Setelah ribuan kilometer terbang, akhirnya, dini hari 9 Januari 2013 saya menginjakkan kaki di Bumi Cenderawasih. Tanah yang pernah saya tinggalkan limabelas tahun sebelumnya - kini saya datang kembali…
Panggilan Tuhan yang pertama
Saya teringat, waktu pertama kali mendengar suara Tuhan, meminta saya untuk pergi dan melayani sebagai dokter di Irian Jaya (cat. tahun 2001 Irian Jaya berganti nama menjadi Papua).
Saat itu masih mahasiswa semester delapan, saya merasakan ada suara yang lembut namun mendesak di dalam hati, ketika membaca sebuah buku tentang seorang dokter muda yang melayani di pedalaman Irian Jaya.
Dan dialog pun terjadi :
“ Kenapa harus saya Tuhan?”
“ Kalau bukan anak-anak-Ku, siapa lagi yang akan Ku-utus?”
Sejak saat itu, keinginan untuk pergi ke pedalaman Papua bertumbuh dan semakin kuat.
Berusaha menepis panggilan-Nya
Proses pembentukan dan pemurnian-pun dimulai.
Sesudah lulus menjadi dokter, banyak kesempatan yang datang, mulai dari pendidikan dan pekerjaan, baik di klinik maupun rumah sakit besar - sepaket dengan kehidupan mapan di kota besar, Jakarta! Tapi semuanya itu tidaklah memuaskan saya, seolah jiwa saya menuntut bahwa saya diciptakan oleh Tuhan untuk berada dan melakukan sesuatu di tempat lain yang tidak diminati oleh banyak orang.
Sampai akhirnya terjadi bencana alam dan kelaparan di Jayawijaya Raya tahun 1997, sayapun mengajukan diri menjadi dokter relawan perempuan satu-satunya yang dikirim ke Irian Jaya.
Sehingga pada waktu penempatan PTT (Pegawai Tidak Tetap), Irian Jaya menjadi pilihan pertama dan saya yakin, pasti diterima. Ternyata, saya ditolak di Papua! Dan ditempatkan di Yogyakarta. Saya protes sama Tuhan: “Tuhan, mengapa orang yang memilih untuk PTT di Jawa - banyak yang tidak bisa; Tapi saya yang mau ke Papua malah Tuhan tempatkan di Jawa?!”
Dan Tuhan terdiam…
Sejak saat itu saya berusaha untuk tidak lagi memikirkan Irian Jaya. Saya larut didalam pekerjaan dan pelayanan di Yogyakarta. Mengenal banyak komunitas baik rohani maupun sekuler, sampai akhirnya saya kehilangan ayah yang sangat saya kasihi dan puja, yang ternyata tanpa disadari sudah menjadi ilah saya selama ini. Inilah titik balik pengenalan saya. Bahwa Dia adalah Allah pencemburu yang ingin menjadi satu-satunya Tuhan di dalam hidup saya.
Dia sedang memperkenalkan diri-Nya dan saya diproses lebih dalam lagi.
Berangkat!
Perlahan namun pasti kerinduan untuk ke Papua pun timbul kembali. Meskipun tantangan yang saya hadapi kali ini jauh lebih berat karena harus meninggalkan ibu saya yang masih sakit dan hidup sendirian. Namun ingatan dari pelajaran pertama - bahwa Tuhan adalah Allah pencemburu - membuat saya ingin segera menaati-Nya. Tuhan seolah mengatakan bahwa Dia tidak bisa dikalahkan dan tidak akan pernah mau mengalah.
Sekembalinya saya dari Filipina pada 2012, saya membulatkan tekad untuk keluar dari salah satu rumah sakit swasta di Jakarta dan memesan tiket pesawat ke Papua.
Singkat cerita, saya tinggal dengan keluarga yang dikenalkan oleh salah satu teman di Jakarta sambil membantu pelayanan mereka di Kota Sentani dan Koya Barat, dekat perbatasan negara Papua New Guinea.
Namun setelah tiga bulan, saya belum juga mendapat pekerjaan, lalu berseru kepada Tuhan, “Tuhan, uang saya menipis. Kalau sampai 1 April 2013 ini saya belum bekerja, saya akan kembali ke Jawa dan itu berarti bahwa semua ini bukan panggilan-Mu tapi hanya keinginan dan emosi saya semata”.
Janji-Nya tersebut digenapi, tidak lama setelah saya berdoa, melalui seorang siswa yang sedang sakit, saya mendapat informasi lowongan kerja dari dokter di puskesmas.
Puji Tuhan! Tepat pada 1 April 2013 saya mulai bekerja untuk Penanganan HIV di empat kabupaten/kota; yaitu Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura.
Saya merenungkan peristiwa sebelas tahun yang lalu tentang bagaimana Tuhan mampu mengubah suka duka yang saya alami dengan tidak ada satupun yang Dia sia-siakan. Bahkan Dia pakai semuanya itu untuk membentuk karakter saya seperti Kristus. Bersyukur Tuhan terus mempercayakan perkara-perkara kecil dan akhirnya Dia juga mempercayakan perkara-perkara yang lebih besar lagi kepada saya serta memperlihatkan apa yang sedang Dia kerjakan di Tanah Papua.
“Barang siapa yang bekerja di tanah ini dengan setia, jujur dan dengar-dengaran; maka ia akan berjalan dari tanda heran yang satu ke tanda heran yang lain.”
(Pendeta Izaac Samuel Kijne - 1947)
Sentani - 10 Mei 2024
コメント