top of page
Subscribe
Instagram
Facebook
Donation

119 results found with an empty search

  • Tuhan Tidak Pernah Lelah

    Renungan Natal 2024 Sahabat PMdN, dalam perjalanan sepanjang tahun 2024, pastilah banyak pergumulan yang telah kita lalui. Duduk diam di penghujung tahun, mengambil waktu teduh, mengevaluasi diri dan merenungkan apa yang telah dikerjakan-Nya bagi kita, tentu menjadi momen berharga bagi kita. Sebagian kilas balik mungkin menghadirkan banyak senyum dan kegembiraan: ketika kita muncul sebagai pemenang setelah melalui perjuangan yang berat, atau ketika menyaksikan orang-orang yang kita kasihi sukses dan bertumbuh dalam Tuhan, atau bahkan sekedar menuai buah kedisplinan dengan pencapaian sederhana atau personal best dalam hobi dan tentunya banyak lagi yang bisa disyukuri. Namun tidak sedikit kesedihan dan  air mata di saat kita mengingat kecerobohan yang pernah dibuat sehingga meninggalkan jejak yang permanen dalam catatan perjalanan karir, atau ketika rasa bersalah menuding diri karena gagal memberikan yang terbaik buat orang-orang yang kita kasihi, atau ketika mengingat kepergian orang-orang yang kita kasihi, yang telah memberikan dampak positif dalam hidup kita, atau banyak hal lainnya yang bisa memperpanjang daftar ini. Roma 8:28 dan Filipi 1:6 dapat menjadi pengingat bagi kita, sekaligus penyemangat untuk terus berjuang karena menyadari Allah yang mengasihi kita, hadir dalam setiap pergumulan hidup kita sampai Dia menyelesaikan seluruh rencana-Nya atas hidup kita. Banyak hal-hal sederhana yang menjadi simbol perjuangan berat yang telah kita lalui. Buat saya, kursi di pojok ruangan praktek adalah pengingat betapa rentannya saya ketika menghadapi kasus-kasus sulit dengan outcome yang tidak jelas, dan betapa seringnya saya berlutut di sana memohon pertolongan dan belas kasihan-Nya untuk pasien-pasien yang saya tangani. Saya bersyukur bisa menikmati kehadiran Tuhan yang menuntun saya menyelesaikan kasus demi kasus dengan cara-Nya sendiri, yang seringkali melampaui kemampuan saya berfikir, dan saya yakin banyak para sahabat pun memiliki pengalaman yang sama. “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu petanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda (cat. virgin versi NIV) mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel” (Yes.7:14). Ayat ini mungkin selalu hadir dalam ibadah-ibadah Natal yang kita ikuti, namun sadarkah kita bahwa dalam konteks pasal ini, ayat ini adalah bagian dari teguran keras yang diberikan Tuhan kepada Raja Yehuda, Ahas, atas ketidakpercayaannya kepada janji pemeliharaan Tuhan bagi bangsanya yang sedang diserang oleh aliansi Raja Aram dan Raja Israel. Bagian ini ditutup dengan sebuah peringatan: “Jika kamu tidak percaya sungguh, kamu tidak teguh jaya” (If you do not stand firm in your faith, you will not stand at all - NIV) (Yes.7:1-10). Raja Ahas tampaknya rendah hati dan menghormati Tuhan (Yes.7:12), namun sesungguhnya dia lebih percaya kepada pertolongan Raja Asyur dibandingkan mempercayai janji-janji Tuhan (2 Raja-Raja 16:7-9). Lalu berkatalah Nabi Yesaya:” “Baiklah dengarkan, hai keluarga Daud! Belum cukupkah kamu melelahkan orang, sehingga kamu melelahkan Allahku juga? (Yes. 7:13) Yang menarik adalah Tuhan tidak pernah lelah menghadapi kekerasan hati umat pilihan-Nya, dan memilih untuk menghadirkan sang Imanuel sebagai tanda pemenuhan janji-Nya kepada umat-Nya. Ayat-ayat selanjutnya dalam pasal ini (Yes. 7:15-25) menjadi kenyataan sejarah bahwa apa yang dinubuatkan-Nya benar-benar terjadi. Bagian Firman Tuhan ini mengajarkan saya banyak hal, mulai dari pentingnya memiliki keteguhan hati dalam mengikut Tuhan, kesabaran Tuhan dalam berperkara dengan umat-Nya, kehadiran Allah dalam perjalanan sejarah umatNya, hingga cara Tuhan yang melampaui akal dalam menggenapi rencana-Nya melalui umat-Nya yang sering kali tidak setia.  Saya terkesan dengan lirik sebuah lagu rohani yang mengatakan: “... Ku kagumi caraMu mencintaiku, Kau ada di cerita proses hidupku, di titik terendahku, Kau hadir tuk mengangkatku, ku tau Kau tak menyerah akan hidupku…”. Berkarya di tengah profesi medis yang begitu complicated  dan melelahkan dan yang tidak selalu berujung dengan sebuah penghargaan dari pihak yang dilayani, serta hidup di tengah jaman dimana orang begitu mudah kehilangan harapan dan memilih mengakhiri hidupnya dengan jalan pintas - lagu ini seolah mengingatkan kembali bahwa kalau Tuhan saja tidak menyerah dengan hidup kita, mengapa kita yang harus menyerah???. Yang pasti, untuk bertahan dan  berjalan dalam rencana-Nya, kita membutuhkan belas kasihan dan anugerah-Nya dari waktu ke waktu, dan ini tersedia bagi semua orang yang mengasihi-Nya. Sungguh menguatkan dan menghibur, bila kita merenungkan Mazmur 103:13-14: “Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu”. Sahabat PMdN yang saya kasihi, di penghujung tahun ini, marilah kita sekali lagi menghampiri Tuhan dalam segala kerendahan hati dengan sebuah keyakinan bahwa Tuhan peduli dan tidak pernah lelah menolong kita, Dia terus bekerja menggenapi rencana-Nya yang terbaik atas hidup kita. Selamat Hari Natal 2024 & Tahun Baru 2025, Tuhan Yesus memberkati kita semua. Dr. Lineus Hewis, Sp.A ( Ketua PMdN)

  • Bagian Kedua: Menantikan Sang Mesias dengan Respon yang Benar

    Respon ketiga terhadap berita kelahiran Sang Mesias yang akan dibahas dalam artikel ini adalah mereka yang menantikan Sang Mesias dan yang berespon dengan benar terhadap berita kelahiran Sang Raja Damai. Siapakah mereka? Menariknya, mereka bukanlah dari kelompok bangsa Israel yang sudah seharusnya menanti-nantikan kedatangan Kristus, melainkan dari kalangan bangsa non Yahudi. Alkitab mencatat mereka sebagai orang majus dari Timur. Identitas mereka masih diperdebatkan. Ada yang mengaitkan mereka secara positif dengan para filsuf dan imam dari Persia. Tidak sedikit juga yang merujuk kepada profesi yang erat dengan astronomi. Namun, kedatangan para majus dari Timur ini pun tidak terlepas dari penggenapan nubuatan dalam Yesaya 60. Bangsa-bangsa lain, dari Midian dan Efa, akan datang menyembah Sang Mesias yang dijanjikan. Yesaya 60:3, 6, “Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu… Sejumlah besar unta akan menutupi daerahmu, unta-unta muda dari Midian dan Efa. Mereka semua akan datang dari Syeba, akan membawa emas dan kemenyan, serta memberitakan perbuatan masyhur TUHAN.” Allah menghendaki keselamatan bagi segala bangsa, bukan eksklusif untuk bangsa Israel saja. Hal itu dengan jelas tergambarkan melalui kedatangan para majus dari Timur yang merupakan bangsa non Yahudi yang dianggap kafir dan najis bagi orang Yahudi. Donald Hagner, seorang Teolog Perjanjian Baru, menyatakan bahwa Matius dalam bagian ini bermaksud menunjukkan orang kafir (bagi orang Yahudi) yang diwakili para majus malah menunjukkan keterbukaan terhadap maksud dan tujuan Allah serta memberi penghormatan yang sangat besar bagi Raja yang baru lahir. Para majus dari Timur tersebut mengarungi perjalanan yang jauh dan berbahaya untuk dapat bertemu dengan Sang Raja tersebut. Mereka yang sungguh-sungguh berhasrat untuk mengenal Kristus, tidak menganggap kesulitan sebagai penghalang dalam mencari Dia. Penghormatan bagi Kristus oleh para majus terlihat dari tindakan mereka sesaat setelah menemukan Sang Bayi tersebut. Mereka sujud menyembah Kristus, bukan hanya sebagai Raja, tetapi sebagai Tuhan. Tindakan mengekspresikan rasa sukacita dan hormat yang dalam, tidak ditulis dilakukan mereka ketika bertemu dengan si raja kecil, Herodes. Terlebih lagi, mereka datang membawa persembahan yang sangat bernilai, bukan untuk melakukan praktik jual beli, melainkan sebagai bentuk penghormatan terhadap Raja yang baru lahir, berupa emas, kemenyan, dan mur. Banyak yang menafsirkan signifikansi dari ketiga persembahan tersebut yaitu emas yang melambangkan penghormatan mereka kepada Kristus sebagai Raja, kemenyan yang merupakan dupa yang harum sebagai persembahan bagi Allah, dan mur yang merupakan bahan balsem bagi mayat yang merujuk kepada Kristus yang harus mati. Tetapi, ketiga persembahan di atas tidak berarti bahwa para majus hanya berjumlah tiga orang, seperti yang tanpa sadar diyakini banyak dari kita. Kedatangan para majus dari Timur merupakan berita sukacita bagi kita yang tidak terlahir dari keturunan bangsa Israel. Status mereka sebagai bangsa asing yang dianggap najis juga merujuk kepada kenajisan kita akibat dosa dan ketidaklayakan kita di hadapan Allah. Namun, karya keselamatan melalui inkarnasi Kristus, Allah menjadi manusia yang lahir dalam dunia yang hina, tidak tertutup bagi kita yang kafir dan najis ini. Para majus yang menyembah Sang Raja dan mewakili bangsa asing, merupakan tanda awal penggenapan janji Allah kepada Abraham, “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat…”  (Kej. 22:18). Sekali lagi, janji berkat keselamatan tidak terbatas hanya bagi bangsa Israel, melainkan juga kepada bangsa-bangsa lain yaitu setiap orang yang percaya kepada Kristus Yesus sebagai satu-satunya Juruselamat dan Tuhan atas hidup mereka. Pada akhirnya, rasa hormat yang mendalam dan ketaatan oleh para majus tersebut harusnya merefleksikan respon kita sebagai orang percaya. Semua orang yang telah diberikan anugerah untuk bertemu secara pribadi dengan Kristus Yesus sudah seharusnya jatuh tersungkur untuk menyembah dan mempersembahkan yang terbaik dari diri mereka kepada Kristus. Bukan sebagian tetapi seluruh aspek kehidupan kita. Dan bukan untuk mendapatkan keuntungan dari Tuhan tetapi sebagai rasa syukur dan respon cinta kepada Tuhan yang terlebih dahulu berinisiatif memberikan yang terbaik bagi kita ketika kita masih belum mengenal Dia. Kiranya masa raya Natal  tahun ini, sekali lagi menyadarkan kita akan kasih Allah yang begitu besar untuk kita yang sama sekali tidak layak. Biarlah kita hidup semakin mencintai Allah dan giat bekerja untuk Dia, sampai kita bertemu dengan-Nya, muka dengan muka. Soli Deo Gloria. /tnp

  • Bagian Pertama: Sudahkah kita menantikan Sang Mesias dengan respon yang benar di masa Natal ini?

    Saat ini kita kembali memasuki masa Natal di penghujung tahun 2024. Pertanyaan yang patut kita renungkan sebagai orang percaya adalah apa yang sudah ataupun sedang kita persiapkan? Siapakah atau apakah yang kita nantikan? Bagaimana kita meresponi masa Natal ini? Sembari kita merefleksikan pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis mengajak untuk kita dapat melihat kembali apa yang tertulis di Alkitab tentang tiga kelompok orang yang berespon terhadap berita lahirnya Sang Mesias yaitu kelompok orang yang tidak menantikan, ingin terlihat seakan menantikan, dan yang benar menantikan kehadiran Sang Mesias. Bagaimana respon mereka dan hal apa yang dapat kita pelajari dari mereka (baca Matius 2:1-18). Setelah bangsa Israel secara bertahap kembali ke Yerusalem dari pembuangan di Babel sejak tahun 537/538 SM, pembangunan Bait Allah dan pembacaan Taurat kembali dilakukan setelah sekian lama. Namun, pengembalian jati diri dan identitas sebagai umat Allah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pengaruh budaya asing dan penyembahan ilah-ilah dari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah rupanya begitu kental mempengaruhi bangsa Israel. Kawin campur, pelanggaran pada hukum Taurat seperti pengabaian perpuluhan dan hari Sabat, serta moralitas yang rusak akibat pengaruh budaya asing, terutama dari budaya Helenistik yang dominan, menjadi gambaran kondisi buruk bangsa Israel saat itu. Ditambah lagi dengan bangsa-bangsa lain yang menjajah mereka silih berganti dari Persia, Yunani, sampai dengan Romawi. Di masa-masa tersebut, orang Yahudi merasa begitu terpuruk dan menderita sehingga janji akan keselamatan oleh Sang Mesias menjadi pengharapan mereka satu-satunya. Sayangnya, masa-masa penantian tersebut diperburuk dengan tidak adanya suara Tuhan. Masa tersebut disebut sebagai masa keheningan 400 tahun, yaitu sejak 420 SM (masa Maleakhi) sampai abad ke 1. Inilah salah satu masa terburuk bagi bangsa Israel, bukan hanya karena kondisi hidup mereka, tetapi juga karena ketiadaan wahyu Allah. Yang tidak menantikan Sang Mesias Respon pertama atas berita kelahiran Sang Mesias yang akan kita pelajari adalah respon dari Herodes. Para majus dari timur tiba di Yerusalem untuk menemukan Sang Mesias. Namun, respon Herodes malah terkejut (Mat. 2:3). Kata “terkejut” tersebut menggunakan bahasa Yunani ταράσσω, yang menurut Craig Bloomberg seorang teolog Perjanjian Baru, lebih tepat diterjemahkan sebagai “dalam kekacauan” atau bahkan “ketakutan”. Kenapa Herodes ketakutan? Herodes, raja Yudea saat itu, merupakan keturunan Edom yang cukup familiar terhadap nubuatan Sang Mesias dan Kerajaan-Nya. Setelah 35 tahun bertahta sebagai raja kecil, kabar penggenapan janji Allah membuatnya iri hati dan takut kehilangan jabatannya sebagai ‘raja’. Bukan saja ia berharap bahwa penggenapan janji tersebut gagal, Herodes tidak ragu untuk melakukan segala cara demi menggagalkan hadirnya Sang Mesias dengan caranya sendiri. Ia menggali informasi dari para majus dan bahkan mengumpulkan imam kepala dan para ahli Taurat bangsa Yahudi untuk bisa mendapatkan lokasi dan waktu yang tepat terkait lahirnya Sang Raja. Hati jahatnya pun mengakibatkan tangis dan ratapan yang teramat sedih bagi para ibu yang kehilangan anak akibat rasa takut dan cemburu si raja kecil (Mat. 2:16-18). Bagaimana dengan kita saat ini? Mungkin sebagian dari kita berkata “Jelas aku bukan seperti Herodes yang ingin membunuh Yesus!”. Namun dengan tidak menempatkan Kristus sebagai satu-satunya Raja dalam kehidupan kita, kita tidak berbeda dengan Herodes. Sikap hati yang ingin bebas mendefinisikan apapun, tidak mau tunduk pada kebenaran Firman Tuhan, dan hanya mau mendengarkan apa yang mau kita dengar, merupakan ciri sikap hati “raja kecil” yang menganggap kebenaran Allah sebagai ancaman terhadap otoritas keakuan diri kita, yang pada akhirnya secara sadar atau tidak menjadikan Tuhan sebagai “musuh” yang kehadiran-Nya merupakan gangguan bagi kenyamanan diri dalam keberdosaan. Yang sepertinya menantikan Sang Mesias Kelompok orang yang kedua adalah para imam kepala dan ahli Taurat. Menariknya di masa ketika Allah ”diam”, bangkitlah dua kelompok keagamaan utama Yahudi yaitu yang disebut Farisi yang terkenal legalistik dan kelompok Saduki yang dikenal sangat liberal. Para Imam dan ahli Taurat ini tentu bisa menjawab dengan sangat akurat saat Herodes bertanya di mana Mesias akan dilahirkan, “Di Bethlehem, di tanah Yudea…” seperti yang tertulis di Mikha 5:1. Imam kepala merupakan pemimpin agama Yahudi dengan jabatan tertinggi yang mengemban tugas utama untuk mengawasi jalannya ibadah di Bait Suci, sedangkan ahli Taurat memang bertugas untuk mempelajari hukum Taurat (atau Perjanjian Lama bagi orang Kristen). Sehingga, sudah tidak heran mereka begitu memahami nubuat terkait kedatangan Mesias yang dijanjikan. Dan sebagai pemimpin agama, seharusnya pengetahuan mereka diikuti dengan kerinduan yang teramat dalam akan datangnya Sang Mesias ”untuk membebaskan umat Allah dari penjajahan bangsa Romawi kala itu” (hal ini pun merupakan interpretasi superfisial dan keliru). Namun, respon imam kepala dan para ahli Taurat hanya berhenti di situ. Mereka menjawab pertanyaan Herodes yang sedang kebakaran jenggot tentang Kristus yang sudah lahir. Lalu, mereka mungkin kembali ke aktivitas hidup keagamaan mereka tanpa aksi apapun. Sebagai pemimpin yang harusnya sadar akan kondisi buruk bangsanya, mereka harusnya jadi pihak yang paling merindukan penggenapan janji kedatangan Mesias. Sudah seharusnya mereka berespon dengan segera ikut para majus untuk menyambut kehadiran Sang Raja. Mesias yang dinanti-nantikan telah lahir, tunggu apa lagi?! Sangat disayangkan, mereka tidak melakukan apa-apa. Pemahaman kognitif yang dalam tentang Firman Tuhan tidak serta merta membuahkan respon yang benar di hadapan Tuhan. Orang Kristen yang sepertinya  terlihat rajin menggali kebenaran Alkitab dan pergi beribadah, belum tentu benar-benar menanti-nantikan Kristus. Banyak yang melakukannya hanya untuk memuaskan otak atau memuaskan perasaan atau memang sekedar mencari nafkah dengan profesi rohaniawan. Kristus hanya penting selama mendatangkan keuntungan. Sudah sejauh mana kita mempersiapkan diri di masa Natal ini? Benarkah Sang Mesias yang kita nanti-nantikan? Sejauh mana kita menyadari kemerosotan kita sehingga menyadari signifikansi kedatangan Kristus? Kiranya refleksi dari tulisan ini mendorong setiap kita yang membaca untuk sungguh-sungguh merindukan pengenalan yang sejati akan Allah melalui momen Natal di bulan ini. Minggu depan, kita akan melanjutkan untuk mempelajari respon kelompok orang yang ketiga yaitu yang menantikan Sang Mesias dan berespon dengan benar atas kelahiran Sang Raja Damai.

  • Johannes Leimena: Dokter Kristen yang Hidup dalam Dua Dunia

    Tidak mengenal kata sulit. Itulah salah satu prinsip hidup sosok Johannes Leimena. Sering kali dikenal dengan Om Jo, Leimena lahir di keluarga Kristen, tanggal 6 Maret 1905 di Ambon. Ayah dan ibunya adalah Dominggus Leimena dan Elizabeth Sulitatu, keduanya berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar. Leimena merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Hidup yang keras di tengah kemiskinan pada zaman penjajahan, tidak menjadi alasan bagi Leimena untuk tidak berjuang dan berkarya. Dalam 72 tahun hidupnya, kita semua tidak asing dengan nama legendaris di dunia kesehatan dan perpolitikan ini. Leimena merupakan menteri yang menjabat paling lama dalam sejarah Indonesia. Sejak orde lama hingga orde baru, dia menjabat selama 20 tahun dan duduk dalam 18 kabinet berbeda dengan berbagai jabatan (Menteri Kesehatan, Wakil Perdana Menteri, Menko Distribusi, Menteri Sosial). Leimena juga merupakan penggagas berdirinya Puskesmas di seluruh Indonesia. Berkemauan keras dan tangguh sejak kecil Leimena menjadi seorang yatim ketika berusia 5 tahun, lalu tidak lama kemudian ibunya memutuskan untuk menikah lagi. Setelah ayahnya meninggal, Leimena bersekolah di Ambonsche Burgerschool , tempat pamannya menjabat sebagai kepala sekolah. Namun kemudian pamannya dimutasi ke Cimahi. Leimena ingin ikut pamannya pindah, sedangkan ketiga saudaranya tinggal bersama ayah tiri mereka. Keinginan Leimena itu tidak diizinkan ibunya, karena ia dinilai masih terlampau kecil untuk hidup jauh dari orang tua. Berbekal kemauan keras dan nekat, Leimena menyelinap ke kapal yang membawa pamannya ke Cimahi dan baru menampakkan diri saat kapal telah berlayar. Sejak saat itu ia tinggal bersama pamannya. Pada tahun 1914 Leimena pun ikut pindah ke Batavia bersama pamannya. Leimena hidup penuh disiplin, setiap hari ia berjalan kaki pulang dan pergi ke sekolah, ia juga selalu bangun subuh untuk membantu pekerjaan rumah tangga di tempat pamannya.   Pada masa itu, berbagai penyakit berbahaya muncul di seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda. Kurangnya tenaga kesehatan yang dapat dipekerjakan mendorong pemerintah kolonial untuk mendirikan STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen, atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) yang saat ini dikenal sebagai Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Setelah menyelesaikan SMA-nya, Leimena pun melanjutkan studi di STOVIA. Berbeda dengan nama besar FKUI pada zaman ini, pada masa itu STOVIA lebih sering dikenal sebagai sekolah orang miskin. Bersekolah di sana tidak dipungut biaya dan justru diberikan beasiswa sebanyak 15 gulden per bulannya. Lulus dari STOVIA tahun 1930, Leimena melanjutkan spesialis di bidang penyakit dalam dan lulus 9 tahun kemudian.  Kiprahnya di dunia organisasi serta politik ternyata telah diasah sejak masa mudanya. Ketika kuliah Leimena aktif di berbagai organisasi pemuda dan kegiatan keagamaan. Ia menjadi anggota Jong Ambon, aktif di Gerakan Oikumene, menjabat sebagai panitia Kongres Pemuda Pertama dan Kedua, serta mendirikan Christen Studenten Vereniging (Perkumpulan Pelajar Kristen).   “Pendetaku” Setelah Leimena lulus sebagai dokter spesialis, ia mengabdi sebagai dokter dan sempat beberapa kali dipindahtugaskan. Ia pernah bekerja di RS Cipto Mangunkusumo, menangani korban letusan Gunung Merapi, menjabat sebagai direktur di RS Banyu Asin di Purwakarta, dan di RS Zending Imanuel Bandung. Pada saat ia bekerja di Purwakarta, Jepang telah menginvasi Hindia Belanda. RS Banyu Asin tempat Leimena bekerja sempat diduduki pasukan Jepang dan dihentikan operasionalnya, sehingga Leimena tidak diizinkan bekerja. Leimena sempat ditahan oleh pasukan Jepang untuk beberapa lama, diduga karena pertemanannya dengan Amir Sjarifuddin atau karena ia merawat tentara Belanda yang terluka dalam pertempuran Kalijati. Dia ditahan dalam penjara selama enam bulan, di mana ia dipukuli dan disiksa oleh tentara Jepang. Akan tetapi, hal tersebut tidak membuatnya pahit maupun menyimpan dendam. Selayaknya seorang Kristen yang beriman teguh, ia masih menunjukkan belas kasihannya dalam kondisi terjepit sekalipun. Di masa penahanannya, Leimena merawat seorang perwira Kempeitai Jepang yang menderita malaria hingga sembuh. Dan karena jasanya tersebut, ia akhirnya dilepaskan namun dikirim ke Tangerang. Kempeitai adalah polisi militer Jepang sekaligus polisi rahasia milik Jepang seperti halnya Gestapo milik Nazi Jerman. Pada masa itu Kempeitai adalah satuan militer Jepang yang paling ditakuti masyarakat Indonesia, karena terkenal dengan kekejamannya dalam memperlakukan siapa saja yang dinilai berisiko merugikan Jepang dalam Perang Pasifik.   Leimena pertama kali bertemu Soekarno pada tahun 1945, setelah peristiwa Lengkong. Soekarno sedang menjenguk para korban dan Leimena sedang merawat mereka. Dua bulan kemudian, Leimena diundang sebagai Menteri Muda Kesehatan. Awalnya Leimena menolak undangan tersebut karena tugasnya sebagai dokter. Namun dengan berbagai pertimbangan, akhirnya ia menerima kepercayaan tersebut. Meskipun sekarang ia menjabat kedudukan penting, Leimena selalu menjalankan tugas kewajibannya dengan tanggung jawab dan penuh integritas. Bahkan dari cacatan Soekarno, Leimena tidak pernah absen sekalipun dalam rapat kabinet selama Soekarno menjabat sebagai presiden. Dikenal sebagai teman dekat Soekarno, ia sering dijuliki “ mijn dominee ” oleh Soekarno, yang artinya “Pendetaku”. Saat peralihan ke orde baru, banyak Menteri-menteri dari orde lama yang ditangkap dan dipenjarakan. Leimena adalah salah satu dari sedikit menteri yang tidak dipenjarakan. Dia juga dikenal sebagai diplomat ulung, yang sering mewakili Indonesia sebagai delegasi dalam berbagai perundingan seperti Perjanjian Renville, Konferensi Meja Bundar, dan sebagainya.   Pasca perang kemerdekaan, kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia begitu buruk. Indonesia menghadapi deretan masalah seperti pemerintah kolonial yang tidak begitu peduli, ditambah usaha pengambilalihan rumah sakit selama pendudukan militer Jepang, keributan selama masa perang kemerdekaan, dan maraknya malnutrisi. Saat itu Leimena tengah menjabat sebagai Menteri Kesehatan. Leimena menilai kesehatan masyarakat merupakan salah satu komponen kunci untuk pembangunan Indonesia. Maka ia memfokuskan diri pada sistem pencegahan dan peningkatan kebersihan di berbagai wilayah di Indonesia, terutama area pedesaan. Kebijakan ini bertolak belakang dengan sistem zaman kolonial yang hanya memperhatikan pelayanan kesehatan di area perkotaan. Salah satu dobrakan besar yang dilakukan Leimena adalah menginisiasi Bandung Plan . Sistem ini diadopsi dari program yang mula-mula dijalankan Leimena di RS Zendingg Imanuel Bandung, tempat ia bekerja sebelum menjadi menteri. Ketika itu ia melihat masyarakat Muslim cenderung ragu-ragu berobat ke rumah sakit, karena pada saat itu kebanyakan rumah sakit adalah rumah sakit milik misionaris Kristen. Maka Leimena memutuskan untuk mulai membangun sejumlah klinik di pedesaan sebagai jembatan pelayanan dari rumah sakit pusat di kota. Agenda ini kemudian dikenal sebagai Bandung Plan, atau Leimena Plan, dan sejak tahun 1952 diputuskan untuk dikembangkan ke seluruh Indonesia. Program ini sempat mendapat perhatian dan penghargaan dari WHO dan dijadikan acuan bagi negara-negara lain.   Selain itu, Leimena juga mencurahkan perhatian pada tingginya angka kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir. Mortalitas ibu melahirkan mencapai 12-16 per 1000 ibu melahirkan di zaman itu, dan angka kematian bayi mencapai 115-300 per 1000 kelahiran bayi. Angka ini hanya menggambarkan kematian yang tercatat di rumah sakit. Sedangkan prevalensi kematian ibu dan bayi baru lahir di luar rumah sakit, diperkirakan lebih tinggi lagi. Leimena kemudian menginisasi Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak pada tahun 1951. Orang paling jujur Begitu banyak kontribusi Leimena dalam memajukan bangsa ini, tanpa mencari keuntungan bagi diri sendiri maupun kalangan tertentu. Dalam ranah personal pun, Leimena terus memberikan dampak pada orang-orang sekitarnya. Menurut Soekarno dan Mohammad Roem, Leimena adalah seorang politisi yang jujur dan diplomat yang berbakat. Bahkan Soekarno pernah mengatakan Leimena adalah orang paling jujur yang pernah ia temui seumur hidupnya. Dalam kedekatan antara Leimena dengan Soekarno, orang-orang di sekitar mereka pun mengakui – seperti Sutan Sjahrir -, bahwa Leimena selalu menyampaikan pikirannya secara tulus kepada Soekarno. Kendati menjabat peran yang begitu penting dalam waktu yang lama, juga terafiliasi dengan pemangku kekuasaan di negara ini, Leimena adalah sosok yang sederhana. Ia biasa memakai kemeja putih kemana pun ia pergi. Soekarno mencatat dalam autobiografinya bahwa Leimena bahkan tidak memiliki pakaian formal. Dalam beberapa kesempatan saat ia dikirim untuk diplomasi, ia harus meminjam jas dan dasi dari temannya.   Menutup usia pada tanggal 29 Maret 1977 di usianya yang ke 72 tahun, Leimena telah meninggalkan begitu banyak warisan sejarah, teladan, dan warisan iman bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bukan harta berkelimpahan, bukan kekuasaan tak terjamah bagi anak cucunya. Tetapi aspirasinya adalah bagi kita. Hidupnya adalah bagi Indonesia. Bahkan segala jerih lelah, upaya, dan air matanya adalah bagi orang-orang kecil yang tak pernah dikenalnya. Tiga puluh tahun lebih dari sejak kepergiannya, tepatnya tahun 2010, nama Johannes Leimena ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.   Mengenang hidup Leimena, sulit untuk tidak teringat pada Yeremia 29:7, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Kita dipanggil bukan untuk pasif, tetapi untuk mengusahakan dengan aktif. Bukan untuk menerima saja, tetapi berjuang untuk memberi. Kita kadang termakan kekecewaan dan pesimisme ketika melihat kacaunya dunia di sekitar kita. Mungkin tidak jauh dari realita di Indonesia saat ini. Begitu besar godaan untuk bersikap apatis, sebab mungkin tidak ada hal dalam jangkauan kita yang dapat membawa perubahan yang nyata. Akan tetapi, perintah Tuhan dalam kita Yeremia tadi juga datang kepada orang-orang biasa, pada rakyat jelata seperti kita yang terbatas kapasitasnya. Maka mari sekali lagi mengimani, bahwa hal sehari-hari yang menjadi bagian kita, seberapa kecil pun itu, dapat Tuhan pakai dalam rencana besar-Nya. Kita mungkin dipakai Tuhan dengan cara yang berbeda dari Johannes Leimena. Setiap kita adalah “sekadar” potongan puzzle  di tangan Tuhan, dan yang Ia tuntut dari kita adalah untuk menjalankan bagian kita dengan setia. Keteladanan Leimena Tidak menyerah dalam kesulitan. Lahir dalam keluarga miskin dan di tengah zaman penjajahan, tidak menjadi alasan untuk Leimena berhenti mengejar pendidikan setinggi-tingginya. Berjuang untuk mempraktekkan imannya dengan sepenuh hati dan setia. Iman Kristen yang dipegangnya teguh menjadi pelita bagi langkah hidupnya. Betapa setiap orang adalah berharga di mata Tuhan, dan kewajiban apa yang diampu seorang Kristen di tengah dunia ini di dalam konteks profesi dan kepercayaan yang diberikan padanya. Dalam hidup kesehariannya pun Leimena mempengaruhi orang-orang di sekitarnya dengan kejujuran, integritas, serta kesederhanaan. Tidak pasif sebagai orang Kristen. Di dorong oleh kasih yang begitu besar, Leimena berjuang bagi setiap orang, bahkan orang-orang kecil di pedesaan dan daerah terpencil yang sering kali diabaikan orang lain. Juga beban yang dipikulnya untuk menjadi terang dan garam, mendorongnya untuk terus berkontribusi bagi bangsa ini. “Tugas seorang Kristen Indonesia adalah memperlihatkan bahwa menjadi Kristen tidak ada sangkut pautnya dengan kolonialisme. Menjadi Kristen berarti hidup dalam dua dunia, sebagai anggota yang hidup dari bangsa sendiri dan juga sebagai anggota persekutuan orang-orang kudus di dalam Kristus.” (kutipan tulisan Leimena dalam majalah Belanda  Eltheto , 1935) Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Johannes_Leimena#cite_note-tirto-65 https://www.paideia.gkicitra1.id/mengenal-dr-johannes-leimena-.paideia https://ikpni.or.id/pahlawan/johannes-leimena-prof-dr/ https://tirto.id/johannes-leimena-orang-paling-jujur-di-mata-sukarno-bJLB Astiannis R, Saripudin D. Johannes Leimena Dalam Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia (1946-1956). 2018. Factum; 7:2.

  • Tidak Berhenti Menjadi Murid-Nya

    Sejatinya setiap orang yang mengaku pengikut Kristus adalah murid-Nya. Itu sebabnya jika kita mengaku orang Kristen, orang yang percaya kepada-Nya, dan mengikut-Nya, berarti kita adalah murid-Nya. MURID  adalah identitas kita. Menyatu dengan kita, tidak terpisah dan tidak berhenti. Benarkah kita murid-Nya? Yesus memberi kriteria atau syarat yang ketat jika ingin menjadi murid-Nya. Salah satu ayat yang singkat namun padat sebagaimana tertulis dalam Lukas 9:23. Kata-Nya kepada mereka semua: " Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku ". Dari perikop ini paling tidak kita dapat melihat ada tiga syarat menjadi murid-Nya. Yang pertama, kita harus menyangkal diri. Menyangkal diri tidak sama dengan menyiksa diri. Menyangkal diri berarti mengatakan ‘tidak’ pada diri sendiri dan ‘ya’ kepada Tuhan. Fokusnya adalah Tuhan dan kehendak-Nya bukan diri kita atau keinginan kita. Kedua, memikul salibnya setiap hari. Setiap hari adalah hari untuk siap sedia menanggung penderitaan karena kita mengikut Kristus. Penderitaan karena kita melakukan kebaikan. Penderitaan karena menyatakan kebenaran. Ini adalah harga yang harus dibayar oleh seorang murid. Penderitaan yang tidak harus dia tanggung; meneladani Kristus Sang Guru (1 Petrus 2:19-22). Bukan penderitaan karena kesalahannya. Ketiga, mengikut Dia. Kita mengikuti Dia. Kita meneladani Dia. Semakin hari kita semakin serupa dengan-Nya. Yesus menjadi teladan dan role model kita dalam seluruh aspek hidup kita (1 Yohanes. 2:6). Itu sebabnya sebagai murid seharusnya kita terus bertumbuh dan diubahkan. Bill Hull menyampaikan ada enam aspek yang diubahkan jika kita menjadi murid yang bertumbuh. Pertama, pikiran yang diubahkan, pembaharuan akal budi (Roma 12:2). Kedua watak yang diubahkan. Watak yang teruji dengan godaan (Matius 4:1-10). Ketiga, hubungan yang diubahkan. Mengasihi sebagaimana Yesus mengasihi (Yohanes 13:34-35). Keempat, kebiasaan-kebiasaan yang diubahakan; seperti kebiasaan berdiam diri, ketundukan, kesiapan berkorban, hemat dan lain-lain.Kelima, pelayanan yang diubahkan. Melayani bukan dilayani. Keenam, pengaruh yang diubahkan. Memimpin sebagaimana Yesus memimpin. Memimpin dengan kerendahan hati, bukan dengan tangan besi dan kekuasaan (Filipi  2:5-7). Sebagai pribadi dan komunitas orang percaya - baik gereja atau persekutuan, kita perlu terus mengevaluasi dan  mengantisipasi agar tetap pada agenda yang diamanatkan Yesus kepada kita, yaitu: memuridkan. Bagi Yesus pemuridan itu sangat penting. Yesus memulai pelayanan-Nya dengan memanggil para murid dan memuridkan mereka, lalu pada akhir pelayanan-Nya di dunia sebelum Dia naik ke surga Dia mengutus murid-murid-Nya agar memuridkan dan menjadikan semua bangsa murid-Nya (Matius 28:18-20). Dari perikop ini kita melihat ada empat kata kerja yang berbentuk perintah  dalam ayat 19-20 : ‘pergilah’, ‘jadikanlah’, ‘baptislah’, ‘ajarlah’. Dalam perintah ini, ada satu kata kerja utama yang berbentuk perintah (menurut tata bahasa Yunani disebut aorist imperative ), yaitu “ matheiteusate ” (jadikanlah murid/muridkanlah), sedangkan  tiga kata kerja lainnya merupakan keterangan berbentuk aorist participle dan present participle yang berfungsi menjelaskan apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan perintah utama tersebut: “ poreuthentes ” (pergilah), “ baptizontes ” (baptislah), dan “ didaskontes ” (ajarlah). Perintah “pergilah” tidak selalu bermakna geografis, melainkan menyiratkan suatu  tindakan aktif. Artinya, untuk mengerjakan tugas memuridkan dituntut inisiatif kita untuk pergi memberitakan Firman Tuhan dan mencari jiwa-jiwa yang terhilang, bukan hanya sekedar pasif menunggu orang yang datang menyerahkan diri. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan frase “as you go” yang bermakna kemana pun kita pergi, sejatinya memuridkan. Sedangkan arti kata “ajarlah” dalam perikop ini menjelaskan proses yang harus dijalani dalam membentuk seseorang menjadi murid Kristus. Ini merupakan proses panjang yang berkaitan dengan aspek kualitas. Langkah berikutnya adalah mengajar orang tersebut untuk “melakukan segala sesuatu” yang diperintahkan oleh Kristus untuk hidup dalam ketaatan total terhadap Firman Tuhan.  Perintah ini bukan sesuatu yang mustahil karena yang dituntut bukanlah kesempurnaan tanpa cacat cela, melainkan karakter yang taat Firman Tuhan dalam segala hal. Bukan pula hanya terjadi sewaktu-waktu, atau disebabkan oleh ketakutan tertentu, ataupun karena mengharapkan sesuatu, melainkan menyatu dengan cara berpikir dan cara hidup sehari-hari. Dan pernyataan “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”, menyiratkan bahwa Amanat Agung tersebut  tidak hanya ditujukan kepada sebelas murid yang hadir di Danau Galilea pada masa itu, melainkan juga ditujukan kepada murid-murid Kristus generasi selanjutnya hingga akhir zaman. Hal ini berarti bahwa Amanat Agung tersebut berlaku juga bagi setiap kita yang mengaku sebagai pengikut Kristus pada zaman ini. Kita perlu terus mengingat siapa  yang menyertai kita adalah Yesus yang kepada-Nya telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Jika Yesus menyertai kita, seharusnya tidak ada alasan untuk takut dan gentar. Sang Pribadi inilah yang membuat kita bisa tetap maju, aktif,  tekun dan setia sampai akhir. Undangan dan panggilan menjadi murid-Nya sesungguhnya tidak berhenti pada diri kita tetapi juga berarti panggilan dan undangan untuk memuridkan. Memuridkan bukan sebatas program dan aktivitas melainkan menjadi teman untuk berjalan bersama dalam relasi kasih yang saling asah dan asih bertumbuh bersama, mengikuti Yesus, Tuhan kita, Sang Guru dan teladan kita (is) Referensi: Bill Hull, 2014. Panduan Lengkap Pemuridan,  Yayasan Gloria- Katalis, Jogyakarta Indrawaty Sitepu dkk ,2023. Pendidik, Pengajar yang Belajar , Literatur Perkantas, Jakarta Tim Staf Perkantas, 2013. Pemuridan Dinamis Membangun Bangsa , Literatur Perkantas, Jakarta

  • Tenaga Kesehatan Politis, Why Not?

    SEKECIL apa pun terang suatu lilin, ia akan mampu menyinari kegelapan di sekitarnya. Seiring dengan itu, kita sebagai umat tebusan yang sekarang ini ada dalam Fase Kejatuhan dan Fase Penebusan, perlu berperan dan bertanggung jawab memulihkan ciptaan atas semua kerusakan yang ada. Pun kerusakan politik. Partisipasi orang Kristen sebagai warga negara yang aktif dalam semua bidang, termasuk bidang politik adalah keniscayaan. Keterlibatan itu, dalam profesi apa pun, adalah wujud nyata dari panggilan iman (kewajiban iman) sekaligus hak istimewa sebagai warga negara. Berpartisipasi secara aktif, proporsional, dan seimbang dalam bidang politik, patut dijalankan supaya memberi manfaat bagi kehidupan bersama. Kabar Indonesia terkini Indonesia saat ini tidak dalam kondisi yang fit dan bugar jika melihat kabarnya melalui data-data. Indonesia masuk deretan 100 negara miskin di dunia. Pada 2023 Indonesia menjadi negara termiskin ke-70 di dunia (Global Finance dalam idxchannel.com , 16/01/2024). IQ nasional kita bahkan terendah di antara negara Asia Tenggara lainnya. Laporan World Population Review 2023 (dalam worldpopulationreview.com ) menulis skor rata-rata IQ orang Indonesia adalah 78,49—peringkat ke-126 dari 199 negara. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) baru mencapai 74,38 pada 2023 (Indeks Pembangunan Manusia 2023, 2024). Celakanya, hingga tahun 2023 generasi yang ada pada usia produktif kelak justru kebanyakan mengalami stunting. Tercatat sebesar 21,5% angka stunting di Indonesia (Kementerian Kesehatan dalam sehatnegeriku.kemkes.go.id , 25/07/2024). Diperparah dengan rasio dokter di Indonesia yang masih kurang, yakni 0,47—hanya 0,47 dokter per 1.000 penduduk—dengan urutan 147 di dunia (ibid., 24/04/2024). Semakin parah jika berkaca pada fasilitas kesehatan di daerah Timur juga daerah terdepan Indonesia lainnya. Kualitas pendidikan juga mengkhawatirkan. Mengacu pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Maret, 2023), Angka Partisipasi Murni (APM) untuk jenjang pendidikan tinggi hanya 21,73. Pendidikan kedokteran punya cerita lain lagi. Selain biaya studinya yang terkenal tinggi dibanding studi lainnya, pun banyak mahasiswa Kedokteran yang masih dibebankan biaya ‘ilegal’ lainnya. Kejatuhan Manusia Dalam cara pandang Kristen (Christian worldview)—penciptaan (Creation)-kejatuhan   (Fall)-penebusan (Redemption)-penyempurnaan (Consummation)—yang kita imani,   sekelumit masalah yang kompleks tersebut adalah bagian dari fase kejatuhan manusia dalam dosa di kehidupan dunia ini. Alkitab menegaskan bahwa manusia itu seluruhnya bobrok dan   bahwa dunia, di mana Allah menempatkannya (manusia) sebagai penguasa, kini berada dalam   keadaan rusak sebagai akibat dosa; bahwa maut telah masuk ke dalam dunia sebagai hukuman   atas dosa... (H. Henry Meeter, 2012: hlm 15). Dosanya berlapis. Lembaga pemerintahan yang pusatnya adalah kekuasaan secara alamiah memang   cenderung bersifat korup, menindas, dan menyimpang. Demokrasi sudah meramalnya. Skema   checks and balances  antar-ketiga lembaga pemerintahan—Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif—secara kasat mata belum berjalan optimal. Berkaca pada kasus-kasus tersebut, kita   bersedih karena tampaknya justru berjalan mundur. Bukan checks and balances , melainkan   saling bermufakat demi kepentingan masing-masing. Tak luput, ada celah pada struktural. Struktural yang dimaksud adalah bagaimana   mekanisme negara pasti memengaruhi permasalahan publik. Patut dipertanyakan mengapa   kebijakan publik belum menjawab akar persoalan. Ada alur perumusan kebijakan yang tidak dijalankan secara rigid dan konsekuen. Bisa jadi karena kekeliruan pada tahap input atau pada   tahap proses, atau keduanya, sehingga melahirkan output (kebijakan publik) yang cacat.   Singkatnya, masalah ada karena mekanisme dari sistemnya ‘memaksa’ lahirnya masalah   tersebut. Sebagai individu, kita juga berkontribusi atas lahirnya masalah-masalah tersebut. Yang konkret dan dekat adalah soal partisipasi politik kita yang masih di ambang lemah. Patologinya   biasanya sikap sebagai pemuja ulung. Memuja-muji kekuasaan tanpa ada sikap kritis yang   tajam dan proporsional. Ini sangat bahaya karena akan menimbulkan bias bagi mereka yang   berkuasa: seakan semua baik-baik saja, tidak ada masalah. Imbasnya, tidak ada perbaikan yang   dilakukan. Bahkan kekuasaan bisa dijalankan secara sembarangan akibat ketiadaan sikap kritis   dari warga negara. Patologi selanjutnya adalah bersikap apatis, acuh tak acuh. Kasus yang   umum terjadi adalah saat Pemilu - hanya sebatas coblos lalu tinggalkan tanpa memedulikan apa   yang terjadi setelahnya. Sikap kita ini telah melonggarkan pengawalan selama ia menjabat,   yang berpotensi besar menjadi lampu hijau baginya untuk berpraktik lancung. Partisipasi politik tenaga kesehatan Alam dan semua kehidupan ini adalah tempat kudus untuk memuliakan Allah. Adalah   mandat untuk tidak hanya berurusan dengan yang rohaniah, tapi juga mampu menjawab   tantangan dari realitas dunia. Seorang Calvinis menganggap sebagai kewajibannya untuk   menyelidiki seluruh kehidupan dan, dalam hal kebudayaan intelektual, mengembangkan   pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya, menatanya ke dalam satu keseluruhan   yang harmonis dan terperinci, dan menggunakannya bagi Allahnya (ibid., 2012; hlm. 18). Kita semua harusnya merasa resah gelisah dengan kondisi Indonesia sekarang ini. Abraham Kuyper (2005; hlm. 27) menegaskan, “Dengan demikian kutuk tidak lagi berada di atas dunia itu sendiri, tetapi di atas apa yang berdosa di dalamnya, dan alih-alih melarikan diri   dari dunia dengan masuk biara, tugas kini diarahkan untuk melayani Allah di dalam dunia,   dalam setiap posisi dalam kehidupan.” Berdasarkan cara pandang Kristen yang kita imani,   sebagai masyarakat juga umat Kristiani, kita perlu melibatkan diri dalam politik. Terlebih,   politik adalah tanggung jawab warga negara, apa pun profesinya—pedagang, guru, dokter,   dst.. Cara mudah adalah suarakan, pakai hak berpendapat kita. Suarakan kegelisahan dengan proporsional dan elegan supaya tepat sasaran dan dipertimbangkan. Tenaga kesehatan, sebagai   warga negara, harus berperan memikirkan politik kebijakan publik secara umum dan kebijakan   negara sektor kesehatan secara khusus. Untuk tidak melulu mengenai lingkup utamanya, tapi   juga lingkup lainnya secara komprehensif. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah setiap   orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki sikap profesional,   pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan tinggi yang untuk jenis tertentu   memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya Kesehatan (Pasal 1 angka 7 UU Kesehatan). Tenaga kesehatan perlu bersikap politis. Berpartisipasi politik secara aktif dan kritis.   Mengutip Huntington (No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries,   1994), partisipasi politik berarti kita yang bertindak sebagai pribadi-pribadi memengaruhi   pembuatan keputusan oleh pemerintah. Bisa secara individu/otonom/sukarela, melalui   platform media sosial pribadi. Partisipasi ini mendesak demi mengontrol pemerintah. Menyalurkan tentang kebutuhan dan kepentingan kita, yang diharapkan berimpak   pembangunan negara. Bisa juga secara organisasi (dimobilisasi) atau sampaikan ke mitra   terkait. Langkah lainnya adalah berpartisipasi langsung untuk memengaruhi kebijakan. Semua   bisa dilakukan tanpa perlu meninggalkan tanggung jawab utama. Kita tidak diperkenankan lelah menyuarakan, karena ini adalah bagian dari tanggung   jawab kita sebagai warga negara. Partisipasi politik penting agar ada kontrol terhadap   penyelenggaraan pemerintah dan kekuasaan negara tidak absolut. Jangan partisipasi minimal,   karena sama saja itu berarti pengawalan tidak ketat dan potensi masih ada celah. Kita, sebagai umat tebusan, perlu berperan dan bertanggung jawab memulihkan ciptaan   atas semua kerusakan yang ada. Dalam bidang politik, berpartisipasi secara aktif, proporsional,   dan seimbang adalah bentuk konkretnya. Itu upaya kita untuk menjadi terang lilin yang mampu   menyinari kegelapan di sekitarnya sekaligus merupakan hak kita sebagai warga negara. Profil Singkat Nama : Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si . TTL/Umur : Wayaua (Bacan/Halmahera Selatan), 20 Agustus 1987/35 tahun Pekerjaan : • Anggota DPD-RI Terpilih Prov. Maluku Utara (2024–2029) • Tenaga Ahli Anggota DPR-RI (2019–2023) • Tenaga Ahli DPR-Papua (2014–2018) • Bapak Rumah Tangga   Pendidikan : • S3 Ilmu Politik Universitas Indonesia (2018–2022) • S2 Ilmu Sosiologi Universitas Indonesia (2011–2014) • S1 Ilmu Administrasi Negara Universitas Merdeka Malang (2005–2009)

  • Aborsi: Apa Masalahnya?

    “PP Kesehatan baru, pemerintah legalkan aborsi untuk korban perkosaan”, begitu kira-kira judul berita yang heboh tersebar di Indonesia belakangan ini, sekitar pertengahan tahun 2024. Sejak disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024, topik aborsi menjadi satu topik kesehatan reproduksi yang banyak diperbincangkan. Ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa peraturan ini adalah terobosan baru di Indonesia, meskipun ini tidak benar. Kenapa? Di Indonesia, aborsi untuk korban perkosaan sudah legal dan ini sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan yang lama yaitu UU Kesehatan no. 36 tahun 2009. Dalam UU Kesehatan tersebut, pasal 75 dan 76 mengatakan bahwa perempuan korban perkosaan yang mengalami kehamilan dapat melakukan aborsi sebelum kehamilan berumur 6 minggu (dihitung dari hari pertama haid terakhir). Jika aturan ini sudah ada sejak tahun 2009, lalu apa yang berbeda mengenai peraturan aborsi legal di tahun 2024? Yang membedakan adalah batas usia kehamilan untuk korban perkosaan di mana aborsi secara legal boleh dilakukan. Peraturan yang baru mengatakan bahwa batas usia kehamilan tersebut adalah 14 minggu (UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 463). Dengan demikian, batas usia kehamilan yang sebelumnya adalah 6 minggu sekarang berubah menjadi 14 minggu. Di satu sisi, kita bisa memahami bahwa peraturan mengenai aborsi ini dirancang untuk melindungi perempuan. Kasus pemerkosaan pasti meninggalkan luka dan trauma yang mendalam bagi korban. Sudah mengalami pelecehan, dia kini harus menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini semakin menambah beban mentalnya, karena setiap kali melihat kandungannya, dia akan teringat pada pelaku pemerkosaan. Belum lagi jika dia mengalami kesulitan finansial: bagaimana dengan biaya perawatan untuk kehamilan dan persalinan? Apa yang harus dilakukan dengan biaya untuk membesarkan anak jika sudah lahir? Ditambah lagi, stigma sosial yang harus dihadapi: menjadi bahan pembicaraan masyarakat, dicap sebagai "anak haram", dan sebagainya. Bayangkan betapa beratnya tantangan yang mungkin dihadapi oleh perempuan korban pemerkosaan ini. Sehingga, aborsi ditawarkan sebagai salah solusi untuk menolong perempuan yang mengalami situasi sulit tersebut. Apa itu aborsi? Dari tadi kata “aborsi” sudah disinggung berkali-kali, namun apa itu aborsi? Aborsi adalah pengakhiran kehamilan dengan mengeluarkan embrio atau janin dari dalam rahim perempuan dengan menggunakan berbagai macam metode (tergantung usia kehamilan) yang mengakibatkan kematian sang janin. Iman Kristen percaya bahwa kehidupan manusia dimulai sejak proses fertilisasi (pembuahan) terjadi (Mazmur 139:13,16). Fertilisasi adalah ketika sel sperma bersatu dengan sel telur untuk membentuk zigot. Pada tahap inilah (bahkan ketika masih satu sel ini) kehidupan seorang manusia dimulai. Zigot lalu perlahan bertumbuh dan berkembang menjadi embrio, fetus, dan bayi mungil dalam kandungan. Namun, aborsi mengakibatkan kematian janin–baik itu tahap zigot, embrio, fetus, atau bayi–yang adalah seorang manusia. Dengan kata lain, aborsi adalah pembunuhan hidup seorang manusia.  Aborsi: solusikah? Kembali kepada masalah perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akibat pemerkosaan, apakah aborsi adalah solusi yang paling tepat untuk menjawab masalah ini? Apalagi ada yang mengatakan bahwa aborsi adalah hak setiap perempuan, khususnya hak atas tubuh mereka sendiri. Maksudnya, setiap perempuan berhak untuk menentukan pilihan atas tubuhnya sendiri, termasuk tindakan aborsi yang dikenakan pada tubuhnya sendiri. Lebih lanjut lagi, jika aborsi adalah hak perempuan atas tubuhnya, maka mereka juga berhak untuk mendapatkan akses aborsi yang aman. Inilah yang sedang diperjuangkan oleh beberapa pihak yang setuju aborsi. Sekali lagi, kita sama sekali tidak mengecilkan atau meremehkan segala macam kesulitan yang dialami oleh perempuan korban perkosaan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, aborsi adalah solusi yang buruk untuk menjawab masalah yang ada. Memang betul bahwa dalam satu pengertian setiap perempuan berhak atas tubuhnya sendiri, tapi dalam konteks kehamilan sang perempuan tidak hanya berhadapan dengan tubuhnya sendiri, melainkan dengan tubuh manusia yang lain, yaitu janin yang ada di dalam kandungan. Maka, aborsi merenggut hak sang janin untuk hidup. Ketika pemenuhan sebuah hak seorang individu mengakibatkan pelanggaran hak bagi individu yang lainnya, maka itu adalah kejahatan. Jadi, hak atas tubuh sendiri bukan berarti kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk diri sendiri. Kebebasan seorang manusia adalah kebebasan yang terbatas. Dalam konteks aborsi pada kehamilan yang tidak diinginkan, kebebasan perempuan tersebut untuk melakukan aborsi setidaknya dibatasi oleh hak sang janin untuk hidup. Bagaimana dengan pemerkosa yang menghamili seorang perempuan? Bukankah si pemerkosa ini juga melanggar hak perempuan tersebut? Tentu hal tersebut merupakan pelanggaran hak sang perempuan dan adalah kejahatan yang besar, maka si pemerkosa sudah seharusnya dan sepantasnya dihukum. Namun, aborsi bukanlah solusi atas kehamilan yang tidak diinginkan bagi korban perkosaan. Membunuh sang janin melalui tindakan aborsi malah menambah kejahatan yang baru selain kejahatan pemerkosaan yang sudah terjadi. Jika trauma psikologis adalah yang menjadi masalah dan beban bagi sang perempuan korban perkosaan, maka solusinya adalah konseling dan pendampingan psikologis dari pihak yang kompeten dan bertanggung jawab. Jika masalahnya terletak pada beban finansial untuk kontrol kehamilan dan persalinan, maka konsep rumah aman ( crisis pregnancy center ), seperti Rumah Tumbuh Harapan (Rumah RUTH) di Bandung dan Bali atau Yayasan Pondok Hayat di Surabaya dan Kupang, harus lebih diperjuangkan dan dikembangkan di Indonesia. Jika masalahnya terletak pada ketidaksiapan–baik itu mental, sosial, finansial, atau alasan lainnya–untuk mengurus dan membesarkan sang anak (jika sudah lahir nanti), maka adopsi yang bertanggung jawab bisa menjadi pilihan solusinya. Pergeseran yang tidak kelihatan Saat ini di Indonesia peraturan aborsi memang masih sangat dibatasi yaitu aborsi yang legal hanyalah untuk perempuan hamil akibat korban perkosaan. Namun, itu pun sudah terjadi pergeseran secara perlahan-lahan. Yang awalnya usia kehamilan dibatasi hanya sampai usia 6 minggu, sekarang batas usia kehamilannya dilonggarkan menjadi 14 minggu. Di dunia Barat, jangankan bicara tentang batas usia kehamilan yang sangat longgar (melampaui 14 minggu), beberapa negara bahkan melegalkan aborsi dengan alasan apa pun (tidak hanya terbatas pada alasan kehamilan akibat perkosaan). Dengan demikian, melihat fenomena yang terjadi di dunia sekarang ini mengenai aborsi, kita harus sadar bahwa batas usia kehamilan atau alasan untuk aborsi legal yang makin dilonggarkan sebenarnya hanya fenomena eksternal yang kelihatan. Kita harus peka bahwa setiap yang kelihatan selalu didasari oleh sesuatu yang tidak kelihatan. Ada semangat dan cara pandang tertentu di balik segala sesuatu yang kelihatan di dunia ini, termasuk isu aborsi. Jadi, meskipun secara ranah praktis ada solusi yang lebih baik daripada aborsi yang bisa kita tawarkan dan perjuangkan, solusi yang praktis ini tidak sepenuhnya mengatasi akar permasalahan yang ada. Untuk mengatasi akar permasalahannya, kita harus mengerti terlebih dahulu maksud dari semangat yang tidak kelihatan tersebut. Apakah itu? /kb Penulis saat ini bekerja di Klinik Pratama Samaritan dan aktif melayani di PMdN dan Pro Life Indonesia

  • Nehemia: Karakter Pemimpin yang Membawa Perubahan

    Nehemia merupakan seseorang yang dipanggil menjadi pemimpin untuk menyuarakan kebenaran dan membawa perubahan. Ia pada awalnya adalah seorang juru minuman Raja Persia, Artahsasta I. Salah satu tugas juru minum raja adalah memilih minuman untuk raja dan memastikan bahwa minuman tersebut tidak berbahaya. Dalam sejarah, ayahanda dari Raja Artahsasta I dibunuh di tempat tidurnya oleh salah satu anggota istana. Dengan latar belakang itu, pastilah Nehemia adalah orang yang memenuhi kualitas yang sangat bisa dipercaya oleh raja Artahsasta. Nehemia memiliki arti nama “The LORD comforts” . Berikut beberapa karakter dan kemampuan seorang pemimpin yang dapat kita pelajari dari Nehemia. Visi yang jelas. Seseorang pernah berkata: “Leaders without vision are like guides without a map” . Pemimpin adalah seseorang yang memiliki gambar besar dan arah yang akan dituju. Karena itulah orang mengikuti mereka, karena mereka tahu arah yang akan dituju, hasil yang akan dicapai dan bagaimana cara untuk mencapainya. Nehemia memiliki visi yang jelas dalam menjalani panggilannya. Visi Nehemia adalah membangun kembali kota Yerusalem. Visi yang mulia ini lahir dari mendengar keadaan tanah air yang menyedihkan: runtuh dan hancur.  Terdapat waktu empat bulan (dari bulan Kislew ke Nisan) sejak Nehemia mendengar tentang kondisi kehancuran Yerusalem sebelum ia mengungkapkan isi hatinya kepada raja. Empat bulan yang cukup untuk Nehemia berdoa, berpikir, membuat tujuan dan perencanaan, mempertajam visi, mencari kemungkinan cara-cara penyelesaian, menghitung kemungkinan dukungan dan sumber daya yang dimiliki, dan seterusnya. Empat bulan yang mengubah sebuah keresahan hati menjadi sebuah rencana konkrit yang terukur untuk sebuah perubahan. Permintaan Nehemia kepada raja adalah sangat spesifik dan mendetail (Neh.2:5-9) yaitu permintaan izin dengan durasi yang spesifik, permohonan surat dari raja untuk para bupati di daerah sungai Efrat dan bagi Asaf, pengawas taman raja, untuk memberikan bahan baku untuk pembangunan pintu-pintu gerbang di benteng Bait Suci, tembok kota dan untuk rumah yang didiaminya. Ia memiliki gambaran bagaimana cara mencapai visinya, dan komitmen untuk menyelesaikannya. Keberanian mengambil resiko. Keberanian adalah sebuah kualitas pikiran seseorang yang memampukannya menghadapi bahaya atau kesukaran dengan tegar dan kuat, tanpa roh ketakutan atau tertekan. Nehemia keluar dari kepompong ketakutan dan zona nyaman untuk mengambil inisiatif yang membawa perubahan bagi bangsanya. Nehemia mengambil risiko yang sangat besar. Bagaimana kalau raja tidak memberi izin dan malah menghukumnya karena kelancangannya melakukan banyak permintaan? Bagaimana kalau sumber daya tidak cukup? Bagaimana bila ia tidak mampu menghadapi semua tantangan dan akhirnya gagal, berhenti dan tidak mampu? Pertimbangan-pertimbangan tersebut bisa saja membuatnya mundur dan melupakan panggilannya. Salah satu kata kunci adalah: calculate the risk, manage the risk. Nehemia sebenarnya sangat takut terhadap raja (Nehemia 2:2). Tapi, ia berhasil mengalahkan ketakutannya dan melangkah maju mengambil resiko untuk menceritakan visinya kepada raja. Doa menjadi kekuatan pada saat-saat krusial yang sangat menentukan pilihan dan keputusannya (2:4). Keberanian menembus ketakutan itu juga didukung oleh perencanaan yang matang. Problem Solver : Pengambilan keputusan secara tepat dengan timing  yang tepat.  Kualitas lain yang tampak dalam diri Nehemia adalah problem solver . Ketika menjalani panggilan Tuhan, seringkali ketidakmampuan menyelesaikan masalah dengan tepat bisa memperburuk keadaan yang ada. Oleh sebab itu, dibutuhkan hikmat dalam menjalani panggilan-Nya. Nehemia ketika tiba di Yerusalem, tidak langsung bekerja membangun tembok setelah menginjakkan kakinya di Yerusalem. Tiga hari ia tinggal sebelum melakukan survei, mengenali, mendata, menguji, menginspeksi secara detail kondisi kerusakan, kehancuran tembok-tembok yang ada. Ia mencari realitas permasalahan, merenungkan solusi yang tepat atas realita tersebut. Setelah menemukan perspektif yang tepat atas masalah yang ada, Nehemia mengumumkan kepada publik tentang rencana dan strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Permasalahan utama adalah Yerusalem dalam reruntuhan dan bangsa yang hidup dalam kondisi tercela! Ada banyak permasalahan yang ada, namun penting untuk melihat dari mana kita mulai untuk menyelesaikannya. Menemukan masalah utama adalah hal yang sangat penting dalam kepemimpinan; membuat kebijakan, keputusan yang tepat dan berhikmat terhadap masalah tersebut akan membawa kemajuan bagi orang-orang yang dipimpin. Pemimpin kemudian membuat alternatif-alternatif bagaimana menyelesaikan permasalahan utama tersebut. Motivator: Kemampuan menyampaikan visi dan menggerakkan tim. Perlu adanya transfer visi kepada orang lain. Yang dilakukan Nehemia selanjutnya adalah menjadikan visi itu sebagai milik bersama. Salah satu kelemahan banyak pemimpin adalah ketidakmampuan untuk menyampaikan dan menerjemahkan visi untuk dilakukan bersama-sama. Nehemia sudah memiliki alat dan bahan yang dibutuhkan untuk membangun. Tetapi, visi yang besar itu tidak mungkin terealisasi sendiri tanpa dukungan dari masyarakat Yerusalem.  Kemampuan membagi dan mendelegasikan tugas juga merupakan salah satu kemampuan kepemimpinan yang dimiliki oleh Nehemia. Ia mengumpulkan orang-orang dan membagi strategi untuk membangun tembok (2:17). Nehemia berhasil menggerakkan berbagai komponen masyarakat untuk bergandengan tangan membangun tembok itu. Dari imam besar, para imam, orang-orang Lewi, hingga berbagai lapisan masyarakat secara antusias ikut membangun. Ada keluarga tukang emas, juru campur rempah-rempah, anak-anak perempuan, serta para pedagang yang ikut turun tangan untuk bekerja berdampingan (3: 8, 12, 32). Namun, Nehemia tidak melakukan pendelegasian secara sembarangan. Ia memilih orang yang berkualitas dan tepat untuk pekerjaan tertentu (Neh. 7:2). Dan pada akhirnya, pekerjaan itu bisa selesai dalam waktu yang sangat cepat yaitu 52 hari. Menghadapi kritik dan ancaman.  Salah satu hal yang pasti dihadapi dalam menghidupi panggilan Tuhan adalah adanya kritik dari oposisi yang dapat berujung pada penolakan, ancaman dan konfrontasi. Hal ini dialami oleh Nehemia sebagai seorang pemimpin. Pihak oposisinya adalah orang-orang yang terganggu dan terancam yang tidak ingin menerima perubahan yang baik (Neh. 2:10). Secara progresif oposisi ini meningkat menjadi iri hati, marah, dan sakit hati (Neh. 4:1), lalu menghina dan mencerca pekerjaan Nehemia (Neh. 4:2-4). Dari hinaan verbal berubah menjadi ancaman penyerangan dan kekacauan; hingga 10 kali ancaman datang ke orang-orang yang sedang membangun (4:8,12).  Oposisi adalah hal yang pasti akan dihadapi oleh para pemimpin. Nehemia memiliki daya tahan (resilience)  yang tinggi sehingga tidak goyah akibat ancaman yang bisa menggerogoti visinya. Pernah, bangsa itu nyaris menyerah (Neh. 4:10) “Berkatalah orang Yehuda: “Kekuatan para pengangkat sudah merosot dan puing masih sangat banyak. Tak sanggup kami membangun kembali tembok ini.”  Tetapi, Nehemia memberikan motivasi untuk ingat pada Tuhan yang besar dan dahsyat, dan mendorong rakyat untuk terus berjuang. Rakyat itu kembali berjuang dengan segenap tenaga. Memperjuangkan orang yang miskin dan lemah. Panggilan Tuhan salah satunya juga seringkali berkaitan dengan orang yang miskin dan lemah. Sebagai pemimpin, Nehemia juga memperjuangkan keadilan sosial   dengan memperjuangkan keadilan bagi rakyat miskin yang diperas (Neh. 5). Rakyat kecil diperas secara ekonomi sehingga mereka harus menggadaikan hak milik mereka, membayar pajak yang tinggi, bahkan anak mereka masuk ke perbudakan akibat pemerasan yang terjadi oleh sesama anak bangsa. Nehemia sangat marah akibat ketidakadilan dan ketidakbenaran yang terjadi. Kemarahan yang benar adalah salah satu ciri pemimpin yang sejati. Kemarahan yang lahir dari kepedihan atas kondisi ketidakadilan, kebobrokan dan ketidakbenaran yang terjadi. Kemarahan yang suci itu kemudian bertransformasi ke dalam kebijakan-kebijakan yang berani dan membawa perubahan yang sangat signifikan. The Gracious Hand of God: Pentingnya doa. Satu hal yang sangat penting untuk kita teladani dari Nehemia adalah kehidupan doanya. Nehemia menangis, berkabung, berpuasa dan berdoa ketika mendengar berita tentang Yerusalem (Neh. 1). Nehemia mengawali pergumulan ini dalam doa. Ia berdoa kepada Tuhan di sepanjang prosesnya (Neh. 2:4; 4:9). Ia melihat tangan Tuhan yang murah memberkati dan memimpin panggilannya. Doa menjadi salah satu yang sentral dalam kitab Nehemia. Di akhir kitab Nehemia, ia berdoa kepada Allah “Ya Allahku, ingatlah kepadaku, demi kesejahteraanku!”. Nehemia sadar, kemampuan, seluruh sumber daya dan hasil yang diterimanya tidak mungkin terjadi tanpa belas kasihan tangan Allah. Nehemia menjadi teladan pemimpin yang berdoa dan bergantung kepada Allah sebagai sumber segala sesuatu. Penutup  Kiranya kita dapat belajar dari teladan Nehemia sebagai seorang pemimpin yang berkarakter. Apapun yang Tuhan percayakan kepada kita untuk kita kerjakan saat ini, biarlah kita bisa bersungguh hati menjalaninya. Biarlah kiranya semangat pemimpin Kristen yang terus menyuarakan kebenaran yang sejati terus menyala dalam diri kita. Kiranya melalui kita, nama Tuhan dimuliakan di seluruh bumi terutama di bangsa Indonesia, tempat di mana Tuhan tempatkan kita. Amin. /knd-kb

  • Belajar dari Musa: Menekuni Panggilannya sebagai Pemimpin yang Hadir

    Lalu Musa mencoba melunakkan hati TUHAN, Allahnya, dengan berkata: "Mengapakah, TUHAN, murka-Mu bangkit terhadap umat-Mu, yang telah Kaubawa keluar dari tanah Mesir dengan kekuatan yang besar dan dengan tangan yang kuat?” (Keluaran 32:11) Allah memperhatikan kesengsaraan umat-Nya. Karena itu, Allah mengutus Musa kepada Firaun untuk membawa umat-Nya, keluar dari Mesir. Memimpin dan membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir menuju Tanah Perjanjian, bisa kita bayangkan pasti bukan perkara yang mudah. Mungkin karena itulah Musa berdalih dan mengajukan keberatan saat meresponi panggilan Allah ini. Menariknya, Allah menjawab, menyediakan, dan menantang Musa untuk setiap dalih dan keberatan yang diajukannya sebagaimana tertulis dalam kitab Keluaran 3-4.  Allah menepati janji-Nya. Allah yang memanggil dan mengutus, Dia pula lah yang menyertai. Dan oleh penyertaan Allah, Musa dimampukan menjadi pemimpin yang hadir bagi umat-Nya. Setidaknya ada tiga hal penting yang dapat kita pelajari dan teladani dari bagaimana Musa menekuni panggilan Tuhan dengan menjadi pemimpin yang hadir. Pertama,  Musa hadir dalam krisis kehidupan umat. Peristiwa di Masa dan di Meriba (Keluaran 17:1-7) mengingatkan kita akan hal itu. Pada waktu itu ada krisis di tengah-tengah bangsa Israel yaitu tidak ada air. Kita tahu air merupakan kebutuhan yang sangat penting. Alkitab mencatat tidak ada air untuk diminum bangsa itu. Bayangkan betapa sulitnya keadaan waktu itu. Orang Israel marah kepada Musa. “Sebentar lagi mereka akan melempari aku dengan batu,” kata Musa. Mereka mempertanyakan mengapa Musa membawa mereka keluar dari Mesir, mereka bahkan mencobai Tuhan. Kita perlu waspada dalam menghadapi  krisis. Jika tidak dihadapi dengan tepat maka krisis dapat meluas. Krisis rentan dengan konflik seperti yang dialami oleh bangsa Israel dengan Musa. Dalam situasi yang tidak ideal ini Musa tidak berdiam diri apalagi melarikan diri dari krisis yang sedang dihadapi umat. Musa hadir, Musa berseru-seru kepada Allah. Allah mendengar seruan Musa. Dia tidak membiarkan Musa sendirian menghadapi krisis dan konflik tersebut. Allah hadir, berdiri bersama Musa. Musa juga menegur umat karena mencobai dan mempertanyakan kehadiran Tuhan. Musa hadir dengan berseru-seru kepada Tuhan untuk menjawab krisis yang sedang dihadapi umat dan Musa juga menegur umat atas kesalahannya. Musa tidak mendiamkan kesalahan umat. Kedua,  Musa hadir menolong umat menegakkan keadilan serta ketetapan dan keputusan Tuhan dalam permasalahan sehari-hari mereka. Kita mungkin masih ingat peristiwa Yitro mengunjungi Musa (Keluaran 18). Musa hadir setiap hari dari pagi sampai petang untuk mengadili, memberi ketetapan-ketetapan dan keputusan-keputusan Allah. Hal tersebut dilakukan Musa seorang diri. Melihat itu Yitro menegur dan memberi nasehat. Karena jika demikian maka baik Musa maupun umat akan kelelahan, oleh sebab itu Musa dinasehati oleh mertuanya agar membentuk tim yang terlatih dan dapat dipercaya. Musa menerima nasehat mertuanya agar kehadirannya menolong umat dalam mengatasi perkara-perkara mereka, mengadili, memberi ketetapan-ketetapan dan keputusan-keputusan Allah semakin efisien dan efektif. Lalu Musa mempersiapkan dan memilih serta menempatkan tim kerjanya sebagai pemimpin seribu orang, seratus orang, lima puluh orang, sepuluh orang. Dan hanya perkara-perkara yang sukar saja yang dihadapkan kepada Musa, tetapi perkara-perkara yang kecil mereka sendiri yang menyelesaikannya. Dengan demikian kehadiran Musa dalam menolong perkara umat dapat terlaksana dengan lebih optimal dan proporsional. Ketiga,  Musa hadir dalam menengahi pertikaian umat yang berdosa dengan Tuhan Allah. Musa hadir sebagai perantara umat dengan Allah. Dalam peristiwa anak lembu emas (Keluaran 32), kita melihat umat tidak sabar menunggu Musa turun dari gunung Sinai, lalu mereka membuat anak lembu emas di bawah kepemimpinan Harun. Mereka mengatakan anak lembu emas itulah allah yang telah membawa mereka keluar dari tanah Mesir, mereka bersukaria, makan, minum, mempersembahkan korban. Allah sangat marah dan menyuruh Musa segera turun menjumpai bangsa Israel. Allah mengatakan bangsa itu adalah bangsa yang tegar tengkuk. Jika pada waktu Allah mengutus Musa, Dia menyebut bangsa Israel dengan sebutan “Umat-KU” (Keluaran 3:10) tapi pada peristiwa dosa besar ini, Allah mengatakan kepada Musa “bangsamu” telah rusak lakunya (Keluaran 32:7). Bangsa Israel ‘bertikai’ dengan Allah. Situasi yang sangat menegangkan. Situasi yang sangat menyedihkan. Musa hadir dalam peristiwa pertikaian tersebut. Musa cepat tanggap melihat situasi. Umat Israel yang telah melakukan dosa besar kepada Allah ditegur dan dihukum dengan tegas oleh Musa. Musa menempatkan dirinya menjadi perantara antara bangsa Israel dan Allah. Keesokan harinya berkatalah Musa kepada bangsa itu: "Kamu ini telah berbuat dosa besar, tetapi sekarang aku akan naik menghadap TUHAN, mungkin aku akan dapat mengadakan pendamaian karena dosamu itu." Lalu kembalilah Musa menghadap TUHAN dan berkata: "Ah, bangsa ini telah berbuat dosa besar, sebab mereka telah membuat allah emas bagi mereka. Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu-dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis  (Keluaran 32:30-32). Sangat terharu dan menggetarkan. Jikalau sebelumnya Musa mengingatkan Tuhan bahwa mereka yang mau dimurkai-Nya itu adalah umat-Nya, yang membawa nama-Nya untuk menjadi kesaksian bagi bangsa-bangsa lain, kali ini Musa seolah sedang berkata, bila mereka semua harus dimusnahkan, biarlah aku turut musnah bersama mereka dan tidak memperoleh tanah Kanaan. Jika segenap Israel harus binasa, aku rela turut binasa bersama mereka. Janganlah kiranya tanah perjanjian menjadi milikku seorang diri. Kasih dan kebesaran hati Musa ini kita lihat juga dalam ungkapan Paulus dalam Roma 9:3, Bahkan aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara saudariku, kaum sebangsaku secara jasmani . Betapa indahnya pemimpin yang memiliki hati sedemikian besar kepada umat yang dipercayakan-Nya kepadanya. Alkitab mencatat, dan menyesallah Tuhan karena malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya  (Keluaran 32:14). Jelas, Tuhan bertindak adil, yang bersalah saja yang akan dihukum dan Ia tetap menepati janji-Nya untuk menuntun umat-Nya. Dalam setiap zaman Tuhan memanggil dan mengutus orang yang dipilih-Nya menjadi pemimpin yang hadir mewakili kehadiran-Nya untuk mewujudkan rencana-Nya yang agung. Dan saat ini, Tuhan sedang memanggil dan mau mengutus kita menjadi pemimpin yang hadir. Bersediakah kita? Mari kita responi dan terima dengan syukur karena sesungguhnya Dia yang memanggil dan mengutus, Dia juga yang menyertai dan memampukan sebagaimana yang dilakukan-Nya kepada Musa. Mari kita belajar dari Musa, menjadi pemimpin yang hadir. Mari kita memimpin dengan hadir dalam krisis kehidupan yang dihadapi umat antara lain krisis pasca pandemi Covid-19 serta dampaknya. Mari kita hadir menolong umat menegakkan keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin kita perlu mendengar masukan dari ‘Yitro’ agar pelayanan dan pekerjaan kita lebih optimal menjangkau umat. Mari kita memimpin dengan hadir dalam menengahi pertikaian umat yang berdosa dengan Tuhan Allah. Mari berdoa mohon ampun atas dosa-dosa umat dan mohon keselamatan bagi umat. Setiap kita pasti ada yang bisa kita lakukan sesuai dengan karunia dan bagian kita masing-masing. Tuhan yang memanggil dan mengutus Musa sebagai pemimpin. Tuhan yang menyertai dan memampukan Musa, Tuhan yang sama, Tuhan yang kita sembah, Dia jugalah yang memanggil, mengutus, dan menyertai serta memampukan kita menjalani agenda Tuhan dalam hidup kita. Amin.

  • Bagaimana Bersikap

    “Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya pada saat menangani pasien dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan.” Pernyataan tersebut adalah isi dari Pasal 9 Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kalimat tersebut pada bagian awal cukup jelas mendorong kita sebagai dokter untuk bersikap jujur. Namun, yang menjadi menarik adalah pada bagian kedua kita berkewajiban untuk mengingatkan sejawat yang memiliki kekurangan atau bahkan pada teman sejawat yang melakukan penipuan. Hal ini tentu menarik untuk dikaji dari berbagai perspektif. Sebagai orang Kristen kita memiliki kewajiban untuk menegur sesama kita dengan baik. Dalam Alkitab beberapa kisah teguran dapat kita jumpai: (1) Dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Paulus pernah menegur Kefas yang telah berbuat salah dengan bertindak seperti orang munafik. “Kalau Saudara sebagai orang Yahudi sudah hidup seperti orang bukan Yahudi, mengapa Saudara sekarang mau memaksa orang-orang lain hidup seperti orang Yahudi?” (Galatia 2:14 BIS). (2) Kisah teguran Yohanes Pembaptis pada Herodes, “Tidak halal engkau mengambil Herodias!” (Matius 14:4), membangkitkan amarah Herodes hingga ingin membunuh Yohanes Pembaptis. (3) Kisah Nabi Natan yang menegur Daud dengan sebuah kisah pada 2 Samuel 2:1-4 juga memberikan kita contoh cara peneguran yang berbeda. Setiap teguran akan memberikan konsekuensi, baik bagi pihak yang menegur maupun pihak yang ditegur. Dalam praktik sehari-hari pihak yang menerima teguran mungkin saja menjadi sakit hati, tidak peduli, marah, atau berbagai respon lainnya yang seringkali tidak terduga. Respon tersebut tentu akan mempengaruhi hubungan pribadi maupun kolaborasi profesional antara dokter. Kita diingatkan untuk menyampaikan kebenaran dengan kasih, “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali” (Matius 18:15). Dalam praktik kedokteran di Indonesia, tidak jarang kita menjumpai pernyataan “menjatuhkan” dari sejawat. Baik dalam konteks ketika berbicara dengan pasien maupun diskusi dengan sejawat lainnya. Pernyataan tersebut dapat berupa keraguan mengenai penegakan diagnosis, terapi, sikap sejawat, bahkan hingga kehidupan pribadinya. Di dunia yang mengalami perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat, tentu saja setiap informasi akan menyebar dengan cepat, baik informasi yang benar maupun hoaks. Dalam bidang kedokteran informasi negatif bukan hanya berdampak pada individu terkait, tetapi juga pada profesi dokter itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa penilaian masyarakat Indonesia terhadap layanan kesehatan di Indonesia masih jauh di bawah harapan. Seringkali kita mendengar masyarakat Indonesia yang mampu akan lebih senang untuk berobat ke negara lain. Bila ditelusuri dalam konteks yang lebih mendalam, pada kasus malpraktek, bila pernyataan negatif tersebut muncul dari kalangan sejawat maka tidak dapat dipungkiri bahwa individu terkait dan profesi dokter juga akan mengalami dampak negatif yang lebih besar. Padahal harus kita sadari bahwa semua kasus malpraktek yang berjalan belum tentu terbukti adanya kesalahan atau kelalaian. Dalam menghadapi sejawat yang mungkin menyimpang, berbeda pandangan dengan kita, maupun yang dinyatakan bersalah sekalipun, kita dapat menggunakan prinsip pada Pasal 18 Kode Etik Dokter Indonesia, “Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.” Pernyataan tersebut sebenarnya sejalan dengan hukum kasih yang kedua, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39)  Saya yakin bahwa kita semua sudah pernah mendengar dan mengerti prinsip tersebut. Saat ini yang perlu kita lakukan adalah refleksi diri terkait keselarasan setiap perkataan, sikap, dan tindakan kita terhadap teman sejawat dengan pasal-pasal Kode Etik Kedokteran Indonesia yang jelas sejalan dengan prinsip Firman Tuhan.

  • Depresi dan Iman Kristen Bagian Kedua: Penerimaan dan Pemulihan

    Sebagai seorang Kristen yang sehari-hari bekerja sebagai dokter kesehatan jiwa, ada pertanyaan menarik yang acap kali saya dengar. “Dok, apakah wajar jika seorang beragama Kristen mengalami depresi?” atau “Apakah depresi merupakan tanda bahwa kita kurang beriman?” Jika kita telaah lebih lanjut, depresi seringkali dipicu oleh keadaan hidup yang sulit dan kondisi dimana sepertinya banyak hal tidak terjadi sesuai harapan. Di samping itu, faktor neurobiologis yang dibahas sebelumnya juga berperan dalam menjelaskan bahwa depresi adalah suatu kondisi medis umum yang dapat mempengaruhi siapa pun. Tokoh- tokoh Alkitab yang cukup sering kita dengar, seperti Elia dan Daud, pernah mengalami periode keputusasaan yang dalam dan mengalami depresi. Setelah kemenangan Elia yang besar di Gunung Karmel, ratu Izebel mengancam akan membunuhnya. Kemudian, dalam ketakutan dan keputusasaannya, Elia berlari ke padang gurun, lalu berdoa “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.” (1 Raja-Raja 19:4). Di titik terbawah di kehidupannya, Elia, seorang nabi yang taat dan takut akan Allah, mengalami keterpurukan yang begitu hebat. Daud, salah satu tokoh besar di Alkitab, dikenal sebagai a man after God’s own heart juga pernah mengalami depresi dan keputusasaan. Di dalam berbagai Mazmurnya, Daud seringkali mengungkapkan sebuah perasaan sedih, tertekan dan hilang harapan. Menyadari bahwa menjadi seorang yang beriman tidak memberikan imunitas dari kondisi depresi, kita akan dapat membantu menghilangkan stigma dan mendukung mereka yang sedang mengalami depresi untuk mencari bantuan yang diperlukan. Bila kita lihat lebih jauh, manusia sendiri terdiri dari tubuh, jiwa dan Roh, dimana semua komponen berperan dan saling mempengaruhi agar manusia sehat seutuhnya. Saat manusia jatuh ke dalam dosa, terjadi sebuah kerusakan pada tubuh manusia, seperti dikatakan bahwa manusia akan harus bekerja keras dan proses kelahiran seorang anak pun akan sulit. Hal ini menjelaskan bahwa fungsi biologis manusia tidak lagi sesuai dengan harapan. Jiwa manusia menjadi gelisah dan ketakutan seperti saat Allah berjalan-jalan mencari manusia (lih. Kej.3:8) setelah jatuh ke dalam dosa dan Roh manusia menjadi terpisah dari Allah yang seharusnya menjadi sumber kepuasan dan damai akibat dosa. Mempertimbangkan hal ini, sumber yang menjadi pemicu dari depresi menjadi penting untuk diketahui. Apakah hal ini terjadi akibat tekanan berat dan faktor biologis yang membuat seseorang rentan terhadap depresi? Jika ya, mungkin tepat pemberian pengobatan antidepresan, sama seperti Allah memelihara fisik Elia dengan memberikan makanan, begitu juga kita memperbaiki gangguan biologis seseorang dengan pengobatan. Jika sumber keputusasaan seseorang datang dari perasaan bahwa Allah jauh, maka penting untuk kita dapat mengingatkan bahwa kita selalu dapat berharap pada Allah, sama seperti Daud menulis di Mazmur 42:6-7 “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!" Dengan memahami baik pendekatan spiritual dan medis terhadap depresi, seseorang dapat berjalan ke arah pemulihan dan pembaharuan. Pertanyaan yang sering menjadi perbincangan adalah apakah seorang Kristen diizinkan menggunakan antidepresan. Terkadang, pendapat orang tentang hal ini sangat ekstrem, ada yang sangat setuju bahwa ini boleh dilakukan dan ada pula yang sangat tidak setuju tanpa mempertimbangkan secara mendalam. Mereka yang setuju biasanya melihat depresi sebagai gangguan biologis semata sehingga menganggap wajar untuk menggunakan obat, mirip dengan pengobatan untuk kondisi medis lain seperti diabetes atau hipertensi. Di sisi lain, orang yang menolak cenderung fokus pada dimensi spiritual, yaitu keyakinan bahwa seseorang yang dekat dengan Tuhan seharusnya tidak mengalami keputusasaan seperti ini, sehingga 'obat' seharusnya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Sehingga, penting untuk mengadopsi pendekatan yang seimbang antara perawatan medis dan dukungan spiritual dalam membantu individu Kristen yang mengalami depresi, memastikan bahwa kita mendapatkan bantuan yang komprehensif dan holistik. Psikoterapi dan iman Kristen adalah dua pendekatan yang sering kali saling melengkapi dalam membantu individu yang mengalami depresi atau masalah kesehatan mental lainnya. Psikoterapi, seperti terapi kognitif perilaku atau terapi bicara, bertujuan untuk membantu individu memahami dan mengelola pikiran, perasaan, dan perilaku yang mungkin menyebabkan atau memperburuk depresi. Di sisi lain, iman Kristen memberikan landasan spiritual yang kuat, menawarkan harapan, kekuatan, dan pemahaman bahwa Tuhan selalu ada untuk memberikan dukungan dan penghiburan. Ketika digabungkan, psikoterapi dan iman Kristen dapat memberikan dukungan yang komprehensif bagi individu yang sedang mengalami depresi. Psikoterapi membantu dalam proses penyembuhan secara psikologis dan emosional, sementara iman Kristen memperkuat kepercayaan bahwa Tuhan memiliki rencana dan memberikan kekuatan untuk menghadapi cobaan hidup. Dalam konteks ini, banyak orang Kristen yang merasa bahwa melibatkan iman mereka dalam proses psikoterapi membantu mereka menemukan makna yang lebih dalam dalam perjalanan pemulihan mereka. Sebagai penutup, depresi merupakan keadaan yang sulit dihadapi dan tidak jarang dialami oleh orang Kristen sekalipun. Depresi bukanlah indikasi kekurangan iman, bukan juga kegagalan spiritual, melainkan sebuah gangguan medis yang dapat diobati. Iman bukanlah vaksin atau antidotum   untuk depresi. Kasih, belas kasihan, dan persekutuan yang tidak menghakimi dapat menjadi pondasi yang kuat dalam mematahkan stigma ketika tampak perubahan sikap dan perilaku pada saudara-saudara seiman kita, maupun pada hamba Tuhan. Di saat-saat kelam, perlu kita sadari bahwa mencari bantuan adalah bentuk bukti kekuatan, bukan kelemahan dalam iman. Dengan mengatasi stigma ini, kita dapat lebih mudah mendukung mereka yang membutuhkan untuk mencari pertolongan. Semakin dini depresi ditangani, semakin baik peluang untuk pemulihan. Namun, perlu diingat bahwa proses pemulihan jiwa memerlukan waktu yang tidak sebentar, mungkin berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tergantung dengan kondisi biopsikososial. Dengan iman yang kokoh, dukungan komunitas, dan perawatan medis yang tepat, mereka yang menghadapi depresi dapat kembali menemukan harapan dalam hidup mereka. Seperti Mazmur 34:18 mengingatkan kita, “TUHAN dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” Selalu ada harapan dan bantuan yang tersedia bagi jiwa-jiwa yang mencari-Nya! Penulis merupakan Wakil Dekan Kemahasiswaan, Kepala Departemen Psikiatri, FK UPH - Siloam Hospitals Lippo Village. /tp

  • Depresi dan Iman Kristen Bagian Pertama: Pengertian dan Neurobiologi Depresi

    Seorang pendeta muda bernama Ibu Mary, dikenal oleh jemaat dan keluarganya sebagai sosok yang penuh kasih dan hangat. Mary, yang besar di keluarga Kristen, selalu merasakan kasih Tuhan sejak di bangku sekolah. Hidupnya seperti selalu bergandengan dengan Tuhan, dengan motivasi tinggi untuk mengubah dunia dan melayani Tuhan. Namun, hidupnya berubah drastis setelah suaminya kehilangan pekerjaan, diikuti berbagai masalah di tempat pelayanannya, dan pergumulan pribadi yang semakin menumpuk. Mary mendapati dirinya terjebak dalam kegelapan yang asing, dengan perasaan sedih dan putus asa yang mendalam. Setiap hari menjadi perjuangan berat bagi Mary; bahkan untuk bangun dari tidur pun, ia harus melawan pikiran negatif yang menghantuinya. Bahkan doa, yang biasanya menjadi sumber damai baginya, terasa kehilangan kuasanya. Hingga suatu hari, terlintas di benaknya pikiran untuk mengakhiri hidup agar cepat bertemu Tuhan. Pikiran itu membuat Mary tertegun dan bertanya dalam hati, apakah imannya yang mengecewakannya, ataukah dirinya yang telah mengecewakan imannya? Akhir-akhir ini, isu kesehatan jiwa menjadi pembicaraan publik, baik di media mainstream  maupun media sosial. Salah satu kondisi yang paling dikenal adalah gangguan depresi ( Major Depressive Disorder /MDD, nomenklatur resmi dalam DSM-5). Depresi begitu familiar dan terkadang menjadi bahan gurauan ketika hidup terasa berat. Acap kali guyonan,”Duuh, besok hari Senin lagi. Rasanya aku langsung depresi!” menjadi hal yang lumrah kita ucapkan setiap akhir pekan telah usai. Namun, apakah kita benar-benar memahami apa yang dimaksud dengan depresi? Depresi adalah gangguan kesehatan mental serius yang mempengaruhi perasaan, cara berpikir, dan tindakan seseorang. Gejalanya dapat menyebabkan perasaan sedih yang mendalam, hilangnya minat atau kesenangan dalam aktivitas sehari-hari, bahkan pikiran untuk bunuh diri. Depresi bukan sekadar perasaan sedih yang biasa kita alami, melainkan kondisi medis yang membutuhkan perhatian dan perawatan. Sehingga, penting bagi kita untuk memahami bagaimana depresi bisa terjadi dan bagaimana iman kepada Kristus dapat menolong kita dalam menghadapinya. Neurobiologi Depresi Depresi adalah gangguan kesehatan mental yang kompleks dan melibatkan berbagai aspek dari faktor genetik, biologis, sosial, dan psikologis. Beberapa faktor psikologis internal, seperti kepribadian yang kurang percaya diri, dependen, kritik diri yang tinggi, atau sikap pesimis, dapat berkontribusi terhadap gejala depresi. Faktor sosial juga cukup berpengaruh pada kemungkinan timbulnya depresi, yaitu adanya peristiwa kehidupan yang penuh tekanan, seperti terjadinya trauma, kehilangan seseorang, masalah interpersonal, serta masalah finansial. Neurobiologi dari depresi berfokus pada pemahaman bagaimana perubahan dalam fungsi dan struktur otak berkontribusi terhadap gejala-gejala depresi. Beberapa studi menunjukkan adanya beberapa mekanisme yang terlibat, yaitu perubahan atau ketidakseimbangan neurotransmitter (sistem serotonin, noradrenergik, dopamin, dan glutamat), neuro inflamasi, abnormalitas Aksis HPA (hypothalamic-pituitary-adrenal), perubahan vaskular, serta penurunan neurogenesis dan neuroplastisitas. Neurotransmitter  merupakan bahan kimia di otak yang bertugas untuk mengirimkan sinyal antar neuron. Teori yang sudah cukup umum diketahui mengenai ketidakseimbangan neurotransmitter pada depresi adalah hipotesis monoamin, yang melibatkan serotonin (5-HT), norepinefrin (NE), dan dopamin (DA). Menurunnya kadar serotonin ditemukan pada pasien dengan depresi. Hal ini dapat dilihat dari membaiknya gejala pasien bila mengkonsumsi obat SSRI ( selective serotonin reuptake inhibitor)  dan SNRI ( selective serotonin reuptake inhibitor ) yang meningkatkan level serotonin di otak. Neurotransmitter norepinefrin (NE) juga memiliki peran dalam regulasi mood, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa obat-obatan yang menghambat reabsorbsi NE, seperti TCA, SNRI, dan NDRI serta obat yang meningkatkan sekresi NE, seperti mirtazapin, merupakan antidepresan yang efektif. Selain itu, stres yang berkepanjangan juga dapat merubah sistem noradrenergik dan berpengaruh pada neuroendokrin dan sistem imun. Neurotransmiter berikutnya adalah neuron dopaminergik (DA) yang berasal dari jalur mesolimbik dan mengatur reward pathway and motivation . Adanya gangguan transmisi dopaminergik dan jalur mesolimbik berkontribusi pada patofisiologi depresi, terutama pada gejala anhedonia (ketidakmampuan merasakan kesenangan). Ketiga neurotransmiter tersebut saling terkait dan mempengaruhi konsentrasi satu sama lain di dalam otak. Dopamin telah terbukti memiliki efek inhibisi terhadap pelepasan NE dari locus ceruleus , sementara NE memiliki efek eksitatori dan inhibitori terhadap pelepasan dopamin di area tegmentalis ventralis. Selain itu, NE dan dopamin juga meningkatkan pelepasan serotonin secara berturut-turut. Oleh karena itu, adanya perubahan pada salah satu neurotransmitter  ini kemungkinan mempengaruhi fungsi dua  neurotransmitter lainnya [1] . Selain ketiga neurotransmiter  tersebut, glutamat juga diduga memiliki peran dalam regulasi suasana hati. Hal ini diduga dari ketamin yang merupakan antagonis reseptor NMDA dapat bertindak sebagai antidepresan yang kuat. Cara kerja ketamin adalah melalui antagonisme reseptor NMDA pada interneuron GABA yang mengurangi inhibisi pelepasan glutamat sehingga meningkatkan produksi glutamat di tubuh. Glutamat kemudian akan mengikat secara selektif pada reseptor AMPA sehingga akan mengarah pada peningkatan neuroplastisitas otak. Hal ini berhubungan dengan neurobiologi berikutnya yaitu, adanya penurunan neurogenesis  dan neuroplastisitas pada pasien dengan depresi. Neuroinflamasi juga berperan pada depresi, dimana terdapat peningkatan kadar penanda inflamasi seperti IL-1β, IL-2, IL-6, TNF-α, CRP, dan PGE2 yang dapat disebabkan oleh stress psikologis dan bersifat proinflamatori. Mekanisme inflamasi dan depresi diduga merupakan respon adaptif terhadap inflamasi. Disfungsi Aksis HPA (hypothalamic-pituitary-adrenal) memiliki hubungan terjadinya depresi melalui mekanisme stres. Respon stres dapat menyebabkan depresi melalui abnormalitas HPA, yaitu terjadi hipersekresi corticotropin-releasing hormone  (CRH) dari hipotalamus, hiperkolestrolemia akibat hipersensitivitas HPA axis, dan disregulasi negative feedback  dari hormon CRH. Selain itu, stres kronik dapat memicu kaskade neurobiologis yang mempengaruhi kemampuan hipokampus untuk beradaptasi dengan lingkungan stresor, sehingga mengurangi neuroplastisitas dan potensi jangka panjang neuron hipokampus. Pada stres kronik, dapat terjadi kondisi yang disebut sebagai diathesis-stress model  yang menyatakan terdapat predisposisi (dapat bersifat genetik atau epigenetik) yang dapat menyebabkan depresi bila terpicu oleh faktor lingkungan reaksi maladaptif. Selain itu, hiperkortisolemia dalam otak juga mengubah jalur emosi kognitif dengan berpengaruh pada amygdala dari hipokampus (pembelajaran adaptif) dan meningkatkan konektivitas dengan striatum (pembelajaran habitual). Hal ini menyebabkan anhedonia, kurangnya motivasi, dan gejala depresi [2]  . Faktor neurobiologi terakhir adalah pada neuroplastisitas. Otak manusia memiliki kemampuan plastisitas, dimana dapat menciptakan, menghilangkan, dan mengubah sirkuit fungsional dalam proses adaptasi. Salah satu faktor molekuler yang dibutuhkan untuk neuroplastisitas yang sehat adalah brain-derived neurotrophic factor (BDNF). BDNF merupakan neurotrofin yang membantu mendukung kelangsungan hidup neuron dan mendorong pertumbuhan serta diferensiasi neuron dan sinaps baru. Pada pasien terdiagnosa MDD, ditemukan adanya kadar serum BDNF yang berkurang. Tatalaksana depresi berupa kombinasi antara terapi obat dan psikoterapi. Antidepresan dapat membantu menyeimbangkan neurotransmitter kimia di otak yang kurang seimbang sehingga pada akhirnya bermanifestasi sebagai suasana hati dan emosi yang sedih dan putus asa. Selain itu, psikoterapi, seperti terapi kognitif-perilaku (CBT), dapat membantu pasien memahami dan mengubah pola pikir negatif yang berperan signifikan terhadap depresi. Penulis merupakan Wakil Dekan Kemahasiswaan, Kepala Departemen Psikiatri, FK UPH - Siloam Hospitals Lippo Village. /tp Sumber: [1] Dean J, Keshavan M. The neurobiology of depression: An integrated view. Vol. 27, Asian Journal of Psychiatry. Elsevier B.V.; 2017. p. 101–11. [2] Maletic, V., Robinson, M., Oakes, T., Iyengar, S., Ball, S. G., & Russell, J. (2007). Neurobiology of depression: an integrated view of key findings. International journal of clinical practice, 61(12), 2030–2040. https://doi.org/10.1111/j.1742-1241.2007.01602.x

Hubungi Kami

Dapatkan update artikel SAMARITAN terbaru yang dikirimkan langsung ke email Anda.

Daftar menjadi Samareaders sekarang!

Instagram
Facebook
Media Samaritan
Media Samaritan

 Media Samaritan 2022

bottom of page