Uang: Sebuah Perspektif Kristen
- dr. Satria M.H Simatupang, Sp.B
- 12 minutes ago
- 4 min read

Uang itu sebenarnya sesuatu yang nyata atau sesuatu yang sifatnya abstrak?
Jelas, uang adalah alat tukar. Pada dirinya sendiri sebenarnya tidak berharga. Yang membuatnya jadi berharga adalah perspektif dari orang yang melihatnya. Uang jadi berharga bila orang di sekitarnya memiliki suatu kesepakatan tentang arti dari uang itu. Jadi uang tidak pernah bergantung pada jumlahnya, tapi sangat bergantung pada konsensus tentang nilai apa yang direpresentasikan oleh sejumlah uang tersebut. Misalnya harga sebungkus mie instan adalah 4000 rupiah. Kita bisa merasa kenyang bila makan mie instan 3 kali sehari. Jadi, jika kita memiliki uang sejumlah 4.380.000 rupiah kita bisa merasa tenang karena bisa kenyang makan mie instan setiap hari selama 1 tahun. Namun, kita tinggal di Jepang, dan kita memiliki uang 4.380.000 yen, mungkin kita hanya bisa membeli mie instan selama 4 bulan dan harus kelaparan pada 8 bulan sisanya. Jadi secara sederhana, uang itu penting bukan karena jumlahnya namun tentang artinya dan apa yang direpresentasikan oleh uang. Hal ini berlaku juga untuk aset lain. Misalnya emas batangan murni 1 kg merupakan barang yang secara umum berharga di negara manapun anda berada. Tetapi bayangkan anda mengendarai pesawat dan jatuh di padang pasir yang luas. Apakah emas anda masih berharga ? Dan kesalahan terbesar kita adalah ketika kita mengidentikkan uang dengan kebahagiaan. Kita melakukan suatu kesalahan besar ketika kita bekerja keras mencurahkan seluruh hidup kita mencari sesuatu tanpa benar-benar pernah merenungkan apa artinya. Uang itu adalah alat. Alat pada dirinya sendiri tidak baik ataupun jahat.
Akar dari segala kejahatan bukan uang. Akar dari segala kejahatan adalah cinta uang.
Apakah sebagai orang Kristen kita boleh melakukan finacial planning? Menurut Paulus, 1 Korintus 6:12 (TB) Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun. Lalu apa yang membedakan financial planning seseorang yang didalam Kristus dengan yang tidak. Tujuan dari financial planning sebagai orang Kristen bukan financial security. Kenapa? Karena aman hanya di dalam Tuhan. Sadarilah, strategi apa pun yang dilakukan, jika hari ini Tuhan ambil semua, maka semua akan habis. Lalu apa tujuannya?
Dalam buku Visi yang Membaharui: Pembentukan Cara Pandang Kristen, Brian Walsh menjelaskan: Adam dipanggil menjadi oikos/steward : penatalayan rumah tangga. Ini merupakan panggilan Adam sebelum jatuh dalam dosa. Adam dipercayakan sebuah taman untuk dikelola. Adam bisa hidup dan makan dari taman itu. Namun Adam harus sadar, bahwa taman itu bukan miliknya. Dia harus mengikuti aturan Pemilik taman. Asal kata ekonomi : oikos nomos -- oikonomia. Pengelola taman milik Tuhan. Ini adalah panggilan Adam sebelum jatuh dalam dosa. Akibat dosa terjadi distorsi. Kegiatan ekonomi identik dengan usaha sekecil-kecilnya bisa mendapatkan hasil sebesar-besarnya. Itukan uang saya, saya sudah kerja keras untuk itu. Terserah saya mau saya pakai buat apa.10% punya Tuhan, sisanya punya saya. Salah! Semua uang milik Tuhan. Ingatlah kita dipanggil sebagai pengelola taman. Taman dan segala isinya bukan aset pribadi milik kita. Kita hanya pengelola. Kita boleh makan dari tanah itu. Panggilan kita sebagai orang Kristen adalah melakukan transformasi ekonomi, mengembalikan uang kembali ke kodratnya sebelum jatuh dalam dosa, untuk kemuliaan Tuhan.
Bagaimana dengan rumah sakit misi ? Di hari kita menerima Yesus sebagai Tuhan dan juru selamat, kita tidak tiba-tiba bisa berfotosintesis dan bisa hidup dari cahaya matahari dan co2 saja. Kita tetap membutuhkan sandang pangan dan papan. Tanah sudah Tuhan sediakan dan harus kita kelola dengan baik. Dalam artikel Vine and Trellis John Piper menulis. Ketika kita menceritakan tentang teralis, biasanya orang kurang tertarik karena ceritanya kurang romantis. Orang lebih bersemangat bila kita menceritakan tentang anggur. Anggur adalah produk yang diinginkan. Melalui penginjilan yang dilakukan, ada orang yang mengenal Tuhan. Melalui pelayanan kesehatan yang dilakukan, ada orang sakit yang menjadi sehat. Namun pelayanan ini bisa berjalan bila ada teralis yang menunjang, sama seperti anggur yang bisa tumbuh baik dengan merambat pada teralis. Diperlukan sistem penunjang yang baik : sistem manjemen keuangan yang harus memperhitungkan biaya sewa, habis pakai, perawatan dan penyediaan alat, pendaftaran pasien, penjadwalan, laporan asuransi dan lainnya. Jika hal-hal ini tidak dikerjakan tidak akan ada pelayanan anggur. Sering kali pelayanan misi merasa tabu sekali jika membicarakan tentang gaji atau tunjangan lain. Menanyakan gaji saya berapa pun sering dirasa berdosa. Sekali lagi, di hari kita menerima Yesus sebagai Tuhan dan juru selamat, kita tidak tiba-tiba bisa berfotosintesis.
Bagaimana perspektif kita tentang gaji? Pdt. Joshua Lie pernah bercerita, ada seorang mahasiswa kedokteran yang mengalami berbagai kesulitan dalam pendidikannya dan mengeluh pada beliau. Setelah setengah jam berkeluh kesah, beliau menyarankan lebih baik anak itu berhenti sekolah saja. Sungguh, nasehat yang aneh dari seorang konselor. Konselor pada umumnya akan menyarankan anak itu supaya tetap punya semangat; memotivasi bahwa dia pasti bisa, dan lain-lain. Beliau menjelaskan sederhana. Menurut beliau, dari cerita si mahasiswa bisa ditangkap bahwa sekolah kedokteran memang berat. Baru setengah jam mendengarkan keluh kesahnya, pendengar langsung bisa turut merasakan penderitaan yang begitu berat. Namun coba bayangkan, kira-kira setelah lulus sekolah, akan menjadi dokter macam apa dia ? Mau kah menjadi dokter dengan gaji flat 5 juta per bulan ? Tentu saja tidak, setelah memperhitungkan semua kesulitan dan penderitaan yang dialaminya.
Sebuah perspektif baru :
Coba bayangkan, di muka bumi ini kira-kira ada berapa orang yang mau menjadi dokter namun tidak bisa. Ada banyak orang yang lebih pintar dan lebih kaya, namun karena satu dan lain hal tidak bisa masuk fakultas kedokteran. Pernahkah kita merenungkan bahwa kita bisa menjalani suatu pendidikan itu karena anugerah. Ketika kita memandang bahwa pendidikan yang kita alami itu bukan sebagai penderitaan namun anugerah, perspektif kita tentang gaji pun berubah.
Gaji bukan dihitung sebagai kompensasi untuk berbagai macam segala penderitaan dan kesulitan yang harus kita lakukan, namun sebagai bentuk ucapan syukur untuk pelayanan yang sudah kita lakukan. Dimana pun pelayanan yang kita lakukan, 100% anugerah dan bukan karena usaha kita. Jumlah gaji bukan menunjuk kepada harga diri kita atau harga skill kita di mata dunia, namun sebagai ucapan terima kasih. Jumlah gaji yang diberikan harus diperhitungkan dengan baik, sesuai prinsip anggur dan teralis yang baik demi kelangsungan hidup pelayanan kita sehari-hari. Namun jumlah tidak akan pernah bisa mengkompensasi segala usaha dan jerih lelah kita dihadapan Tuhan. Di seluruh dunia, tidak ada uang yang bisa menggantikan jerih lelah kita di hadapan Tuhan. Gaji yang kita terima adalah sebuah ucapan terima kasih, bukan kompensasi. Kepuasan dalam bekerja hanya bisa dipuaskan oleh Tuhan yang anugerahnya tidak terbatas.
Комментарии