Paradoks dalam Kehidupan Kristen
- Pelita H. Surbakti
- Jun 1
- 4 min read
Filipi 1:1-2:11

Jika kita membaca berbagai tulisan mengenai surat Filipi, kita akan menemukan sejumlah paradoks – sesuatu yang berlawanan dengan pendapat umum. Bagaimana mungkin bersukacita dalam penderitaan? Bagaimana mungkin memberi dalam kekurangan? Bagaimana mungkin menghibur dalam kedukaan? Bagaimana mungkin peduli kepada persoalan orang lain dalam persoalan diri sendiri yang tidak kunjung usai?
Surat kepada jemaat Filipi ini dikirimkan melalui Epafroditus. Ia akhirnya diutus Paulus untuk kembali ke Filipi setelah ia pulih dari sakitnya yang begitu parah, bahkan hampir mati (Fil. 2:25-28). Oleh karena pekerjaan Kristus, Epafroditus hampir saja kehilangan jiwanya, kata Paulus (Fil. 2:30). Surat ini sendiri ditulis oleh Paulus saat ia berada di penjara di Roma (Fil. 1:7, 13-14; 2:17). Selayaknya dalam penjara, tentu saja Paulus juga mengalami berbagai pergumulan, keterbatasan, dan bahkan penderitaan. Kita bisa bandingkan saat Paulus di Filipi dan yang akhirnya dipenjarakan. Saat itu pakaiannya dikoyakkan, didera berulang-ulang, dan dipenjarakan dalam kondisi kaki terpasung (Kis. 16:22-24). Gambaran seperti ini tentu saja jauh berbeda dengan penjara saat ini. Berkaca dari peristiwa itulah mengapa jemaat Filipi akhirnya mengirim Epafroditus untuk membantu Paulus dalam kesukarannya sekaligus menitipkan sejumlah uang yang akan sangat diperlukan oleh Paulus (Bdk. Fil. 2:25; 4:15-16; 18). Walau pemenjaraan di Filipi berbeda dengan pemenjaraan Paulus di Roma oleh karena di sana ia berada di tahanan rumah (Kis. 28:16, 30-31), kondisi Paulus tetap tidak mudah. Apalagi tradisi gereja meyakini bahwa Paulus akhirnya mati martir di Roma tidak terlalu lama setelah surat ini dikirimkan. Jadi, jika kita menarik situasi Paulus ini ke masa dimana kita berada, sangat sulit memahami Paulus akhirnya tetap bersyukur, bersukacita, dan tetap dikasihi dan dihormati.
Apa yang membuat Paulus bersyukur? (1:1-11)
Setelah menuliskan salam pembuka, Paulus menaikkan ucapan syukurnya atas kondisi jemaat di Filipi. Jika ia mengingat jemaat ini dalam doanya, Paulus tidak henti-hentinya mengucap syukur. Paulus mengingat kembali saat mereka diperkenalkan kepada berita Injil. Sejak saat itu iman mereka terus bertumbuh. Pertumbuhan itu tidak bersifat abstrak dan sekadar ritus, tetapi juga tampak dari kerelaan mereka memberi dalam kekurangan; peduli kepada orang lain dalam persoalan diri yang sangat berat. Bukankah ini paradoks? Teladan jemaat Filipi, yang menjadi bagian dari jemaat Makedonia, bahkan digunakan Paulus untuk mengingatkan serta memotivasi jemaat Korintus untuk menuntaskan janji persembahan mereka. Selagi dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan. Mereka bahkan meminta dan mendesak Paulus untuk ikut ambil bagian dalam pengumpulan dana bagi jemaat Yerusalem. Tidak hanya itu, mereka bahkan memberikan lebih banyak dari pada yang diharapkan (Bdk. 2 Kor. 8:2-5). Kini setelah menerima kabar dan pemberian jemaat Filipi lewat Epafroditus, Paulus kembali mengucap syukur kepada Allah yang telah memulai pelayanan di Filipi dan kini buah pelayanan itu tampak dari kepedulian dan kasih di tengah berbagai persoalan dan bahkan penderitaan. Sulit dibayangkan, tapi itulah yang terjadi dalam jemaat, dan itu pula yang membuat Paulus lupa akan penderitaannya.
Apa yang membuat Paulus bersukacita? (1:12-26)
Selain ucapan syukur, Paulus juga menaikkan rasa sukacitanya. Paling tidak ada 12 kali Paulus memakai kata sukacita dalam suratnya ini. Jika ucapan syukurnya dikarenakan pertumbuhan rohani jemaat Filipi, sukacita Paulus pada bagian ini dikarenakan pemenjaraannya. Karena kesukaran dalam pemenjaraannya ini, sebagai manusia biasa, pernah terbersit dalam benak Paulus untuk meninggalkan dunia ini (Fil. 1:23). Namun semua itu berhasil ia atasi dan ia pun akhirnya bersukacita oleh karena pemenjaraannya akhirnya kembali menghasilkan buah (Fil. 1:12-14). Oleh karena pemenjaraan ini begitu banyak orang mengenal Kristus. Dalam proses kontemplasi itu, Paulus bahkan akhirnya menilai hidup atau mati sama saja. Hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan kata Paulus (Fil. 1:21). Hikmat yang lahir dari kesetiaan serta ketaatan kepada pesan Injil membuat Paulus selalu bersukacita dalam segala hal. Dasar sukacitanya tidak lagi seperti halnya dasar sukacita manusia pada umumnya, yaitu hal-hal lahiriah nan fana. Bukankah ini paradoks?
Apa yang membuat Paulus dikasihi dan dihormati? (1:27-2:11)
Pada bagian selanjutnya tergambar secara jelas bahwa jemaat Filipi mengalami penderitaan (Bdk. Fil. 1:29-30). Penderitaan yang dimaksud tentu saja oleh karena Injil Yesus Kristus, yaitu kesetiaan dan ketaatan kepada pesan Injil tersebut. Dalam penderitaan itu, Paulus mengajak jemaat Filipi untuk terus berjuang dan menilai penderitaan karena Injil adalah anugerah (Fil. 1:29). Bukankah ini juga paradoks? Secara umum manusia menilai penderitaan sebagai kelemahan bahkan kebodohan. Tidak sedikit orang justru dihina oleh karena memperjuangkan prinsip yang diyakininya. Kesetiaan dinilai sebagai sikap yang tidak adaptif dan realistis yang justru akan menjerumuskan manusia. Orang mungkin berkata, bagaimana mungkin hidup ideal di tengah-tengah dunia yang jauh dari ideal! Pada kelanjutan surat ini, Paulus justru menyampaikan sebuah doktrin Kristen yang sangat terkenal yaitu “pengosongan diri” (kenōsis). Dalam peristiwa inkarnasi, Kristus dimaknai Paulus telah mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang Hamba yang akhirnya disalibkan. Sekali lagi, dalam dunia yang semakin kompetitif ini, sikap semacam ini tentulah paradoks. Manusia pada umumnya berlomba untuk saling mengalahkan bahkan adakalanya saling “membunuh”. Berkompetisi dan berjuang untuk mengungguli orang lain adalah hikmat dunia yang sangat dimaklumi bahkan dianjurkan jika mau bertahan dalam dunia yang disruptif ini. Namun dalam rangka kesatuan umat, Paulus justru meminta jemaat untuk mengutamakan orang lain, tidak boleh mementingkan diri sendiri tetapi kepentingan orang lain juga (Fil. 2:4). Lagi-lagi, hal ini Paulus tekankan bukan sebagai bentuk kelemahan diri, tetapi oleh karena teladan Kristus yang terlebih dahulu telah memberi teladan (Fil. 2:5). Apakah Paulus juga telah melakukannya? Ya! Hal itu tampak jelas dalam Filipi 3:4b-8. Dengan demikian, jika Kristus akhirnya sangat ditinggikan karena “pengosongan diri” ini (Fil. 2:9-11), maka itu pulalah yang membuat Paulus sangat dikasihi dan dihormati. Pengosongan diri adalah hal yang membuat manusia dikasihi dan dihormati, bukan saja saat ia hidup namun juga saat ia telah mati kelak.
Comments