“PP Kesehatan baru, pemerintah legalkan aborsi untuk korban perkosaan”, begitu kira-kira judul berita yang heboh tersebar di Indonesia belakangan ini, sekitar pertengahan tahun 2024. Sejak disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024, topik aborsi menjadi satu topik kesehatan reproduksi yang banyak diperbincangkan. Ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa peraturan ini adalah terobosan baru di Indonesia, meskipun ini tidak benar. Kenapa? Di Indonesia, aborsi untuk korban perkosaan sudah legal dan ini sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan yang lama yaitu UU Kesehatan no. 36 tahun 2009. Dalam UU Kesehatan tersebut, pasal 75 dan 76 mengatakan bahwa perempuan korban perkosaan yang mengalami kehamilan dapat melakukan aborsi sebelum kehamilan berumur 6 minggu (dihitung dari hari pertama haid terakhir). Jika aturan ini sudah ada sejak tahun 2009, lalu apa yang berbeda mengenai peraturan aborsi legal di tahun 2024? Yang membedakan adalah batas usia kehamilan untuk korban perkosaan di mana aborsi secara legal boleh dilakukan. Peraturan yang baru mengatakan bahwa batas usia kehamilan tersebut adalah 14 minggu (UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 463). Dengan demikian, batas usia kehamilan yang sebelumnya adalah 6 minggu sekarang berubah menjadi 14 minggu.
Di satu sisi, kita bisa memahami bahwa peraturan mengenai aborsi ini dirancang untuk melindungi perempuan. Kasus pemerkosaan pasti meninggalkan luka dan trauma yang mendalam bagi korban. Sudah mengalami pelecehan, dia kini harus menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini semakin menambah beban mentalnya, karena setiap kali melihat kandungannya, dia akan teringat pada pelaku pemerkosaan. Belum lagi jika dia mengalami kesulitan finansial: bagaimana dengan biaya perawatan untuk kehamilan dan persalinan? Apa yang harus dilakukan dengan biaya untuk membesarkan anak jika sudah lahir? Ditambah lagi, stigma sosial yang harus dihadapi: menjadi bahan pembicaraan masyarakat, dicap sebagai "anak haram", dan sebagainya. Bayangkan betapa beratnya tantangan yang mungkin dihadapi oleh perempuan korban pemerkosaan ini. Sehingga, aborsi ditawarkan sebagai salah solusi untuk menolong perempuan yang mengalami situasi sulit tersebut.
Apa itu aborsi?
Dari tadi kata “aborsi” sudah disinggung berkali-kali, namun apa itu aborsi? Aborsi adalah pengakhiran kehamilan dengan mengeluarkan embrio atau janin dari dalam rahim perempuan dengan menggunakan berbagai macam metode (tergantung usia kehamilan) yang mengakibatkan kematian sang janin.
Iman Kristen percaya bahwa kehidupan manusia dimulai sejak proses fertilisasi (pembuahan) terjadi (Mazmur 139:13,16). Fertilisasi adalah ketika sel sperma bersatu dengan sel telur untuk membentuk zigot. Pada tahap inilah (bahkan ketika masih satu sel ini) kehidupan seorang manusia dimulai. Zigot lalu perlahan bertumbuh dan berkembang menjadi embrio, fetus, dan bayi mungil dalam kandungan. Namun, aborsi mengakibatkan kematian janin–baik itu tahap zigot, embrio, fetus, atau bayi–yang adalah seorang manusia. Dengan kata lain, aborsi adalah pembunuhan hidup seorang manusia.
Aborsi: solusikah?
Kembali kepada masalah perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akibat pemerkosaan, apakah aborsi adalah solusi yang paling tepat untuk menjawab masalah ini? Apalagi ada yang mengatakan bahwa aborsi adalah hak setiap perempuan, khususnya hak atas tubuh mereka sendiri. Maksudnya, setiap perempuan berhak untuk menentukan pilihan atas tubuhnya sendiri, termasuk tindakan aborsi yang dikenakan pada tubuhnya sendiri. Lebih lanjut lagi, jika aborsi adalah hak perempuan atas tubuhnya, maka mereka juga berhak untuk mendapatkan akses aborsi yang aman. Inilah yang sedang diperjuangkan oleh beberapa pihak yang setuju aborsi.
Sekali lagi, kita sama sekali tidak mengecilkan atau meremehkan segala macam kesulitan yang dialami oleh perempuan korban perkosaan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, aborsi adalah solusi yang buruk untuk menjawab masalah yang ada. Memang betul bahwa dalam satu pengertian setiap perempuan berhak atas tubuhnya sendiri, tapi dalam konteks kehamilan sang perempuan tidak hanya berhadapan dengan tubuhnya sendiri, melainkan dengan tubuh manusia yang lain, yaitu janin yang ada di dalam kandungan. Maka, aborsi merenggut hak sang janin untuk hidup. Ketika pemenuhan sebuah hak seorang individu mengakibatkan pelanggaran hak bagi individu yang lainnya, maka itu adalah kejahatan. Jadi, hak atas tubuh sendiri bukan berarti kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk diri sendiri. Kebebasan seorang manusia adalah kebebasan yang terbatas. Dalam konteks aborsi pada kehamilan yang tidak diinginkan, kebebasan perempuan tersebut untuk melakukan aborsi setidaknya dibatasi oleh hak sang janin untuk hidup.
Bagaimana dengan pemerkosa yang menghamili seorang perempuan? Bukankah si pemerkosa ini juga melanggar hak perempuan tersebut? Tentu hal tersebut merupakan pelanggaran hak sang perempuan dan adalah kejahatan yang besar, maka si pemerkosa sudah seharusnya dan sepantasnya dihukum. Namun, aborsi bukanlah solusi atas kehamilan yang tidak diinginkan bagi korban perkosaan. Membunuh sang janin melalui tindakan aborsi malah menambah kejahatan yang baru selain kejahatan pemerkosaan yang sudah terjadi.
Jika trauma psikologis adalah yang menjadi masalah dan beban bagi sang perempuan korban perkosaan, maka solusinya adalah konseling dan pendampingan psikologis dari pihak yang kompeten dan bertanggung jawab. Jika masalahnya terletak pada beban finansial untuk kontrol kehamilan dan persalinan, maka konsep rumah aman (crisis pregnancy center), seperti Rumah Tumbuh Harapan (Rumah RUTH) di Bandung dan Bali atau Yayasan Pondok Hayat di Surabaya dan Kupang, harus lebih diperjuangkan dan dikembangkan di Indonesia. Jika masalahnya terletak pada ketidaksiapan–baik itu mental, sosial, finansial, atau alasan lainnya–untuk mengurus dan membesarkan sang anak (jika sudah lahir nanti), maka adopsi yang bertanggung jawab bisa menjadi pilihan solusinya.
Pergeseran yang tidak kelihatan
Saat ini di Indonesia peraturan aborsi memang masih sangat dibatasi yaitu aborsi yang legal hanyalah untuk perempuan hamil akibat korban perkosaan. Namun, itu pun sudah terjadi pergeseran secara perlahan-lahan. Yang awalnya usia kehamilan dibatasi hanya sampai usia 6 minggu, sekarang batas usia kehamilannya dilonggarkan menjadi 14 minggu. Di dunia Barat, jangankan bicara tentang batas usia kehamilan yang sangat longgar (melampaui 14 minggu), beberapa negara bahkan melegalkan aborsi dengan alasan apa pun (tidak hanya terbatas pada alasan kehamilan akibat perkosaan).
Dengan demikian, melihat fenomena yang terjadi di dunia sekarang ini mengenai aborsi, kita harus sadar bahwa batas usia kehamilan atau alasan untuk aborsi legal yang makin dilonggarkan sebenarnya hanya fenomena eksternal yang kelihatan. Kita harus peka bahwa setiap yang kelihatan selalu didasari oleh sesuatu yang tidak kelihatan. Ada semangat dan cara pandang tertentu di balik segala sesuatu yang kelihatan di dunia ini, termasuk isu aborsi. Jadi, meskipun secara ranah praktis ada solusi yang lebih baik daripada aborsi yang bisa kita tawarkan dan perjuangkan, solusi yang praktis ini tidak sepenuhnya mengatasi akar permasalahan yang ada. Untuk mengatasi akar permasalahannya, kita harus mengerti terlebih dahulu maksud dari semangat yang tidak kelihatan tersebut. Apakah itu?
/kb
Penulis saat ini bekerja di Klinik Pratama Samaritan dan aktif melayani di PMdN dan Pro Life Indonesia
Opmerkingen