119 results found with an empty search
- Melayani Tuhan di tengah Bangsa
“Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” merupakan kalimat agung yang disampaikan Yesus saat murid-murid–Nya, Yakobus dan Yohanes, serta yang lainnya ingin mendapatkan kedudukan tinggi dan mulia bersama Dia (Markus 10:35-45). Apakah yang terjadi pada diri kita sebagai orang percaya akan sama dengan murid-murid Kristus dikala kita mengabdikan diri pada masyarakat? Sepertinya hal ini wajar saja karena kita memberikan seluruh pikiran, tenaga, keahlian kita dengan sebaik-baiknya bagi bangsa dan negara. Apakah ada yang salah? Sepertinya hal ini baik dan benar, namun jika kita diperhadapkan pada masalah besar yang terjadi di bangsa kita, bahkan seluruh dunia ini, maka akan nampak jelas keberadaan kita. Ambisi manusia mencari keuntungan dan nama sebesar-besarnya untuk diri sendiri, sehingga ada yang acuh tak acuh dalam menyikap pandemi, ada yang sedikit peduli, ada yang melakukannya dengan terpaksa, terlebih lagi ada juga yang malah menyalahkan Tuhan dan orang lainnya. Dengan kata lain, ambisi kita mempengaruhi mata dalam melihat dan hati dalam merasakan sehingga betapa pentingnya kita memikirkan tujuan hidup kita yang sebenarnya, sama seperti Yesus dalam kehadiran-Nya di dunia ini. Panggilan dan kehadiran-Nya di dunia Melalui ayat di atas, kita melihat bagaimana Ia datang bukan untuk diri-Nya sendiri, melainkan untuk dunia yang telah jatuh dalam dosa. Banyak hal yang telah Ia kerjakan, misalnya dalam Yohanes 6:14, banyak orang ingin mengangkat-Nya menjadi raja, walaupun mereka sebenarnya tidak mengenal Dia yang turun dari surga karena mereka ingin menikmati roti yang diberikan-Nya dan ingin terus dikenyangkan dengan cara yang mudah. Namun, apakah Yesus tergoda oleh berbagai pujian yang diberikan manusia dan memberikan diri-Nya diangkat menjadi raja? Tentu saja jawaban-Nya dengan jelas tidak! Sejak awal, Dia sudah memahami bahwa kehadiran-Nya di dunia adalah untuk melayani (memberi diri) sepenuhnya bagi pergumulan manusia yang menderita karena dosa, bahkan Ia akan memberikan nyawa-Nya mati di atas kayu salib menebus untuk menggantikan hukuman murka Allah yang harusnya ditimpakan pada semua umat berdosa. Itu sebabnya Ia hadir di kota-kota dan desa-desa bertemu dengan manusia yang bergumul secara fisik, mental, rohani, politik, ekonomi, dan lain sebagainya (Mat. 9:35). Sebagai orang percaya, kita hadir di dunia bukanlah kebetulan semata dan juga bukan untuk diri sendiri. Allah menciptakan kita menurut ‘gambar dan rupa-Nya’ serta memberi ‘kuasa’ (tanggung jawab) memelihara dunia ini. Hidup bukan untuk berdiam, melainkan berkarya bersama Dia memelihara ciptaan-Nya (Kej. 1:26-28; 2:15). Panggilan seperti ini membuat kita akan peduli pada penderitaan yang sedang dialami banyak orang karena pandemi. John F. Kennedy (eks presiden Amerika) mengatakan: ”Jangan tanyakan apa yang negara bisa berikan padamu, tapi tanyakan apa yang bisa kau berikan pada negara” telah memberikan inspirasi padanya untuk mengabdi sepanjang masa pemerintahannya, dan menginspirasi banyak orang melakukan hal yang sama. 2. Penglihatan-Nya begitu tajam Dengan sikap hidup untuk membawa ‘kelepasan’ bagi manusia, setiap hari Ia berjumpa dengan mereka di berbagai tempat; Matius mencatat Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Surga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan (Mat. 9:35). Apa yang dilakukan-Nya keluar dari hati-Nya yang paling dalam, karena ‘melihat’ mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala (36), yaitu tidak ada perlindungan, bantuan, padang rumput, dan bimbingan, sehingga berada dalam kondisi yang menyedihkan, menyakitkan, dan membawa pada kematian. Apalagi jika serigala datang, mereka tidak berdaya dan akan mati dan dimakan oleh musuh-musuh tersebut. Yesus melihat manusia begitu rapuh (fragile) dan dalam keberdosaannya, mereka tidak ada kekuatan untuk menyelamatkan diri sendiri. Belajar dari-Nya, kita perlu peduli melihat keberadaan masyarakat di bangsa ini yang menderita, ada banyak hal bisa kita telusuri, melalui televisi, internet, dan media massa lainnya, mendengar dari tetangga atau melihatnya sendiri; di mana setiap hari yang terkena wabah covid semakin bertambah, demikian juga mereka yang harus pergi dari dunia ini. Wabah ini tidak peduli etnis, jenis kelamin, status, ekonomi, dan kedudukan manusia; siapapun bisa dihampirinya. Hal ini membuat begitu banyak orang ketakutan tertular karena akan membawa pada kematian. 3. Hati yang penuh belas kasihan (Compassion) Maka tergeraklah Yesus oleh belas kasihan (compassion) kepada mereka. Inilah hati yang peduli, Dia tidak bisa tinggal diam di tengah-tengah kekalutan dan penderitaan yang terjadi dan untuk itulah Ia datang. Ia menghampiri dan ikut serta merasakan pergumulan penderitaan manusia, serta membawa mereka keluar dari penderitaan tersebut dengan kehadiran-Nya, penghiburan-Nya bahkan kuasa-Nya yang menyembuhkan. Ia membawa manusia mengalami pertolongan dan jalan keluar sehingga mereka menikmati kasih sayang Tuhan yang luar biasa. Adakah hati kita dipenuhi dengan kasih seperti ini setiap melihat manusia yang mengalami kesakitan, kebingungan, dan ketakuatan karena ancaman kematian? Atau hati menjadi dingin, beku, bahkan tidak perduli (que sera sera) ? Kita perlu meminta pada-Nya hati yang dapat ikut merasakan, bukan hanya sekedar emosi/perasaan, melainkan sakit yang kita rasakan sampai pada ginjal (kidney), sehingga kita tidak bisa hanya diam berpangku tangan, melainkan mendorong kita bertindak untuk menolong, melepaskan yang menderita dari kesakitan atau pergumulannya. Semua ini bisa kita alami jika kita memiliki kasih kepada sesama. Rasul Yohanes mengatakan, bagaimana kita dapat mengasihi Allah yang tidak kelihatan jika kita tidak mengasihi saudara yang dapat kita lihat. Dengan perkataan lain, jika kita mengasihi Allah, maka kita juga dimampukan mengasihi sesama kita (1 Yoh. 4:20-21). Kasih Allah menggerakkan kita untuk peduli dan ikut terlibat menolong dengan nyata sambil mengentaskan covid 19 ini. 4. Melayani dengan berkorban Pemahaman seperti ini yang Yesus lakukan, bahwa sepanjang hidup Ia tidak berambisi untuk mencari kenikmatan semu/pribadi (lihat Matius 4:1-11). Dari waktu ke waktu Ia bekerja tanpa kenal lelah, merasakan kepedihan dan kesusahan manusia dan Ia tidak peduli pada cemoohan, kehinaan yang menghampiri sepanjang hidupnya. Yesus dengan tekun berkarya sampai memikul salib dan kematian di bukit Golgota. Ia tahu resiko besar yang akan dialami, bahkan dengan cinta-Nya yang melampaui keberdosaan manusia (unconditional). Ia tidak menghiraukan nyawa-Nya sedikitpun, melainkan bersedia menanggung murka Allah, yaitu mati secara mengerikan di atas kayu salib (hukuman untuk budak yang melakukan kejahatan keji). Ia mengajar orang percaya, sekaligus meneladani suatu panggilan yang mulia, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salib dan mengikut Aku” (Mat. 16:24). Inilah yang harus kita renungkan bersama. Panggilan sebagai orang percaya, bukan untuk hidup bagi diri sendiri, bukan untuk kenikmatan, melainkan kita yang sudah ditebus oleh darah-Nya yang mahal adalah hidup bagi Kristus. Kematian bukanlah merupakan ketakutan (sekalipun secara fisik itu bukanlah hal yang mudah) namun karena Kristus telah mengalahkan maut, maka dibalik kematian akan ada kebangkitan dan kehidupan selama-lamanya (bdk. Filipi 1:21). Itulah juga yang diikuti oleh Marthin Luther, bapak reformator saat pandemi (black death) melanda di zamannya, di mana dalam kurun waktu 2 tahun saja 25 juta orang meninggal di jalan-jalan dan berbagai tempat di kotanya Wittenberg dan berbagai belahan di Eropa. Luther tidak ikut lari menjauhkan diri seperti banyak dilakukan orang, melainkan ia dan istrinya yang sedang mengandung tetap tinggal menolong dan menghibur yang menderita melalui Firman dan doa, bahkan merawat mereka juga di rumahnya. Melalui hidup yang bersandar dan mendengarkan pimpinan Tuhan, dia dan istrinya menjadi contoh dan kesaksian bagi banyak orang percaya, sehingga mereka bersama menghadirkan Tuhan secara nyata bagi banyak masyarakat yang menderita. Melalui pandemi yang terjadi dan kerja keras orang-orang percaya yang mengabdi dengan kesadaran resiko tinggi akan maut, banyak orang yang akhirnya menjadi pengikut Kristus. Kini, dunia sedang dilanda pandemi Covid-19. Ada banyak kesaksian dari dokter dan perawat yang melayani dengan resiko tinggi akan kematian. Monica, misalnya, seorang dokter yang melayani di Mataro. Ia mengkhawatirkan akan kurangnya peralatan yang memadai untuk kunjungan. “Meskipun saya mencintai pekerjaan saya dan saya mengambil semua tindakan pencegahan, saya sangat menyadari kerentanan saya. Saya tahu bahwa satu-satunya yang dapat menyelamatkan saya sehingga saya dapat terus merawat pasien saya adalah Tuhan. Bahkan jika ini tidak terjadi, saya percaya saya harus berada di tempat saya sekarang, dan saya meminta kekuatan-Nya. Saya juga meminta kebijaksanaan, tidak hanya untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk keluarga saya, sehingga kami dapat menghadapi apa yang akan terjadi” (kesaksian lainnya bisa menyimak di https://evangelicalfocus.com/lifetech/5200/Christian-health-workers-facing-Covid19-I-am-very-aware-of-my-vulnerability). Hingga Sabtu 1 Agustus 2020, data Pengurus Besar IDI menyebutkan, ada 72 dokter yang meninggal akibat Covid-19 (Lihat Kompas), merupakan data kedukaan terbesar sepanjang sejarah kedokteran di Indonesia. Mereka adalah para pahlawan di garda terdepan yang menangani masyarakat yang menderita covid di berbagai kota di Indonesia. Perjuangan mereka tidak ada yang sia-sia, melalui dedikasi dan pengorbanan ada banyak orang yang mengalami kesembuhan, sungguh suatu pelayanan yang mulia. Akhirnya, mengutip kalimat Rasul Paulus: “... jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah” (Filipi 1:22). O Ria J. Pasaribu, Executive Director Indonesian Care
- Satu Agenda: Kristus!
Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. (Filipi 1:21) Singkat, padat, dua kata tepat untuk ayat di atas. Surat Filipi ditulis Paulus waktu dia di penjara. Kita tahu dia dipenjara bukanlah karena dia melakukan kejahatan tapi karena kebenaran dan kebaikan yang dilakukannya demi Kristus dan Injil. Dari suratnya kepada jemaat di Filipi ini kita mengetahui bahwa pemenjaraannya sedikitpun tidak melemahkannya untuk hidup bagi Kristus dan Injil. Tapi justru dari dalam penjara, Paulus menulis surat yang sarat dengan ucapan syukur, memberi dorongan serta kesaksiannya yang begitu kuat kepada jemaat Filipi pada waktu itu, dan tentunya, saat ini kepada kita. Dari kisah Paulus ini, setidaknya kita bisa belajar dan bercermin pada tiga hal penting yaitu: Pertama: Kesulitan dan penderitaan bukanlah fokusnya. Selain suratnya kepada jemaat Filipi, hal yang senada dapat juga kita lihat dari surat Paulus kepada jemaat Korintus dalam suratnya yang kedua yaitu 2 Korintus 11: 23-33, Apakah mereka pelayan Kristus? aku berkata seperti orang gila aku lebih lagi! Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian, dan, dengan tidak menyebut banyak hal lain lagi, urusanku sehari-hari, yaitu untuk memelihara semua jemaat-jemaat. Jika ada orang merasa lemah, tidakkah aku turut merasa lemah? Jika ada orang tersandung, tidakkah hatiku hancur oleh dukacita? Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegah atas kelemahanku. Allah, yaitu Bapa dari Yesus, Tuhan kita, yang terpuji sampai selama-lamanya, tahu, bahwa aku tidak berdusta. Di Damsyik wali negeri Raja Aretas menyuruh mengawal kota orang-orang Damsyik untuk menangkap aku. Tetapi dalam sebuah keranjang aku diturunkan dari sebuah tingkap ke luar tembok kota dan dengan demikian aku terluput dari tangannya. Penderitaan dan kesulitan yang dialami Paulus bukan hanya itu. Kita juga bisa melihat waktu perpisahannya dengan para penatua jemaat Efesus dalam Kisah Para Rasul 20, Dalam pelayanan itu aku banyak mencucurkan air mata dan banyak mengalami pencobaan dari pihak orang Yahudi yang mau membunuh aku. Sungguhpun demikian aku tidak pernah melalaikan apa yang berguna bagi kamu. Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun , asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah. Sebab itu berjaga-jagalah dan ingatlah, bahwa aku tiga tahun lamanya, siang malam, dengan tiada berhenti-hentinya menasihati kamu masing-masing dengan mencucurkan air mata. Agak berbeda penuturannya, pada bagian ini, Paulus menyatakan bahwa dia banyak mencucurkan air mata. Kita tahu Paulus bukanlah orang yang cengeng. Hal ini tentu membuat kita semakin memahami bahwa kesulitan dan penderitaan yang dialami Paulus tidaklah mudah, istilah sekarang bukanlah penderitaan “kaleng-kaleng” tapi ada hal penting yang kita tidak boleh lupa bahwa kesulitan dan penderitaan bukanlah fokusnya. Kedua: Kristus adalah fokusnya. Paulus tahu apa arti hidup dan untuk apa dia hidup. Karena itu fokusnya sangat jelas dan kuat yaitu Kristus, sebagaimana tertuang dalam Filipi 1:21, Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Bagaimana Paulus menjalani hidup dengan Kristus adalah fokusnya? Bukankah Paulus punya masa lalu yang buruk? Ya, Paulus punya kelemahan juga. Paulus menghadapi banyak kesulitan dan penderitaan juga tapi bukan itu fokusnya. Dia berlari-lari kepada tujuan, sebagaimana tertulis di Filipi 3:10-14, Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati. Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus. Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus. Ditambah lagi bagaimana Paulus mengisahkan kisahnya dalam Kisah Para Rasul 20:18-23, Kamu tahu, bagaimana aku hidup di antara kamu sejak hari pertama aku tiba di Asia ini: dengan segala rendah hati aku melayani Tuhan. Dalam pelayanan itu aku banyak mencucurkan air mata dan banyak mengalami pencobaan dari pihak orang Yahudi yang mau membunuh aku. Sungguhpun demikian aku tidak pernah melalaikan apa yang berguna bagi kamu. Semua kuberitakan dan kuajarkan kepada kamu, baik di muka umum maupun dalam perkumpulan-perkumpulan di rumah kamu; aku senantiasa bersaksi kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani, supaya mereka bertobat kepada Allah dan percaya kepada Tuhan kita, Yesus Kristus. Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. Dia tidak punya agenda pribadi. Agendanya hanya satu, yaitu Kristus. Fokusnya adalah Kristus. Dia menyebut dirinya sebagai tawanan Roh. Menyerahkan dirinya tertawan Roh, agar hidupnya fokus pada Kristus, tidak lari dan menyimpang. Tidak tercemar dengan nilai dan kemilau dunia. Secara rela dan sadar menyerahkan diri sebagai tawanan Roh. Ketiga: Ada babak terakhirnya. Paulus kelihatannya menyadari bahwa hidup dan kesempatan itu terbatas. Akan ada waktunya tiba pada babak terakhir. Sebelum ke babak akhir akan ada babak demi babak yang harus diselesaikan. Jika mau mengakhiri babak terakhir dengan baik, tentu perlu mengakhiri setiap babak dengan baik. Karena itu Paulus selalu mengisi kesempatan dengan sebaik-baiknya. Paulus mengisahkan hal ini dalam Kisah Para Rasul 20:24-32, Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun , asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah. Dan sekarang aku tahu, bahwa kamu tidak akan melihat mukaku lagi, kamu sekalian yang telah kukunjungi untuk memberitakan Kerajaan Allah. Sebab itu pada hari ini aku bersaksi kepadamu, bahwa aku bersih, tidak bersalah terhadap siapapun yang akan binasa. Sebab aku tidak lalai memberitakan seluruh maksud Allah kepadamu. Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri. Aku tahu, bahwa sesudah aku pergi, serigala-serigala yang ganas akan masuk ke tengah-tengah kamu dan tidak akan menyayangkan kawanan itu. Bahkan dari antara kamu sendiri akan muncul beberapa orang, yang dengan ajaran palsu mereka berusaha menarik murid-murid dari jalan yang benar dan supaya mengikut mereka. Sebab itu berjaga-jagalah dan ingatlah, bahwa aku tiga tahun lamanya, siang malam, dengan tiada berhenti-hentinya menasihati kamu masing-masing dengan mencucurkan air mata. Dan sekarang aku menyerahkan kamu kepada Tuhan dan kepada firman kasih karunia-Nya, yang berkuasa membangun kamu dan menganugerahkan kepada kamu bagian yang ditentukan bagi semua orang yang telah dikuduskan-Nya. Pada bagian ini kita melihat bagaimana Paulus mengakhiri cerita pelayanannya di jemaat setempat dengan mempersiapkan jemaat tersebut, memberi teladan bagi mereka, dan menyerahkannya kepada Tuhan. Menyelesaikan babak ini dengan baik. Jika kita cermati kehidupan Paulus, dia bukan hanya mengakhiri cerita babak satu dan dua dengan baik, tapi setelah dia menjadi hamba-Nya babak demi babak kehidupannya dijalananinya dengan baik sampai babak terakhir hidupnya. Sebagaimana kita tahu dari suratnya kepada Timotius dalam 2 Timotius 4:1-7, Paulus menceritakan bahwa dia telah mengakhiri pertandingan yang baik. Jadi, bukan hanya mengakhiri babak terakhir dengan baik, dan memang itu adalah sesuatu yang sangat penting tapi pertandingan yang dijalani dan diakhiri itupun harus jelas yaitu pertandingan yang baik. Bukan pertandingan sembarangan, bukan pertandingan duniawi tapi pertandingan yang baik, pertandingan yang sejatinya bagi semua pengikut-Nya, hamba-Nya, yang Kristus menjadi fokus kehidupannya. 2 Timotius 4:1-8, Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran. Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng. Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita, lakukanlah pekerjaan pemberita Injil dan tunaikanlah tugas pelayananmu! Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya. Semua pasti akan ada akhir ceritanya. Pelayanan dari satu tempat ke tempat lain, dari jemaat yang satu ke jemaat lain dari peran satu ke peran lainnya. Dari satu babak ke babak berikutnya, semua ada akhir ceritanya. Kita pasti berharap akhir cerita hidup kita yang terbaik. Jika kita berharap akhir cerita kita adalah yang terbaik, berarti kita harus menjalani hidup saat ini, babak demi babak dengan baik sampai nanti tiba ke babak terakhir. Pada perikop di atas Paulus telah tiba di babak terakhir kehidupannya dengan sebuah keyakinan bahwa telah tersedia mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadanya tapi bukan hanya kepada dia, tapi juga kepada kita yang merindukan kedatangan-Nya, yang menjalani hidup bukan dengan sekedarnya, pelayanan sekedarnya, bekerja sekedarnya. Bukan! Tetapi, hidup dengan satu agenda yaitu: Kristus. Apa yang Kristus mau, apa yang Kristus perintahkan, itulah agenda kita. Tidak ada lagi agenda pribadi. Kristus dan hanya Kristuslah fokus dan segalanya. Kiranya Tuhan menolong kita hidup demikian. Amin.
- Menghidupi Agenda Allah
Simon mengenal pria yang sedang diikuti banyak orang di pantai pagi itu. Pria itu sedang menjadi bahan pembicaraan orang saat itu dan banyak orang mengikuti kemanapun Dia pergi. Pria itu, Yesus, yang kelak memberinya nama baru: Petrus, sangat menarik, penuh kuasa dalam mujizat dan pengajaran-Nya. Simon memperhatikan Yesus sambil membersihkan jalanya di samping perahunya. Pagi itu akan menjadi hari yang tak terlupakan bagi Simon dan teman-temannya. Hari yang mengubah agenda hidupnya. Setelah berlayar semalaman dengan sia-sia, apa yang terjadi di hari itu membuatnya sangat bersemangat: mendengarkan Yesus mengajar dari dalam perahunya, dekat dengannya, walaupun sempat bingung ketika pria itu menyuruhnya menebarkan jala di siang bolong. Belum surut rasa terkejutnya melihat jalanya yang robek karena penangkapan ikan yang sangat banyak, Simon mendengar Yesus berkata pada mereka, “Mulai sekarang engkau akan menjala manusia.” Yesus memberi mereka agenda hidup yang baru: dari penjala ikan menjadi penjala manusia. Simon Petrus pun mengikat perahunya dan meninggalkan segala sesuatu untuk mengikut Yesus. Sejak itu hidupnya tidak lagi seperti maunya. Dia yang sebelumnya dikenal sangat bersemangat dan reaktif kini tunduk dan fokus hanya pada agenda Tuhannya. Tiga setengah tahun kemudian, karena sedih, kecewa, setelah Yesus disalibkan, dia sempat kembali pada agenda lamanya: melepas ikatan perahunya dan menebar jalanya. Tuhan Yesus yang mengerti pergumulannya, menghampirinya kembali dengan kejadian yang membuatnya teringat akan kejadian pagi bersejarah itu. Kembali Yesus memberinya agenda baru: menggembalakan domba. Peristiwa di pantai itu menjadi titik bangkitnya kembali: menjalankan agenda Allah. Sejak saat itu, setelah hari pentakosta, Petrus setia menjalankan agenda tersebut: membangun jemaat di Yerusalem, Samaria, Babilonia, dan Roma. Di akhir hidupnya, 30 tahun kemudian, kembali Yesus memberinya agenda lain. Berdasarkan naskah apokrifa Perjanjian Baru, Acts of Peter, saat Petrus akan meninggalkan kota Roma untuk menyelamatkan diri dari penganiayaan kaisar Nero, Yesus menampakkan diri padanya di tengah jalan dan saat dia bertanya, “Kemanakah Engkau akan pergi Tuhan?, Yesus menjawab, “Aku datang untuk disalibkan kedua kalinya.” Petrus pun mengerti maksud Tuhan Yesus, itu berarti ada agenda yang harus dijalankan: menderita dan mati bagi Yesus. Dia pun kembali ke Roma dan kemudian mati disalibkan dengan posisi terbalik. Paulus, seorang yang dulunya sangat bersemangat menganiaya para pengikut Kristus, tetapi agenda hidupnya berubah setelah perjumpaannya dengan Kristus. Dalam surat-suratnya Paulus sering menyebut dirinya sebagai: Paulos doulos Iesou Christou, Paul, a slave of Jesus Christ atau Paulus, budak Yesus Kristus! Hidupnya sepenuhnya bagi Kristus, menjalankan agenda Kristus bagi-Nya. Ketika Yesus memberikan perumpamaan tentang seorang tuan yang mempercayakan talenta pada hamba-hambaNya dalam Matius 25: 14-30, kata “hamba” yang digunakan dalam perumpamaan tersebut adalah juga “Doulos”. Seorang doulos adalah budak terendah yang tidak memiliki hak atas dirinya sendiri, dia sepenuhnya milik tuannya. Dalam hidup seorang doulos tidak ada tempat bagi agenda pribadi. Seorang doulos tidak pernah mempertanyakan apalagi membantah perintah majikannya. Dia mutlak menaati perintah tuannya meskipun perintah itu sulit, berbahaya, dan dapat mengancam jiwanya. Apapun situasi dirinya, baik sedang dalam keadaan yang baik maupun tidak baik, perintah Sang Tuan harus dikerjakan. Bahkan seorang doulos tidak memiliki hak untuk mendapatkan penghargaan atau apresiasi sekalipun dari tuannya. Agenda khusus ini tidak hanya milik Petrus dan Paulus. Semua kisah di perjanjian lama dan perjanjian baru menceritakan bagaimana Allah memberi agenda yang khusus pada tiap-tiap pribadi. Seperti Petrus dan teman teman rasul lainnya, seperti para saksi iman di gereja mula-mula, seperti jejak iman yang ditinggalkan para bapa gereja dan kaum martir, sesungguhnya Allah kita masih tetap dengan cara-Nya: mempercayakan agenda khusus pada tiap-tiap anak-Nya. Tiap masa dengan orang yang berbeda dan agenda yang berbeda-beda pula. Sebelum abad ke 19, kisah tentang perbudakan dan perdagangan budak merupakan hal yang lazim dilakukan khususnya di dunia Barat sampai kemudian seorang anggota parlemen di Yorkshire Inggris pada tahun 1784-1812 bernama William Wilberforce menjadi pemimpin penghapusan perbudakan dan perdagangan budak di Inggris. Pertemuannya dengan Kristus di usia 26 tahun membuatnya meninggalkan gaya hidup bangsawan yang hedonis dan berkomitmen untuk mengabdikan hidup dan pekerjaannya bagi Tuhan. Tuhan memimpinnya pada agenda untuk melakukan reformasi sosial di Inggris setelah dia bertemu dan dibina oleh John Newton. Sejak saat itu gerakan politiknya diwarnai dengan imannya dan kerinduannya untuk memajukan kekristenan dan etika Kristen dalam hidup pribadi dan masyarakat Inggris. Dia dan teman-temannya berkampanye untuk mengakhiri perdagangan budak, membuat pamflet, buku, demonstrasi, petisi dan melobi parlemen. Sampai kemudian tahun 1807 perdagangan budak dihapuskan dan tahun 1833 Kerajaan Inggris akhirnya memberi kemerdekaan pada semua budak di wilayahnya. Allah terus memberinya agenda lain dengan mempelopori gerakan reformasi moral di masyarakat Inggris. Pada masanya Allah memakai William Wilberforce untuk melakukan agenda reformasi sosial di Inggris. Tidak semua dari kita dipercayakan agenda yang besar dan spektakuler seperti Petrus, Paulus atau William Wilberforce. Kebanyakan dari kita mungkin hanya melakukan agenda yang terlihat biasa dan tak banyak diceritakan. Tidak pernah dibayangkan oleh Prof. George Mathew bahwa dia akan menghabiskan karirnya di tempat yang dia sebut “in the middle of nowhere”. Prof. Dr. dr. George Matthew, saat ini berusia 70 tahun, seorang dokter bedah digestif senior ternama dari India, lulusan The Royal Adelaide Hospital, University of Adelaide. Dia seorang dokter misi sejak lulus sebagai dokter umum. Setia menjalankan agenda Tuhan dalam hidupnya. Dimulai dengan menjadi dokter di sebuah rumah sakit di tempat sangat terpencil di Bhutan. Lalu agenda Tuhan membawanya kembali ke rumah sakit Christian Medical College Velore untuk menjadi staf pendidik, dekan, dan direktur RS di sana. Dia memimpin puluhan proyek riset, mempublikasikan 65 karya ilmiah selama 21 tahun terakhir. Saat memasuki usia pensiun, setelah melalui pergumulan panjang, dia memilih untuk meninggalkan tawaran menjadi direktur beberapa rumah sakit ternama di India dengan pergi keluar India menjadi dekan di Fakultas Kedokteran salah satu universitas swasta di Indonesia dan menjadi direktur suatu lembaga riset. Kembali menjadi dekan, membangun rumah sakit pendidikan yang baru berdiri. Namun setelah beberapa tahun, Prof. George Matthew merasa Tuhan menggerakkannya untuk agenda lainnya. Seseorang men-sharing-kan suatu rumah sakit misi yang membutuhkan dokter di daerah rural India: Biru, Jharkhand. Rumah sakit kecil yang terletak di daerah yang sangat miskin, terbelakang, dan tertinggal di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan keamanan. Setelah dia mengunjungi daerah tersebut, dia tahu ada agenda baru baginya. Bagi seorang dokter senior, cukup ternama di India dengan usia yang sudah lanjut (saat itu 67 tahun), dengan karir dan kehidupan cukup mapan, tidaklah mudah memutuskan untuk meninggalkan keluarga dan karirnya di Indonesia dan memulai dari awal sebagai dokter umum di rumah sakit pedalaman seperti itu. Kehadirannya, walaupun hanya dengan jabatan sebagai dokter umum tetapi dengan kemampuan bedah digestif berpengalaman tentu saja menjadi jawaban bagi daerah yang hampir tidak memiliki dokter ahli. Kesetiaannya pada pimpinan Tuhan untuk menjalankan tiap agenda Tuhan dalam setiap fase hidupnya terus dia jalankan walaupun dengan konsekuensi meninggalkan keluarga, kemapanan, dan nama besar. Para doulos-doulos ini menunjukkan ketaatannya: Petrus pergi meninggalkan perahunya, Paulus menganggap sampah semua atribut dan pencapaiannya, William Willberforce pergi meninggalkan kemapanan hidupnya, Prof George Matthew pergi meninggalkan karir dunia medis dan pendidikan yang gemilang untuk terus melakukan agenda Allah dalam hidup mereka. Hingga kini Allah masih terus bekerja di dunia yang dikasihi-Nya ini. Dia masih terus memilih banyak orang untuk melakukan agendaNya yang khusus bagi mereka. Seberapa jauh kita menyadari bahwa Dia juga sudah memilih kita untuk menjadi doulos-doulos kepunyaan-Nya yang taat melakukan agenda-Nya? Atau apakah justru kita sedang sibuk mengerjakan agenda pribadi kita selama ini? Mungkin kita berpikir, “ini agendaku akan kuberikan bagi-Mu” dan bukan sebaliknya “Mana agenda-Mu Tuhan untuk kujadikan agendaku”. “Maaf, saya sedang sibuk menyelesaikan kuliah S3”, atau “Saya masih terlibat di pelayanan gereja saat ini sehingga tidak bisa terlibat di pelayanan itu”, atau “anak-anak masih kecil”, dan banyak lagi alasan lain yang sering kita dengar ketika seseorang menolak tawaran untuk terlibat di suatu pelayanan. Kerap pula itu terucap tanpa terlebih dulu mempertimbangkan dan bertanya pada Tuhan apakah itu agenda yang Dia percayakan bagi kita. Di kehidupan dunia modern yang bergerak sangat cepat, berubah sangat dinamis, terhubung secara global, terdampak sangat kompetitif, agenda siapakah yang sedang kita jalankan? Akankah kita berespon seperti Simon yang meninggalkan agenda hidupnya dan mengikuti agenda Tuhan atau malah berkata: “Maaf, jadwalku sudah penuh, silakan cari yang lain Tuhan" Akankah kita berespon seperti Simon yang meninggalkan agenda hidupnya dan mengikuti agenda Tuhan atau malah berkata: “Maaf, jadwalku sudah penuh, silakan cari yang lain Tuhan”.
- Luka Batin: Pandangan Integrasi
Pernahkah kita berespon lebih sensitif dari kebanyakan orang. Misal, di dalam klinik, saat menghadapi pasien, kita terpicu marah, larut dalam perasaan iba atau takut bertemu dengan supervisor tertentu. Atau, dalam lingkup keluarga. Mungkin saja, hal itu muncul akibat suatu cedera emosional atau yang sering disebut sebagai luka batin yang belum pulih dalam diri kita. Siapa sih yang tidak pernah terluka? It’s normal but also not normal at the same time. Normal karena hampir semua orang mengalami. Tidak normal, karena pengalaman itu tidak seharusnya dialami. Luka batin adalah istilah yang sangat luas, namun dapat dimengerti sebagai luka psikologis yang mendalam dan menimbulkan tekanan yang berat pada seseorang. Luka tersebut timbul dalam berbagai pengalaman dan persepsi yang beragam, dari ringan hingga berat di sepanjang hidup kita. Yang pasti, meski tidak berbentuk, luka tersebut memberikan rasa sakit secara emosional.Kita dapat melihatnya dalam 3 bentuk rasa sakit emosional, yaitu: Core emotional pain, yaitu rasa sakit yang muncul ketika kita menghadapi situasi yang begitu sulit, dimana kita diliputi emosi negatif (rasa takut, marah, sedih, dan lain-lain, yang melebihi kemampuan kita untuk menghadapinya (terlalu banyak, dini atau sendiri). Luka ini bisa merupakan pengalaman dikhianati, direndahkan, hingga yang lebih serius seperti trauma. Untuk yang terakhir, dapat dikatakan bahwa meski mayoritas orang memiliki luka batin, tidak semua memiliki trauma (karena tendensi saat ini untuk over-labeling trauma). Relational pain, adalah rasa sakit yang muncul akibat kebutuhan kita akan caregiver (kasih sayang, penerimaan) yang tidak terpenuhi (penolakan, pengabaian). Self pain, adalah luka yang muncul akibat penolakan terhadap dirinya dari orang-orang yang signifikan dalam hidupnya. Kerap kali orang tersebut akan hanya menampilkan dirinya agar dapat diterima. Namun hal ini menimbukan luka sebab dia meyakini bahwa diri yang sebenarnya adalah buruk. Luka batin yang belum pulih akan berdampak dalam kehidupan kita sehari-hari. Bisa muncul, sebagai “inner child” (teori Jung) yang terluka, sehingga kerap kali menimbulkan respon tertentu terhadap situasi tertentu yang berhubungan. Misal, seperti kemarahan berlebih ketika direndahkan atau ketakutan terhadap suara orang yang keras. Bisa juga muncul dalam berbagai masalah relasi pola “attachment”, misalnya ketakutan jika ditinggalkan sehingga bertindak posesif atau paranoid. Selain itu bisa juga menetap sebagai emosi yang tidak diproses, misalnya “kepahitan”, yang merupkan bentuk kemarahan dan kebencian. Bahkan luka batin yang tidak dipulihkan bisa berkembang menjadi berbagai gangguan mental (gangguan depresi, kepribadian, dan lain-lain). Apa pun bentuknya, yang pasti luka batin perlu dipulihkan, sebagaimana dampaknya yang muncul. Secara umum, penanganan luka batin terutama melalui berbagai pendekatan konseling hingga psikoterapi. Pada kasus yang kompleks sebaiknya dibantu oleh tenaga profesional (misal, kasus yang dipersulit oleh komorbid gangguan mental, pola kepribadian atau pengalaman traumatis tertentu) Selain itu, pendekatan tersebut dapat diintegrasikan dengan Alkitab. Alkitab menjadi suatu nilai yang mendasari bagaimana kita memulihkan luka batin tersebut. Alkitab bukan saja mengenai kebenaran, tetapi juga kuasa untuk mengatasinya. Bukan juga sekedar pulih, tetapi juga transformasi. Alkitab mengajak kita untuk menempatkan fokus kita terhadap Allah dan kebenaran dan kuasa-Nya. Beberapa integrasi yang dapat kita tinjau dalam menghadapi luka batin. 1. Reframing Kognitif/Pola Pikir Pola pikir sangat erat dengan psikoterapi. Misalnya distorsi kognitif seperti “should/must”, membuat sesorang sulit menerima realita yang berbeda dengan idealismenya. Distorsi “minimizing” membuat seseorang tidak dapat melihat bahwa ada sisi-sisi baik dalam setiap situasi. Alkitab juga melihat perubahan pola pikir sebagai suatu bentuk pertobatan (metanoia = change of mind). Pola pikir tidak hanya berubah, tetapi perlu semakin selaras dengan Firman Tuhan. Pola pikir yang tidak bertumpu pada diri, tapi tetapi pada Allah yang penuh kasih dan kudus. Contohnya : berhenti melihat hidup secara fatalistik, tetapi melihat Allah yang hadir dan berdaulat. 2. Pendekatan Emosional : Menerima dan memaafkan Memaafkan merupakan langkah penting dalam proses penyembuhan. Memaafkan tidak sama dengan melupakan atau mengalihkan. Memaafkan bukan berarti menganggap benar, tetapi keputusan berkali-kali untuk tidak menyimpan, bahkan membuang hal yang tidak baik (kebencian, keinginan untuk membalas dan ruminasi negatif). Bukankah masa lalu yang sudah lewat hanya dapat menjadi pelajaran. Jika hal yang tidak baik, maka tidak mungkin diubah. Hanya perlu diterima dan dimaafkan. Alkitab banyak berbicara mengenai pengampunan. Dasar iman Kristen memaafkan bukanlah sekedar untuk merasa atau menjadi lebih baik, tapi karena kita telah menerima pengampunan yang limpah dalam anugerah. Fully known, but also fully accepted and loved. Kebenaran ini yang memampukan seorang Kristen untuk mengampuni 3. Menghadapi Present Moment (Mindful) Ketika kita mengalami pengalaman sulit, kita perlu belajar menghadapinya dengan bijak dan berhenti menghindari tanggung jawab dengan terus-menerus mempersalahkan orang lain atau situasi. Meskipun kita mungkin menjadi korban, tidak berarti kita harus hidup dengan mentalitas korban. Kita tidak perlu menghidupi masa lalu, tapi fokus pada saat ini. Tidak hanya being present in the moment, tapi juga menyadari God is present and also in every moment, in my past, now and my future. 4. Pendekatan holistik Pendekatan holistik berarti melibatkan banyak aspek. Bukan saja memperbaiki secara psikologis, tetapi juga perlu dukungan medis dan sosial yang memulihkan hingga aspek spiritual. Secara pribadi, saya tidak setuju dengan pandangan yang hanya menekankan satu sisi saja (cukup dengan Alkitab). Secara medis, kehadiran terapis, diperlukan untuk suatu pola hubungan interaksi klien-terapis dalam mentransformasi luka-luka yang dimiliki. Bahkan pada kasus yang lebih berat seperti trauma, perlu teknik terapi khusus. Pada orang yang mengalami trauma, rasa sakit tersebut dapat tersimpan dalam memori tubuh sehingga tubuh berespon sedemikian rupa terhadap stressor. Hal ini perlu penanganan yang lebih lanjut, misal melalui teknik eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). Apalagi, seorang yang mengalami trauma bukan saja kesulitan dalam coping di situasi sulit tertentu, tetapi juga dipicu dari pembelajaran yang hilang dalam masa tumbuh kembangnya karena kesulitan bertumbuh dengan trauma yang ada. Dalam pendekatan integrasi dengan spiritual Kristen, memang memerlukan kehadiran tenaga medis Kristen yang tidak hanya menunjukkan karakter Kristen, tetapi kemampuan untuk integrasi dengan nilai-nilai Biblikal. Masih banyak ruang lingkup dalam pelayanan psikiatri yang perlu digumuli, sehingga tidak hanya berakhir pada terapi sebagai kunci, tetapi menggunakannya sebagai jembatan untuk bersama pasien menggumuli dasar nilai-nilai kebenaran lebih lanjut. Jika kita menyelami dinamika luka batin dengan empati, sungguh tidak mudah setiap pengalaman yang dialami setiap orang. Bagi kita yang sedang berjuang, teruslah berproses dan melangkah bersama Tuhan. Jangan biarkan tersebut tetap menganga atau terkubur tanpa dipulihkan. Luka tersebut dapat terinfeksi, tidak sehat bagi kesehatan jiwa kita maupun orang sekitar kita. Kiranya luka-luka tersebut bukan saja dilewati dan pulih, tetapi menjadi perjalanan untuk bertemu dengan Allah dan kasih-Nya. /Tnp
- Mengusahakan Kesejahteraan Bersama: Eksposisi Yeremia 29 Bagian II
Pasal 29 harus dibaca bersama pasal 27-28 yang menggambarkan konflik sang nabi dengan sekelompok nabi. Pasal 28 menggambarkan konfrontasi langsung Yeremia dengan Hananya, sama-sama nabi di Yerusalem. Pasal 29 menggambarkan konfrontasi tak langsung Yeremia dengan Semaya, nabi di Babilonia, melalui surat menyurat. Surat Yeremia kepada orang buangan kloter pertama dikirimkan melalui perantaraan Elasa bin Safan dan Gemarya bin Hilkia, keduanya utusan raja Yehuda kepada raja Babilonia. Ini berarti isi surat itu direstui penguasa Yehuda untuk diketahui juga oleh penguasa Babilonia. Sudah pasti isi surat itu tidak bersifat menghasut orang Yehuda di pembuangan untuk melawan otoritas Babilonia, “martil seluruh bumi” (51:23). Apa isi surat ini? Pertama, mereka tidak perlu ragu merencanakan hidup dan menjalaninya untuk jangka waktu lama (ay. 5-6). Membangun rumah. Membuka ladang. Beranak cucu di antara mereka sendiri agar jumlah orang Yehuda di pembuangan tidak menyusut. Mereka tidak perlu berpikir pulang dalam waktu dekat. Kedua, mereka juga tidak perlu ragu untuk mengupayakan kesejahteraan (šālom) kota tempat mereka tinggal, sebab kalau kota itu sejahtera, mereka sebagai warga dengan sendirinya juga sejahtera. “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” (ay. 7) Ada tradisi “berdoalah untuk kesejahteraan Yerusalem” (Mzm. 122:6), tetapi bagi umat di pembuangan untuk sementara waktu mereka tidak perlu memikirkan kesejahteraan Yerusalem, ibu kota kerajaan yang sudah hancur diserbu pasukan Babilonia. Meski Yehuda masih tegak tetapi babak belur. Untuk hidup sejahtera di pembuangan, mereka harus mengusahakan kesejahteraan kota-kota di Babilonia yang kini menjadi tumpuan kesejahteraan mereka. Kesejahteraan kota adalah jaminan kesejahteraan mereka dan kesejahteraan itu tidak datang dari langit. Jika mereka hanya mengusahakan kesejahteraan pribadi ataupun kelompok sendiri, tiada jaminan kesejahteraan itu akan bertahan sementara kotanya sendiri (masyarakat) tidak sejahtera. Dengan prinsip hidup itu, Daniel meraih posisi tinggi di Babilonia, Nehemia mendapat posisi terhormat sebagai juru minum raja Persia, dan Ester menjadi ratu Persia. Mereka menjadi bagian dari kewargaan baru di luar Tanah Perjanjian dengan mengabdi kepada penguasa asing, bukan hanya untuk bertahan hidup tetapi juga untuk mengupayakan kesejahteraan kota dan negeri tempat mereka kini tinggal. Ternyata, mereka pada umumnya mengikuti nasihat Yeremia. Mereka membentuk keluarga baru, beranak cucu, membangun usaha dan memulai mata pencarian baru. Papirus-papirus dari Mesir dan lempengan batu dari Babilonia yang memuat kesepakatan semasa awal pembuangan secara tak langsung memperlihatkan komunitas Yahudi di pembuangan diperlakukan dengan baik. Oleh karena itu, tidak tepat membandingkan pembuangan Babilonia semasa Yeremia dengan perbudakan Mesir semasa Musa. Penghidupan orang buangan yang baik-baik saja, sebagai buah ketaatan mereka mengikuti nasihat Yeremia. Mengapa Yeremia menasihati seperti itu? Menurut nubuat yang diyakininya sebagai dari Tuhan, pembuangan itu akan berlangsung lama 70 tahun, lebih daripada satu generasi, sesudah itu barulah mereka dipulangkan (ay. 10, 14b). Dengan kepulangan itu, status umat bukan lagi orang buangan, orang terhukum, melainkan “orang-orang yang ditebus TUHAN” (Mzm. 107:2). Relasi keumatan mereka dipulihkan, sehingga jika mereka berdoa, Tuhan akan mendengarkan; jika mereka dengan segenap hati meminta petunjuk Tuhan, mereka akan menemukannya (ay. 12-14a). Masa 70 tahun adalah waktu yang lama, kebanyakan dari generasi pertama di pembuangan sudah meninggal, waktu yang lebih dari cukup untuk menikah, punya anak, membuka ladang, memiliki usaha tetap, layaknya hidup di negeri sendiri. Mereka tidak perlu berpikir pulang sampai masa pembuangan selesai. Apabila mereka mengikuti nasihat Yeremia, hidup mereka akan sejahtera sebagaimana dijamin firman Tuhan, Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera [šālom] dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. (ay. 11) Sebagai demikian, surat terbuka Yeremia bisa dibaca sebagai surat penggembalaan untuk umat di pembuangan. Untuk sejahtera, mereka harus mengusahakan kesejahteraan kota tempat mereka tinggal. Orang Yehuda harus hidup seperti orang Babilonia, tidak perlu merasa sebagai orang asing di negeri orang, tidak perlu hidup memisahkan diri dari antara orang Babilonia, tidak menjadi penonton pembangunan negeri, tidak perlu memiliki sindrom minoritas, tidak perlu berpikir pulang ke Yehuda dalam waktu dekat, melainkan bersama orang-orang yang berbeda suku dan agama mengusahakan kesejahteraan kota dan negeri di Babilonia. Orang buangan, minoritas di Babilonia, hidup di bawah pemerintahan asing beda agama. Namun, hidup bermasyarakat bukan soal hidup di bawah penguasa beragama sama, melainkan soal kesejahteraan bersama. Kesejahteraan itu bukan buah usaha (kalangan) sendiri, melainkan buah kerja sama semua orang yang mengusahakan kesejahteraan bersama. Kriteria utama umat Tuhan Ketika memilih saat Pemilu juga bukan faktor seagama, melainkan seberapa serius dan mampunya calon itu mengusahakan kesejahteraan bersama. /stl Referensi: Robert P. Carroll, Jeremiah (Philadelphia: Westminster, 1986), 523.
- Berlayar di Sistem Kesehatan Indonesia: Perpaduan Hukum, Politik, dan Kekristenan
Pada awal tahun ini saya berkesempatan menuliskan sebuah artikel di Samaritan dengan judul, “RUU Kesehatan Omnibus Law: For Better or Worse”. Saat ini, Undang-undang kesehatan yang baru telah ditetapkan. Lanskap kesehatan Indonesia merupakan benang kusut yang kompleks, dan pada artikel ini gulungan benang kusut tersebut terjalin dari benang-benang hukum, politik, dan keyakinan agama, khususnya Kekristenan. Sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya dan tradisi spiritual, sistem kesehatan Indonesia berada di persimpangan pengaruh-pengaruh yang beragam ini. Artikel ini menggali keterkaitan rumit di antara elemen-elemen yang ada, menelurusi peraturan perundangan di bidang kesehatan, sambil menggali inspirasi dari ayat-ayat Alkitab yang relevan dalam penekanan dimensi etika dan moral di pelayanan kesehatan. Prinsip-prinsip Kristen dalam Pelayanan Kesehatan Kekristenan memiliki akar sejarah yang mendalam di Indonesia dan secara signifikan memengaruhi filosofi pelayanan kesehatan negara ini. Pada hakikatnya, Kekristenan menekankan belas kasihan, penyembuhan, dan kepedulian terhadap yang sakit. Prinsip-prinsip ini telah membentuk pendirian lembaga-lembaga kesehatan Kristen yang menggabungkan keahlian medis dengan prinsip spiritual. Salah satu ayat Alkitab yang menyuarakan prinsip-prinsip ini dengan jelas adalah Markus 2:17: "Bukan orang yang sehat yang memerlukan tabib, melainkan orang yang sakit. Aku datang bukan untuk memanggil orang-orang benar, melainkan orang-orang berdosa." Perspektif Alkitab ini menegaskan pentingnya memberikan pelayanan kesehatan kepada mereka yang membutuhkannya, sejalan dengan komitmen Indonesia untuk akses yang adil terhadap layanan medis bagi semua warganya. Sekilas tentang Regulasi Kesehatan Indonesia Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan lahir sebagai regulasi yang komprehensif dalam menguraikan hak dan kewajiban individu, komunitas, dan penyedia layanan kesehatan di negara ini. Undang-undang ini mencakup berbagai isu terkait kesehatan, termasuk pencegahan penyakit, promosi kesehatan, layanan medis, dan pembiayaan kesehatan. Dalam praktiknya, undang-undang tersebut juga tidak lepas dari berbagai sarana dan sistem yang ada dalam bidang kesehatan, termasuk BPJS Kesehatan dengan berbagai pro dan kontra. Secara hukum undang-undang tersebut memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia. Namun, secara politik undang-undang ini menjadi titik tolak baru yang akan dimanfaatkan oleh para politisi khususnya dalam menghadapi tahun politik 2024. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesehatan sebagai elemen vital dalam kehidupan manusia merupakan sektor yang selalu hadir dalam kampanye politik di Indonesia. Nilai Kekristenan dalam Hukum dan Politik Kesehatan di Indonesia Sebagai individu yang menghayati prinsip-prinsip iman Kristen, penting bagi kita untuk mematuhi dan menghormati aturan hukum yang ada di bidang kesehatan. Ketaatan terhadap regulasi kesehatan bukan hanya mencerminkan tanggung jawab moral terhadap tubuh yang dianugerahkan Tuhan, tetapi juga merupakan wujud kontribusi positif dalam menjaga kesejahteraan dan keselamatan sesama. Dalam melangkah sesuai dengan panggilan Tuhan, kita - mematuhi aturan kesehatan juga mencerminkan cinta dan perhatian terhadap sesama, menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua, serta menghormati otoritas yang telah ditetapkan dalam masyarakat. Sebagai ilustrasi, dalam Roma 13:1-2, "Setiap orang harus tunduk kepada pemerintah yang berkuasa atasannya, karena tidak ada pemerintahan yang tidak berasal dari Allah dan pemerintahan yang ada ditetapkan oleh Allah. Jadi, siapa yang memberontak terhadap pemerintahan, ia memberontak terhadap perintah Allah." Dengan demikian, kepatuhan terhadap aturan kesehatan menjadi bagian dari tanggung jawab seorang Kristen dalam mematuhi perintah Allah dan berkontribusi positif dalam menjaga kehidupan yang sehat dan bermartabat. Partisipasi orang Kristen dalam sistem politik Indonesia, terutama dalam konteks politik kesehatan, memiliki implikasi yang sangat penting dalam mengadvokasi perubahan yang positif dan kualitas pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat. Dasar iman kristen dengan jelas mengandung prinsip cinta, belas kasihan, dan kepedulian terhadap sesama. Dalam 1 Yohanes 3:17-18, Alkitab menyatakan, "Jika ada seorang yang mempunyai kekayaan dunia dan melihat saudaranya dalam kekurangan, tetapi ia menutup hatinya terhadap dia, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap tinggal di dalam dirinya? Anak-anakku, janganlah kita mengasihi dengan perkataan atau dengan lidah saja, tetapi dengan perbuatan dan dengan kebenaran." Dalam konteks politik kesehatan, keterlibatan orang Kristen dapat memberikan suara yang kuat untuk mengupayakan kebijakan publik yang mendorong akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Kita dapat memperjuangkan alokasi dana yang memadai untuk sektor kesehatan, pelatihan tenaga medis yang memadai, serta peningkatan infrastruktur kesehatan di daerah-daerah terpencil. Dengan terlibat aktif dalam memantau implementasi kebijakan kesehatan, kita juga dapat membantu mencegah penyimpangan dan memastikan bahwa sumber daya yang dialokasikan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Keterlibatan dalam politik kesehatan juga memungkinkan kita untuk mengajukan perspektif etis yang diperkaya oleh dasar iman kristen. Kita dapat mempromosikan nilai-nilai seperti menghargai kehidupan, keadilan sosial, dan tanggung jawab bersama dalam menjaga kesehatan masyarakat. Dalam semua langkah ini, orang kristen dapat berfungsi sebagai pembawa perubahan yang memainkan peran penting dalam membangun sistem kesehatan yang lebih baik, bermartabat, dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan iman kristiani. Dalam konteks dinamika politik dan perubahan hukum terkait kesehatan di Indonesia, penting bagi kita untuk mengarungi perubahan tersebut dengan berhikmat. Meskipun politik dan hukum terus berubah seiring waktu, orang Kristen harus tetap teguh pada nilai-nilai dasar Kekristenan. Sebagaimana dalam Ibrani 13:8, "Yesus Kristus sama kemarin dan hari ini dan sampai selama-lamanya." Meskipun tindakan dan pendekatan dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman, prinsip-prinsip kasih, keadilan, dan belas kasihan tetap menjadi landasan yang tak tergoyahkan. Dengan menjaga keseimbangan antara fleksibilitas dalam mengikuti perubahan dan komitmen terhadap iman, kita dapat berperan sebagai agen perubahan yang berdampak positif dalam pembentukan kebijakan dan praktik kesehatan yang lebih baik di Indonesia. Kesimpulan Orang Kristen tidak dapat menghindar dari kompleksitas sistem kesehatan Indonesia, yang melibatkan peran hukum, politik, dan pandangan kekristenan. Kita baru saja mengalami mengalami perubahan signifikan terkait hal tersebut dengan adanya pengesahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam konteks dinamika politik dan hukum yang senantiasa berubah, partisipasi aktif kita menjadi faktor penting untuk mewujudkan perubahan positif dalam pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat sesuai dengan pandangan iman kita. Sebagian besar tenaga kesehatan Kristen mungkin berpikir bahwa kontribusi kita dalam bidang politik dan hukum kesehatan tidaklah signifikan, tetapi kisah Daud melawan Goliat dalam Alkitab telah membuktikan bahwa kondisi fisik Daud yang kecil, tidak membuat Tuhan berhenti melakukan hal yang besar. (NIV 1 Sam 17:47, for the battle is the Lord’s, and he will give all of you into our hands.”) *)Penulis saat ini bekerja sebagai dokter manajerial di RS UKRIDA
- Taat pada Panggilan Tuhan Setahap demi Setahap
Shalom! Perkenalkan nama saya dr. Dwiastri Iris Sarwastuti, peserta MMC XVI asal Jakarta yang menempuh pendidikan kedokteran di UNAIR. Saya bersyukur Tuhan berikan saya kesempatan untuk menjadi peserta MMC XVI. Satu hal yang sangat menarik perhatian saya adalah kunjungan RS Misi di Lampung atau Serukam. Saya bertanya-bertanya, kira-kira pengemasannya akan seperti apa ya? Karena saya sangat tergerak soal pelayanan penginjilan, akhirnya saya memutuskan ikut. Sebelum saya mengunjungi RS misi tersebut, empat minggu pertama diisi dengan materi, praktik penginjilan dan praktik lapangan di lembaga/yayasan misi di Jabodetabek, explore, life sharing, dan mentoring. Saya yang baru menyelesaikan masa pendidikan kedokteran umum awalnya sempat berpikir bahwa saat-saat ini adalah akhir dari pelayanan aktif saya di masa muda karena harus pergi internship meninggalkan UK3 UNAIR. Namun, momen ini justru saya sadar bahwa ada ladang lain yang begitu luas Tuhan bukakan. Sepanjang hidup ini memang ada beberapa musim kehidupan, Tuhan akan bukakan setahap demi setahap. Sangat penting bahwa orang percaya terus bergumul bersama Tuhan akan apa yang Tuhan mau untuk dikerjakan. Saya bersyukur semenjak Roh Kudus melahirbarukan saya, Tuhan menetapkan arah hidup dan meletakkan visi di hati saya untuk dilibatkan dalam metaranasi Allah. Memang belakangan ada beberapa pergumulan yang membuat saya sempat ciut ketika melayani Tuhan. Namun, Tuhan membuktikan bahwa Ia mengasihi mereka yang terhilang sedalam itu dan Tuhan punya rencana bagi mereka. Tuhan menganugerahkan kasih di hati saya sehingga saya bisa mengasihi mereka lebih tulus. Saya juga sangat tertarik dengan penjangkauan orang-orang yang diabaikan masyarakat. Rasaya tidak dipahami, putus asa, dan jauh dari support system yang memadai tentu dapat membuat seseorang meragukan adanya kasih di dunia ini. Mereka butuh mendengar berita tentang Kristus yang mati dan bangkit membuktikan kasih Allah yang besar bagi mereka. Saya berdoa agar saya bisa menjadi teman yang memberitakan hal itu kepada mereka. Memasuki minggu kelima, seluruh peserta dibagi dalam 2 tim: ke Lampung atau Serukam. Ternyata saya adalah satu dari empat orang yang dikirim ke Serukam selama dua minggu. Untuk pertama kali, saya berkesempatan pergi ke pulau Kalimantan. Meski saya mengikuti kegiatan secara aktif di RSU Bethesda hanya satu minggu karena satu minggu lainnya saya isolasi mandiri karena positif COVID-19, saya bersyukur karena Tuhan memberi saya kesempatan melihat bagaimana para tenaga kesehatan Kristen melayan. Mereka mendoakan pasien (baik tatap muka, maupun saat persekutuan doa), memberitakan Injil, homevisit, mengedukasi pasien lebih serius, dan memperhatikan pergumulan hidup pasien secara fisik, mental, dan spiritual. Dengan melihat itu, saya meninggikan Tuhan karena Tuhan pernah beranugrah sedemikian besar atas daerah ini, memberi hikmat, kasih, dan talenta bagi nakes-nakes ini, serta membuat RSU Bethesda berdiri selama puluhan tahun sehingga masyarakat mendapat berkat semacam ini. Saya sadar bahwa orang Kristen tidak boleh diam, apalagi Tuhan sudah berikan kesempatan mengenyam pendidikan kedokteran begitu baiknya. Kita harus bekerja dan mengabdikan diri untuk rencana Tuhan. Apa yang ada pada kita adalah pemberian, bukan untuk memberi kekayaan/kemuliaan bagi diri sendiri. Pelayanan RSU Bethesda minus secara keuntungan dan bergantung pada pemberian Allah melalui donatur. Hal ini membuat saya sadar bahwa mempraktikkan kasih jangan sekali-kali memikirkan soal untung dan ruginya bagi kita. Ketika berkomitmen mengerjakan sesuatu bagi Tuhan memang sering diizinkan untuk dianggap rugi dan bodoh oleh dunia, bahkan hidup Kristus pun seperti itu hingga disalib. Tetapi yang terpenting apakah kita menegakkan kehendak Bapa di surga sebagai Tuhan atas hidup kita dan menghadirkan kerajaanNya di muka bumi atau tidak. Karena Dialah pemilik hidup yang memberi apa arti hidup yang sesungguhnya bagi kita. Saya masih terus berdoa untuk panggilan pelayanan ke depan untuk mengerjakan mandat Injil yang membawa kebebasan bagi banyak orang berdosa sekaligus bersungguh-sungguh dalam menjalankan mandat budaya agar Kristus berkuasa atas segala pelayanan medis yang saya jalani dan mereka dapat menjadi manusia utuh yang beribadah kepada Tuhan dan memuliakan Tuhan. Saya berdoa kiranya saya dan teman-teman MMC lain diberikan keteguhan memikul panggilan ini dengan iman pada Kristus. Amin. /stl *Penulis adalah salah satu peserta MMC XVI
- Pembuangan: Eksposisi Yeremia 29 bagian I
Eksposisi ini terbagi ke dalam tiga tulisan (Pembuangan, Surat Yeremia, dan Nubuat versus Nubuat). Pasal 29 merefleksikan isi dua surat Nabi Yeremia (ay. 1-23, 24-32). Surat pertama ditujukan kepada semua orang Yehuda di pembuangan Babilonia (ay. 1, 4, 20, 31 golā; ay. 22 gālut “orang buangan”). Isi surat itu direspons keras Nabi Semaya dalam bentuk surat juga. Surat Yeremia yang kedua merespons surat Semaya, untuk diketahui juga oleh orang buangan. Perjanjian Lama menggambarkan bangsa Israel mengalami beberapa kali pembuangan. Sesudah era Israel Raya (Saul, Daud, Salomo), semasa Rehabeam bin Salomo, Israel akhirnya pecah menjadi dua. Kerajaan selatan bernama Yehuda, gabungan dari 2 suku Israel (Yehuda, Benyamin), beribu kota Yerusalem, dengan Rehabeam sebagai raja pertama. Kerajaan utara menyebut diri Israel atau disebut juga Efraim, gabungan dari 10 suku, beribu kota Samaria, dengan Yerobeam sebagai raja pertama. Semasa Imperium Asiria berkuasa di Timur Tengah, Samaria ditaklukkan (722/1 SM) dan tamatlah riwayat kerajaan utara (2 Raj. 17:23). Banyak dari penduduknya ditawan ke pembuangan (Nah. 2:10-3:4), ke tiga koloni Asiria (2 Raj. 18:11 “Halah ... Gozan ... Madai”, BIMK). Yehuda masih bertahan sampai Asiria turun dari panggung sejarah Timur Tengah dan naiklah Imperium Babilonia. Karena memberontak dengan menolak membayar upeti kepada Babilonia, Yehuda ditaklukkan dan penduduknya dibuang ke Babilonia. Kitab Yeremia menyebut tiga kali pembuangan oleh Babilonia dengan cukup detail. “Inilah jumlah rakyat yang diangkut ke dalam pembuangan oleh Nebuzaradan: dalam tahun ke-7, 3023 orang Yehuda; dalam tahun ke-18 belas zaman Nebukadnezar, 832 jiwa dari Yerusalem; dalam tahun ke-23 zaman Nebukadnezar, diangkut ke dalam pembuangan oleh Nebuzaradan, kepala pasukan pengawal, 745 jiwa orang Yehuda; seluruhnya berjumlah 4.600 jiwa.” (Yer. 52:28-30) Pembuangan pertama terjadi pada 598/7 SM, yang kedua 587/6 SM, dan yang ketiga 582 SM. Nebuzaradan adalah kepala pasukan pengawal Babilonia sekaligus pejabat istana yang memimpin penaklukan Yehuda (2 Raj. 25:8, 11, 20). Pembuangan pertama terjadi semasa pemerintahan Yekhonya bin Yoyakim yang hanya memerintah tiga bulan (24:1, 8; bdk. 1 Taw. 3:16; Est. 2:6; Mat. 1:11) atau Konya kependekannya (22:24, 28; 37:1). Namanya ketika menjadi raja (throne name) adalah Yoyakhin. Yang ditawan ke pembuangan (kloter pertama) adalah para tetua, imam, nabi, pegawai istana, pemuka Yehuda dan Yerusalem, tukang dan pandai besi, Raja Yekhonya dan ibu suri (queen mother). Elite politik, kaum terpelajar, dan kaum profesional. Itulah jalan pintas Babilonia untuk merekrut SDM berkualitas dalam waktu singkat. Namun, kejatuhan Yehuda belum final atau, jika memakai istilah dalam pertandingan tinju, baru TKO (technical knockout), sang petinju jatuh dan bisa bangun lagi sebelum hitungan ke-10, belum KO. Ritual Bait Suci masih berlangsung. Babilonia mengangkat raja baru, Matanya bin Yosia (ay. 3), paman Yekhonya; nama takhta pemberian penguasa Babilonia adalah Zedekia dan ia memerintah 11 tahun (2 Raj. 24:17-18). Zedekia adalah raja terakhir Yehuda sekaligus mengakhiri riwayat dinasti Daud dengan pembuangan kedua penduduk Yehuda (kloter kedua). Selanjutnya, Kerajaan Yehuda sudah tidak ada dan Yehuda hanya sebuah wilayah taklukan Babilonia. Otoritas Babilonia mengangkat Gedalya, mantan pengurus rumah tangga istana Zedekia, sebagai administrator wilayah Yehuda dan pada penguasa baru ini Yeremia tinggal. Pusat pemerintahan Yehuda juga pindah dari Yerusalem ke Mizpa, 8 km di sebelah barat lautnya. Namun, Gedalya dibunuh oleh orang Yehuda yang ingin memberontak lepas dari Babilonia. Babilonia pun kembali datang menyerang Yehuda, kembali menawan 745 orang Yehuda ke pembuangan (kloter ketiga), sementara Yeremia mengungsi ke Mesir dan wafat di sana. Latar politik pasal ini adalah sesudah pembuangan pertama dan ketika Zedekia menjadi “raja yang duduk di atas takhta Daud” (ay. 16). Awalnya, Zedekia kooperatif dan baru di kemudian hari memberontak, pemberontakan yang mengundang serangan mematikan dari Babilonia. Tampaknya rakyat di pembuangan pertama dan sebagian penduduk di Yehuda masih menganggap Yekhonya sebagai raja dalam pengasingan dan Zedekia yang bertakhta di Yerusalem dianggap sebagai raja boneka. Orang Yehuda itu yakin bahwa Yekhonya akan pulang dalam waktu dekat. Ternyata, faktanya Yekhonya tinggal di pembuangan sampai wafatnya (bdk. 52:31-34). Usia kerajaan selatan 343 tahun, lebih lama 135 tahun daripada kerajaan utara yang berusia 208 tahun dan yang lebih dulu tamat riwayatnya. Ada waktu lebih dari satu abad bagi raja-raja Yehuda untuk belajar dari kejatuhan saudaranya di utara. Sayang, orang sering tidak belajar dari sejarah. Akhirnya, kesempatan Yehuda untuk memperbaiki diri habis. Kerajaan itu jatuh juga sekaligus berakhirnya dinasti Daud. Potret umat yang gagal “belajar menghormati TUHAN“ (Ul. 14:23, BIMK). /stl Referensi: Leslie C. Allen, Jeremiah (Louisville: Westminster John Knox, 2008), 322. Semua teks Alkitab merujuk TB, kecuali disebutkan lain. Photo by Daniel Wheeler: https://www.pexels.com/photo/castiolioni-structure-1179123/
- Before Saying “I do”
Pertemuan dengan pria/wanita idaman, menjalin relasi, menghadapi dan mengatasi konflik dan masalah bermodalkan kekuatan cinta sepasang kekasih hingga akhirnya menikah dan ditutup dengan kata-kata “happily ever after”: inilah kebanyakan kisah romantis yang digambarkan dalam cerita dongeng yang kerap kita dengar atau saksikan. Jarang sekali kehidupan tokoh tersebut setelah menikah ditampilkan. Paparan tontonan masa kecil, lagu, atau novel yang tampaknya indah mengenai relasi, telah menjebak kita dalam ilusi akan relasi yang harmonis, bebas konflik, ataupun bila ada konflik adalah antara kita dengan dunia ini, bukan antara saya dan pasangan saya. Media sosial memudahkan kita untuk melihat hidup orang lain, termasuk gaya berpacaran kebanyakan orang. Ada hal yang baik yang dapat diteladani, namun ada pula hal yang mungkin dulu dianggap tabu saat ini dianggap biasa. Bahkan tak jarang, hal yang seharusnya dilakukan dalam kekudusan pernikahan, saat ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar saja untuk dilakukan sebelum menikah. Dunia kini membombardir kita untuk melakukan apa saja bersama asal saya dan pasangan saya bahagia. Bila sudah tidak bahagia, saya dapat mengakhiri hubungan ini. Mengapa berpacaran? Tidak ada kata “pacaran” dalam Alkitab, namun Alkitab berulang kali menuliskan kata “pernikahan”. Pandangan Alkitab tentang pernikahan adalah pemberian Allah, antara satu laki-laki dan satu perempuan, dengan tujuan untuk melayani Allah (Kejadian 1-2). Relasi Allah dengan umat-Nya dan Kristus dengan gereja-Nya digambarkan sebagai relasi pernikahan. Dalam pernikahan, suami menjalankan perannya sebagai kepala yang rela berkorban dan istri memiliki sikap tunduk yang saleh kepada suami. Institusi pernikahan menjadi gambaran hidup dari Injil kasih karunia. Berpacaran adalah suatu tahap antara seorang pria dan wanita sebagai persiapan memasuki tahap pernikahan. Pacaran melibatkan emosi dan jiwa, sehingga tidak dipungkiri bila kita mengalami sukacita, rasa ingin selalu bersama atau kerinduan untuk mengenal lebih dalam dan akan ada kemarahan atau air mata bila mengalami konflik. Pacaran sebagai gambaran bagaimana kita membangun kedekatan secara spiritual, emosional, dan fisik dengan pasangan kita untuk tujuan pernikahan. Visi pernikahan yang Firman Tuhan berikan-lah yang memampukan kita untuk berpacaran dan berpacaran dengan baik karena setiap pasangan laki-laki dan perempuan yang menjadi relasi pacaran tentu ingin berlanjut ke dalam tahap pernikahan. Sangat penting untuk mempersiapkan pernikahan selama masa pacaran. Bagaimana peran saya dan pasangan saya dalam mempersiapkan pernikahan? Jika pernikahan begitu kudus dan penting, bagaimana sebaiknya pasangan yang sedang berpacaran mempersiapkan diri mereka sebelum mengatakan ”Saya bersedia” di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya? Beberapa hal berikut dapat kita renungkan dan diskusikan bersama: 1. Apakah saya dan pasangan saya sama-sama orang percaya? Kerinduan memiliki pernikahan yang sejalan dengan visi pernikahan yang Tuhan berikan memerlukan pemahaman yang sama antara kita dan pasangan kita. Bagaimana mungkin kita dapat menjalani visi yang Tuhan berikan bila pasangan kita tidak memiliki iman yang sama (2 Korintus 6:14). 2. Memahami peran yang akan kita hadapi dalam masyarakat Allah menciptakan pernikahan yang terdiri dari seorang pria dan seorang wanita. Kita memahami kelemahan dan kekuatan masing-masing. Hal ini menyadarkan kita kalau kita membutuhkan satu-sama lain sebagai pria dan wanita. Tidak ada perasaan saya sebagai pria lebih hebat karena saya lebih kuat atau saya sebagai wanita dapat melahirkan karena itu saya lebih hebat. Tidak demikian karena masing-masing memiliki peran yang sudah Allah berikan. Peran sebagai pria dan wanita sebagai orang tua juga Allah berikan untuk beranak cucu dan bertambah banyak (Kejadian 1:28). Beranak cucu dan bertambah banyak bukan hanya memperoleh keturunan. Lebih daripada itu, memasuki pernikahan dan menjadi orang tua, kita memiliki tugas mewariskan iman dan hal-hal yang baik kepada anak-anak kita sebagai penerus generasi yang bertanggung jawab dalam masyarakat. 3. Membuat batasan untuk mendekatkan Masa pacaran merupakan kesempatan untuk mengenal lebih seseorang yang berpotensi menjadi pasangan hidup kita. Ketika memiliki teman yang berpacaran pun kita dapat mengetahui adanya perbedaan kedekatan seseorang dengan pacarnya dibandingkan dengan teman-teman lainnya. Kedekatan dalam masa pacaran ada yang perlu dibangun, dipertahankan, dan ada juga yang perlu dibatasi. Waktu dalam masa pacaran menolong kita untuk melihat bagaimana karakter satu sama lain, respon saat menghadapi konflik dalam hubungan (internal) atau di luar hubungan (eksternal), kebudayaan keluarga yang mungkin berbeda, relasi dengan komunitas, relasi dengan rekan sekerja, sikapnya saat lelah dan sedih, dan banyak hal lainnya. Tidak dipungkiri, masa pacaran membangun kedekatan secara emosional dan fisik dan bila kita tidak menjaga diri kita dan pasangan kita, kita rentan jatuh dalam godaan seksual. Iblis tidak akan membiarkan kita memiliki relasi yang kudus dan menyenangkan Allah. Oleh karena itu, kita perlu untuk terus berwaspada dengan kedekatan yang dapat membuat kita jatuh dalam dosa seksual. 4. Libatkan komunitas dalam relasi “Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada” (Amsal 11:14). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, masa pacaran merupakan kesempatan untuk mengenal satu sama lain. Namun tidak menutup kemungkinan mata kita menjadi “buta” karena perasaan sedang berbunga-bunga ataupun menjadi “buta” karena amarah saat berkonflik dengan pasangan. Sehingga dengan adanya orang-orang percaya di sekitar kita yang juga merindukan kita memiliki relasi yang baik dalam Tuhan dapat menolong kita untuk memiliki pandangan yang lebih luas mengenai pasangan kita dan relasi kita. Mengenal pasangan tidak bisa hanya berdua. Kita perlu meminta pertolongan orang lain yang dapat kita percaya untuk melihat kehidupan berpacaran kita. Selain itu, kita dapat semakin mengenal pasangan kita dalam bagaimana sikapnya dengan orang lain baik orang tua, pasien, teman sesama jenis ataupun lawan jenis, ataupun sikapnya dengan orang dengan berbagai karakter. Relasi seperti apakah yang kita inginkan? Apakah relasi yang menyenangkan diri sendiri atau relasi yang berkenan kepada Allah? Kiranya Allah menolong kita untuk mempersiapkan diri (bagi yang sedang berpacaran) dan menjalani pernikahan (bagi yang sudah menikah) seturut dengan yang Dia rancangkan. *Penulis saat ini bekerja di sebuah rumah sakit swasta di Bandung /stl Referensi: https://www.desiringgod.org/articles/when-the-not-yet-married-meet Sacred Marriage. Gary Thomas. 2011. Penerbit: Katalis
- Go, Send or Disobey
Dalam anugerah Allah, saya dapat lulus dan mengambil sumpah dokter pada bulan Januari 2023 lalu. Masih ada tahapan berikutnya yaitu mengikuti program internship. Selama masa penantian internsip, saya memutuskan untuk mengikuti Medical Mission Course (MMC). Selama 7 minggu mengikuti MMC, saya disegarkan kembali melalui sharing firman Tuhan dan kesaksian pribadi kakak-kakak alumni. Jika diminta untuk memilih satu sesi yang paling berkesan, saya kesulitan, karena semua sesi sangat berkesan. Keseluruhan kegiatan MMC sungguh sangat baik dan memberkati. Namun, kalau harus memilih, Blessed To Be A Blessing (B2B) menjadi salah satu sesi (atau mungkin lebih tepatnya salah sepuluh sesi, karena B2B ini dibagi menjadi 10 sesi) yang menarik bagi saya. Saya belajar mengenai kerinduan hati Allah bagi suku-suku bangsa di seluruh dunia. Allah memancarkan kemuliaan-Nya kepada segala bangsa, supaya Dia menerima kemuliaan dari semua suku bangsa. Saya belajar bahwa Allah begitu setia terhadap janji-Nya sejak masa Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, bahkan hingga hari ini. Kita tidak perlu bingung atau takut ketika bermisi, karena Allah kita sendiri adalah Allah yang misioner. Saya juga ditegur untuk menjadi saksi Kristus tidak hanya di Yerusalem, namun terlebih lagi di Yudea, Samaria, bahkan sampai ujung bumi. Jujur, selama ini saya sudah merasa puas melayani di dalam persekutuan sesama orang Kristen. Menjadi saksi Kristus bagi sesama orang Kristen adalah hal yang baik, tapi Allah rindu supaya kita juga dapat menjadi saksi Kristus bagi orang-orang yang belum percaya. Apabila kita tidak terpanggil untuk pergi langsung ke suku-suku terabaikan, maka kita tetap dapat mendukung pelayanan misi dengan mengutus (mendukung dalam doa dan dana). Bermisi bukanlah pilihan, sebagai orang Kristen kita mendapatkan mandat yang sama untuk memberitakan Injil sampai ujung dunia. Apabila tidak dikerjakan, maka sesungguhnya kita sedang tidak taat kepada Allah. Pilihannya hanya tiga: go, send, or disobey. Sebelum mengikuti MMC, saya merasa takut dengan sistem penempatan internsip yang baru dimana peserta tidak bisa memilih wahana internsip yang diinginkan. Saya merasa tidak siap apabila harus ditempatkan di tempat yang baru, yang jauh, dan yang tidak familiar bagi saya. Bahkan saya merasa enggan apabila harus ditempatkan di Jawa Barat, yang sebenarnya merupakan domisili sesuai dengan kartu keluarga saya. Setelah mengikuti MMC, saya melihat bahwa sistem baru ini dapat menjadi cara Allah untuk membawa saya ke daerah tertentu. Pada akhirnya, Allah memberikan saya kesempatan melayani di Tanah Sunda, tepatnya di Kabupaten Cianjur. Setelah selesai internsip, saya rindu dapat mengikuti kegiatan magang MMC di klinik/RS misi. Saya juga masih memiliki kerinduan dapat melayani melalui program Nusantara Sehat. Kiranya saya dapat terus melekat kepada Allah, memiliki relasi yang kuat dengan-Nya, serta memiliki kepekaan terhadap kondisi dan kebutuhan di sekitar saya, sehingga saya dapat menjadi saksi Kristus yang efektif di manapun saya berada. *Penulis merupakan peserta MMC dan saat ini sedang menjalani internsip di RSUD Cimacan. /stl
- Ayo, Kembali ke Kampus!
Kondisi pelayanan mahasiswa saat ini boleh dikatakan tidak sedang baik-baik saja. Dampak pandemik Covid-19 terhadap kondisi pelayanan mahasiswa dirasakan oleh semua kampus. Banyak kampus mengeluhkan penurunan kualitas dan kuantitas pelayanan. Tidak sedikit pengurus PMK di masa pasca pandemik tidak tahu bagaimana memulai kembali pelayanan karena mereka tidak melihat role model pelayanan yang dilakukan sebelum pandemik. Bahkan ada pengurus PMK yang tidak tahu kalau ada pembinaan KTB di PMK nya. Masa pendidikan yang terbatas juga mengakibatkan proses pembinaan terputus/diskontinu. Tidak sedikit pelayanan mahasiswa harus memulai pelayanan dari level bawah lagi karena proses pembinaan dan regenerasinya yang tidak berjalan dengan baik. Selain itu, beberapa kampus kedokteran yang baru berdiri belum memiliki persekutuan dan pelayanan mahasiswa. Jumlah alumni medis (=pengalaman dibina di PMK) yang menjadi dosen di kampus tersebut sangat sedikit bahkan tidak ada. Akibatnya mereka memiliki kendala dalam memulai pelayanan mahasiswa. Permasalahan yang sama dialami juga oleh beberapa kampus yang sudah lama ada PMK-nya. Misalnya, kegiatan pelayanan harus dilakukan di luar kampus akibat regulasi universitas yang tidak memperbolehkan adanya kegiatan persekutuan di lingkungan kampus. Pendampingan pelayanan oleh beberapa lembaga dari luar kampus, seperti Perkantas, memang sangat membantu dalam mengembangkan pelayanan mahasiswa. Tapi tidak dipungkiri bahwa peran lembaga eksternal terbatas geraknya untuk mendamping pelayanan secara intensif dan berkelanjutan. Lalu, bagaimana peran alumni medis menyikapi berbagai kondisi yang ada saat ini? Apakah masih relevan dan efektif ‘membiarkan’ mahasiswa berjuang sendiri dalam mengerjakan pelayanan mahasiswa? Kembali ke pelayanan mahasiswa Tidak dipungkiri bahwa pendampingan pelayanan mahasiswa secara berkelanjutan perlu dilakukan. Saat ini peran strategis alumni medis sangat besar dan terbuka lebar untuk merintis dan memelihara visi dan misi pelayanan mahasiswa. Slogan balik ke kampus sudah saatnya kita dengungkan ke adik-adik pra alumni dan alumni medis yang sedang mencari tempat penugasan. Orientasi untuk bekerja di puskesmas atau rumah sakit sudah banyak dimiliki oleh alumni medis. Namun orientasi untuk bekerja sebagai dosen belum tentu dimiliki oleh semua alumni. Gambar siklus kembali ke pelayanan mahasiswa (Sumber: Penulis) Kembali ke kampus dengan berperan sebagai dosen membuka kesempatan bagi alumni medis untuk kembali memperhatikan/ mendampingi pelayanan mahasiswa. Ada beberapa alasan mengapa alumni medis perlu memikirkan untuk kembali ke kampus: Potensi peran strategis dosen dalam merintis dan menjaga visi dan misi pelayanan mahasiswa sangat besar. Membangkitkan kembali pelayanan yang terpuruk pasca pandemik dan merintis pelayanan mahasiswa di kampus kedokteran yang baru akan sangat efektif jika ada alumni medis yang menjadi dosen ditempat tersebut. Kehadiran alumni medis sebagai dosen atau bahkan sebagai pembina pelayanan mahasiswa akan memberikan dukungan moril bagi adik-adik di PMK saat ini. Mereka sedang tidak merasa sendiri dalam mengerjakan pelayanan ini. Selain itu, mereka bisa melihat sosok alumni medis yang dulu berjuang di pelayanan mahasiswa dan saat ini sudah bekerja di dunia profesi medis atau dosen. Hal ini secara tidak langsung akan memberikan motivasi yang kuat bagi adik-adik untuk terlibat secara aktif dalam pelayanan dan belajar secara langsung dari pengalaman hidup alumni medis. Saat ini kesempatan untuk menjadi dosen sangat besar. Pemerintah sudah dan masih akan memberikan izin pembukaan beberapa kampus kedokteran baru di Indonesia, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Kampus tersebut sudah pasti sangat membutuhkan tenaga pengajar di bidang ilmu humaniora, biomedik, klinis, dan pendidikan kedokteran. Kesempatan ini akan memberi peluang bagi alumni medis turut aktif dalam merumuskan kebijakan-kebijakan fakultas, termasuk hal yang berhubungan dengan kebijakan kegiatan kemahasiswaan. Sudah saatnya peran strategis pelayanan mahasiswa digabung dengan peran strategis dosen dalam memaksimalkan pelayanan mahasiswa. Peran strategis ini bisa menjadi salah satu pertimbangan dan motivasi bagi alumni medis untuk bekerja sebagai dosen. *Penulis bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia /stl
- Penjajahan Belanda, Kekristenan, dan Kemajemukan Indonesia
Judul : Confronting Christianity Penulis : Rebecca McLaughlin Halaman : 264 halaman Penerbit : Literatur Perkantas Jawa Timur “Bukankah Kekristenan disebarkan oleh penjajah? Tidakkah Kekristenan itu agama kulit putih?” Bagi banyak orang di dunia termasuk di Indonesia, sering kita dengar hal demikian, bahwa Kekristenan adalah agama Barat – agama orang kulit putih. Luka mendalam atas penjajahan Belanda sedemikian menyakitkan bagi kita dan terutama para pendahulu kita sehingga meninggalkan memori yang sulit dilupakan. Ratusan tahun pengalaman penjajahan menjadi penghalang orang Indonesia untuk mempertimbangkan Kristus. Tentu bisa kita pahami pengalaman buruk di masa lalu tersebut. Sangat disayangkan bahwa penginjilan bersanding dengan kolonialisme pada waktu itu, sementara Kekristenan tidak mengajarkan penindasan. Selain itu, ajaran agama tidak boleh dinilai dari penyalahgunaannya (A religion must not be judged by its abuse – Frank Turek) Meskipun demikian, juga bukan berarti tidak ada hubungan antara Kekristenan dengan budaya Barat sebab Kekristenan memang mendominasi Eropa selama berabad-abad. Banyak artifak budaya yang dihasilkan di Barat: lukisan, drama, puisi, musik – dipenuhi dengan gagasan-gagasan Kristiani. Walaupun Kekristenan memonopoli budaya Barat, budaya itu tidak pernah memonopoli Kekristenan. Bertentangan dengan pemikiran populer, gerakan Kekristenan bersifat multibudaya dan multietnis sejak mulanya. Alkitab beberapa kali mengisahkan orang Samaria sebagai teladan meskipun mereka dibenci orang Yahudi. Kemajemukan juga dipicu oleh Yesus sendiri setelah kebangkitan-Nya. “Karena itu pergilah”, kata Yesus, “jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Mat. 28:19). Kisah Para Rasul mencatat gelombang pertama Kekristenan di mana Roh Allah memampukan mereka memberitakan Injil dalam berbagai bahasa. Mereka yang mendengarnya berasal dari segala bangsa di bawah kolong langit termasuk Iran, Irak, Turki, Mesir, dan Italia. Rasul Paulus yang hiper-Yahudi pun merobek batasan-batasan sosial di zamannya. Karena itu, kemajemukan secara sosio-ekonomi merupakan etika Kekristenan sejak semula. Yesus mengajarkan kita salah satunya untuk mengasihi orang-orang miskin. Firman Tuhan melalui Yakobus memerintahkan orang-orang Kristen agar tidak membedakan perlakuan kepada orang kaya maupun orang miskin dalam kumpulan mereka. Kekristenan juga mempengaruhi diangkatnya derajat wanita dari dulu yang berlanjut hingga masa kini. Kekristenan juga tumbuh pesat di berbagai suku bangsa dunia di tengah persekusi seperti di Iran dan China. Gereja merangkul semua orang dari berbagai ras, status, dan latar belakang ke dalam persekutuan yang intim dan penuh kasih. Meski topik pada buku ini mengulas Kekristenan secara global, Kekristenan tentu relevan dengan kebhinekaan di Indonesia. Kita dan segenap suku di Indonesia sebagai sesama ciptaan yang segambar dengan Allah sama-sama diundang untuk menjadi anak-anak Allah. Seluruh suku di Indonesia dapat datang kepada Allah dan berdoa dengan bahasa masing-masing. Ekspresi penyembahan kepada Allah juga ramah terhadap unsur budaya lokal di Tanah Air. Hal ini kiranya menambah semangat bagi kita dalam melakukan penginjilan ke berbagai suku bangsa dan dengan demikian menyongsong kemegahan penyembahan kepada Allah di akhir zaman. Wahyu 7:9 melukiskan keadaan di akhir zaman ketika “suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa” menyembah Yesus! Maka, jika kita peduli dengan kebhinekaan, jangan menolak Kekristenan. Kekristenan adalah gerakan paling majemuk, multietnis, dan multibudaya di sepanjang sejarah manusia. *Resensi di atas adalah resensi bab “Bukankah Kekristenan yang Menghancurkan Kemajemukan?” yang merupakan salah satu topik dari dua belas topik pada buku ini. Buku Confronting Christianity mengulas dua belas topik/pertanyaan menantang Kekristenan pada zaman ini. Confronting Christianity mengeksplorasi pertanyaan yang populer saat ini mulai dari realita penderitaan, seksualitas, isu keragaman, kemajuan sains, dan halangan lain yang tampaknya menghalangi kita dalam beriman Kristen. /stl