139 results found with an empty search
- Tidak Berhenti Menjadi Murid-Nya
Sejatinya setiap orang yang mengaku pengikut Kristus adalah murid-Nya. Itu sebabnya jika kita mengaku orang Kristen, orang yang percaya kepada-Nya, dan mengikut-Nya, berarti kita adalah murid-Nya. MURID adalah identitas kita. Menyatu dengan kita, tidak terpisah dan tidak berhenti. Benarkah kita murid-Nya? Yesus memberi kriteria atau syarat yang ketat jika ingin menjadi murid-Nya. Salah satu ayat yang singkat namun padat sebagaimana tertulis dalam Lukas 9:23. Kata-Nya kepada mereka semua: " Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku ". Dari perikop ini paling tidak kita dapat melihat ada tiga syarat menjadi murid-Nya. Yang pertama, kita harus menyangkal diri. Menyangkal diri tidak sama dengan menyiksa diri. Menyangkal diri berarti mengatakan ‘tidak’ pada diri sendiri dan ‘ya’ kepada Tuhan. Fokusnya adalah Tuhan dan kehendak-Nya bukan diri kita atau keinginan kita. Kedua, memikul salibnya setiap hari. Setiap hari adalah hari untuk siap sedia menanggung penderitaan karena kita mengikut Kristus. Penderitaan karena kita melakukan kebaikan. Penderitaan karena menyatakan kebenaran. Ini adalah harga yang harus dibayar oleh seorang murid. Penderitaan yang tidak harus dia tanggung; meneladani Kristus Sang Guru (1 Petrus 2:19-22). Bukan penderitaan karena kesalahannya. Ketiga, mengikut Dia. Kita mengikuti Dia. Kita meneladani Dia. Semakin hari kita semakin serupa dengan-Nya. Yesus menjadi teladan dan role model kita dalam seluruh aspek hidup kita (1 Yohanes. 2:6). Itu sebabnya sebagai murid seharusnya kita terus bertumbuh dan diubahkan. Bill Hull menyampaikan ada enam aspek yang diubahkan jika kita menjadi murid yang bertumbuh. Pertama, pikiran yang diubahkan, pembaharuan akal budi (Roma 12:2). Kedua watak yang diubahkan. Watak yang teruji dengan godaan (Matius 4:1-10). Ketiga, hubungan yang diubahkan. Mengasihi sebagaimana Yesus mengasihi (Yohanes 13:34-35). Keempat, kebiasaan-kebiasaan yang diubahakan; seperti kebiasaan berdiam diri, ketundukan, kesiapan berkorban, hemat dan lain-lain.Kelima, pelayanan yang diubahkan. Melayani bukan dilayani. Keenam, pengaruh yang diubahkan. Memimpin sebagaimana Yesus memimpin. Memimpin dengan kerendahan hati, bukan dengan tangan besi dan kekuasaan (Filipi 2:5-7). Sebagai pribadi dan komunitas orang percaya - baik gereja atau persekutuan, kita perlu terus mengevaluasi dan mengantisipasi agar tetap pada agenda yang diamanatkan Yesus kepada kita, yaitu: memuridkan. Bagi Yesus pemuridan itu sangat penting. Yesus memulai pelayanan-Nya dengan memanggil para murid dan memuridkan mereka, lalu pada akhir pelayanan-Nya di dunia sebelum Dia naik ke surga Dia mengutus murid-murid-Nya agar memuridkan dan menjadikan semua bangsa murid-Nya (Matius 28:18-20). Dari perikop ini kita melihat ada empat kata kerja yang berbentuk perintah dalam ayat 19-20 : ‘pergilah’, ‘jadikanlah’, ‘baptislah’, ‘ajarlah’. Dalam perintah ini, ada satu kata kerja utama yang berbentuk perintah (menurut tata bahasa Yunani disebut aorist imperative ), yaitu “ matheiteusate ” (jadikanlah murid/muridkanlah), sedangkan tiga kata kerja lainnya merupakan keterangan berbentuk aorist participle dan present participle yang berfungsi menjelaskan apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan perintah utama tersebut: “ poreuthentes ” (pergilah), “ baptizontes ” (baptislah), dan “ didaskontes ” (ajarlah). Perintah “pergilah” tidak selalu bermakna geografis, melainkan menyiratkan suatu tindakan aktif. Artinya, untuk mengerjakan tugas memuridkan dituntut inisiatif kita untuk pergi memberitakan Firman Tuhan dan mencari jiwa-jiwa yang terhilang, bukan hanya sekedar pasif menunggu orang yang datang menyerahkan diri. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan frase “as you go” yang bermakna kemana pun kita pergi, sejatinya memuridkan. Sedangkan arti kata “ajarlah” dalam perikop ini menjelaskan proses yang harus dijalani dalam membentuk seseorang menjadi murid Kristus. Ini merupakan proses panjang yang berkaitan dengan aspek kualitas. Langkah berikutnya adalah mengajar orang tersebut untuk “melakukan segala sesuatu” yang diperintahkan oleh Kristus untuk hidup dalam ketaatan total terhadap Firman Tuhan. Perintah ini bukan sesuatu yang mustahil karena yang dituntut bukanlah kesempurnaan tanpa cacat cela, melainkan karakter yang taat Firman Tuhan dalam segala hal. Bukan pula hanya terjadi sewaktu-waktu, atau disebabkan oleh ketakutan tertentu, ataupun karena mengharapkan sesuatu, melainkan menyatu dengan cara berpikir dan cara hidup sehari-hari. Dan pernyataan “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”, menyiratkan bahwa Amanat Agung tersebut tidak hanya ditujukan kepada sebelas murid yang hadir di Danau Galilea pada masa itu, melainkan juga ditujukan kepada murid-murid Kristus generasi selanjutnya hingga akhir zaman. Hal ini berarti bahwa Amanat Agung tersebut berlaku juga bagi setiap kita yang mengaku sebagai pengikut Kristus pada zaman ini. Kita perlu terus mengingat siapa yang menyertai kita adalah Yesus yang kepada-Nya telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Jika Yesus menyertai kita, seharusnya tidak ada alasan untuk takut dan gentar. Sang Pribadi inilah yang membuat kita bisa tetap maju, aktif, tekun dan setia sampai akhir. Undangan dan panggilan menjadi murid-Nya sesungguhnya tidak berhenti pada diri kita tetapi juga berarti panggilan dan undangan untuk memuridkan. Memuridkan bukan sebatas program dan aktivitas melainkan menjadi teman untuk berjalan bersama dalam relasi kasih yang saling asah dan asih bertumbuh bersama, mengikuti Yesus, Tuhan kita, Sang Guru dan teladan kita (is) Referensi: Bill Hull, 2014. Panduan Lengkap Pemuridan, Yayasan Gloria- Katalis, Jogyakarta Indrawaty Sitepu dkk ,2023. Pendidik, Pengajar yang Belajar , Literatur Perkantas, Jakarta Tim Staf Perkantas, 2013. Pemuridan Dinamis Membangun Bangsa , Literatur Perkantas, Jakarta
- Tenaga Kesehatan Politis, Why Not?
SEKECIL apa pun terang suatu lilin, ia akan mampu menyinari kegelapan di sekitarnya. Seiring dengan itu, kita sebagai umat tebusan yang sekarang ini ada dalam Fase Kejatuhan dan Fase Penebusan, perlu berperan dan bertanggung jawab memulihkan ciptaan atas semua kerusakan yang ada. Pun kerusakan politik. Partisipasi orang Kristen sebagai warga negara yang aktif dalam semua bidang, termasuk bidang politik adalah keniscayaan. Keterlibatan itu, dalam profesi apa pun, adalah wujud nyata dari panggilan iman (kewajiban iman) sekaligus hak istimewa sebagai warga negara. Berpartisipasi secara aktif, proporsional, dan seimbang dalam bidang politik, patut dijalankan supaya memberi manfaat bagi kehidupan bersama. Kabar Indonesia terkini Indonesia saat ini tidak dalam kondisi yang fit dan bugar jika melihat kabarnya melalui data-data. Indonesia masuk deretan 100 negara miskin di dunia. Pada 2023 Indonesia menjadi negara termiskin ke-70 di dunia (Global Finance dalam idxchannel.com , 16/01/2024). IQ nasional kita bahkan terendah di antara negara Asia Tenggara lainnya. Laporan World Population Review 2023 (dalam worldpopulationreview.com ) menulis skor rata-rata IQ orang Indonesia adalah 78,49—peringkat ke-126 dari 199 negara. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) baru mencapai 74,38 pada 2023 (Indeks Pembangunan Manusia 2023, 2024). Celakanya, hingga tahun 2023 generasi yang ada pada usia produktif kelak justru kebanyakan mengalami stunting. Tercatat sebesar 21,5% angka stunting di Indonesia (Kementerian Kesehatan dalam sehatnegeriku.kemkes.go.id , 25/07/2024). Diperparah dengan rasio dokter di Indonesia yang masih kurang, yakni 0,47—hanya 0,47 dokter per 1.000 penduduk—dengan urutan 147 di dunia (ibid., 24/04/2024). Semakin parah jika berkaca pada fasilitas kesehatan di daerah Timur juga daerah terdepan Indonesia lainnya. Kualitas pendidikan juga mengkhawatirkan. Mengacu pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Maret, 2023), Angka Partisipasi Murni (APM) untuk jenjang pendidikan tinggi hanya 21,73. Pendidikan kedokteran punya cerita lain lagi. Selain biaya studinya yang terkenal tinggi dibanding studi lainnya, pun banyak mahasiswa Kedokteran yang masih dibebankan biaya ‘ilegal’ lainnya. Kejatuhan Manusia Dalam cara pandang Kristen (Christian worldview)—penciptaan (Creation)-kejatuhan (Fall)-penebusan (Redemption)-penyempurnaan (Consummation)—yang kita imani, sekelumit masalah yang kompleks tersebut adalah bagian dari fase kejatuhan manusia dalam dosa di kehidupan dunia ini. Alkitab menegaskan bahwa manusia itu seluruhnya bobrok dan bahwa dunia, di mana Allah menempatkannya (manusia) sebagai penguasa, kini berada dalam keadaan rusak sebagai akibat dosa; bahwa maut telah masuk ke dalam dunia sebagai hukuman atas dosa... (H. Henry Meeter, 2012: hlm 15). Dosanya berlapis. Lembaga pemerintahan yang pusatnya adalah kekuasaan secara alamiah memang cenderung bersifat korup, menindas, dan menyimpang. Demokrasi sudah meramalnya. Skema checks and balances antar-ketiga lembaga pemerintahan—Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif—secara kasat mata belum berjalan optimal. Berkaca pada kasus-kasus tersebut, kita bersedih karena tampaknya justru berjalan mundur. Bukan checks and balances , melainkan saling bermufakat demi kepentingan masing-masing. Tak luput, ada celah pada struktural. Struktural yang dimaksud adalah bagaimana mekanisme negara pasti memengaruhi permasalahan publik. Patut dipertanyakan mengapa kebijakan publik belum menjawab akar persoalan. Ada alur perumusan kebijakan yang tidak dijalankan secara rigid dan konsekuen. Bisa jadi karena kekeliruan pada tahap input atau pada tahap proses, atau keduanya, sehingga melahirkan output (kebijakan publik) yang cacat. Singkatnya, masalah ada karena mekanisme dari sistemnya ‘memaksa’ lahirnya masalah tersebut. Sebagai individu, kita juga berkontribusi atas lahirnya masalah-masalah tersebut. Yang konkret dan dekat adalah soal partisipasi politik kita yang masih di ambang lemah. Patologinya biasanya sikap sebagai pemuja ulung. Memuja-muji kekuasaan tanpa ada sikap kritis yang tajam dan proporsional. Ini sangat bahaya karena akan menimbulkan bias bagi mereka yang berkuasa: seakan semua baik-baik saja, tidak ada masalah. Imbasnya, tidak ada perbaikan yang dilakukan. Bahkan kekuasaan bisa dijalankan secara sembarangan akibat ketiadaan sikap kritis dari warga negara. Patologi selanjutnya adalah bersikap apatis, acuh tak acuh. Kasus yang umum terjadi adalah saat Pemilu - hanya sebatas coblos lalu tinggalkan tanpa memedulikan apa yang terjadi setelahnya. Sikap kita ini telah melonggarkan pengawalan selama ia menjabat, yang berpotensi besar menjadi lampu hijau baginya untuk berpraktik lancung. Partisipasi politik tenaga kesehatan Alam dan semua kehidupan ini adalah tempat kudus untuk memuliakan Allah. Adalah mandat untuk tidak hanya berurusan dengan yang rohaniah, tapi juga mampu menjawab tantangan dari realitas dunia. Seorang Calvinis menganggap sebagai kewajibannya untuk menyelidiki seluruh kehidupan dan, dalam hal kebudayaan intelektual, mengembangkan pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya, menatanya ke dalam satu keseluruhan yang harmonis dan terperinci, dan menggunakannya bagi Allahnya (ibid., 2012; hlm. 18). Kita semua harusnya merasa resah gelisah dengan kondisi Indonesia sekarang ini. Abraham Kuyper (2005; hlm. 27) menegaskan, “Dengan demikian kutuk tidak lagi berada di atas dunia itu sendiri, tetapi di atas apa yang berdosa di dalamnya, dan alih-alih melarikan diri dari dunia dengan masuk biara, tugas kini diarahkan untuk melayani Allah di dalam dunia, dalam setiap posisi dalam kehidupan.” Berdasarkan cara pandang Kristen yang kita imani, sebagai masyarakat juga umat Kristiani, kita perlu melibatkan diri dalam politik. Terlebih, politik adalah tanggung jawab warga negara, apa pun profesinya—pedagang, guru, dokter, dst.. Cara mudah adalah suarakan, pakai hak berpendapat kita. Suarakan kegelisahan dengan proporsional dan elegan supaya tepat sasaran dan dipertimbangkan. Tenaga kesehatan, sebagai warga negara, harus berperan memikirkan politik kebijakan publik secara umum dan kebijakan negara sektor kesehatan secara khusus. Untuk tidak melulu mengenai lingkup utamanya, tapi juga lingkup lainnya secara komprehensif. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki sikap profesional, pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan tinggi yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya Kesehatan (Pasal 1 angka 7 UU Kesehatan). Tenaga kesehatan perlu bersikap politis. Berpartisipasi politik secara aktif dan kritis. Mengutip Huntington (No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, 1994), partisipasi politik berarti kita yang bertindak sebagai pribadi-pribadi memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Bisa secara individu/otonom/sukarela, melalui platform media sosial pribadi. Partisipasi ini mendesak demi mengontrol pemerintah. Menyalurkan tentang kebutuhan dan kepentingan kita, yang diharapkan berimpak pembangunan negara. Bisa juga secara organisasi (dimobilisasi) atau sampaikan ke mitra terkait. Langkah lainnya adalah berpartisipasi langsung untuk memengaruhi kebijakan. Semua bisa dilakukan tanpa perlu meninggalkan tanggung jawab utama. Kita tidak diperkenankan lelah menyuarakan, karena ini adalah bagian dari tanggung jawab kita sebagai warga negara. Partisipasi politik penting agar ada kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintah dan kekuasaan negara tidak absolut. Jangan partisipasi minimal, karena sama saja itu berarti pengawalan tidak ketat dan potensi masih ada celah. Kita, sebagai umat tebusan, perlu berperan dan bertanggung jawab memulihkan ciptaan atas semua kerusakan yang ada. Dalam bidang politik, berpartisipasi secara aktif, proporsional, dan seimbang adalah bentuk konkretnya. Itu upaya kita untuk menjadi terang lilin yang mampu menyinari kegelapan di sekitarnya sekaligus merupakan hak kita sebagai warga negara. Profil Singkat Nama : Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si . TTL/Umur : Wayaua (Bacan/Halmahera Selatan), 20 Agustus 1987/35 tahun Pekerjaan : • Anggota DPD-RI Terpilih Prov. Maluku Utara (2024–2029) • Tenaga Ahli Anggota DPR-RI (2019–2023) • Tenaga Ahli DPR-Papua (2014–2018) • Bapak Rumah Tangga Pendidikan : • S3 Ilmu Politik Universitas Indonesia (2018–2022) • S2 Ilmu Sosiologi Universitas Indonesia (2011–2014) • S1 Ilmu Administrasi Negara Universitas Merdeka Malang (2005–2009)
- Aborsi: Apa Masalahnya?
“PP Kesehatan baru, pemerintah legalkan aborsi untuk korban perkosaan”, begitu kira-kira judul berita yang heboh tersebar di Indonesia belakangan ini, sekitar pertengahan tahun 2024. Sejak disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024, topik aborsi menjadi satu topik kesehatan reproduksi yang banyak diperbincangkan. Ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa peraturan ini adalah terobosan baru di Indonesia, meskipun ini tidak benar. Kenapa? Di Indonesia, aborsi untuk korban perkosaan sudah legal dan ini sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan yang lama yaitu UU Kesehatan no. 36 tahun 2009. Dalam UU Kesehatan tersebut, pasal 75 dan 76 mengatakan bahwa perempuan korban perkosaan yang mengalami kehamilan dapat melakukan aborsi sebelum kehamilan berumur 6 minggu (dihitung dari hari pertama haid terakhir). Jika aturan ini sudah ada sejak tahun 2009, lalu apa yang berbeda mengenai peraturan aborsi legal di tahun 2024? Yang membedakan adalah batas usia kehamilan untuk korban perkosaan di mana aborsi secara legal boleh dilakukan. Peraturan yang baru mengatakan bahwa batas usia kehamilan tersebut adalah 14 minggu (UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 463). Dengan demikian, batas usia kehamilan yang sebelumnya adalah 6 minggu sekarang berubah menjadi 14 minggu. Di satu sisi, kita bisa memahami bahwa peraturan mengenai aborsi ini dirancang untuk melindungi perempuan. Kasus pemerkosaan pasti meninggalkan luka dan trauma yang mendalam bagi korban. Sudah mengalami pelecehan, dia kini harus menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini semakin menambah beban mentalnya, karena setiap kali melihat kandungannya, dia akan teringat pada pelaku pemerkosaan. Belum lagi jika dia mengalami kesulitan finansial: bagaimana dengan biaya perawatan untuk kehamilan dan persalinan? Apa yang harus dilakukan dengan biaya untuk membesarkan anak jika sudah lahir? Ditambah lagi, stigma sosial yang harus dihadapi: menjadi bahan pembicaraan masyarakat, dicap sebagai "anak haram", dan sebagainya. Bayangkan betapa beratnya tantangan yang mungkin dihadapi oleh perempuan korban pemerkosaan ini. Sehingga, aborsi ditawarkan sebagai salah solusi untuk menolong perempuan yang mengalami situasi sulit tersebut. Apa itu aborsi? Dari tadi kata “aborsi” sudah disinggung berkali-kali, namun apa itu aborsi? Aborsi adalah pengakhiran kehamilan dengan mengeluarkan embrio atau janin dari dalam rahim perempuan dengan menggunakan berbagai macam metode (tergantung usia kehamilan) yang mengakibatkan kematian sang janin. Iman Kristen percaya bahwa kehidupan manusia dimulai sejak proses fertilisasi (pembuahan) terjadi (Mazmur 139:13,16). Fertilisasi adalah ketika sel sperma bersatu dengan sel telur untuk membentuk zigot. Pada tahap inilah (bahkan ketika masih satu sel ini) kehidupan seorang manusia dimulai. Zigot lalu perlahan bertumbuh dan berkembang menjadi embrio, fetus, dan bayi mungil dalam kandungan. Namun, aborsi mengakibatkan kematian janin–baik itu tahap zigot, embrio, fetus, atau bayi–yang adalah seorang manusia. Dengan kata lain, aborsi adalah pembunuhan hidup seorang manusia. Aborsi: solusikah? Kembali kepada masalah perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akibat pemerkosaan, apakah aborsi adalah solusi yang paling tepat untuk menjawab masalah ini? Apalagi ada yang mengatakan bahwa aborsi adalah hak setiap perempuan, khususnya hak atas tubuh mereka sendiri. Maksudnya, setiap perempuan berhak untuk menentukan pilihan atas tubuhnya sendiri, termasuk tindakan aborsi yang dikenakan pada tubuhnya sendiri. Lebih lanjut lagi, jika aborsi adalah hak perempuan atas tubuhnya, maka mereka juga berhak untuk mendapatkan akses aborsi yang aman. Inilah yang sedang diperjuangkan oleh beberapa pihak yang setuju aborsi. Sekali lagi, kita sama sekali tidak mengecilkan atau meremehkan segala macam kesulitan yang dialami oleh perempuan korban perkosaan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, aborsi adalah solusi yang buruk untuk menjawab masalah yang ada. Memang betul bahwa dalam satu pengertian setiap perempuan berhak atas tubuhnya sendiri, tapi dalam konteks kehamilan sang perempuan tidak hanya berhadapan dengan tubuhnya sendiri, melainkan dengan tubuh manusia yang lain, yaitu janin yang ada di dalam kandungan. Maka, aborsi merenggut hak sang janin untuk hidup. Ketika pemenuhan sebuah hak seorang individu mengakibatkan pelanggaran hak bagi individu yang lainnya, maka itu adalah kejahatan. Jadi, hak atas tubuh sendiri bukan berarti kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk diri sendiri. Kebebasan seorang manusia adalah kebebasan yang terbatas. Dalam konteks aborsi pada kehamilan yang tidak diinginkan, kebebasan perempuan tersebut untuk melakukan aborsi setidaknya dibatasi oleh hak sang janin untuk hidup. Bagaimana dengan pemerkosa yang menghamili seorang perempuan? Bukankah si pemerkosa ini juga melanggar hak perempuan tersebut? Tentu hal tersebut merupakan pelanggaran hak sang perempuan dan adalah kejahatan yang besar, maka si pemerkosa sudah seharusnya dan sepantasnya dihukum. Namun, aborsi bukanlah solusi atas kehamilan yang tidak diinginkan bagi korban perkosaan. Membunuh sang janin melalui tindakan aborsi malah menambah kejahatan yang baru selain kejahatan pemerkosaan yang sudah terjadi. Jika trauma psikologis adalah yang menjadi masalah dan beban bagi sang perempuan korban perkosaan, maka solusinya adalah konseling dan pendampingan psikologis dari pihak yang kompeten dan bertanggung jawab. Jika masalahnya terletak pada beban finansial untuk kontrol kehamilan dan persalinan, maka konsep rumah aman ( crisis pregnancy center ), seperti Rumah Tumbuh Harapan (Rumah RUTH) di Bandung dan Bali atau Yayasan Pondok Hayat di Surabaya dan Kupang, harus lebih diperjuangkan dan dikembangkan di Indonesia. Jika masalahnya terletak pada ketidaksiapan–baik itu mental, sosial, finansial, atau alasan lainnya–untuk mengurus dan membesarkan sang anak (jika sudah lahir nanti), maka adopsi yang bertanggung jawab bisa menjadi pilihan solusinya. Pergeseran yang tidak kelihatan Saat ini di Indonesia peraturan aborsi memang masih sangat dibatasi yaitu aborsi yang legal hanyalah untuk perempuan hamil akibat korban perkosaan. Namun, itu pun sudah terjadi pergeseran secara perlahan-lahan. Yang awalnya usia kehamilan dibatasi hanya sampai usia 6 minggu, sekarang batas usia kehamilannya dilonggarkan menjadi 14 minggu. Di dunia Barat, jangankan bicara tentang batas usia kehamilan yang sangat longgar (melampaui 14 minggu), beberapa negara bahkan melegalkan aborsi dengan alasan apa pun (tidak hanya terbatas pada alasan kehamilan akibat perkosaan). Dengan demikian, melihat fenomena yang terjadi di dunia sekarang ini mengenai aborsi, kita harus sadar bahwa batas usia kehamilan atau alasan untuk aborsi legal yang makin dilonggarkan sebenarnya hanya fenomena eksternal yang kelihatan. Kita harus peka bahwa setiap yang kelihatan selalu didasari oleh sesuatu yang tidak kelihatan. Ada semangat dan cara pandang tertentu di balik segala sesuatu yang kelihatan di dunia ini, termasuk isu aborsi. Jadi, meskipun secara ranah praktis ada solusi yang lebih baik daripada aborsi yang bisa kita tawarkan dan perjuangkan, solusi yang praktis ini tidak sepenuhnya mengatasi akar permasalahan yang ada. Untuk mengatasi akar permasalahannya, kita harus mengerti terlebih dahulu maksud dari semangat yang tidak kelihatan tersebut. Apakah itu? /kb Penulis saat ini bekerja di Klinik Pratama Samaritan dan aktif melayani di PMdN dan Pro Life Indonesia
- Nehemia: Karakter Pemimpin yang Membawa Perubahan
Nehemia merupakan seseorang yang dipanggil menjadi pemimpin untuk menyuarakan kebenaran dan membawa perubahan. Ia pada awalnya adalah seorang juru minuman Raja Persia, Artahsasta I. Salah satu tugas juru minum raja adalah memilih minuman untuk raja dan memastikan bahwa minuman tersebut tidak berbahaya. Dalam sejarah, ayahanda dari Raja Artahsasta I dibunuh di tempat tidurnya oleh salah satu anggota istana. Dengan latar belakang itu, pastilah Nehemia adalah orang yang memenuhi kualitas yang sangat bisa dipercaya oleh raja Artahsasta. Nehemia memiliki arti nama “The LORD comforts” . Berikut beberapa karakter dan kemampuan seorang pemimpin yang dapat kita pelajari dari Nehemia. Visi yang jelas. Seseorang pernah berkata: “Leaders without vision are like guides without a map” . Pemimpin adalah seseorang yang memiliki gambar besar dan arah yang akan dituju. Karena itulah orang mengikuti mereka, karena mereka tahu arah yang akan dituju, hasil yang akan dicapai dan bagaimana cara untuk mencapainya. Nehemia memiliki visi yang jelas dalam menjalani panggilannya. Visi Nehemia adalah membangun kembali kota Yerusalem. Visi yang mulia ini lahir dari mendengar keadaan tanah air yang menyedihkan: runtuh dan hancur. Terdapat waktu empat bulan (dari bulan Kislew ke Nisan) sejak Nehemia mendengar tentang kondisi kehancuran Yerusalem sebelum ia mengungkapkan isi hatinya kepada raja. Empat bulan yang cukup untuk Nehemia berdoa, berpikir, membuat tujuan dan perencanaan, mempertajam visi, mencari kemungkinan cara-cara penyelesaian, menghitung kemungkinan dukungan dan sumber daya yang dimiliki, dan seterusnya. Empat bulan yang mengubah sebuah keresahan hati menjadi sebuah rencana konkrit yang terukur untuk sebuah perubahan. Permintaan Nehemia kepada raja adalah sangat spesifik dan mendetail (Neh.2:5-9) yaitu permintaan izin dengan durasi yang spesifik, permohonan surat dari raja untuk para bupati di daerah sungai Efrat dan bagi Asaf, pengawas taman raja, untuk memberikan bahan baku untuk pembangunan pintu-pintu gerbang di benteng Bait Suci, tembok kota dan untuk rumah yang didiaminya. Ia memiliki gambaran bagaimana cara mencapai visinya, dan komitmen untuk menyelesaikannya. Keberanian mengambil resiko. Keberanian adalah sebuah kualitas pikiran seseorang yang memampukannya menghadapi bahaya atau kesukaran dengan tegar dan kuat, tanpa roh ketakutan atau tertekan. Nehemia keluar dari kepompong ketakutan dan zona nyaman untuk mengambil inisiatif yang membawa perubahan bagi bangsanya. Nehemia mengambil risiko yang sangat besar. Bagaimana kalau raja tidak memberi izin dan malah menghukumnya karena kelancangannya melakukan banyak permintaan? Bagaimana kalau sumber daya tidak cukup? Bagaimana bila ia tidak mampu menghadapi semua tantangan dan akhirnya gagal, berhenti dan tidak mampu? Pertimbangan-pertimbangan tersebut bisa saja membuatnya mundur dan melupakan panggilannya. Salah satu kata kunci adalah: calculate the risk, manage the risk. Nehemia sebenarnya sangat takut terhadap raja (Nehemia 2:2). Tapi, ia berhasil mengalahkan ketakutannya dan melangkah maju mengambil resiko untuk menceritakan visinya kepada raja. Doa menjadi kekuatan pada saat-saat krusial yang sangat menentukan pilihan dan keputusannya (2:4). Keberanian menembus ketakutan itu juga didukung oleh perencanaan yang matang. Problem Solver : Pengambilan keputusan secara tepat dengan timing yang tepat. Kualitas lain yang tampak dalam diri Nehemia adalah problem solver . Ketika menjalani panggilan Tuhan, seringkali ketidakmampuan menyelesaikan masalah dengan tepat bisa memperburuk keadaan yang ada. Oleh sebab itu, dibutuhkan hikmat dalam menjalani panggilan-Nya. Nehemia ketika tiba di Yerusalem, tidak langsung bekerja membangun tembok setelah menginjakkan kakinya di Yerusalem. Tiga hari ia tinggal sebelum melakukan survei, mengenali, mendata, menguji, menginspeksi secara detail kondisi kerusakan, kehancuran tembok-tembok yang ada. Ia mencari realitas permasalahan, merenungkan solusi yang tepat atas realita tersebut. Setelah menemukan perspektif yang tepat atas masalah yang ada, Nehemia mengumumkan kepada publik tentang rencana dan strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Permasalahan utama adalah Yerusalem dalam reruntuhan dan bangsa yang hidup dalam kondisi tercela! Ada banyak permasalahan yang ada, namun penting untuk melihat dari mana kita mulai untuk menyelesaikannya. Menemukan masalah utama adalah hal yang sangat penting dalam kepemimpinan; membuat kebijakan, keputusan yang tepat dan berhikmat terhadap masalah tersebut akan membawa kemajuan bagi orang-orang yang dipimpin. Pemimpin kemudian membuat alternatif-alternatif bagaimana menyelesaikan permasalahan utama tersebut. Motivator: Kemampuan menyampaikan visi dan menggerakkan tim. Perlu adanya transfer visi kepada orang lain. Yang dilakukan Nehemia selanjutnya adalah menjadikan visi itu sebagai milik bersama. Salah satu kelemahan banyak pemimpin adalah ketidakmampuan untuk menyampaikan dan menerjemahkan visi untuk dilakukan bersama-sama. Nehemia sudah memiliki alat dan bahan yang dibutuhkan untuk membangun. Tetapi, visi yang besar itu tidak mungkin terealisasi sendiri tanpa dukungan dari masyarakat Yerusalem. Kemampuan membagi dan mendelegasikan tugas juga merupakan salah satu kemampuan kepemimpinan yang dimiliki oleh Nehemia. Ia mengumpulkan orang-orang dan membagi strategi untuk membangun tembok (2:17). Nehemia berhasil menggerakkan berbagai komponen masyarakat untuk bergandengan tangan membangun tembok itu. Dari imam besar, para imam, orang-orang Lewi, hingga berbagai lapisan masyarakat secara antusias ikut membangun. Ada keluarga tukang emas, juru campur rempah-rempah, anak-anak perempuan, serta para pedagang yang ikut turun tangan untuk bekerja berdampingan (3: 8, 12, 32). Namun, Nehemia tidak melakukan pendelegasian secara sembarangan. Ia memilih orang yang berkualitas dan tepat untuk pekerjaan tertentu (Neh. 7:2). Dan pada akhirnya, pekerjaan itu bisa selesai dalam waktu yang sangat cepat yaitu 52 hari. Menghadapi kritik dan ancaman. Salah satu hal yang pasti dihadapi dalam menghidupi panggilan Tuhan adalah adanya kritik dari oposisi yang dapat berujung pada penolakan, ancaman dan konfrontasi. Hal ini dialami oleh Nehemia sebagai seorang pemimpin. Pihak oposisinya adalah orang-orang yang terganggu dan terancam yang tidak ingin menerima perubahan yang baik (Neh. 2:10). Secara progresif oposisi ini meningkat menjadi iri hati, marah, dan sakit hati (Neh. 4:1), lalu menghina dan mencerca pekerjaan Nehemia (Neh. 4:2-4). Dari hinaan verbal berubah menjadi ancaman penyerangan dan kekacauan; hingga 10 kali ancaman datang ke orang-orang yang sedang membangun (4:8,12). Oposisi adalah hal yang pasti akan dihadapi oleh para pemimpin. Nehemia memiliki daya tahan (resilience) yang tinggi sehingga tidak goyah akibat ancaman yang bisa menggerogoti visinya. Pernah, bangsa itu nyaris menyerah (Neh. 4:10) “Berkatalah orang Yehuda: “Kekuatan para pengangkat sudah merosot dan puing masih sangat banyak. Tak sanggup kami membangun kembali tembok ini.” Tetapi, Nehemia memberikan motivasi untuk ingat pada Tuhan yang besar dan dahsyat, dan mendorong rakyat untuk terus berjuang. Rakyat itu kembali berjuang dengan segenap tenaga. Memperjuangkan orang yang miskin dan lemah. Panggilan Tuhan salah satunya juga seringkali berkaitan dengan orang yang miskin dan lemah. Sebagai pemimpin, Nehemia juga memperjuangkan keadilan sosial dengan memperjuangkan keadilan bagi rakyat miskin yang diperas (Neh. 5). Rakyat kecil diperas secara ekonomi sehingga mereka harus menggadaikan hak milik mereka, membayar pajak yang tinggi, bahkan anak mereka masuk ke perbudakan akibat pemerasan yang terjadi oleh sesama anak bangsa. Nehemia sangat marah akibat ketidakadilan dan ketidakbenaran yang terjadi. Kemarahan yang benar adalah salah satu ciri pemimpin yang sejati. Kemarahan yang lahir dari kepedihan atas kondisi ketidakadilan, kebobrokan dan ketidakbenaran yang terjadi. Kemarahan yang suci itu kemudian bertransformasi ke dalam kebijakan-kebijakan yang berani dan membawa perubahan yang sangat signifikan. The Gracious Hand of God: Pentingnya doa. Satu hal yang sangat penting untuk kita teladani dari Nehemia adalah kehidupan doanya. Nehemia menangis, berkabung, berpuasa dan berdoa ketika mendengar berita tentang Yerusalem (Neh. 1). Nehemia mengawali pergumulan ini dalam doa. Ia berdoa kepada Tuhan di sepanjang prosesnya (Neh. 2:4; 4:9). Ia melihat tangan Tuhan yang murah memberkati dan memimpin panggilannya. Doa menjadi salah satu yang sentral dalam kitab Nehemia. Di akhir kitab Nehemia, ia berdoa kepada Allah “Ya Allahku, ingatlah kepadaku, demi kesejahteraanku!”. Nehemia sadar, kemampuan, seluruh sumber daya dan hasil yang diterimanya tidak mungkin terjadi tanpa belas kasihan tangan Allah. Nehemia menjadi teladan pemimpin yang berdoa dan bergantung kepada Allah sebagai sumber segala sesuatu. Penutup Kiranya kita dapat belajar dari teladan Nehemia sebagai seorang pemimpin yang berkarakter. Apapun yang Tuhan percayakan kepada kita untuk kita kerjakan saat ini, biarlah kita bisa bersungguh hati menjalaninya. Biarlah kiranya semangat pemimpin Kristen yang terus menyuarakan kebenaran yang sejati terus menyala dalam diri kita. Kiranya melalui kita, nama Tuhan dimuliakan di seluruh bumi terutama di bangsa Indonesia, tempat di mana Tuhan tempatkan kita. Amin. /knd-kb
- Belajar dari Musa: Menekuni Panggilannya sebagai Pemimpin yang Hadir
Lalu Musa mencoba melunakkan hati TUHAN, Allahnya, dengan berkata: "Mengapakah, TUHAN, murka-Mu bangkit terhadap umat-Mu, yang telah Kaubawa keluar dari tanah Mesir dengan kekuatan yang besar dan dengan tangan yang kuat?” (Keluaran 32:11) Allah memperhatikan kesengsaraan umat-Nya. Karena itu, Allah mengutus Musa kepada Firaun untuk membawa umat-Nya, keluar dari Mesir. Memimpin dan membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir menuju Tanah Perjanjian, bisa kita bayangkan pasti bukan perkara yang mudah. Mungkin karena itulah Musa berdalih dan mengajukan keberatan saat meresponi panggilan Allah ini. Menariknya, Allah menjawab, menyediakan, dan menantang Musa untuk setiap dalih dan keberatan yang diajukannya sebagaimana tertulis dalam kitab Keluaran 3-4. Allah menepati janji-Nya. Allah yang memanggil dan mengutus, Dia pula lah yang menyertai. Dan oleh penyertaan Allah, Musa dimampukan menjadi pemimpin yang hadir bagi umat-Nya. Setidaknya ada tiga hal penting yang dapat kita pelajari dan teladani dari bagaimana Musa menekuni panggilan Tuhan dengan menjadi pemimpin yang hadir. Pertama, Musa hadir dalam krisis kehidupan umat. Peristiwa di Masa dan di Meriba (Keluaran 17:1-7) mengingatkan kita akan hal itu. Pada waktu itu ada krisis di tengah-tengah bangsa Israel yaitu tidak ada air. Kita tahu air merupakan kebutuhan yang sangat penting. Alkitab mencatat tidak ada air untuk diminum bangsa itu. Bayangkan betapa sulitnya keadaan waktu itu. Orang Israel marah kepada Musa. “Sebentar lagi mereka akan melempari aku dengan batu,” kata Musa. Mereka mempertanyakan mengapa Musa membawa mereka keluar dari Mesir, mereka bahkan mencobai Tuhan. Kita perlu waspada dalam menghadapi krisis. Jika tidak dihadapi dengan tepat maka krisis dapat meluas. Krisis rentan dengan konflik seperti yang dialami oleh bangsa Israel dengan Musa. Dalam situasi yang tidak ideal ini Musa tidak berdiam diri apalagi melarikan diri dari krisis yang sedang dihadapi umat. Musa hadir, Musa berseru-seru kepada Allah. Allah mendengar seruan Musa. Dia tidak membiarkan Musa sendirian menghadapi krisis dan konflik tersebut. Allah hadir, berdiri bersama Musa. Musa juga menegur umat karena mencobai dan mempertanyakan kehadiran Tuhan. Musa hadir dengan berseru-seru kepada Tuhan untuk menjawab krisis yang sedang dihadapi umat dan Musa juga menegur umat atas kesalahannya. Musa tidak mendiamkan kesalahan umat. Kedua, Musa hadir menolong umat menegakkan keadilan serta ketetapan dan keputusan Tuhan dalam permasalahan sehari-hari mereka. Kita mungkin masih ingat peristiwa Yitro mengunjungi Musa (Keluaran 18). Musa hadir setiap hari dari pagi sampai petang untuk mengadili, memberi ketetapan-ketetapan dan keputusan-keputusan Allah. Hal tersebut dilakukan Musa seorang diri. Melihat itu Yitro menegur dan memberi nasehat. Karena jika demikian maka baik Musa maupun umat akan kelelahan, oleh sebab itu Musa dinasehati oleh mertuanya agar membentuk tim yang terlatih dan dapat dipercaya. Musa menerima nasehat mertuanya agar kehadirannya menolong umat dalam mengatasi perkara-perkara mereka, mengadili, memberi ketetapan-ketetapan dan keputusan-keputusan Allah semakin efisien dan efektif. Lalu Musa mempersiapkan dan memilih serta menempatkan tim kerjanya sebagai pemimpin seribu orang, seratus orang, lima puluh orang, sepuluh orang. Dan hanya perkara-perkara yang sukar saja yang dihadapkan kepada Musa, tetapi perkara-perkara yang kecil mereka sendiri yang menyelesaikannya. Dengan demikian kehadiran Musa dalam menolong perkara umat dapat terlaksana dengan lebih optimal dan proporsional. Ketiga, Musa hadir dalam menengahi pertikaian umat yang berdosa dengan Tuhan Allah. Musa hadir sebagai perantara umat dengan Allah. Dalam peristiwa anak lembu emas (Keluaran 32), kita melihat umat tidak sabar menunggu Musa turun dari gunung Sinai, lalu mereka membuat anak lembu emas di bawah kepemimpinan Harun. Mereka mengatakan anak lembu emas itulah allah yang telah membawa mereka keluar dari tanah Mesir, mereka bersukaria, makan, minum, mempersembahkan korban. Allah sangat marah dan menyuruh Musa segera turun menjumpai bangsa Israel. Allah mengatakan bangsa itu adalah bangsa yang tegar tengkuk. Jika pada waktu Allah mengutus Musa, Dia menyebut bangsa Israel dengan sebutan “Umat-KU” (Keluaran 3:10) tapi pada peristiwa dosa besar ini, Allah mengatakan kepada Musa “bangsamu” telah rusak lakunya (Keluaran 32:7). Bangsa Israel ‘bertikai’ dengan Allah. Situasi yang sangat menegangkan. Situasi yang sangat menyedihkan. Musa hadir dalam peristiwa pertikaian tersebut. Musa cepat tanggap melihat situasi. Umat Israel yang telah melakukan dosa besar kepada Allah ditegur dan dihukum dengan tegas oleh Musa. Musa menempatkan dirinya menjadi perantara antara bangsa Israel dan Allah. Keesokan harinya berkatalah Musa kepada bangsa itu: "Kamu ini telah berbuat dosa besar, tetapi sekarang aku akan naik menghadap TUHAN, mungkin aku akan dapat mengadakan pendamaian karena dosamu itu." Lalu kembalilah Musa menghadap TUHAN dan berkata: "Ah, bangsa ini telah berbuat dosa besar, sebab mereka telah membuat allah emas bagi mereka. Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu-dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis (Keluaran 32:30-32). Sangat terharu dan menggetarkan. Jikalau sebelumnya Musa mengingatkan Tuhan bahwa mereka yang mau dimurkai-Nya itu adalah umat-Nya, yang membawa nama-Nya untuk menjadi kesaksian bagi bangsa-bangsa lain, kali ini Musa seolah sedang berkata, bila mereka semua harus dimusnahkan, biarlah aku turut musnah bersama mereka dan tidak memperoleh tanah Kanaan. Jika segenap Israel harus binasa, aku rela turut binasa bersama mereka. Janganlah kiranya tanah perjanjian menjadi milikku seorang diri. Kasih dan kebesaran hati Musa ini kita lihat juga dalam ungkapan Paulus dalam Roma 9:3, Bahkan aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara saudariku, kaum sebangsaku secara jasmani . Betapa indahnya pemimpin yang memiliki hati sedemikian besar kepada umat yang dipercayakan-Nya kepadanya. Alkitab mencatat, dan menyesallah Tuhan karena malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya (Keluaran 32:14). Jelas, Tuhan bertindak adil, yang bersalah saja yang akan dihukum dan Ia tetap menepati janji-Nya untuk menuntun umat-Nya. Dalam setiap zaman Tuhan memanggil dan mengutus orang yang dipilih-Nya menjadi pemimpin yang hadir mewakili kehadiran-Nya untuk mewujudkan rencana-Nya yang agung. Dan saat ini, Tuhan sedang memanggil dan mau mengutus kita menjadi pemimpin yang hadir. Bersediakah kita? Mari kita responi dan terima dengan syukur karena sesungguhnya Dia yang memanggil dan mengutus, Dia juga yang menyertai dan memampukan sebagaimana yang dilakukan-Nya kepada Musa. Mari kita belajar dari Musa, menjadi pemimpin yang hadir. Mari kita memimpin dengan hadir dalam krisis kehidupan yang dihadapi umat antara lain krisis pasca pandemi Covid-19 serta dampaknya. Mari kita hadir menolong umat menegakkan keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin kita perlu mendengar masukan dari ‘Yitro’ agar pelayanan dan pekerjaan kita lebih optimal menjangkau umat. Mari kita memimpin dengan hadir dalam menengahi pertikaian umat yang berdosa dengan Tuhan Allah. Mari berdoa mohon ampun atas dosa-dosa umat dan mohon keselamatan bagi umat. Setiap kita pasti ada yang bisa kita lakukan sesuai dengan karunia dan bagian kita masing-masing. Tuhan yang memanggil dan mengutus Musa sebagai pemimpin. Tuhan yang menyertai dan memampukan Musa, Tuhan yang sama, Tuhan yang kita sembah, Dia jugalah yang memanggil, mengutus, dan menyertai serta memampukan kita menjalani agenda Tuhan dalam hidup kita. Amin.
- Bagaimana Bersikap
“Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya pada saat menangani pasien dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan.” Pernyataan tersebut adalah isi dari Pasal 9 Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kalimat tersebut pada bagian awal cukup jelas mendorong kita sebagai dokter untuk bersikap jujur. Namun, yang menjadi menarik adalah pada bagian kedua kita berkewajiban untuk mengingatkan sejawat yang memiliki kekurangan atau bahkan pada teman sejawat yang melakukan penipuan. Hal ini tentu menarik untuk dikaji dari berbagai perspektif. Sebagai orang Kristen kita memiliki kewajiban untuk menegur sesama kita dengan baik. Dalam Alkitab beberapa kisah teguran dapat kita jumpai: (1) Dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Paulus pernah menegur Kefas yang telah berbuat salah dengan bertindak seperti orang munafik. “Kalau Saudara sebagai orang Yahudi sudah hidup seperti orang bukan Yahudi, mengapa Saudara sekarang mau memaksa orang-orang lain hidup seperti orang Yahudi?” (Galatia 2:14 BIS). (2) Kisah teguran Yohanes Pembaptis pada Herodes, “Tidak halal engkau mengambil Herodias!” (Matius 14:4), membangkitkan amarah Herodes hingga ingin membunuh Yohanes Pembaptis. (3) Kisah Nabi Natan yang menegur Daud dengan sebuah kisah pada 2 Samuel 2:1-4 juga memberikan kita contoh cara peneguran yang berbeda. Setiap teguran akan memberikan konsekuensi, baik bagi pihak yang menegur maupun pihak yang ditegur. Dalam praktik sehari-hari pihak yang menerima teguran mungkin saja menjadi sakit hati, tidak peduli, marah, atau berbagai respon lainnya yang seringkali tidak terduga. Respon tersebut tentu akan mempengaruhi hubungan pribadi maupun kolaborasi profesional antara dokter. Kita diingatkan untuk menyampaikan kebenaran dengan kasih, “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali” (Matius 18:15). Dalam praktik kedokteran di Indonesia, tidak jarang kita menjumpai pernyataan “menjatuhkan” dari sejawat. Baik dalam konteks ketika berbicara dengan pasien maupun diskusi dengan sejawat lainnya. Pernyataan tersebut dapat berupa keraguan mengenai penegakan diagnosis, terapi, sikap sejawat, bahkan hingga kehidupan pribadinya. Di dunia yang mengalami perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat, tentu saja setiap informasi akan menyebar dengan cepat, baik informasi yang benar maupun hoaks. Dalam bidang kedokteran informasi negatif bukan hanya berdampak pada individu terkait, tetapi juga pada profesi dokter itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa penilaian masyarakat Indonesia terhadap layanan kesehatan di Indonesia masih jauh di bawah harapan. Seringkali kita mendengar masyarakat Indonesia yang mampu akan lebih senang untuk berobat ke negara lain. Bila ditelusuri dalam konteks yang lebih mendalam, pada kasus malpraktek, bila pernyataan negatif tersebut muncul dari kalangan sejawat maka tidak dapat dipungkiri bahwa individu terkait dan profesi dokter juga akan mengalami dampak negatif yang lebih besar. Padahal harus kita sadari bahwa semua kasus malpraktek yang berjalan belum tentu terbukti adanya kesalahan atau kelalaian. Dalam menghadapi sejawat yang mungkin menyimpang, berbeda pandangan dengan kita, maupun yang dinyatakan bersalah sekalipun, kita dapat menggunakan prinsip pada Pasal 18 Kode Etik Dokter Indonesia, “Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.” Pernyataan tersebut sebenarnya sejalan dengan hukum kasih yang kedua, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39) Saya yakin bahwa kita semua sudah pernah mendengar dan mengerti prinsip tersebut. Saat ini yang perlu kita lakukan adalah refleksi diri terkait keselarasan setiap perkataan, sikap, dan tindakan kita terhadap teman sejawat dengan pasal-pasal Kode Etik Kedokteran Indonesia yang jelas sejalan dengan prinsip Firman Tuhan.
- Depresi dan Iman Kristen Bagian Kedua: Penerimaan dan Pemulihan
Sebagai seorang Kristen yang sehari-hari bekerja sebagai dokter kesehatan jiwa, ada pertanyaan menarik yang acap kali saya dengar. “Dok, apakah wajar jika seorang beragama Kristen mengalami depresi?” atau “Apakah depresi merupakan tanda bahwa kita kurang beriman?” Jika kita telaah lebih lanjut, depresi seringkali dipicu oleh keadaan hidup yang sulit dan kondisi dimana sepertinya banyak hal tidak terjadi sesuai harapan. Di samping itu, faktor neurobiologis yang dibahas sebelumnya juga berperan dalam menjelaskan bahwa depresi adalah suatu kondisi medis umum yang dapat mempengaruhi siapa pun. Tokoh- tokoh Alkitab yang cukup sering kita dengar, seperti Elia dan Daud, pernah mengalami periode keputusasaan yang dalam dan mengalami depresi. Setelah kemenangan Elia yang besar di Gunung Karmel, ratu Izebel mengancam akan membunuhnya. Kemudian, dalam ketakutan dan keputusasaannya, Elia berlari ke padang gurun, lalu berdoa “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.” (1 Raja-Raja 19:4). Di titik terbawah di kehidupannya, Elia, seorang nabi yang taat dan takut akan Allah, mengalami keterpurukan yang begitu hebat. Daud, salah satu tokoh besar di Alkitab, dikenal sebagai a man after God’s own heart juga pernah mengalami depresi dan keputusasaan. Di dalam berbagai Mazmurnya, Daud seringkali mengungkapkan sebuah perasaan sedih, tertekan dan hilang harapan. Menyadari bahwa menjadi seorang yang beriman tidak memberikan imunitas dari kondisi depresi, kita akan dapat membantu menghilangkan stigma dan mendukung mereka yang sedang mengalami depresi untuk mencari bantuan yang diperlukan. Bila kita lihat lebih jauh, manusia sendiri terdiri dari tubuh, jiwa dan Roh, dimana semua komponen berperan dan saling mempengaruhi agar manusia sehat seutuhnya. Saat manusia jatuh ke dalam dosa, terjadi sebuah kerusakan pada tubuh manusia, seperti dikatakan bahwa manusia akan harus bekerja keras dan proses kelahiran seorang anak pun akan sulit. Hal ini menjelaskan bahwa fungsi biologis manusia tidak lagi sesuai dengan harapan. Jiwa manusia menjadi gelisah dan ketakutan seperti saat Allah berjalan-jalan mencari manusia (lih. Kej.3:8) setelah jatuh ke dalam dosa dan Roh manusia menjadi terpisah dari Allah yang seharusnya menjadi sumber kepuasan dan damai akibat dosa. Mempertimbangkan hal ini, sumber yang menjadi pemicu dari depresi menjadi penting untuk diketahui. Apakah hal ini terjadi akibat tekanan berat dan faktor biologis yang membuat seseorang rentan terhadap depresi? Jika ya, mungkin tepat pemberian pengobatan antidepresan, sama seperti Allah memelihara fisik Elia dengan memberikan makanan, begitu juga kita memperbaiki gangguan biologis seseorang dengan pengobatan. Jika sumber keputusasaan seseorang datang dari perasaan bahwa Allah jauh, maka penting untuk kita dapat mengingatkan bahwa kita selalu dapat berharap pada Allah, sama seperti Daud menulis di Mazmur 42:6-7 “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!" Dengan memahami baik pendekatan spiritual dan medis terhadap depresi, seseorang dapat berjalan ke arah pemulihan dan pembaharuan. Pertanyaan yang sering menjadi perbincangan adalah apakah seorang Kristen diizinkan menggunakan antidepresan. Terkadang, pendapat orang tentang hal ini sangat ekstrem, ada yang sangat setuju bahwa ini boleh dilakukan dan ada pula yang sangat tidak setuju tanpa mempertimbangkan secara mendalam. Mereka yang setuju biasanya melihat depresi sebagai gangguan biologis semata sehingga menganggap wajar untuk menggunakan obat, mirip dengan pengobatan untuk kondisi medis lain seperti diabetes atau hipertensi. Di sisi lain, orang yang menolak cenderung fokus pada dimensi spiritual, yaitu keyakinan bahwa seseorang yang dekat dengan Tuhan seharusnya tidak mengalami keputusasaan seperti ini, sehingga 'obat' seharusnya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Sehingga, penting untuk mengadopsi pendekatan yang seimbang antara perawatan medis dan dukungan spiritual dalam membantu individu Kristen yang mengalami depresi, memastikan bahwa kita mendapatkan bantuan yang komprehensif dan holistik. Psikoterapi dan iman Kristen adalah dua pendekatan yang sering kali saling melengkapi dalam membantu individu yang mengalami depresi atau masalah kesehatan mental lainnya. Psikoterapi, seperti terapi kognitif perilaku atau terapi bicara, bertujuan untuk membantu individu memahami dan mengelola pikiran, perasaan, dan perilaku yang mungkin menyebabkan atau memperburuk depresi. Di sisi lain, iman Kristen memberikan landasan spiritual yang kuat, menawarkan harapan, kekuatan, dan pemahaman bahwa Tuhan selalu ada untuk memberikan dukungan dan penghiburan. Ketika digabungkan, psikoterapi dan iman Kristen dapat memberikan dukungan yang komprehensif bagi individu yang sedang mengalami depresi. Psikoterapi membantu dalam proses penyembuhan secara psikologis dan emosional, sementara iman Kristen memperkuat kepercayaan bahwa Tuhan memiliki rencana dan memberikan kekuatan untuk menghadapi cobaan hidup. Dalam konteks ini, banyak orang Kristen yang merasa bahwa melibatkan iman mereka dalam proses psikoterapi membantu mereka menemukan makna yang lebih dalam dalam perjalanan pemulihan mereka. Sebagai penutup, depresi merupakan keadaan yang sulit dihadapi dan tidak jarang dialami oleh orang Kristen sekalipun. Depresi bukanlah indikasi kekurangan iman, bukan juga kegagalan spiritual, melainkan sebuah gangguan medis yang dapat diobati. Iman bukanlah vaksin atau antidotum untuk depresi. Kasih, belas kasihan, dan persekutuan yang tidak menghakimi dapat menjadi pondasi yang kuat dalam mematahkan stigma ketika tampak perubahan sikap dan perilaku pada saudara-saudara seiman kita, maupun pada hamba Tuhan. Di saat-saat kelam, perlu kita sadari bahwa mencari bantuan adalah bentuk bukti kekuatan, bukan kelemahan dalam iman. Dengan mengatasi stigma ini, kita dapat lebih mudah mendukung mereka yang membutuhkan untuk mencari pertolongan. Semakin dini depresi ditangani, semakin baik peluang untuk pemulihan. Namun, perlu diingat bahwa proses pemulihan jiwa memerlukan waktu yang tidak sebentar, mungkin berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tergantung dengan kondisi biopsikososial. Dengan iman yang kokoh, dukungan komunitas, dan perawatan medis yang tepat, mereka yang menghadapi depresi dapat kembali menemukan harapan dalam hidup mereka. Seperti Mazmur 34:18 mengingatkan kita, “TUHAN dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” Selalu ada harapan dan bantuan yang tersedia bagi jiwa-jiwa yang mencari-Nya! Penulis merupakan Wakil Dekan Kemahasiswaan, Kepala Departemen Psikiatri, FK UPH - Siloam Hospitals Lippo Village. /tp
- Depresi dan Iman Kristen Bagian Pertama: Pengertian dan Neurobiologi Depresi
Seorang pendeta muda bernama Ibu Mary, dikenal oleh jemaat dan keluarganya sebagai sosok yang penuh kasih dan hangat. Mary, yang besar di keluarga Kristen, selalu merasakan kasih Tuhan sejak di bangku sekolah. Hidupnya seperti selalu bergandengan dengan Tuhan, dengan motivasi tinggi untuk mengubah dunia dan melayani Tuhan. Namun, hidupnya berubah drastis setelah suaminya kehilangan pekerjaan, diikuti berbagai masalah di tempat pelayanannya, dan pergumulan pribadi yang semakin menumpuk. Mary mendapati dirinya terjebak dalam kegelapan yang asing, dengan perasaan sedih dan putus asa yang mendalam. Setiap hari menjadi perjuangan berat bagi Mary; bahkan untuk bangun dari tidur pun, ia harus melawan pikiran negatif yang menghantuinya. Bahkan doa, yang biasanya menjadi sumber damai baginya, terasa kehilangan kuasanya. Hingga suatu hari, terlintas di benaknya pikiran untuk mengakhiri hidup agar cepat bertemu Tuhan. Pikiran itu membuat Mary tertegun dan bertanya dalam hati, apakah imannya yang mengecewakannya, ataukah dirinya yang telah mengecewakan imannya? Akhir-akhir ini, isu kesehatan jiwa menjadi pembicaraan publik, baik di media mainstream maupun media sosial. Salah satu kondisi yang paling dikenal adalah gangguan depresi ( Major Depressive Disorder /MDD, nomenklatur resmi dalam DSM-5). Depresi begitu familiar dan terkadang menjadi bahan gurauan ketika hidup terasa berat. Acap kali guyonan,”Duuh, besok hari Senin lagi. Rasanya aku langsung depresi!” menjadi hal yang lumrah kita ucapkan setiap akhir pekan telah usai. Namun, apakah kita benar-benar memahami apa yang dimaksud dengan depresi? Depresi adalah gangguan kesehatan mental serius yang mempengaruhi perasaan, cara berpikir, dan tindakan seseorang. Gejalanya dapat menyebabkan perasaan sedih yang mendalam, hilangnya minat atau kesenangan dalam aktivitas sehari-hari, bahkan pikiran untuk bunuh diri. Depresi bukan sekadar perasaan sedih yang biasa kita alami, melainkan kondisi medis yang membutuhkan perhatian dan perawatan. Sehingga, penting bagi kita untuk memahami bagaimana depresi bisa terjadi dan bagaimana iman kepada Kristus dapat menolong kita dalam menghadapinya. Neurobiologi Depresi Depresi adalah gangguan kesehatan mental yang kompleks dan melibatkan berbagai aspek dari faktor genetik, biologis, sosial, dan psikologis. Beberapa faktor psikologis internal, seperti kepribadian yang kurang percaya diri, dependen, kritik diri yang tinggi, atau sikap pesimis, dapat berkontribusi terhadap gejala depresi. Faktor sosial juga cukup berpengaruh pada kemungkinan timbulnya depresi, yaitu adanya peristiwa kehidupan yang penuh tekanan, seperti terjadinya trauma, kehilangan seseorang, masalah interpersonal, serta masalah finansial. Neurobiologi dari depresi berfokus pada pemahaman bagaimana perubahan dalam fungsi dan struktur otak berkontribusi terhadap gejala-gejala depresi. Beberapa studi menunjukkan adanya beberapa mekanisme yang terlibat, yaitu perubahan atau ketidakseimbangan neurotransmitter (sistem serotonin, noradrenergik, dopamin, dan glutamat), neuro inflamasi, abnormalitas Aksis HPA (hypothalamic-pituitary-adrenal), perubahan vaskular, serta penurunan neurogenesis dan neuroplastisitas. Neurotransmitter merupakan bahan kimia di otak yang bertugas untuk mengirimkan sinyal antar neuron. Teori yang sudah cukup umum diketahui mengenai ketidakseimbangan neurotransmitter pada depresi adalah hipotesis monoamin, yang melibatkan serotonin (5-HT), norepinefrin (NE), dan dopamin (DA). Menurunnya kadar serotonin ditemukan pada pasien dengan depresi. Hal ini dapat dilihat dari membaiknya gejala pasien bila mengkonsumsi obat SSRI ( selective serotonin reuptake inhibitor) dan SNRI ( selective serotonin reuptake inhibitor ) yang meningkatkan level serotonin di otak. Neurotransmitter norepinefrin (NE) juga memiliki peran dalam regulasi mood, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa obat-obatan yang menghambat reabsorbsi NE, seperti TCA, SNRI, dan NDRI serta obat yang meningkatkan sekresi NE, seperti mirtazapin, merupakan antidepresan yang efektif. Selain itu, stres yang berkepanjangan juga dapat merubah sistem noradrenergik dan berpengaruh pada neuroendokrin dan sistem imun. Neurotransmiter berikutnya adalah neuron dopaminergik (DA) yang berasal dari jalur mesolimbik dan mengatur reward pathway and motivation . Adanya gangguan transmisi dopaminergik dan jalur mesolimbik berkontribusi pada patofisiologi depresi, terutama pada gejala anhedonia (ketidakmampuan merasakan kesenangan). Ketiga neurotransmiter tersebut saling terkait dan mempengaruhi konsentrasi satu sama lain di dalam otak. Dopamin telah terbukti memiliki efek inhibisi terhadap pelepasan NE dari locus ceruleus , sementara NE memiliki efek eksitatori dan inhibitori terhadap pelepasan dopamin di area tegmentalis ventralis. Selain itu, NE dan dopamin juga meningkatkan pelepasan serotonin secara berturut-turut. Oleh karena itu, adanya perubahan pada salah satu neurotransmitter ini kemungkinan mempengaruhi fungsi dua neurotransmitter lainnya [1] . Selain ketiga neurotransmiter tersebut, glutamat juga diduga memiliki peran dalam regulasi suasana hati. Hal ini diduga dari ketamin yang merupakan antagonis reseptor NMDA dapat bertindak sebagai antidepresan yang kuat. Cara kerja ketamin adalah melalui antagonisme reseptor NMDA pada interneuron GABA yang mengurangi inhibisi pelepasan glutamat sehingga meningkatkan produksi glutamat di tubuh. Glutamat kemudian akan mengikat secara selektif pada reseptor AMPA sehingga akan mengarah pada peningkatan neuroplastisitas otak. Hal ini berhubungan dengan neurobiologi berikutnya yaitu, adanya penurunan neurogenesis dan neuroplastisitas pada pasien dengan depresi. Neuroinflamasi juga berperan pada depresi, dimana terdapat peningkatan kadar penanda inflamasi seperti IL-1β, IL-2, IL-6, TNF-α, CRP, dan PGE2 yang dapat disebabkan oleh stress psikologis dan bersifat proinflamatori. Mekanisme inflamasi dan depresi diduga merupakan respon adaptif terhadap inflamasi. Disfungsi Aksis HPA (hypothalamic-pituitary-adrenal) memiliki hubungan terjadinya depresi melalui mekanisme stres. Respon stres dapat menyebabkan depresi melalui abnormalitas HPA, yaitu terjadi hipersekresi corticotropin-releasing hormone (CRH) dari hipotalamus, hiperkolestrolemia akibat hipersensitivitas HPA axis, dan disregulasi negative feedback dari hormon CRH. Selain itu, stres kronik dapat memicu kaskade neurobiologis yang mempengaruhi kemampuan hipokampus untuk beradaptasi dengan lingkungan stresor, sehingga mengurangi neuroplastisitas dan potensi jangka panjang neuron hipokampus. Pada stres kronik, dapat terjadi kondisi yang disebut sebagai diathesis-stress model yang menyatakan terdapat predisposisi (dapat bersifat genetik atau epigenetik) yang dapat menyebabkan depresi bila terpicu oleh faktor lingkungan reaksi maladaptif. Selain itu, hiperkortisolemia dalam otak juga mengubah jalur emosi kognitif dengan berpengaruh pada amygdala dari hipokampus (pembelajaran adaptif) dan meningkatkan konektivitas dengan striatum (pembelajaran habitual). Hal ini menyebabkan anhedonia, kurangnya motivasi, dan gejala depresi [2] . Faktor neurobiologi terakhir adalah pada neuroplastisitas. Otak manusia memiliki kemampuan plastisitas, dimana dapat menciptakan, menghilangkan, dan mengubah sirkuit fungsional dalam proses adaptasi. Salah satu faktor molekuler yang dibutuhkan untuk neuroplastisitas yang sehat adalah brain-derived neurotrophic factor (BDNF). BDNF merupakan neurotrofin yang membantu mendukung kelangsungan hidup neuron dan mendorong pertumbuhan serta diferensiasi neuron dan sinaps baru. Pada pasien terdiagnosa MDD, ditemukan adanya kadar serum BDNF yang berkurang. Tatalaksana depresi berupa kombinasi antara terapi obat dan psikoterapi. Antidepresan dapat membantu menyeimbangkan neurotransmitter kimia di otak yang kurang seimbang sehingga pada akhirnya bermanifestasi sebagai suasana hati dan emosi yang sedih dan putus asa. Selain itu, psikoterapi, seperti terapi kognitif-perilaku (CBT), dapat membantu pasien memahami dan mengubah pola pikir negatif yang berperan signifikan terhadap depresi. Penulis merupakan Wakil Dekan Kemahasiswaan, Kepala Departemen Psikiatri, FK UPH - Siloam Hospitals Lippo Village. /tp Sumber: [1] Dean J, Keshavan M. The neurobiology of depression: An integrated view. Vol. 27, Asian Journal of Psychiatry. Elsevier B.V.; 2017. p. 101–11. [2] Maletic, V., Robinson, M., Oakes, T., Iyengar, S., Ball, S. G., & Russell, J. (2007). Neurobiology of depression: an integrated view of key findings. International journal of clinical practice, 61(12), 2030–2040. https://doi.org/10.1111/j.1742-1241.2007.01602.x
- Counterfeit Gods
(Allah-allah palsu) Timothy Keller Diterjemahkan oleh Literatur Perkantas, 2016. Sekalipun tiga ribu tahun berbeda zaman dan peradaban, ternyata penyembahan berhala adalah salah satu kemiripan antara zaman kerajaan – kerajaan Israel dengan zaman di mana kita hidup hari ini. Bila Anda belum terlalu yakin, bacalah buku ini. Buku ini ditulis oleh Tim Keller setelah peristiwa krisis keuangan 2008 melanda Amerika (dan dunia), dan banyak orang memerlukan bantuan untuk pulih dari kehancuran. Dalam buku ini diceritakan bahwa ketika suatu berhala sudah mengikat hati, dia akan membentuk serangkaian pengertian yang salah tentang kesuksesan, kegagalan, kebahagiaan, dan kesedihan. Timothy menggunakan kisah dari keluarga Abraham, Yakub, Zakheus, Naaman, dan beberapa tokoh lain untuk menjadi contoh bahwa cinta akan uang, wanita, dan kekuasaan sudah sejak dahulu menjadi allah palsu dalam cerita tokoh -tokoh ini, seperti yang terjadi dalam zaman sekarang ini juga. Kisah-kisah dramatis tokoh-tokoh ini digambarkan dengan urutan yang luar biasa, dan diselingi dengan pembahasan dan eksposisi yang terperinci namun disampaikan dengan sangat indah. Dan seperti buku-buku lain yang ditulis oleh pendeta Tim, tulisannya sangatlah lugas, jelas, dan mendalam. Malah, setelah membaca buku ini, kita bisa menyadari bahwa selama ini mungkin kita belum sungguh-sungguh mengenal diri kita sampai kita mengakui adanya berhala-berhala yang kita simpan di dalam hati tanpa kita tahu. Buku ini sangat membantu bagi siapa saja yang sedang melewati masa sulit, maupun bagi mereka yang sedang dalam kesibukan pekerjaan, dalam tekanan mengejar karir, dan perlu untuk memeriksa kembali hati dan motivasi. Bagian terakhir dari buku ini ditutup dengan membicarakan mengenai cara agar kita dapat melepaskan dan mengganti berhala-berhala kita dengan sukacita yang sejati bersama dengan Tuhan sebagai harapan yang terpenting. Dalam tujuh bab di dalam buku ini terdapat suatu pola yang seragam, dimana setiap bab selalu diakhiri dengan penekanan bahwa Tuhan adalah Allah yang sejati yang dengan setia menjadi jawaban yang sesungguhnya. Buku ini tidak hanya akan mengubah hidup, namun juga akan mentransformasi hati kita. Selamat membaca. EAB
- Melangkahkan Kaki ke Daerah
Setelah ribuan kilometer terbang, akhirnya, dini hari 9 Januari 2013 saya menginjakkan kaki di Bumi Cenderawasih. Tanah yang pernah saya tinggalkan limabelas tahun sebelumnya - kini saya datang kembali… Panggilan Tuhan yang pertama Saya teringat, waktu pertama kali mendengar suara Tuhan, meminta saya untuk pergi dan melayani sebagai dokter di Irian Jaya (cat. tahun 2001 Irian Jaya berganti nama menjadi Papua). Saat itu masih mahasiswa semester delapan, saya merasakan ada suara yang lembut namun mendesak di dalam hati, ketika membaca sebuah buku tentang seorang dokter muda yang melayani di pedalaman Irian Jaya. Dan dialog pun terjadi : “ Kenapa harus saya Tuhan?” “ Kalau bukan anak-anak-Ku, siapa lagi yang akan Ku-utus?” Sejak saat itu, keinginan untuk pergi ke pedalaman Papua bertumbuh dan semakin kuat. Berusaha menepis panggilan-Nya Proses pembentukan dan pemurnian-pun dimulai. Sesudah lulus menjadi dokter, banyak kesempatan yang datang, mulai dari pendidikan dan pekerjaan, baik di klinik maupun rumah sakit besar - sepaket dengan kehidupan mapan di kota besar, Jakarta! Tapi semuanya itu tidaklah memuaskan saya, seolah jiwa saya menuntut bahwa saya diciptakan oleh Tuhan untuk berada dan melakukan sesuatu di tempat lain yang tidak diminati oleh banyak orang. Sampai akhirnya terjadi bencana alam dan kelaparan di Jayawijaya Raya tahun 1997, sayapun mengajukan diri menjadi dokter relawan perempuan satu-satunya yang dikirim ke Irian Jaya. Sehingga pada waktu penempatan PTT (Pegawai Tidak Tetap), Irian Jaya menjadi pilihan pertama dan saya yakin, pasti diterima. Ternyata, saya ditolak di Papua! Dan ditempatkan di Yogyakarta. Saya protes sama Tuhan: “Tuhan, mengapa orang yang memilih untuk PTT di Jawa - banyak yang tidak bisa; Tapi saya yang mau ke Papua malah Tuhan tempatkan di Jawa?!” Dan Tuhan terdiam… Sejak saat itu saya berusaha untuk tidak lagi memikirkan Irian Jaya. Saya larut didalam pekerjaan dan pelayanan di Yogyakarta. Mengenal banyak komunitas baik rohani maupun sekuler, sampai akhirnya saya kehilangan ayah yang sangat saya kasihi dan puja, yang ternyata tanpa disadari sudah menjadi ilah saya selama ini. Inilah titik balik pengenalan saya. Bahwa Dia adalah Allah pencemburu yang ingin menjadi satu-satunya Tuhan di dalam hidup saya. Dia sedang memperkenalkan diri-Nya dan saya diproses lebih dalam lagi. Berangkat! Perlahan namun pasti kerinduan untuk ke Papua pun timbul kembali. Meskipun tantangan yang saya hadapi kali ini jauh lebih berat karena harus meninggalkan ibu saya yang masih sakit dan hidup sendirian. Namun ingatan dari pelajaran pertama - bahwa Tuhan adalah Allah pencemburu - membuat saya ingin segera menaati-Nya. Tuhan seolah mengatakan bahwa Dia tidak bisa dikalahkan dan tidak akan pernah mau mengalah. Sekembalinya saya dari Filipina pada 2012, saya membulatkan tekad untuk keluar dari salah satu rumah sakit swasta di Jakarta dan memesan tiket pesawat ke Papua. Singkat cerita, saya tinggal dengan keluarga yang dikenalkan oleh salah satu teman di Jakarta sambil membantu pelayanan mereka di Kota Sentani dan Koya Barat, dekat perbatasan negara Papua New Guinea. Namun setelah tiga bulan, saya belum juga mendapat pekerjaan, lalu berseru kepada Tuhan, “Tuhan, uang saya menipis. Kalau sampai 1 April 2013 ini saya belum bekerja, saya akan kembali ke Jawa dan itu berarti bahwa semua ini bukan panggilan-Mu tapi hanya keinginan dan emosi saya semata”. Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab, Aku akan menyertai dia dalam kesesakan, Aku akan meluputkannya dan memuliakannya (Mazmur 91:15). Janji-Nya tersebut digenapi, tidak lama setelah saya berdoa, melalui seorang siswa yang sedang sakit, saya mendapat informasi lowongan kerja dari dokter di puskesmas. Puji Tuhan! Tepat pada 1 April 2013 saya mulai bekerja untuk Penanganan HIV di empat kabupaten/kota; yaitu Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura. Saya merenungkan peristiwa sebelas tahun yang lalu tentang bagaimana Tuhan mampu mengubah suka duka yang saya alami dengan tidak ada satupun yang Dia sia-siakan. Bahkan Dia pakai semuanya itu untuk membentuk karakter saya seperti Kristus. Bersyukur Tuhan terus mempercayakan perkara-perkara kecil dan akhirnya Dia juga mempercayakan perkara-perkara yang lebih besar lagi kepada saya serta memperlihatkan apa yang sedang Dia kerjakan di Tanah Papua. “Barang siapa yang bekerja di tanah ini dengan setia, jujur dan dengar-dengaran; maka ia akan berjalan dari tanda heran yang satu ke tanda heran yang lain.” (Pendeta Izaac Samuel Kijne - 1947) Sentani - 10 Mei 2024
- Beyond Judgement Day (episode 2)
Telaah Kitab Zefanya Pada bagian pertama (pasal 1) kita telah melihat Zefanya mewartakan berita penghukuman kepada orang Yehuda. Pada pasal 2 dan 3, Zefanya tetap mewartakan berita penghukuman. Kali ini kepada bangsa-bangsa asing yaitu bangsa Filistin, Moab, Ethiopia, Asyur. Kemudian dilanjutkan dengan berita hukuman kepada Yerusalem (Kerajaan Yehuda) dan ditutup dengan penghukuman universal. Namun pada akhir kitab Allah tetap menyediakan harapan bagi kita. Zefanya, pasal 2 dan 3 menjadi pengingat tentang panggilan Allah untuk bertobat dan janji pemulihan bagi umat-Nya. Dalam kedua pasal ini, kita menemukan pesan yang kuat yang berbicara tentang realita dosa, penghakiman, dan pengampunan melalui kasih karunia-Nya. 2. Penghukuman Allah bagi bangsa-bangsa (pasal 2) Penghukuman Allah dimulai dari rumah Tuhan (1 Pet. 4:17) dan berlanjut pada bangsa-bangsa lain. Bangsa-bangsa yang disebutkan dalam kitab Zefanya mewakili bangsa-bangsa di seluruh dunia. Bangsa Asyur dibelah utara, bangsa Ethiopia (cush) di sebelah Selatan, Moab dan Amon di sebelah timur dan Filistin di sebelah barat. 1. Penghukuman atas bangsa Filistin. Pada ayat 5 tertulis “celakalah kamu bangsa Kreti”. Kreti adalah sebuah klan dari bangsa Filistin, yang merupakan musuh bebuyutan orang israel. Sebuah catatan dalam kitab Amos menunjukkan bagaimana bangsa ini menangkap dan menjual orang Israel sebagai budak. Allah mendengar teriakan dan membela umat-Nya. Ayat 5 juga menuliskan hukuman Allah bagi bangsa Kreti ini. Mereka akan binasa, kota-kota meraka akan kosong, tidak aada lagi penduduk di sana. 2. Penghukuman atas bangsa Moab dan Amon. Kedua bangsa yang tinggal di sisi timur Yudea ini merupakan keturunan Lot sesudah mereka selamat dari hukuman Sodom dan Gomora. Ayat 8 mencatat kedua bangsa ini mencela dan menista umat Tuhan dan menyombongkan diri atas tanah Kanaan. Kedua bangsa ini akan berakhir seperti Sodom dan Gomora. Demikian hukuman Tuhan. 3. Penghukuman atas bangsa Ethiopia Bangsa “cush” atau Ethiopia yang juga merupakan musuh bebuyutan umat Isarel ini tidak lepas dari hukuman Tuhan. Allah memakai tangan bangsa Babil menghukum mereka dengan pedang (Yesaya 18 dan Yehezkiel 30:4-9). 4. Penghukuman atas bangsa Asyur Pada masa itu, Asyur merupakan bangsa yang mempunyai kekuatan milter terbesar di kawasan itu. Sebelum kebangkitan Babilonia, maka Asyur merupakan superpower diantara bangsa-bangsa. Satu setengah abad yang lalu, bangsa Asyur, dengan ibukotanya Niniwe bertobat sebagai buah pelayanan Yunus, namun seiring dengan berjalannnya waktu mereka kembali kepada perilaku yang jahat dan kejam. Sang superpower pun tidak luput dari hukuman Tuhan. Niniwe dan semua kota dihancurkan tahun 612 SM. Dalam waktu kurang dari 10 tahun kekaisaran Asyur tidak ada bekas-bekasnya lagi. Zefanya menyaksikan hal tersebut di depan matanya Jika nubuatan Zefanya atas kota-kota telah tergenapi, maka perkataan sang nabi atas “judgement day” telah menjadi kenyataan. Tak ada sebuah superpower pun dapat menghindar. Hukuman Allah bagi bangsa kita sendiri dan bagi bangsa-bangsa di dunia ini pasti akan tiba. Kembali kita diingatkan bahwa Allah akan menghukum umat-Nya atas ketidaktaatan mereka. Kita memang dipanggil untuk menjadi berbeda dan tidak serupa dengan dunia ini (Roma 12:2). Hal kedua kita juga diingatkan Allah adalah Allah yang membela kita. Dia membela kita di hadapan bangsa bangsa yang menganiaya umat-Nya. Ketiga, Firman Allah selalu digenapi pada waktunya. Kita dapat bergantung sepenuhnya pada kebenaran Firman 3. Yang setia yang dijagai-Nya Hukuman atas Yerusalam (Zefanya 3:1-8) Setelah menyampaikan pesan hukuman atas bangsa bangsa lain, Zefanya kembali kepada isu utama yaitu dosa dosa di Yerusalem. Alih-alih sebagai kota suci, Yerusalem telah terpolusi oleh orang-orang berdosa yang cemar, menindas dan tidak mau mendengarkan teguran memberontak (ayat 1), mereka sudah tidak beribadah lagi kepada dan bahkan tidak mempercayai Allah lagi (ayat 2). Akar masalah orang berdosa ini adalah kesombongan (pride) dan self-esteem yang berlebihan. Mereka merasa tidak memerlukan Tuhan lagi. Polusi yang kedua adalah pemimpin dan pemuka masyarakat yang tidak takut akan Tuhan. Para pemimpin yang diharapkan bisa menjadi model dan panutan rohani serta mengarahkan umat untuk semakin dekat kepada Tuhan justru mempunyai kelakuan seperti binatang. Seperti singa dan serigala yang rakus (ayat 3) dan mengambil keuntungan pribadi dari rakyatnya. Para nabi telah berkhianat dan memperkosa hukum Taurat (ayat 4), tidak lagi mendengar dan memberitakan kebenaran jalan Tuhan yang benar. Ayat 8 menutup kisah tentang dosa Yerusalem ini dengan sebuah ilustrasi pengadilan dimana Dia akan menjadi saksi bagi atas kejahatan umat-Nya dan akan menumpahkan kegeramannya atas Yerusalem dan bangsa-bangsa. Allah tetap Allah yang adil dan berdaulat dalam menjalankan keadilan-Nya Pengharapan untuk yang setia (Zefanya 3:9-20) Meskipun kesetiaan Allah dan peringatan-Nya disampaikan berulang-ulang, kota itu tetap keras kepala, ditandai oleh penindasan, ketidakjujuran, dan dosa yang tak bertobat. Namun, bahkan di tengah-tengah pemberontakan seperti itu, ada cahaya harapan. Zefanya berbicara tentang sisa yang setia di dalam Yerusalem, beberapa yang rendah hati dan benar yang akan dipelihara dan dilindungi Allah di tengah penghakiman. Pada ayat 9 dan 10 Zefanya menawarkan pesan harapan dan pemulihan. Allah berjanji untuk menyucikan bibir umat-Nya, agar mereka dapat menyembah-Nya dengan tulus dan bersatu. Dia berjanji untuk mengumpulkan yang terdispersi dan memulihkan kekayaan sisa-Nya yang setia. Selanjutnya suasana pekat penghukuman berubah menjadi kecerahan sukacita saat Zefanya membayangkan masa depan di mana Allah diam di tengah-tengah umat-Nya, saat mereka bersukacita karena diselamatkan dari ketakutan dan penindasan. Perikop ini menjabarkan 3 stanza pemberitaan penebusan setelah hukuman Allah. Pertama, tentang jaminan bahwa bangsa bangsa akan dipulihkan, umat yang setia akan di restorasi, Jerusalem dibersihkan (9-13). Kedua, sukacita dipulihkan, puteri Sion akan bersorak bersukacita (14-15), tidak ada lagi ketakutan karena Allah ada bersama mereka (16-17). Ketiga, ayat 18-20 menyimpulkan semua pemulihan yang dilakukan Tuhan. Zefanya 2-3 berfungsi sebagai panggilan yang kuat untuk bertobat dan kesaksian akan kedaulatan dan rahmat Allah. Melalui kata-kata nabi itu, kita diingatkan akan konsekuensi dosa, kepastian penghakiman, dan janji pemulihan bagi mereka yang berbalik kepada Allah dengan rendah hati dan iman. Kiranya kita memperhatikan peringatan Zefanya, merangkul pertobatan, dan dengan sabar menanti pemenuhan rencana penebusan Allah dalam hidup kita dan di dunia. Kiranya Allah, sumber pengharapan memenuhi kita dengan sukacita dan damai sejahtera dalam Roh Kudus serta berlimpah dalam pengharapan.
- Dampak Waktu Layar pada Kesehatan Mata
Di era digital saat ini, layar telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari kita, mulai dari ponsel pintar dan komputer hingga tablet dan televisi. Meskipun perangkat-perangkat ini menawarkan kenyamanan dan konektivitas, paparan yang berkepanjangan terhadap layar dapat memiliki implikasi yang signifikan bagi kesehatan mata. Maka dari itu, penting untuk kita mempertimbangkan antara manfaat dan juga kerugian bagi kesehatan manusia saat menggunakan perangkat. Memahami efek waktu layar pada mata adalah penting dalam mempromosikan kesadaran dan mengadopsi langkah-langkah preventif untuk menjaga kesejahteraan okular. Strain Mata Digital: Periode yang panjang dari penggunaan layar dapat menyebabkan kondisi yang dikenal sebagai strain mata digital atau sindrom visi komputer. Fokus yang konstan pada layar dapat membuat mata bekerja lebih keras, menyebabkan kelelahan dan ketidaknyamanan. Beberapa gejala Strain Mata Digital yang dapat terjadi adalah: Ketidaknyamanan Mata: Mata terasa kering, gatal, atau teriritasi. Penglihatan Kabur: Penglihatan menjadi buram, terutama setelah penggunaan layar yang berkepanjangan. Sakit Kepala: Terutama di bagian dahi atau daerah sekitar mata. Nyeri Leher dan Bahu: Akibat postur tubuh yang tidak tepat saat menggunakan perangkat digital. Sulit Berkonsentrasi: Kemampuan kognitif dan produktivitas dapat terpengaruh oleh ketidaknyamanan mata. Terjadinya strain mata digital ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: Kedekatan dengan Layar: Jarak dekat antara mata dan layar, serta waktu yang lama dalam posisi ini, dapat menyebabkan mata bekerja lebih keras. Cahaya Biru: Paparan cahaya biru yang dipancarkan oleh layar elektronik dapat mengganggu ritme sirkadian dan menyebabkan kelelahan mata. Kurangnya Istirahat Mata: Ketika menggunakan layar, kita cenderung mengurangi frekuensi berkedip, yang dapat mengakibatkan mata menjadi kering dan iritasi. Paparan Cahaya Biru: Layar-layar memancarkan cahaya biru yang terlihat (HEV), yang dapat menembus mata secara dalam. Paparan yang berkepanjangan terhadap cahaya biru telah dikaitkan dengan strain mata digital, gangguan pola tidur, dan kerusakan retina jangka panjang yang potensial. Paparan cahaya biru, terutama sebelum waktu tidur, dapat mengganggu produksi melatonin, mempengaruhi kualitas tidur dan ritme sirkadian. Dampak pada Anak-Anak: Anak-anak dan remaja sangat rentan terhadap efek dari waktu layar yang berlebihan karena sistem visual mereka sedang berkembang. Peningkatan penggunaan layar di kalangan demografi ini telah dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi terhadap miopia (rabun dekat). Prevalensi miopia meningkat secara global, menimbulkan kekhawatiran tentang implikasi jangka panjang bagi kesehatan mata dan kebutuhan koreksi penglihatan. Terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan sebagai upaya preventif, antara lain: Ikuti Aturan 20-20-20: Untuk meredakan strain mata digital, beristirahatlah secara teratur dengan mengikuti aturan 20-20-20—setiap 20 menit, lihatlah jauh dari layar pada objek yang berjarak 20 kaki setidaknya selama 20 detik. Praktik ini membantu mengurangi kelelahan dan strain mata. Optimalkan Ergonomi Layar: Letakkan layar pada tingkat mata dan pertahankan jarak yang sesuai untuk mengurangi strain mata. Sesuaikan kecerahan layar dan pengaturan kontras untuk meminimalkan silau dan refleksi, terutama di lingkungan yang terang. Gunakan Filter Cahaya Biru: Pertimbangkan untuk menggunakan filter cahaya biru atau pelindung layar untuk mengurangi paparan terhadap emisi cahaya biru yang berbahaya. Beberapa perangkat menawarkan pengaturan filter cahaya biru bawaan yang dapat diaktifkan selama jam malam untuk mempromosikan kebersihan tidur yang lebih baik. Mendorong Aktivitas Luar Ruangan: Dorong anak-anak dan remaja untuk terlibat dalam aktivitas luar ruangan untuk mengurangi risiko perkembangan miopia. Menghabiskan waktu di luar ruangan telah terbukti memiliki efek perlindungan terhadap perkembangan miopia. Pemeriksaan Mata Komprehensif: Jadwalkan pemeriksaan mata reguler dengan optometris atau oftalmologis untuk memantau kesehatan mata dan mengatasi masalah yang terkait dengan penglihatan. Deteksi dan intervensi dini dapat membantu mencegah atau mengelola kondisi mata yang terkait dengan waktu layar. Kebiasaan Layar yang Sehat: Dorong individu untuk berprilaku bijaksana dalam menggunakan layar dengan menetapkan batasan waktu layar, beristirahat secara teratur, dan mengadopsi aktivitas yang mempromosikan relaksasi mata, seperti latihan berkedip dan pijatan mata. Sebagai kesimpulan, meskipun layar telah merevolusi cara kita bekerja, belajar, dan berkomunikasi, waktu layar yang berlebihan dapat menimbulkan tantangan bagi kesehatan mata. Dengan mengadopsi langkah-langkah proaktif untuk mengurangi strain mata digital, meminimalkan paparan terhadap cahaya biru, dan mempromosikan kebiasaan layar yang sehat, individu dapat melindungi kesejahteraan okular mereka dan menjaga penglihatan yang sehat di era digital ini.
















