah menuliskan salam pembuka, Paulus menaikkan ucapan syukurnya atas kondisi jemaat di Filipi. Jika ia mengingat jemaat ini dalam doanya, Paulus tidak henti-hentinya mengucap syukur. Paulus mengingat kembali saat mereka diperkenalkan kepada berita Injil. Sejak saat itu iman mereka terus bertumbuh. Pertumbuhan itu tidak bersifat abstrak dan sekadar ritus, tetapi juga tampak dari kerelaan mereka memberi dalam kekurangan; peduli kepada orang lain dalam persoalan diri yang sangat berat. Bukankah ini paradoks? Teladan jemaat Filipi, yang menjadi bagian dari jemaat Makedonia, bahkan digunakan Paulus untuk mengingatkan serta memotivasi jemaat Korintus untuk menuntaskan janji persembahan mereka. Selagi dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan. Mereka bahkan meminta dan mendesak Paulus untuk ikut ambil bagian dalam pengumpulan dana bagi jemaat Yerusalem. Tidak hanya itu, mereka bahkan memberikan lebih banyak dari pada yang diharapkan (Bdk. 2 Kor. 8:2-5). Kini setelah menerima kabar dan pemberian jemaat Filipi lewat Epafroditus, Paulus kembali mengucap syukur kepada Allah yang telah memulai pelayanan di Filipi dan kini buah pelayanan itu tampak dari kepedulian dan kasih di tengah berbagai persoalan dan bahkan penderitaan. Sulit dibayangkan, tapi itulah yang terjadi dalam jemaat, dan itu pula yang membuat Paulus lupa akan penderitaannya. Apa yang membuat Paulus bersukacita? (1:12-26) Selain ucapan syukur, Paulus juga menaikkan rasa sukacitanya. Paling tidak ada 12 kali Paulus memakai kata sukacita dalam suratnya ini. Jika ucapan syukurnya dikarenakan pertumbuhan rohani jemaat Filipi, sukacita Paulus pada bagian ini dikarenakan pemenjaraannya. Karena kesukaran dalam pemenjaraannya ini, sebagai manusia biasa, pernah terbersit dalam benak Paulus untuk meninggalkan dunia ini (Fil. 1:23). Namun semua itu berhasil ia atasi dan ia pun akhirnya bersukacita oleh karena pemenjaraannya akhirnya kembali menghasilkan buah (Fil. 1:12-14). Oleh karena pemenjaraan ini begitu banyak orang mengenal Kristus. Dalam proses kontemplasi itu, Paulus bahkan akhirnya menilai hidup atau mati sama saja. Hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan kata Paulus (Fil. 1:21). Hikmat yang lahir dari kesetiaan serta ketaatan kepada pesan Injil membuat Paulus selalu bersukacita dalam segala hal. Dasar sukacitanya tidak lagi seperti halnya dasar sukacita manusia pada umumnya, yaitu hal-hal lahiriah nan fana. Bukankah ini paradoks? Apa yang membuat Paulus dikasihi dan dihormati? (1:27-2:11) Pada bagian selanjutnya tergambar secara jelas bahwa jemaat Filipi mengalami penderitaan (Bdk. Fil. 1:29-30). Penderitaan yang dimaksud tentu saja oleh karena Injil Yesus Kristus, yaitu kesetiaan dan ketaatan kepada pesan Injil tersebut. Dalam penderitaan itu, Paulus mengajak jemaat Filipi untuk terus berjuang dan menilai penderitaan karena Injil adalah anugerah (Fil. 1:29). Bukankah ini juga paradoks? Secara umum manusia menilai penderitaan sebagai kelemahan bahkan kebodohan. Tidak sedikit orang justru dihina oleh karena memperjuangkan prinsip yang diyakininya. Kesetiaan dinilai sebagai sikap yang tidak adaptif dan realistis yang justru akan menjerumuskan manusia. Orang mungkin berkata, bagaimana mungkin hidup ideal di tengah-tengah dunia yang jauh dari ideal! Pada kelanjutan surat ini, Paulus justru menyampaikan sebuah doktrin Kristen yang sangat terkenal yaitu “pengosongan diri” ( kenōsis ). Dalam peristiwa inkarnasi, Kristus dimaknai Paulus telah mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang Hamba yang akhirnya disalibkan. Sekali lagi, dalam dunia yang semakin kompetitif ini, sikap semacam ini tentulah paradoks. Manusia pada umumnya berlomba untuk saling mengalahkan bahkan adakalanya saling “membunuh”. Berkompetisi dan berjuang untuk mengungguli orang lain adalah hikmat dunia yang sangat dimaklumi bahkan dianjurkan jika mau bertahan dalam dunia yang disruptif ini. Namun dalam rangka kesatuan umat, Paulus justru meminta jemaat untuk mengutamakan orang lain, tidak boleh mementingkan diri sendiri tetapi kepentingan orang lain juga (Fil. 2:4). Lagi-lagi, hal ini Paulus tekankan bukan sebagai bentuk kelemahan diri, tetapi oleh karena teladan Kristus yang terlebih dahulu telah memberi teladan (Fil. 2:5). Apakah Paulus juga telah melakukannya? Ya! Hal itu tampak jelas dalam Filipi 3:4b-8. Dengan demikian, jika Kristus akhirnya sangat ditinggikan karena “pengosongan diri” ini (Fil. 2:9-11), maka itu pulalah yang membuat Paulus sangat dikasihi dan dihormati. Pengosongan diri adalah hal yang membuat manusia dikasihi dan dihormati, bukan saja saat ia hidup namun juga saat ia telah mati kelak.
- Tetaplah Mengerjakan Keselamatanmu di Dunia: Eksposisi Filipi Bagian 2
Filipi 2:12-3:16 Bagian ini diawali dengan tuntutan rasul Paulus agar jemaat tetap taat dan “tetap mengerjakan keselamatan mereka” (ay. 12). Apa yang mendasari perintah untuk “tetap mengerjakan keselamatan”? Untuk memahaminya ada baiknya kita mengetahui konteks mengapa tuntutan itu akhirnya muncul, dalam hal ini adalah “mereka hidup di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat” (Fil. 2:15). Pada edisi eksposisi sebelumnya, kepada kita telah diperlihatkan sejumlah paradoks dalam kehidupan Kristen. Di dalam bagian ini, urgensi membukakan paradoks itu semakin terlihat. Frasa “angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat” berkaitan dengan tiga paradoks yang telah diulas pada eksposisi sebelumnya yaitu: Semakin banyak orang yang tidak bisa bersyukur; semakin banyak orang yang bersukacita untuk hal-hal yang lahiriah nan fana; serta semakin banyak orang tidak mau mengosongkan diri namun malah menyombongkan diri di hadapan orang lain. Hal ini sangat jauh dari teladan Kristus yang telah diuraikan rasul Paulus pada Filipi 2:5-8. Efek dari cara hidup seperti ini tersirat dalam Filipi 2:14 yaitu hidup bersungut-sungut dan berbantah-bantahan. Tuntutan rasul Paulus saat mengawali bagian itu tentu saja menyiratkan bahwa praktik hidup dari angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat di atas sangat mengancam dan menggoda orang-orang percaya seperti kita. Karena itulah rasul Paulus melanjutkan tuntutannya tersebut dengan kalimat, “bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir” (Fil. 2:12). Godaan begitu kuat. Lalu apa yang dilakukan oleh sang rasul untuk menolong jemaat? Memberi teladan (2:17-18) Pada bagian ini Paulus mengingatkan jemaat tentang dirinya yang telah mengalami berbagai penderitaan. Jika penderitaan itu pun masih berlanjut, demi pertumbuhan jemaat ia rela. Ibadah adalah pertemuan atau interaksi antara Allah dan manusia (umat). Dalam ibadah kala itu, lazim diisi dengan pencurahan darah korban. Karena itu agar jemaat bisa berinteraksi dan semakin mengenal Allah, Paulus rela darahnya dicurahkan (Fil. 2:17). Jemaat tentu saja sudah sangat mengetahui bahkan menyaksikan sendiri penderitaan Paulus di Filipi dan juga telah mendengar penderitaan Paulus di tempat-tempat lain. Tapi dia tetap bersukacita. Inilah teladan yang disampaikan rasul Paulus kepada jemaatnya yang hidup di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan sesat itu. Rela berkorban agar jemaat semakin mengenal Allah. Mengutus Timotius dan Epafroditus (2:19-3:1a) Kehidupan Kristen yang akhirnya menjadi sama dengan dunia ini ternyata tidak hanya dialami oleh jemaat biasa, tetapi juga oleh para pelayan. Hal ini terindikasi dalam kalimat Paulus saat hendak mengirim Timotius. Mengapa Timotius? Karena semuanya hanya mencari kepentingannya sendiri, kata Paulus (Fil. 2:21). Tidak mudah mencari pelayan yang setia dan teruji seperti Timotius (Fil. 2:22). Gambaran kehidupan para pelayan yang akhirnya juga menjadi sama dengan dunia ini tentu semakin menguatkan Paulus mengapa jemaat Filipi diminta untuk taat dan terus berjuang mengerjakan keselamatan mereka. Mengaku Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat adalah satu sisi, tapi pada sisi lain ancaman dan godaan untuk menjadi serupa dengan dunia ini juga tidak kalah penting untuk dilawan. Itulah alasan mengapa Paulus hendak mengirim Timotius sebelum ia kembali mengunjungi jemaat Filipi (Fil. 2:23-24). Namun, untuk sementara ini Paulus mengirim Epafroditus sekaligus yang membawa surat ini. Berhati-hati pada ajaran yang beredar (3:1b-16) Gambaran angkatan yang bengkok hatinya dan sesat diperlihatkan oleh rasul Paulus dalam bagian ini. Paulus menyebut mereka sebagai anjing-anjing, pekerja-pekerja yang jahat, dan penyunat-penyunat yang palsu (3:2). Ada satu ciri ajaran sesat yang sengaja Paulus sorot dalam bagian ini yaitu orang yang begitu membanggakan hal-hal yang lahiriah. Inilah realitas angkatan yang bengkok hatinya dan sesat itu. Apakah Anda menemukan pengajaran yang seperti ini? Apakah Anda sedang tergoda dengan ajaran yang seperti ini? Ada banyak media yang digunakan untuk mengajarkan hal-hal seperti ini. Kita senantiasa terpapar oleh ajaran-ajaran seperti ini. Berhati-hatilah kata Paulus! Selanjutnya Paulus kembali mengajak jemaat untuk melihat teladannya. Paulus mengakui bahwa dia dulunya juga sangat membanggakan hal-hal lahiriah. Sebagai orang Yahudi dan penganut Yudaisme, dia adalah orang yang tidak bercacat (Bdk. 3:4-6). Dia merupakan golongan elit dalam orang Ibrani. Pengetahuan dan wawasannya juga sangat luas. Dari sisi keberanian dalam membela imannya, dia tidak tertandingi. Tindakannya memimpin penganiayaan terhadap pengikut Kristus adalah bagian dari keberaniannya dalam menjaga kemurnian iman orang Yahudi. Semua hal-hal yang dituntut dalam hukum dan tradisi Yahudi telah dilakukannya. Secara pencapain di dunia, dia pantas bangga dan banyak orang bangga kepadanya. Namun pengenalan akan Kristus membuat semua hal-hal yang lahiriah itu dianggapnya sampah (ay. 8). Saudara-saudara, mengganggap segala pencapaian di dunia sebagai sampah bukan berarti bagi Paulus mengajarkan bahwa semuanya itu tidak perlu dikejar dan tidak berguna. Kita harus melihatnya dari perspektif apakah itu semua membuat kita semakin mengenal Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya atau tidak. Hal ini dikarenakan semua pencapaian itu bisa membawa kita kepada kesombongan dan mengganggap bahwa kita tidak membutuhkan Kristus dan kuasa-Nya lagi. Paulus menjelaskan bahwa cara pandangnya tersebut kini telah berubah oleh karena pengenalan akan Kristus (ay. 7). Dia tidak mau jika hal-hal lahiriah itu akhirnya membuatnya tidak memperoleh Kristus (ay. 8). Pada ayat 10, Paulus menegaskan kembali bahwa yang dia kehendaki adalah pengenalan akan Kristus serta kuasa kebangkitan-Nya. Jadi cukup jelas bahwa semua pencapaian di dunia bukannya tidak penting. Yang menjadi acuannya adalah apakah semua itu membawa kita kepada pengenalan akan Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya. Jika tidak, semuanya itu adalah sampah! Berhati-hatilah!
- Wahai Kekasihku, Ikutlah Teladanku: Ekposisi Filipi Bagian 3
Tulisan ini adalah bagian terakhir dari tiga seri eksposisi surat Filipi. Pada eksposisi pertama telah diperlihatkan bahwa saat menulis surat ini, rasul Paulus tengah berada di tahanan rumah di Roma. Dengan demikian, surat ini dituliskan tidak terlalu lama sebelum ia akhirnya menjadi martir di Roma. Dalam Perjanjian Baru, diperlihatkan setidaknya ada dua kematian kemenangan, yaitu kematian Yesus Kristus (Yoh. 19:30) dan kematian rasul Paulus (2 Tim. 4:6-8). Saat menjelang kematiannya, sang rasul menilai dirinya telah menyelesaikan tugas yang dimandatkan oleh Allah di dunia. Mungkinkah kita seperti Paulus? Dalam sebuah ibadah yang saya hadiri, pendeta yang berkhotbah bertanya kepada jemaat, “Siapa di antara kita yang selalu berdoa agar anaknya kelak seperti dirinya”. Setelah mengajukan pertanyaan itu, dia lalu melanjutkannya dengan, “Atau kita justru selalu berdoa agar anaknya tidak seperti dirinya”. Pertanyaan ini sebenarnya menyiratkan sebuah ujian mengenai autentisitas sebagai orang Kristen. Seberapa beranikah kita meminta orang-orang yang kita kasihi, misalnya anak-anak kita, meneladani hidup kita? Rasul Paulus berkata pada jemaat Filipi, “Ikutilah teladanku” (Fil. 3:17). Kata kerja perintah ( imperative ) dalam bentuk kala kini ( present tense ) ini tentu bisa juga diartikan, “hendaklah kamu sekalian terus menerus meneladani atau meniru cara hidupku.” Beranikah kita menyatakan hal demikian kepada anak-anak serta kepada mereka yang kita kasihi seraya berdoa kepada Tuhan agar mereka senantiasa meneladani kita? Keteladanan Paulus (Fil. 4:1-9) Dalam hal apakah rasul Paulus meminta jemaat meneladaninya? Hal tersebut masih berkaitan dengan konteks jemaat yang hidup di tengah-tengah angkatan yang bengkok dan sesat sebagaimana yang telah diulas pada eksposisi sebelumnya (Fil. 2:15). Ciri hidup dari angkatan yang bengkok tersebut diulas secara lebih jelas dalam bagian ini, yaitu tuhan mereka adalah perut mereka, kemuliaan mereka adalah aib mereka, dan pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi (Fil. 3:18-19). Ketiga bagian ini bermuara pada cara hidup yang mengutamakan segala hal yang bersifat duniawi nan fana yang umumnya menjadi tujuan utama kehidupan dari sebagian besar manusia. Cara hidup seperti itu bahkan sering dinilai sebagai kewajaran bahkan keniscayaan di dunia yang penuh persaingan ini. Berbeda dengan sang rasul, ia justru telah mempraktikkan tiga paradoks dalam kehidupan Kristen seperti yang diulas pada eksposisi pertama. Terkait dengan ketiga cara hidup di atas, beranikah kita meminta agar anak-anak serta mereka yang kita kasihi meneladani kita? Pada bagian selanjutnya, Paulus kembali meminta agar pemimpin jemaat yaitu Euodia dan Sintikhe, serta Sunsugos dan seluruh jemaat untuk meneladani dirinya. Setelah memberi sejumlah nasihat seperti: menolong mereka yang membutuhkan (ay. 3), ajakan untuk tetap bersukacita (ay. 4), berbaik hati kepada semua orang (ay. 5), tidak diperbudak oleh kekhawatiran (ay. 6), dan selalu memikirkan yang baik (ay. 8). Rasul Paulus menyatakan, “Apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku , lakukanlah itu.” (Fil. 4:9). Dia tidak hanya meminta jemaat untuk melakukan apa yang dia ajarkan, namun yang terutama juga melakukan apa yang mereka lihat dalam diri Paulus ( … seen in me) . Maksud dari hal ini tentu saja adalah keteladanan Paulus yang telah mereka saksikan sendiri. Dalam hidupnya, rasul Paulus melakukan apa yang dia ajarkan, dan mengajarkan apa yang dia lakukan. Sampai di sini, tidak mengherankan mengapa rasul Paulus akhirnya berani meminta jemaat dan para pemimpin yang ada di Filipi untuk meneladaninya. Mereka telah melihat bahwa Paulus memang benar-benar telah memberikan teladan. Ia telah melakukan tiga paradoks yang telah diulas pada eksposisi pertama. Inilah sosok Kristen yang autentik. Buah Keteladanan Paulus (Fil. 4:10-23) Jemaat Filipi adalah contoh buah keteladanan rasul Paulus (hal ini telah diulas pada eksposisi pertama). Salah satu yang diajarkan dan diteladankan oleh rasul Paulus adalah mengenai ketidak khawatiran. Ia berkata, “Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (Fil. 4:6). Paulus memang sering mengalami kekurangan bahkan penganiayaan yang sangat berat hingga hampir mati; ia juga kerap kali kelaparan dan terpaksa berpuasa (bdk. 2 Kor. 11:23-28). Karena itulah ia menyatakan, “Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Fil. 4:12-13). Rasul Paulus sangat bangga terhadap jemaat Filipi. Mereka adalah buah keteladanan rasul Paulus. Dalam segala penderitaan dan kekurangan, jemaat Filipi telah beberapa kali memberikan dana kepada Paulus (Fil. 4:14-16), bahkan mereka pun mengirimkan Epafroditus untuk melayani Paulus selama dia di tahanan rumah di Roma (Fil. 4:18). Seperti halnya rasul Paulus dan jemaat Filipi, semoga anak-anak kita serta mereka yang kita kasihi juga kelak menjadi buah keteladanan kita. Mulailah memberanikan diri untuk berdoa kepada Tuhan secara jujur agar anak-anak kita serta mereka yang kita kasihi dapat terus-menerus meneladani kita berkaitan dengan sejumlah cara hidup yang telah disebutkan di atas.
- Respons Orang Kristen terhadap Kondisi Perekonomian Indonesia: Panggilan untuk Bertindak secara Holistik
Pada saat jemaat mula-mula bertambah, muncullah ketikdakpuasan di kalangan jemaat karena perbedaan perlakuan di antara mereka (Kisah Para Rasul 6:1-7). Sebagian dilayani dan diperhatikan dengan baik, secara rohani maupun jasmani. Pelayanan Firman adalah penting, namun pelayanan “meja” juga tidak kalah penting. Demikianlah para rasul memandang, dan demikian pulalah kegerakan Kristen semestinya kita tiru. Sebagai komunitas yang berakar pada nilai kasih, keadilan, dan pelayanan, orang Kristen dipanggil untuk memberikan kontribusi nyata dalam menjawab tantangan ini secara holistik. Tantangan bangsa Indonesia datang silih berganti. Memang rasanya tidak semestinya kita berharap tantangan berhenti; tantangan akan selalu ada. Tahun 2025 kita diterpa dengan berbagai hal: perang tarif impor, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan angka pengangguran. Walau dalam situasi berbeda, prinsip para rasul perlu kita tiru dalam menghadirkan pelayanan secara holistik. Kita dipanggil untuk merespons. Mengutip C.S. Lewis, “ God whispers to us in our pleasures, speaks in our conscience, but shouts in our pains: it is his megaphone to rouse a deaf world .” Walau benar bahwa perubahan masif lebih efisien melalui kebijakan pemerintah/institusional untuk mengintervensi, tetapi bisakah individu mengubah perkara yang besar? Tentu bisa. Kebijakan pemerintah tidak akan berarti bila tidak mendapat dukungan dari warga masyarakat. Dari sisi ekonomi, salah satu cara konkret untuk memperkuat ekonomi nasional adalah dengan mempromosikan dan menggunakan produk lokal. Dengan membeli produk dalam negeri, kita tidak hanya membantu UMKM bertahan dan berkembang, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru. Langkah ini sejalan dengan prinsip kasih dalam iman Kristen, yaitu mengasihi sesama dengan tindakan nyata. Data terbaru menunjukkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang pada Februari 2025, meningkat sekitar 83 ribu orang dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagai respons, gereja dan komunitas Kristen dapat menyelenggarakan pelatihan keterampilan untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja. Kita juga bisa mendorong kewirausahaan dengan memberikan modal dan pendampingan bagi anggota jemaat yang ingin memulai usaha. UMKM merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia. UMKM menyerap 97% tenaga kerja di Indonesia, dan diperkirakan 99% total unit usaha di Indonesia berbentuk UMKM. Namun, banyak di antaranya yang kesulitan dalam akses permodalan dan pemasaran. Orang Kristen atau gereja dapat berperan dengan membentuk koperasi gereja untuk menyediakan pinjaman mikro bagi pelaku UMKM. Banyak gereja juga telah menyediakan ruang usaha di lingkungan gereja untuk bazar atau pameran produk UMKM. Di era digital ini, pelatihan manajemen usaha dan pemasaran digital sangat dibutuhkan dan generasi muda gereja sangat berpotensi untuk berkontribusi di area ini. Pemberdayaan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari aspek kesehatan. Gereja dapat menginisiasi program seperti klinik kesehatan gratis untuk masyarakat kurang mampu. Dari sisi pendidikan, beasiswa bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera juga akan sangat membantu. Seminar literasi keuangan juga potensial untuk diselenggarakan untuk mengedukasi jemaat dalam mengelola keuangan pribadi dan usaha. Fenomena beberapa waktu lalu #KaburAjaDulu mencerminkan kekecewaan generasi muda terhadap kondisi dalam negeri. Sebagai komunitas iman, gereja harus menjadi tempat yang menawarkan harapan dan solusi dengan menyediakan ruang diskusi bagi pemuda untuk menyuarakan aspirasi dan mencari solusi bersama. Gereja agar turut mengayomi dan mendorong partisipasi aktif dalam pembangunan komunitas lokal, serta menjadi teladan dalam integritas dan pelayanan publik. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk menjadi terang dan garam bagi dunia, termasuk dalam bidang ekonomi. Dengan tindakan nyata yang berlandaskan kasih dan keadilan, kita dapat berkontribusi dalam membangun perekonomian Indonesia yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
- Uang: Sebuah Perspektif Kristen
Uang itu sebenarnya sesuatu yang nyata atau sesuatu yang sifatnya abstrak? Jelas, uang adalah alat tukar. Pada dirinya sendiri sebenarnya tidak berharga. Yang membuatnya jadi berharga adalah perspektif dari orang yang melihatnya. Uang jadi berharga bila orang di sekitarnya memiliki suatu kesepakatan tentang arti dari uang itu. Jadi uang tidak pernah bergantung pada jumlahnya, tapi sangat bergantung pada konsensus tentang nilai apa yang direpresentasikan oleh sejumlah uang tersebut. Misalnya harga sebungkus mie instan adalah 4000 rupiah. Kita bisa merasa kenyang bila makan mie instan 3 kali sehari. Jadi, jika kita memiliki uang sejumlah 4.380.000 rupiah kita bisa merasa tenang karena bisa kenyang makan mie instan setiap hari selama 1 tahun. Namun, kita tinggal di Jepang, dan kita memiliki uang 4.380.000 yen, mungkin kita hanya bisa membeli mie instan selama 4 bulan dan harus kelaparan pada 8 bulan sisanya. Jadi secara sederhana, uang itu penting bukan karena jumlahnya namun tentang artinya dan apa yang direpresentasikan oleh uang. Hal ini berlaku juga untuk aset lain. Misalnya emas batangan murni 1 kg merupakan barang yang secara umum berharga di negara manapun anda berada. Tetapi bayangkan anda mengendarai pesawat dan jatuh di padang pasir yang luas. Apakah emas anda masih berharga ? Dan kesalahan terbesar kita adalah ketika kita mengidentikkan uang dengan kebahagiaan. Kita melakukan suatu kesalahan besar ketika kita bekerja keras mencurahkan seluruh hidup kita mencari sesuatu tanpa benar-benar pernah merenungkan apa artinya. Uang itu adalah alat. Alat pada dirinya sendiri tidak baik ataupun jahat. Akar dari segala kejahatan bukan uang. Akar dari segala kejahatan adalah cinta uang. Apakah sebagai orang Kristen kita boleh melakukan finacial planning ? Menurut Paulus, 1 Korintus 6:12 (TB ) Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun. Lalu apa yang membedakan financial planning seseorang yang didalam Kristus dengan yang tidak. Tujuan dari financial planning sebagai orang Kristen bukan financial security. Kenapa? Karena aman hanya di dalam Tuhan. Sadarilah, strategi apa pun yang dilakukan, jika hari ini Tuhan ambil semua, maka semua akan habis. Lalu apa tujuannya? Dalam buku Visi yang Membaharui: Pembentukan Cara Pandang Kristen, Brian Walsh menjelaskan: Adam dipanggil menjadi oikos/steward : penatalayan rumah tangga. Ini merupakan panggilan Adam sebelum jatuh dalam dosa. Adam dipercayakan sebuah taman untuk dikelola. Adam bisa hidup dan makan dari taman itu. Namun Adam harus sadar, bahwa taman itu bukan miliknya. Dia harus mengikuti aturan Pemilik taman. Asal kata ekonomi : oikos nomos -- oikonomia. Pengelola taman milik Tuhan. Ini adalah panggilan Adam sebelum jatuh dalam dosa. Akibat dosa terjadi distorsi. Kegiatan ekonomi identik dengan usaha sekecil-kecilnya bisa mendapatkan hasil sebesar-besarnya. Itukan uang saya, saya sudah kerja keras untuk itu. Terserah saya mau saya pakai buat apa.10% punya Tuhan, sisanya punya saya. Salah! Semua uang milik Tuhan. Ingatlah kita dipanggil sebagai pengelola taman. Taman dan segala isinya bukan aset pribadi milik kita. Kita hanya pengelola. Kita boleh makan dari tanah itu. Panggilan kita sebagai orang Kristen adalah melakukan transformasi ekonomi, mengembalikan uang kembali ke kodratnya sebelum jatuh dalam dosa, untuk kemuliaan Tuhan. Bagaimana dengan rumah sakit misi ? Di hari kita menerima Yesus sebagai Tuhan dan juru selamat, kita tidak tiba-tiba bisa berfotosintesis dan bisa hidup dari cahaya matahari dan co2 saja. Kita tetap membutuhkan sandang pangan dan papan. Tanah sudah Tuhan sediakan dan harus kita kelola dengan baik. Dalam artikel Vine and Trellis John Piper menulis. Ketika kita menceritakan tentang teralis, biasanya orang kurang tertarik karena ceritanya kurang romantis. Orang lebih bersemangat bila kita menceritakan tentang anggur. Anggur adalah produk yang diinginkan. Melalui penginjilan yang dilakukan, ada orang yang mengenal Tuhan. Melalui pelayanan kesehatan yang dilakukan, ada orang sakit yang menjadi sehat. Namun pelayanan ini bisa berjalan bila ada teralis yang menunjang, sama seperti anggur yang bisa tumbuh baik dengan merambat pada teralis. Diperlukan sistem penunjang yang baik : sistem manjemen keuangan yang harus memperhitungkan biaya sewa, habis pakai, perawatan dan penyediaan alat, pendaftaran pasien, penjadwalan, laporan asuransi dan lainnya. Jika hal-hal ini tidak dikerjakan tidak akan ada pelayanan anggur. Sering kali pelayanan misi merasa tabu sekali jika membicarakan tentang gaji atau tunjangan lain. Menanyakan gaji saya berapa pun sering dirasa berdosa. Sekali lagi, di hari kita menerima Yesus sebagai Tuhan dan juru selamat, kita tidak tiba-tiba bisa berfotosintesis. Bagaimana perspektif kita tentang gaji? Pdt. Joshua Lie pernah bercerita, ada seorang mahasiswa kedokteran yang mengalami berbagai kesulitan dalam pendidikannya dan mengeluh pada beliau. Setelah setengah jam berkeluh kesah, beliau menyarankan lebih baik anak itu berhenti sekolah saja. Sungguh, nasehat yang aneh dari seorang konselor. Konselor pada umumnya akan menyarankan anak itu supaya tetap punya semangat; memotivasi bahwa dia pasti bisa, dan lain-lain. Beliau menjelaskan sederhana. Menurut beliau, dari cerita si mahasiswa bisa ditangkap bahwa sekolah kedokteran memang berat. Baru setengah jam mendengarkan keluh kesahnya, pendengar langsung bisa turut merasakan penderitaan yang begitu berat. Namun coba bayangkan, kira-kira setelah lulus sekolah, akan menjadi dokter macam apa dia ? Mau kah menjadi dokter dengan gaji flat 5 juta per bulan ? Tentu saja tidak, setelah memperhitungkan semua kesulitan dan penderitaan yang dialaminya. Sebuah perspektif baru : Coba bayangkan, di muka bumi ini kira-kira ada berapa orang yang mau menjadi dokter namun tidak bisa. Ada banyak orang yang lebih pintar dan lebih kaya, namun karena satu dan lain hal tidak bisa masuk fakultas kedokteran. Pernahkah kita merenungkan bahwa kita bisa menjalani suatu pendidikan itu karena anugerah. Ketika kita memandang bahwa pendidikan yang kita alami itu bukan sebagai penderitaan namun anugerah, perspektif kita tentang gaji pun berubah. Gaji bukan dihitung sebagai kompensasi untuk berbagai macam segala penderitaan dan kesulitan yang harus kita lakukan, namun sebagai bentuk ucapan syukur untuk pelayanan yang sudah kita lakukan. Dimana pun pelayanan yang kita lakukan, 100% anugerah dan bukan karena usaha kita. Jumlah gaji bukan menunjuk kepada harga diri kita atau harga skill kita di mata dunia, namun sebagai ucapan terima kasih. Jumlah gaji yang diberikan harus diperhitungkan dengan baik, sesuai prinsip anggur dan teralis yang baik demi kelangsungan hidup pelayanan kita sehari-hari. Namun jumlah tidak akan pernah bisa mengkompensasi segala usaha dan jerih lelah kita dihadapan Tuhan. Di seluruh dunia, tidak ada uang yang bisa menggantikan jerih lelah kita di hadapan Tuhan. Gaji yang kita terima adalah sebuah ucapan terima kasih, bukan kompensasi. Kepuasan dalam bekerja hanya bisa dipuaskan oleh Tuhan yang anugerahnya tidak terbatas.
- The End of Me
Judul: the end of me Penulis: kyle idleman Penerbit: Literatur Perkantas Jawa Timur Cetakan: Ke-5, tahun 2021 Tebal: 212 halaman Where Real Life in the Upside-down Ways of Jesus Begins Bagi sahabat Samaritan yang familiar dengan tulisan Kyle Idleman, buku ini merupakan seri lanjutan dari not a fan yang sudah menginspirasi banyak orang sejak dekade yang lalu . Buku ini sejatinya membahas paradoks dari Beautitudes atau “Khotbah di Bukit” yang sisi “bahagia” nya terkadang sulit untuk dimengerti. Bagi sebagian kita, adalah normal-routine untuk mengejar self-fulfillment dalam pekerjaan, pendidikan, kebanggaan, kekayaan, atau hal lainnya. Secara terbalik, buku ini menceritakan tentang orang dan tokoh Alkitab yang sudah sampai kepada akhir dari ke-akuan-nya. Ada yang sadar ketika ada dalam keadaan yang sedang hancur, sedang berada dalam dukacita, atau sadar ada dalam titik yang rendah dalam hidup. Penulis menunjukkan, bahwa hal ini justru merupakan permulaan hidup yang berkelimpahan, penuh, dan sejati dalam Tuhan. Salah-satu aspek menarik buku ini adalah cara penulis menuangkan kegelisahan pribadinya, bagaimana ia mencari jawaban, lalu mengartikan, mengurutkan dan menyimpulkan dalam langkah yang sederhana. Sambil menikmati buku ini, sepertinya para pembaca akan dibawa bertanya-tanya, mencerna dan merenung, sebelum akhirnya mendapatkan makna di setiap bagian. Buku ini juga mengupas beragam sisi keadaan. Karena baik mereka yang sedang berjuang, mereka yang sedang bergumul, sedang menikmati perjalanan naik, atau sedang ada dalam zona nyaman, sama-sama kerap melewatkan - bahwa pencarian yang sebenarnya berawal dari ke-aku-an diri yang disadari, untuk selanjutnya dipatahkan, dan diakhiri. Buku ini dibagi dalam dua bagian yaitu “di mana berkat bermula” dan “di mana kekuatan bermula”. Bagian awal dimulai dengan sebuah surat, dan ditutup dengan pertanyaan dan tantangan, semuanya sistematis dan disajikan dalam pesan yang lugas. Suntingan dan terjemahan yang easy to digest, menjadikan tulisan ini tidak terasa berat atau kompleks. Buku ini cocok untuk dinikmati di tengah waktu luang, maupun mengisi waktu refleksi pribadi. the end of me, is just a beginning.... (EAB)
- Peringatan Salomo
Menyimak kehidupan raja Salomo, kita mendapat banyak pelajaran berharga, terutama, dalam hal kepemimpinan dan ketidakteguhan iman. Meskipun ia diberkati dengan kebijaksanaan yang luar biasa dan pencapaian yang tak tertandingi, kegagalan utamanya untuk tetap teguh dalam iman kepada Tuhan menjadi narasi peringatan, bukan saja untuk para pemimpin tapi terutama semua individu. Raja Salomo memerintah rakyatnya dengan bijaksana, dan kerajaannya berkembang pesat. Secara jelas, kitab 1 Raja-raja 9 menunjukan keberhasilan Raja Salomo yang selama 7 tahun membangun Bait Suci, proyek terbesar yang Tuhan percayakan kepadanya - Tuhan bahkan telah menjawab dan menerima doa Salomo, “Aku telah menguduskan rumah yang kaudirikan ini untuk membuat nama-Ku tinggal di situ sampai selama-lamanya, maka mata-Ku dan hati-Ku akan ada di situ sepanjang masa” (1 Raja-raja 9:3). Tetapi, tepat pada pasal berikutnya, kejatuhan iman raja Salomo dimulai dan diakhiri dengan penyembahannya pada Ilah lain. Secara jelas, 1 Raja-raja 9:6 menyatakan “ Tetapi jika kamu ini dan anak-anakmu berbalik dari pada-Ku dan tidak berpegang pada segala perintah dan ketetapan-Ku yang telah Kuberikan kepadamu, dan pergi beribadah kepada allah lain dan sujud menyembah kepadanya” , itulah kejatuhan Salomo, penyembahan berhala. Tepat dimasa keemasannya sebagai raja Israel, dia melakukan pengkhianatan terhadap Tuhan. Kejatuhan iman Salomo tidak terjadi secara tiba tiba. Dimulai dengan kompromi dengan dunia, Salomo menikahi perempuan-perempuan asing meskipun Tuhan melarang, dia menikahi putri Firaun yang bertujuan politik untuk memperkuat hubungan Israel dengan Mesir. Berikutnya, dia bermasalah dengan banyak wanita, dimulai dengan pujian dan pemberian dari ratu Syeba yang dibalas dengan pemberian berupa apapun yang diminta sang ratu dan ditutup dengan kenyataan bahwa raja Salomo mencintai dan menikahi perempuan asing ( 1 Raja-raja 10-11). Meskipun setiap kebutuhan jasmani dan rohaninya terpenuhi dengan berlimpah, Salomo memutuskan bahwa dia juga membutuhkan wanita bahkan banyak sekali wanita. Alkitab mengatakan bahwa Salomo memiliki tujuh ratus istri dan tiga ratus selir. Mereka adalah wanita-wanita asing dari negeri asing yang menyembah dewa-dewa asing. Mereka “berasal dari bangsa-bangsa yang telah difirmankan TUHAN kepada orang Israel: ‘Janganlah kamu kawin campur dengan mereka, sebab mereka akan mencondongkan hatimu kepada allah-allah mereka’” (1 Raja-raja 11:2). Dalam Ulangan 17:17, melarang raja untuk menikahi banyak wanita, tetapi itulah justru yang Salomo lakukan. Maka kemudian dia melakukan ketaatan yang semu dengan membiarkan penyembahan berhala demi menyenangkan istri-istrinya dan mengabaikan peringatan Tuhan hingga akhirnya dia bahkan mencondongkan hatinya kepada ilah-ilah lain. Raja Salomo meninggalkan TUHAN di masa tuanya. Dia beralih dari hikmat ke kebodohan, dari ketaatan ke pemberontakan. Bila kita mempertimbangkan hikmat yang dimiliki Salomo, mungkin sulit untuk memahami bagaimana ia berpaling dari TUHAN. Bagaimana mungkin seorang pria yang menulis banyak amsal yang luar biasa, seorang pria yang menulis bahwa yang terpenting adalah “takut akan Tuhan dan berpegang pada perintah-perintah-Nya” (Pengkhotbah 12:13), pada akhirnya berpaling. Kisah Salomo menjadi pengingat bahwa orang yang paling bijak sekalipun rentan terhadap pengaruh kekuasaan, kekayaan, dan pujian duniawi terlebih bagi mereka yang sudah mencapai puncak kesuksesan dan karir. Sekitar tahun ‘80 dan ‘90-an, penggemar musik akan segera tahu bila nama Whitney Houston disebut, karena dia adalah artis yang selama beberapa dekade telah menjadi penyanyi yang sangat sukses dan terkenal, namanya melambung tinggi dalam dunia musik karena suaranya yang sangat bagus dan penampilan yang disukai banyak penggemarnya. Dia dibesarkan oleh orang-orang yang takut akan Tuhan di Gereja Baptis Harapan Baru dan menjadikannya seorang Kristen yang taat bahkan diawal awal karirnya aktif menyanyikan lagu lagu rohani. Tapi berita mengejutkan terjadi yaitu pada malam penghargaan Grammy Awards tahun 2012, asisten Whitney menemukannya tenggelam di bak mandi kamarnya di Beverly Hilton, dokter menyatakan bahwa kematian Whitney disebabkan oleh tenggelamnya dia secara tidak sengaja ‘karena efek dari penyakit jantung yang diderita dan penggunaan kokain yang berlebihan’. Pertarungan panjang penyanyi ini dengan kecanduan kokain akhirnya terpublikasikan. Ketenaran dan sukses sebagai penyanyi pop dan memilih pasangan yang tidak beriman pada Yesus berdampak pada pernikahannya yang gagal membuatnya jatuh dalam depresi , gangguan kecemasan dan awal kompromi terhadap kokain untuk membantu depresi beralih pada penghambaan pada obat tersebut. Demikian pula terjadi pada Josua Harris, penulis buku I Kissed Dating Goodbye . Buku yang dirilis tahun 1997 itu sangat fenomenal dan laku dengan penjualan 1,2 juta buku. Narasi buku ini merupakan penolakan budaya evangelis yang signifikan pada tahun 1990-an terhadap kebebasan seksual dalam budaya secara umum dan fakta bahwa budaya kencan yang sangat longgar, telah membawa banyak dosa dan kesedihan bagi banyak orang muda. Harris secara efektif menyerukan diakhirinya seluruh sistem kencan di kalangan remaja dan dewasa muda. Sebaliknya, ia menunjuk pada model pacaran yang lebih berbasis gerejawi dan keluarga. Karena buku dan pandangannya dia banyak diwawancara dan berkotbah tentang visi radikal Alkitab mengenai seks dan pernikahan. Karena ketenarannya , dia mulai kompromi terhadap kelompok-kelompok yang tidak menyukai tulisan dan khotbahnya. Dia bersikap lunak dan meminta maaf pada kelompok-kelompok tersebut termasuk organisasi LGBT. Dan tahun 2015 -2016, secara mengejutkan Joshua Haris menyatakan bercerai dan tidak lagi beriman pada Kristus bahkan menarik bukunya itu. Kedua kisah di atas menunjukan kesuksesan yang disertai dengan kompromi terhadap dunia akan mengikis secara perlahan hubungan kita dengan Tuhan. Tak seorang pun dari kita yang dapat mengumpulkan kekayaan dan mengalami kesuksesan seperti Salomo, meskipun demikian banyak dari kita bergumul dan fokus untuk mendapatkan kenyamanan dan kemewahan. Pengejaran-pengejaran duniawi semacam itu pada akhirnya mengalihkan fokus hubungan kita dengan Tuhan. Seperti Salomo, hati kita juga berubah-ubah. Meskipun kita tidak mungkin didatangi tujuh ratus wanita yang ingin kita menyembah patung-patung mereka, tapi kita cukup rentan untuk membiarkan hasrat tertentu menjadi fokus dan kecintaan kita. Hasrat itu dapat berupa pencapaian kompetensi klinis, posisi atau ketenaran yang berujung pada peningkatan kemakmuran. Hasrat itu semua berjalan lambat, tenang dan akhirnya kita sudah berpaling dari Tuhan. Kejatuhan Salomo mengingatkan kita bahwa kita tidak kebal terhadap perubahan yang masuk ke dalam hati kita terutama ketika kita memiliki hasrat utama pada sesuatu selain Allah, maka kehancuran dapat terjadi ketika kita berusaha melindungi hasrat itu dengan segala cara. Ada beberapa dokter yang saya kenal, yang telah mencapai puncak kesuksesan sebagai klinisi atau manajemen RS, pada saat menjadi mahasiswa kedokteran atau masa awal menjadi dokter terlibat secara aktif dalam pelayanan dan persekutuan, saat ini mulai meninggalkan Tuhan. Kompromi dimulai diantaranya dengan mengabaikan Ibadah minggu atau menghindari pelayanan gereja atau dengan dalih pelayanan kesehatan, memilih prosedur pengobatan dengan biaya lebih membedani pasien dengan dalih “ sangat diiperlukan” berlanjut pada pengabaian etika kedokteran dan kekudusan iman kristen. Kompromi sudah dimulai saat fokus hidup beralih dari hidup untuk memuliakan Tuhan menjadi memuliakan diri sendiri. Hingga akhirnya tanpa disadari kita pada titik sudah benar-benar meninggalkan Tuhan. Kita harus ingat bahwa tidak peduli berapa lama kita telah berjalan bersama Tuhan, tidak peduli apa yang telah kita capai atau tugas apa yang telah dipercayakan-Nya kepada kita - kita rentan untuk berpaling dari Tuhan. Kita manusia yang lemah dan rentan, dan iblis tahu bahwa menjatuhkan seseorang yang telah berjalan dengan setia bersama Tuhan akan menghasilkan pecahan-pecahan. Kejatuhan Salomo ke dalam penyembahan berhala pada akhirnya meruntuhkan sebuah kerajaan. Kejatuhan kita dapat berarti menjatuhkan keluarga kita, pernikahan kita, teman-teman kita, dan gereja kita. Peringatan dari kejadian Salomo juga dimaksudkan untuk menyoroti bahwa tidak peduli berapa banyak karunia yang telah Tuhan berikan kepada kita atau seberapa setia kita berjalan bersama-Nya, kita tetap membutuhkan-Nya setiap hari. Setiap hari kita harus memantapkan pandangan kita kepada Tuhan yang telah membawa kita hingga saat ini dan mengingat bahwa hanya Dia yang dapat membawa kita dengan selamat sampai ke garis akhir. Sedang di posisi manapun hati kita saat ini, tetaplah berjaga-jaga karena sangat mungkin kita akan mengalami kejatuhan seperti Salomo. Maka dengarkanlah apa yang Yesus katakan dalam Firman-Nya: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, jikalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak dapat berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia adalah ranting dan ia menjadi kering dan dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar.” (Yohanes 15:4-6).
- Itu Sudah Cukup
Never enough, Never, never Never enough, Never, never Never enough, For me For me, For me, For me Cuplikan di atas, merupakan kutipan dari lagu Never Enough dalam film The Greatest Showman yang rilis pada tahun 2017. Lagu tersebut menjadi sebuah lagu yang sangat populer karena menyuarakan isi hati banyak orang. Dimana baik dahulu (sesuai dengan latar belakang waktu film tersebut dirilis), saat ini dan mungkin sampai Tuhan datang kedua kalinya, manusia tidak pernah merasa cukup. Sulit merasa cukup sebenarnya kalau mau ditarik lebih jauh lagi sudah dimulai sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa di taman Eden. Dengan segala sesuatu yang telah Tuhan jadikan dari hari pertama sampai hari keenam penciptaan dan semuanya sungguh amat baik, ternyata, manusia masih ingin lebih dari apa yang sudah dimiliki saat itu dengan ingin menjadi seperti Allah dan akhirnya melanggar perintah untuk tidak memakan buah pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Konsep cukup pada akhirnya menjadi hal yang jarang dibicarakan, Semua orang merasa perlu untuk mendapatkan, mengkonsumsi, meningkatkan dan memperbesar kebutuhan. Salah satu hal yang mendasarinya adalah kekhawatiran akan masa depan sehingga merasa perlu untuk mengumpulkan harta sebanyak – banyaknya selagi ada kesempatan. Di dalam Alkitab sendiri, Allah telah berkali – kali mengingatkan manusia untuk tidak perlu kuatir. Matius 6:25 – 34 dengan perikop pararelnya di Lukas 12:12-31 memberitakan tentang hal kekuatiran ini. Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bahkan tentang hal mengumpulkan harta, Alkitab juga telah mengingatkan kita di Matius 6:19 – 24. Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya (sebagaimana kita mungkin pernah baca artikel tentang kerugian orang yang menyimpan uang kertas di rumah yang tidak laku lagi karena uangnya hancur dimakan ngengat) dan pencuri membongkar serta mencurinya (sebagaimana yang pernah dialami penulis yang menyimpan uang kertas di rumah karena ATM sering rusak tetapi lalu saat keluar rumah pencuri datang dan mengambilnya, atau pengalaman orang yang ditipu dan lain sebagainya). Sikap hidup orang yang mengumpulkan harta sebanyak – banyaknya juga terjadi pada masa hidup Samuel Plimsoll seorang politisi dari Inggris (10 Februari 1824 – 3 Juni 1898). Pada masa itu praktik perdagangan budak masih menjadi hal yang lazim dilakukan. Budak – budak didatangkan dari benua Afrika menuju benua Eropa yang dipisahkan oleh samudra Atlantik. Untuk mendapatkan keuntungan sebesar – besarnya, para penjual budak seringkali mengisi kapal dengan budak sebanyak – banyaknya, tetapi karena belum ada cara untuk menginformasikan apakah muatan kapal sudah berlebih atau tidak, ada kapal – kapal yang akhirnya tenggelam karena kelebihan muatan dengan kematian semua budak – budak didalamnya. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan Samuel Plimsoll dan beliau membuat sistem garis Plimsoll pada setiap kapal yang berguna untuk menginformasikan apakah muatan di kapal itu cukup/berlebihan yang dapat berpotensi menenggelamkan kapal. Lalu, bagaimana kita bisa menemukan dan mendefinisikan kecukupan (garis plimsol kehidupan) bagi kita masing – masing? Pada prinsipnya ada tiga hal yang bisa kita lakukan: menghindari keserakahan, merasa cukup dan memiliki karakter serupa Kristus. Menghindari Keserakahan Keserakahan atau ketamakan secara sederhana dapat diartikan sebagai keinginan untuk memiliki lebih. Serakah/tamak sendiri adalah dosa yang jarang diungkapkan atau disadari. Keluaran 20:17 merupakan salah satu ayat yang berbicara terkait peringatan untuk menghindari keserakahan: Jangan mengingini rumah sesamamu, jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki – laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya, atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu. Minimal terdapat empat dampak dari keserakahan/ketamakan sebagaimana tertulis dalam 1 Timotius 6:2b – 10 yang berbicara tentang cinta uang: Mengkorupsi kebenaran firman Tuhan seperti yang tergambar di ayat 3-5 ketika Paulus mengkonfrontasi para pengajar palsu yang memiliki motivasi tidak benar (mencari keuntungan diri) dalam mengajari jemaat yang akhirnya berujung pada ajaran yang tidak benar dan gaya hidup yang tidak benar. Mengkontaminasi nilai kita , ayat 5: Percekcokan antara orang – orang yang tidak lagi berpikiran sehat dan kehilangan kebenaran yang mengira ibadah itu adalah sumber keuntungan. Membalikkan hidup kita , sama seperti kapal yang melewati garis plimsol bisa terbalik lalu tenggelam. Ayat 9 Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai – bagai nafsu yang hampa dan mencelakakan ,yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Mencekik iman kita ayat 10 berkata karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai – bagai duka. Lalu apakah sebagai orang Kristen memiliki uang menjadi hal yang salah? Sementara ada tokoh – tokoh Alkitab yang digambarkan dengan kekayaan besar seperti Ayub, Abraham, Daud, Salomo dan sebagainya. Sehingga yang menjadi masalah bukan pada materi tetapi hati. Pengkhotbah 5:7-19 menyoroti tentang kesia – siaan kekayaan: Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia – sia. Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang – orang yang menghabiskannya. Uang sendiri bukanlah sesuatu yang buruk dan tidak membuat orang menjadi buruk, tetapi cinta akan uang dapat menjatuhkan seseorang. Orang dapat menjadi serakah dan melakukan hal buruk ketika mencintai uang. Tuhan menginginkan kita untuk menggunakan uang membantu orang yang terluka. Kita akan menjadi salah bila melukai dan menggunakan orang untuk mendapatkan uang. Uang sendiri bukanlah persoalannya tetapi salah menggunakan uang (tidak menggunakan uang dengan bijak) adalah persoalannya. Bila kita membagikan dan memberikan kita akan berhasil tetapi bila kita hanya ingin menjadi kaya, kita akan sulit untuk bisa mencintai Tuhan karena kita lebih mencintai uang. Harta sejati kita hendaklah hanyalah kasih akan Allah, iman pada Yesus dan keselamatan di dalam surgaNya. Sehingga terdapat minimal 6 hal yang bisa kita lakukan untuk menghindari cinta uang: Menyadari bahwa semua kepemilikan kita suatu saat akan hilang; Merasa cukup atas segala sesuatu; Merencanakan cara bijak dalam mendapatkan uang; Mengasihi sesama lebih dari uang; Mencintai pekerjaan Tuhan lebih dari uang; Memberi/berbagi apa yang kita punya dengan orang lain Merasa cukup atas segala sesuatu Dasar dari merasa cukup atas segala sesuatu salah satunya dapat kita ambil dari 1 Timotius 6:6, memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup memberi keuntungan besar. Kecukupan dalam ibadah menjadi satu dari tiga hal penting yang membedakan antara ibadah Kristen yang ibadah sejati dengan ibadah kaum pagan saat itu selain ibadah yang dimulai dari takut/kagum akan Tuhan yang membuat kita menyembahNya dan ibadah dengan perspektif kekekalan. Rasa cukup yang kita miliki bukanlah karena usaha kita sendiri melainkan karena Kristus. Sehingga rasa cukup orang Kristen sebaiknya adalah hasil dari tiga hal berikut yaitu: merasa aman dalam Tuhan, percaya pada sifat Tuhan dan percaya pada janji Tuhan sebagaimana disampaikan dalam Filipi 4:13 dimana Paulus sampaikan bahwa dia telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Salah satu ayat yang mengingatkan kita untuk ibadah dengan perspektif kekekalan dapat kita baca dalam 2 Korintus 4:18 Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tidak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal dan 1 Timotius 6:7-8 sekali lagi membantu kita untuk bisa merasa cukup atas segala sesuatu: Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa – apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian cukuplah. Memiliki karakter seperti Kristus Memiliki karakter seperti Kristus adalah langkah ketiga dan terakhir yang bisa kita lakukan untuk mendefinisikan kecukupan hidup kita. Di dalam 1 Timotius 6:1 Paulus mengingatkan kita untuk mengejar keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan yang semuanya adalah karakter Kristus alih – alih mengejar materi di dunia yang sifatnya instan. Untuk mendapatkan hal tersebut tentu membutuhkan proses tiap hari dan energi untuk mengerjakannya. Dengan memfokuskan diri untuk hidup cukup, kita bisa memusatkan hidup kita untuk kerajaan Allah, setia memberi, alih – alih mengejar materi yang dekat dengan sifat tamak dan mencerminkan keegoisan dan jauh dari karakter Kristus. Ada empat langkah praktis yang bisa kita lakukan untuk dapat menerapkan tiga hal diatas: Bangun gaya hidup untuk memiliki batasan dalam memiliki materi untuk kebutuhan dan bukan keinginan, seperti tidak besar pasak daripada tiang, belanja atau konsumsi sesuai pendapatan. Beberapa prinsip dapat membantu seperti prinsip 10 ataupun 1234. Prinsip 10 dapat berarti apabila kita membeli sesuatu barang yang nilainya besar kita akan lakukan bila di dalam tabungan kita memiliki uang 10x lipat daripada harga barang yang kita butuhkan. Prinsip 1234 berarti dalam setiap penghasilan yang kita dapatkan 10% kita sisihkan untuk Tuhan, 20% untuk tabungan, 30% untuk investasi dan 40% untuk kebutuhan hidup sehari – hari. Bangun sifat kemurahan dan bukan ketamakan. Perlunya membangun disiplin diri untuk memberi yaitu perpuluhan, persembahan, peka terhadap kemana Tuhan ingin kita memberi. Bangun karakter diri . Investasi pada hal yang bernilai kekal. Sebagai penutup artikel ini ada pernyataan iman yang kita bisa ungkapkan sebagai wujud komitmen kita untuk merasa cukup atas segala sesuatu: tidak khawatir akan masa depan dan tidak memfokuskan diri untuk semata mengumpulkan harta di bumi. Saya akan merasa cukup pada semua keadaan karena tahu bahwa Allah yang menyediakan selalu bersama saya dan saya tidak akan pernah lepas dari pemeliharaanNya. Jika yang saya punyai di dunia ini hanyalah makanan dan pakaian, saya akan tetap merasa cukup dan yakin akan pemeliharaan Tuhan. Saya tidak akan menetapkan fokus hidup saya pada uang dan kekayaan, melupakan fakta bahwa saya memiliki Bapa di surga yang mengasihi dan peduli pada saya; karena saya tahu bahwa orang yang fokus pada uang dan kekayaan akan jatuh kedalam banyak pencobaan dan jerat, akan memiliki hasrat yang sia – sia dan membahayakan yang bisa berujung pada keruntuhan dan kehancuran. Cinta akan uang adalah akar dari segala kejahatan. Karena menyangkal bahwa Tuhanlah satu - satunya penyedia sejati. Beberapa orang yang memfokuskan hidup pada uang dan mendapatkannya, telah berpaling dari iman dan membawa mereka ke dalam berbagai penderitaan. Saya menolak untuk menjadi seperti mereka. Saya, sebagai pria dan wanita yang beriman dalam Tuhan, akan menjauhkan diri dari segala kecemaran, melainkan mengejar kebenaran, ibadah yang sejati, iman, kasih, ketahanan dan keramahan. Saya akan berjuang dengan baik dalam pertarungan iman saya, dengan berpengharapan pada hidup kekal yang mana saya telah dipanggil oleh Tuhan dan saya akan menyatakan iman saya di hadapan banyak saksi. Jangan kamu kuatir Burung di udara Dia pelihara Jangan kamu kuatir Bunga di padang Dia hiasi Jangan kamu kuatir Apa yang kau makan minum pakai Jangan kamu kuatir Bapa di sorga memlihara Aku tidak kuatir Burung di udara Dia pelihara Aku tidak kuatir Bunga dipadang Dia hiasi Aku tidak kuatir Apa yang kumakan minum pakai Aku tidak kuatir Bapa di surga memelihara (Yehuda Singers – 1992) Sumber: Gary Inrig. Cultivating a Heart of Contentment. Discovery Series James Riddle. The Complete Personalized Promise Bible NIV. Life Application Study Bible NIrV. Kids’ Quest Study Bible Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab
















