top of page
Subscribe
Instagram
Facebook
Donation

139 results found with an empty search

  • Suara Iman di Tengah Dilema Medis (Bagian 1): Bagaimana Firman Tuhan Menuntun Keputusan Etik Kita

    “Firman-Mu adalah pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” — Mazmur 119:105 Pendahuluan: Kebenaran di Tengah Dilema Medis Sebagai seorang dokter anestesi yang menghabiskan waktu lebih banyak di ruangan resusitasi instalasi gawat darurat dan ruang perawatan intensif di suatu rumah sakit vertikal, di tengah bisingnya bunyi monitor alat-alat medis serta aroma antiseptik khas rumah sakit yang menyengat, penulis sering diperhadapkan dengan banyak pertanyaan dari keluarga pasien tentang hal yang tidak mudah dijawab oleh ilmu pengetahuan kedokteran semata. “Apakah keluarga saya yang kesadarannya menurun (koma) bisa mendengarkan kami? Apakah bisa pasien dibawa pulang dengan selang bantu nafas ( endotracheal tube ) masih berada di mulut?” dan masih banyak pertanyaan lain. Penulis percaya bahwa sebagai tenaga medis, kita semua yang bergelut dalam dunia kedokteran modern—dari ruang bersalin hingga ICU, dari laboratorium genetika hingga ruang direksi—sering diperhadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan etika yang muncul setiap hari: Kapan kehidupan dimulai? Kapan perawatan intensif boleh dihentikan? Apa batas teknologi medis yang bisa diberikan kepada keluarga saya? Sebagai orang percaya yang terjun di dunia medis—baik sebagai dokter, perawat, maupun pasien—kita menghadapi persimpangan jalan di mana iman dan teknologi bertemu, kadang bertabrakan. Lebih lanjut lagi, siapa yang dapat kita dengarkan atau minta pendapatnya ketika harus memutuskan hal-hal sulit tentang hidup, sakit, dan mati ini? Sebagai orang Kristen, menjawab berbagai persoalan hidup tentu bukan cukup dengan mengikuti kata “hati nurani” atau “ilmu pengetahuan” yang kita miliki, melainkan kita meyakini bahwa firman Tuhan-lah yang membentuk cara kita memakai nurani, memakai ilmu, dan melayani sesama. Firman Tuhan menuntun umat percaya untuk mengambil keputusan dengan kasih, keadilan, dan hikmat yang bersumber dari Kristus. Alkitab memberi kita panduan yang tak lekang oleh waktu, namun penerapannya dalam konteks medis modern membutuhkan kebijaksanaan dan hikmat yang luar biasa. Bagaimana firman Tuhan dapat menjadi penuntun kita saat menghadapi dilema etis yang kompleks di era teknologi medis yang semakin canggih? Dalam artikel ini, penulis akan mencoba menggali bagaimana prinsip-prinsip Alkitabiah dapat diterapkan dalam isu-isu bioetika kontemporer, mulai dari fertilisasi in vitro  hingga keputusan akhir kehidupan. Mari kita menjelajahi bagaimana iman Kristen dapat memberikan kerangka etis yang kokoh namun penuh belas kasih di tengah tsunami kemajuan medis abad ke-21. Fondasi Alkitabiah untuk Etika Medis Otoritas Kebenaran yang Tidak Berubah Firman Tuhan menjadi standar tertinggi moralitas. Ketika opini publik berubah, ketika tekanan sosial dan ekonomi mempengaruhi sistem kesehatan, orang percaya tetap berpijak pada prinsip kebenaran Allah yang kekal. Mazmur 119:105 menegaskan bahwa firman menjadi “pelita dan terang”, memberi arah dalam kegelapan moral. Manusia adalah Citra dan Rupa Allah (Imago Dei) Prinsip fundamental etika Kristen dalam medis dimulai dari pemahaman bahwa setiap manusia diciptakan "menurut citra dan rupa Allah" (Kejadian 1:27). Ini bukan sekadar konsep teologis abstrak, melainkan dasar ontologis yang memberi nilai intrinsik pada setiap kehidupan manusia—tanpa terkecuali. Inilah dasar semua bioetika Kristen: setiap manusia bernilai sama, tidak tergantung kemampuan, usia, atau status kesehatan. Maka, kehidupan manusia di awal (embrio) dan di akhir (pasien terminal) memiliki nilai yang sama tinggi di hadapan Tuhan. Dr. John Patrick, mantan profesor kedokteran klinis di University of Ottawa, sering menekankan bahwa pemahaman ini mengubah cara kita melihat pasien. "Ketika Anda menyadari bahwa pasien Anda, tidak peduli seberapa parah kondisinya, adalah citra Allah yang rusak akibat dosa namun masih berharga bagi-Nya, maka Anda akan memperlakukannya dengan martabat yang tak ternilai," Prinsip ini memberikan jawaban tegas terhadap pandangan utilitarianisme yang sering mendominasi etika medis sekuler. Manusia tidak bisa diukur dengan "quality-adjusted life years" atau utilitas ekonomisnya. Setiap nyawa memiliki nilai yang tak terbatas karena pembuatnya sendiri memberikan harga dengan darah-Nya di kayu salib. Kasih sebagai Inti Etika dan Pelayanan Medis Kristen Meskipun Kejadian 1:27 memberikan fondasi ontologis, Matius 22:39 memberikan suatu landasan yang kuat dalam  pelayanan medis Kristen: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Perintah ini tidak hanya mengubah motivasi pelayanan medis dari sekadar profesi menjadi panggilan suci, tetapi juga memberikan standar etis yang transendental. Kasih kepada Allah dan sesama (Mat. 22:37–39) bukan teori emosional, tetapi dasar moral tindakan medis. Kasih menuntun kita untuk melindungi yang lemah, bersikap jujur pada pasien, dan mengambil keputusan demi kebaikan sejati, bukan sekadar kenyamanan atau keuntungan. Dr. Christina Yan, seorang dokter spesialis anak di Los Angeles, membagikan pengalamannya: "Suatu hari, saya merasa sangat frustasi dengan pasien yang tidak kooperatif. Tapi kemudian saya teringat perintah ini—bagaimana saya ingin dirawat jika posisinya terbalik? Perubahan perspektif ini mengubah cara saya berinteraksi dengan setiap pasien." Kasih Kristen dalam konteks medis bukanlah perasaan sentimental, melainkan komitmen untuk bertindak demi kebaikan pasien bahkan ketika tidak nyaman, tidak menguntungkan, atau tidak dihargai. Ini adalah kasih yang menunjuk pada contoh tertinggi—Kristus yang "menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua" (1 Timotius 2:6). Hikmat dari Roh Kudus Yakobus 1:5 mengajarkan agar kita meminta hikmat dari Allah dalam setiap aspek kehidupan kita. Dalam ruang pengambilan keputusan bioetika, hikmat itu juga bisa berarti mendengarkan pasien, menimbang bukti ilmiah, dan mempertimbangkan nilai-nilai moral yang berakar pada firman. Bagaimana kita bisa mendapatkan hikmat dari Allah? Tentunya melalui hubungan pribadi yang intens dengan Allah setiap hari melalui kehidupan doa dan saat teduh. Dapatkah kita melakukannya secara konsisten dalam kehidupan kita sebagai tenaga medis yang sangat menyita waktu. Keadilan dan Kebenaran Sosial Yang Alkitabiah Mikha 6:8 menyerukan agar kita “berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah.” Dalam konteks kebijakan kesehatan, ini berarti memperjuangkan akses yang adil, menghindari diskriminasi terhadap yang miskin atau disabilitas, dan menolak komersialisasi hidup manusia. Dilema Medis Kontemporer dan Respons Iman Fertilisasi In Vitro: Harapan atau Tantangan? Teknologi reproduksi berbantuan hadir sebagai berkah bagi pasangan yang tidak subur, namun juga membawa serangkaian dilema etis yang kompleks. Menurut data dari International Committee Monitoring Assisted Reproductive Technology (ICMART), lebih dari 8 juta bayi telah lahir melalui IVF sejak 1978, namun proses ini seringkali melibatkan pembuatan dan pembuangan embrio yang berpotensi hidup. Perspektif Kristen memerlukan keseimbangan antara belas kasih terhadap pasangan yang ingin membangun keluarga dan perlindungan terhadap kehidupan yang baru dimulai. Beberapa pertimbangan Alkitabiah meliputi: Status embrio : Mazmur 139:13-16 menunjukkan bahwa Allah mengenal kita bahkan sebelum kita terbentuk secara sempurna di rahim, memberikan perlindungan sejak awal kehidupan. Stewardship : Meskipun teknologi adalah pemberian Allah, kita harus bertanggung jawab atas penggunaannya. Dr. John Stott menulis, "Kita diperbolehkan menggunakan teknologi untuk memperbaiki kondisi alami yang rusak, bukan untuk menggantikan rencana Allah." Adopsi sebagai alternatif : Yakobus 1:27 mengingatkan kita akan pentingnya merawat anak yatim, memberikan alternatif etis bagi pasangan Kristen. Organisasi seperti Christian Medical and Dental Associations (CMDA) telah mengembangkan panduan etis yang membantu profesional medis Kristen menavigasi isu ini dengan integritas iman. Aborsi: Perlindungan Kehidupan yang Paling Rapuh Kontroversi aborsi mungkin merupakan isu bioetika yang paling memecah belah dalam masyarakat modern. Bagi orang Kristen, posisi ini relatif jelas namun implementasinya seringkali rumit. Alkitab secara konsisten menegaskan perlindungan terhadap kehidupan yang tak bersalah. Keluaran 20:13—jangan membunuh—berlaku bahkan untuk kehidupan yang belum lahir. Mazmur 139:13-16 menunjukkan keterlibatan pribadi Allah dalam pembentukan janin di rahim, sementara Yeremia 1:5 menyatakan bahwa Allah mengenal dan menguduskan nabi bahkan sebelum ia terbentuk dalam rahim. Namun, respons Kristen terhadap isu ini tidak berhenti pada sikap atau pandangan politik saja ( pro life  atau pro choice ), sebagai orang Kristen kita ditantang berjalan satu mil lebih lagi untuk mengatasi isu ini, beberapa upaya yang telah dilakukan antara lain : Memberikan dukungan holistik  bagi wanita yang menghadap kehamilan yang tidak direncanakan Menawarkan alternatif konkret  melalui pusat kehamilan dan program adopsi Menyembuhkan luka  bagi mereka yang telah melakukan aborsi melalui pelayanan pemulihan Dr. Kathi A. Ault, seorang obgyn Kristen, menekankan: "Kita tidak bisa hanya mengatakan 'jangan melakukan aborsi' tanpa menawarkan bantuan nyata bagi wanita yang merasa tidak memiliki pilihan lain. Ini adalah komponen penting dari pro-life ethic yang holistik." Euthanasia dan Akhir Hayat: Dignitas dalam Penderitaan Dengan populasi yang menua dan kemajuan medis yang memperpanjang hidup, isu euthanasia  dan physician-assisted suicide  menjadi semakin relevan. Seperti yang dilaporkan oleh World Health Organization , negara-negara yang melegalkan euthanasia menunjukkan peningkatan signifikan dalam kasus yang dilaporkan selama dekade terakhir. Perspektif Kristen menyajikan pandangan yang berbeda tentang penderitaan dan kematian. Daripada menghindari penderitaan melalui pengakhiran hidup, iman Kristen menawarkan: Redemptive suffering : 2 Korintus 4:17-18 menunjukkan bahwa penderitaan sementara ini menghasilkan kemuliaan kekal Community care   : Gereja diminta untuk menggendong yang lemah (Galatia 6:2), bukan membiarkan mereka mati sendirian Hope beyond death : Kebangkitan Kristus memberikan harapan yang melampaui kondisi fisik saat ini Dr. Margaret Cottle, seorang anesthesiologist asal Kanada yang aktif dalam debat euthanasia, berbagi: "Saya telah merawat banyak pasien terminal, dan saya selalu terkesan bagaimana komunitas iman dapat mengubah pengalaman akhir hidup dari proses yang menakutkan menjadi transisi yang damai dan bermakna." (lanjut bagian kedua) Referensi Christian Medical Fellowship. (2024). Christian Ethics in Modern Medicine . London: CMF Publications. John Stott. (2022). The Cross of Christ and Medical Ethics . Downers Grove: IVP Academic. International Christian Medical and Dental Association. (2023). Global Health Ethics: A Christian Perspective . ICMDA Report. Patrick, J. (2023). "Imago Dei and Medical Practice." Journal of Christian Medicine  45(2): 112-128. Sulmasy, D. P. (2021). The Reconstructible Christian: Moral Reflection and Medicine . Oxford: Oxford University Press. Tournier, P. (2022). The Meaning of Persons . New York: HarperCollins. World Health Organization. (2023). Global Report on Assisted Reproductive Technology . Geneva: WHO Press. Zylstra, R. (2022). Bioethics: A Christian Approach in a Pluralistic Age . Grand Rapids: Eerdmans.

  • Panggilan Menjadi Seorang Ayah

    “Pa, aku sudah cerita dua dari lima rahasiaku saat ini”. Demikian petikan percakapan malam hari menjelang tidur antara saya dan anak sulung kami yang menginjak usia remaja. Situasi ini mengingatkan saya beberapa tahun silam ketika kami mulai belajar sebuah buku dalam kelompok parenting . Buku ini meletakkan “mandat untuk ayah” di bab awal bagi pembacanya. 1  Masih jelas di ingatan dalam diskusi kami saat itu betapa pentingnya peran dan tanggung jawab ayah dalam pertumbuhan si kecil. Begitu banyak studi yang menggambarkan betapa pentingnya hubungan ayah dan anak dalam membentuk kehidupan bermasyarakat, bahkan berbangsa! Ya, sebesar itu pengaruhnya, hai para ayah. Bagaimana hubungan tersebut dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental, isu sosiokultural, prestasi dan gratifikasi, bahkan hingga menyentuh kehidupan spiritual (doa, kehadiran dalam gereja, dan kesetiaan membaca Kitab Suci). 2  Apakah peran ibu menjadi tidak penting? Dalam banyak kasus sepertinya karena justru ibu telah ada di sana melakukan peran mengasuh anak; maka ibu dianggap lebih mudah untuk diakses oleh anak baik dalam hal komunikasi maupun penerimaan. Sedangkan para ayah bergumul bagaimana mereka dapat membangun hubungan dengan anak-anak mereka, hubungan yang dilandasi saling percaya.   Saat anak sulung kami mempercayakan rahasianya kepada saya, begitu melegakan momen tersebut bagi saya. Walaupun dua dari lima rahasia secara statistik masih belum memuaskan, namun kami melihat anugerah Allah ada di sana. Adalah benar bahwa membangun kepercayaan dalam hubungan tidak mungkin dapat dikerjakan dalam semalam. Hal ini memerlukan investasi waktu dan upaya, sekaligus membutuhkan karya Allah melalui perenungan dan ketaatan kepada Firman Tuhan (Yohanes 17:17) dan doa (Matius 7:11). Hal ini berlaku bagi kita sebagai ayah dan anak kita (termasuk ibu tentu saja). Parenting  merupakan jalur dua arah: kita menajamkan anak-anak kita (Mazmur 127:4), di saat bersamaan, mereka telah membentuk kita (Amsal 27:17). Mari perhatikan masa yang dinamakan periode Jendela yang Terbuka  (rasanya ini mirip dengan golden period  yang kita kenal di bangku kuliah), sebuah masa di mana anak kita sedang membuka diri dan mengundang kita masuk ke dalam kehidupan pribadinya. Berikanlah hati dan pikiran kita untuk mulai mendengar apa yang menjadi kegelisahan serta pergumulan hidupnya. Mungkin kadang akan terdengar sepele. Namun, itulah seluruh hidupnya, seluruh kepercayaan dan keyakinannya. Yakinilah bahwa seiring ia beranjak dewasa, apa yang dibagikannya akan semakin signifikan bagi perjalanan hidupnya, baik itu rencana, pilihan hidup, bahkan imannya. Berikanlah kesempatan untuk ia menceritakan kegagalan, keteledoran, kealpaan, dan kebodohannya. Bagikanlah pengalaman kita yang serupa saat kita seusianya; bagaimana kita pernah gagal, bagaimana kita bergumul dengan Firman, serta bagaimana anugerah Tuhan menopang kita di saat seperti itu. Masih segar dalam ingatan saya ketika ayah saya mengirimkan secarik kertas (walaupun teknologi email sudah dipakai) yang berisi nasihat ketika saya pertama kali merantau. Masih ada penggalan kalimat yang sangat relevan dengan pergumulan saya bahkan sampai saat ini. Di dalam suratnya ia menuliskan dengan jujur bahwa tidak selamanya ia bisa bersama saya. Namun, ia mengingatkan kepada Siapa kita bersandar, yaitu kepada Pribadi yang setia dan sanggup bertanggung jawab akan hidup anak-anak-Nya. Apakah kita mampu hadir dalam setiap tahapan hidup anak kita? Saya yakin kita sepakat menjawab tidak dan memang tidak akan mungkin. Allah yang memanggil kita dalam peran sebagai ayah telah memberikan pola hubungan diri-Nya sebagai Bapa yang mengasihi Anak-Nya yang tunggal yaitu Yesus Kristus (Matius 3:17), sekaligus Bapa yang memberikan terbaik bagi anak-anak-Nya 3  (Matius 7:11, Yakobus 1:17). Bukankah ini memberikan harapan bagi kita yang sering kali merasa gentar dan tak berdaya menjalani panggilan ini? Pengertian ini meneguhkan dan memampukan kita, bahwa bahkan meskipun kita tidak memiliki figur ayah yang dapat diteladani, ketiadaan petunjuk bagaimana seharusnya menjadi seorang ayah, termasuk kegagalan kita menjadi ayah di masa lampau atau saat ini, Bapa di surga telah menyatakannya di dalam Alkitab. Dialah yang menjadi ayah yang sejati bagi anak-anak kita, bahkan di kala kita tidak dapat mendampingi mereka. Kiranya anak-anak kita mengalami dan menikmati perjumpaan dengan Pribadi Bapa yang sempurna yang melindungi dan memelihara anak-anak-Nya. Dengan segala pemahaman yang telah kita terima tersebut, panggilan yang sedemikian agung tetap diletakkan di pundak kita para ayah, panggilan untuk menjadi serupa dengan Bapa di surga (Matius 5:48). Panggilan mulia ini mengindikasikan perlunya pengenalan akan Allah yang memanggil. Jika tanpa pengenalan akan Allah, maka kita hanya akan berkeliling tanpa arah dan membawa anak-anak kita kepada kebingungan identitas diri, menyerah kepada tekanan relasi pertemanan, hingga menafikan otoritas Firman dalam hidup mereka. Inilah semangat zaman yang melawan Allah. Kiranya Allah berbelas kasih dan beranugerah bagi banyak keluarga Kristen di tengah arus zaman yang sedemikian. Kiranya makin banyak ayah yang merindukan dan menjadi seperti yang Allah inginkan dalam menjalankan peran mereka di dalam keluarga. Akhirnya, dengan rendah hati, mari kita mengingat bahwa kasih Kristus kepada jemaat menggambarkan kasih suami yang seharusnya kepada istri (sebuah poin penting yaitu kepercayaan anak kepada ayahnya ternyata dipengaruhi oleh perilaku ayah kepada ibu mereka), serta bagaimana seharusnya para ayah membesarkan anak-anak dengan disiplin dan pengajaran akan Firman Tuhan (Efesus 6:4). Betapa bagian ini menegaskan bahwa sumber kekuatan kita adalah di dalam Kristus dan Firman-Nya. Kebenaran Kristus diperhitungkan kepada kita orang percaya, ini bukan hasil usaha manusia melainkan hasil kasih karunia oleh iman kepada-Nya (Filipi 3:9). Alkitab menegaskan bahwa Tuhan memakai keluarga Kristen sebagai pembawa pesan bagi dunia tentang bagaimana hubungan Allah dan umat-Nya. Sebuah kehormatan dan tanggung jawab yang besar bagi kita para ayah untuk menjadi serupa Kristus yang adalah mempelai pria bagi gereja-Nya. Kiranya Allah memimpin dan menopang kita dalam menjalankan panggilan menjadi seorang ayah. Soli Deo Gloria. Referensi: Growing Kids God’s Way.  Gary & Anne Marie Ezzo. 2001 Sacred Parenting.  Gary L. Thomas. 2004 The Father Connection.  Josh Mc Dowell. 2009

  • Berani Gunakan Kesempatan yang Tuhan Buka

    " Membangun Pelayanan Bertahan dalam Berbagai Ancaman " (bagian kedua) “Ketika Anda menyerang dengan baik, Anda akan bertahan dengan baik. Kami bertahan 40 m dari gawang, kami ingin bermain dengan cara tersebut. Saya selalu percaya ketika bola jauh dari gawang, kami aman,” kata Pep Guardiola, pelatih Manchester City, ketika tim asuhannya itu berhasil mengamankan babak semifinal FA CUP tahun 2017. Dalam tulisan bagian pertama, kita telah belajar dari Daniel 1 cara pertama bagaimana kita dapat membangun pelayanan yang bertahan dalam berbagai ancaman yaitu dengan berani tidak kompromi karena meyakini Allah berdaulat penuh. Lalu apa lagi yang Allah kehendaki kita lakukan? Saya setuju dengan pernyataan Pep Guardiola. Ketika kita menyerang dengan baik, kita akan bertahan dengan baik. Ini cara kedua bagaimana kita dapat membangun pelayanan yang bertahan dalam ancaman. Bukankah kita yakin, dan banyak kali juga alami, bahwa Tuhan berdaulat penuh? Ini seharusnya mendorong kita untuk berani “ menyerang ”. Berani menggunakan setiap kesempatan yang Tuhan buka bagi kita untuk hadirkan Kerajaan-Nya, di tiap tempat di mana Dia telah tempatkan kita. Ini dapat kita lihat dalam bagian-bagian selanjutnya dari kitab Daniel. Dalam Daniel pasal 1 dapat dikatakan Daniel, Hananya, Misael dan Azarya hanya bertahan menghadapi serangan-serangan musuh berupa tindakan isolasi, indoktrinasi, asimilasi dan disorientasi. Tetapi dalam pasal 2 hingga 6, narator menceritakan bagaimana ketika Tuhan membuka kesempatan, maka keempat pemuda umat-Nya itu melakukan serangan balik dan mencetak skor gemilang, yang kian menampakkan kedaulatan Allah yang terus menghadirkan Kerajaan-Nya di tengah dunia. Raja-raja dunia dan kerajaan-kerajaan dunia kalah. Tuhan dan Kerajaan-Nya adalah sang juaranya. Dalam Daniel 2, narator menceritakan bagaimana Tuhan membuka kesempatan dengan memberikan sebuah mimpi  kepada raja Nebukadnezar. Mimpi itu membuat dia sangat tertekan dan alami insomnia (2:1). Pada masa itu, sebuah mimpi dianggap sesuatu yang sangat penting, sebab merupakan sarana para dewa-dewi memberikan petunjuk tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Karena itu, ia meminta para pakar andalannya, yaitu “ orang-orang berilmu, ahli jampi, ahli sihir dan pada Kasdim ” untuk memberitahukan apa mimpinya dan artinya (2:2-3). Bila tidak dapat, maka mereka akan dipenggal dan rumah mereka akan dihancurkan (2:5). Tapi mereka tak berdaya untuk menolong raja kerajaan terbesar di dunia itu (2:10-11). Maka Nebukadnezar jadi geram dan murka, serta memerintahkan agar semua orang berilmu di Babel dieksekusi seperti yang sudah ia titahkan. Dan ini berarti termasuk Daniel dan Kawan-kawannya. Ariokh, Komandan pengawal raja, datang untuk mengeksekusi Daniel dan 3 orang kawannya. Dengan berani dan bijak, Daniel mengajukan pertanyaan kepada sang komandan, “Why is the decree from the king so urgent?”  (NET, 2:15). Ariokh memberitahukan mengapa. Mendengar itu, Daniel pergi menghadap raja dan meminta diberi waktu guna dapat memberitahu mimpi raja serta maknanya (2:16). Padahal raja telah murka karena memandang orang-orang Kasdim telah coba mengulur-ngulur waktu dalam memberitahu mimpinya serta maknanya (2:8). Keren! Daniel, seorang pemuda, seorang buangan, seorang yang masuk dalam daftar eksekusi raja kafir yang kejam, bertindak penuh iman dan berani. Dengan penuh iman pula, Daniel, bersama Hananya, Misael dan Azarya, berdoa memohon belas kasihan Allah Semesta Langit mengenai mimpi raja dan artinya, agar mereka, dan juga orang-orang berilmu yang lain di Babel tidak dieksekusi (2:17). Sesudah itu, Daniel dan kawan-kawan mengambil satu tindakan penuh iman dan berani, yaitu: tidur. Dan Tuhan pun berkenan menyingkapkan mimpi Nebukadnezar serta artinya dalam suatu penglihatan di saat ia tidur itu (2:19). Lalu Daniel memuji Allah Semesta Langit, yang telah memberikan dia “ wisdom and power ” (NET), dan memberitahukan kepadanya mimpi Nebukadnezar serta maknanya (2:20-23). Kemudian ia pergi kepada Ariokh, meminta agar orang-orang berilmu jangan dieksekusi, dan membawa dia kepada raja untuk memberitahukan mimpinya serta maknanya (2:24-25). Ketika raja Nebukadnezar bertanya ”Sanggupkah engkau memberitahukan kepadaku mimpi yang telah kulihat itu dengan maknanya juga?”  Daniel menjawab, ” Rahasia, yang ditanyakan tuanku raja, tidaklah dapat diberitahukan kepada raja oleh orang bijaksana, ahli jampi, orang berilmu atau ahli nujum . Tetapi   di sorga ada Allah yang menyingkapkan rahasia-rahasi a; Ia telah memberitahukan kepada tuanku raja Nebukadnezar apa yang akan terjadi pada hari-hari yang akan datang .” (2:26-28). Keren! Pemuda Israel itu menggunakan kesempatan itu untuk menyatakan kemahakuasaan Tuhan kepada raja negeri kafir itu. Dalam mimpinya Nebukadnezar melihat sebuah patung yang amat besar, berkilauan dan menakutkan. Kepala patung itu dari emas murni, dada dan lengannya dari perak, perut dan pinggangnya dari tembaga, pahanya dari besi, dan sebagian kakinya dari besi, sebagian lagi dari tanah liat. Lalu sebuah batu terpotong tanpa perbuatan manusia, dan jatuh menimpa patung itu hingga remuk serta hilang lenyap ditiup angin laksana sekam ditiup angin. Sedangkan batu yang menimpa patung itu menjadi gunung besar yang memenuhi seluruh bumi (2:31-35). Dengan berani pula Daniel menyatakan bahwa kepala patung yang dari emas itu adalah raja Nebukadnezar. Dia bisa berkuasa adalah karena Allah Semesta Langit memberikan kerajaan, kekuasaan, kekuatan dan kemuliaan. Allah juga telah menentukan batas-batas kekuasaannya. Sesudah kerajaan Babel berjaya, akan muncul empat kerajaan lain, yang kekuatannya makin lebih kecil. Tetapi semuanya bernasib sama: akan hancur diremukkan oleh batu yang menimpa mereka. Dan batu itu adalah Kerajaan Allah (dengan Kristus sebagai Sang Raja, bila kita melihat bagian-bagian lain Alkitab) yang tidak akan akan binasa sampai selama-lamanya, dan kekuasaannya tidak akan beralih kepada yang lain (2:36-45). Keren! Seorang pemuda yang berani mengambil kesempatan yang Tuhan buka, telah dipakai Tuhan untuk nyatakan kemahakuasaan-Nya serta rencana-Nya hadirkan Kerajaan-nya yang kekal. Dan itu membuat Nebukadnezar berkata, ” Sesungguhnyalah, Allahmu itu Allah yang mengatasi segala allah dan Yang berkuasa atas segala raj a, dan Yang menyingkapkan rahasia-rahasia , sebab engkau telah dapat menyingkapkan rahasia itu”  (2:47). Sayangnya, dia belum mau menyembah Allah. Dia hanya sujud menyembah dan mempersembahkan korban serta wangi-wangian kepada Daniel (2:46). Bila kita masuk ke dalam Daniel 3, kita kembali melihat Tuhan membuka sebuah kesempatan. Kali ini bagi Hananya, Misael dan Azarya. Raja Nebukadnezar membangun patung setinggi 27,4 meter, yang dari kepala hingga kaki terbuat dari emas. Kemungkinan ini adalah patung dirinya, dan merupakan responnya terhadap pernyataan Tuhan dalam mimpinya di Daniel 2. Tampaknya dia hendak menyatakan, “ Engkau bilang kekuasaanku hanya sementara saja? Tidak. Aku akan berkuasa selamanya. Ini tandanya: patungku kubuat seluruhnya dari emas, dan lihatlah para penguasa serta orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa, semuanya sujud menyembahnya. Sujud menyembah aku!”  Semuanya? Tidak semua. Hananya, Misael dan Azarya, tidak sujud menyembah! Meskipun diancam dilemparkan ke tanur tempat peleburan logam!  Nebukadnezar murka, dan secara langsung mengancam melemparkan trio pemuda Israel itu ke dalam tanur peleburan logam jika tidak mau menyembah patungnya itu. Ia juga menantang dan merendahkan Allah, dengan berkata,”  “ Emangnya Allah-mu itu sungguh-sungguh ada dan sanggup lepaskan kalian dari tanganku? ” (parafrase 3:16). Hananya, Misael dan Azarya melihat ini sebagai kesempatan yang Tuhan buka untuk menyatakan siapa Dia dan iman mereka kepada-Nya. Kepada Nebukadnezar, dengan didengar orang-orang Kasdim serta sekalian orang dari segala bangsa, suku dan bahasa yang telah memilih menyembah patung raja itu, mereka berkata:  “We do not need to give you a reply concerning this. If our God whom we are serving exists, he is able to rescue us from the furnace of blazing fire, and he will rescue us, O king, from your power as well. But if not, let it be known to you, O king, that we donʼt serve your gods, and we will not pay homage to the golden statue that you have erected.” (3:16-18, NET).   Kami percaya Allah kami ada. Kami percaya Dia sanggup serta mau selamatkan kami. Kami serahkan keselamatan kami pada rencana providensia-Nya, sebab kami takut karena hormat kepada-Nya. Kami telah dan tetap akan takut kepada Allah kami. Bukan kepadamu atau lainnya. Untuk hal ini, kami bersedia mati bagi DIA. Inilah pilihan kami. Ini kesaksian kami.  Dan Tuhan berkenan akan keberanian mereka menggunakan kesempatan yang Ia buka itu. Dia mengonfirmasi kesaksian mereka. Meski dilemparkan ke tanur yang bernyala-nyala, mereka tidak terbakar, sedangkan prajurit-prajurit Babel yang melemparkan mereka itu mati terbakar (3:19-23). Bahkan Dia hadir dan berjalan-jalan bersama mereka di tengah tanur yang bernyala-nyala itu (3:24-25). Sehingga Nebukadnezar mengaku, ” Terpujilah Allahnya Sadrakh, Mesakh dan Abednego!  Ia telah mengutus malaikat-Nya dan melepaskan hamba-hamba-Nya, yang telah menaruh percaya kepada-Nya, dan melanggar titah raja, dan yang menyerahkan tubuh mereka, karena mereka tidak mau memuja dan menyembah allah mana pun kecuali Allah mereka . Sebab itu aku mengeluarkan perintah , bahwa setiap orang  dari bangsa, suku bangsa atau bahasa mana pun ia, yang mengucapkan penghinaan terhadap Allahnya Sadrakh, Mesakh dan Abednego , akan dipenggal-penggal dan rumahnya akan dirobohkan menjadi timbunan puing , karena tidak ada allah lain yang dapat melepaskan secara demikian itu ” (3:28-29). Sayangnya, dia hanya mau mengakui Allah sebagai “ Allahnya Sadrakh, Mesakh dan Abednego ”, bukan sebagai “ Allah-ku ”.  Namun Allah tidak berhenti sampai di situ. Ia terus berusaha menjangkau Nebukadnezar dengan anugerah-Nya. Karena itu, dalam Daniel 4, kita melihat kembali Ia membuka kesempatan bagi Daniel untuk beraksi. Dia kembali memberikan sebuah mimpi bagi Nebukadnezar. Kembali Nebukadnezar jadi gelisah luar biasa. Kembali ia meminta orang-orang berilmu, ahli jampi, para Kasdim dan ahli nujum memberitahukan arti mimpinya. Kembali orang-orang yang diandalkannya itu tak dapat memberitahukan arti mimpinya. Kembali dia terpaksa berpaling kepada Daniel untuk menerangkan arti mimpinya (4:1-9). Ia bermimpi melihat di tengah bumi ada sebuah pohon yang tinggi, dan yang bertambah besar serta kuat, hingga terlihat dari ujung-ujung bumi. Daun-daunnya indah dan buah-buahnya berlimpah, menjadi makanan bagi semua yang hidup. Di bawahnya binatang-binatang bernaung dan di dahan-dahannya bersarang burung-burung. Lalu seorang penjaga kudus turun dari langit dan memerintahkan agar pohon itu ditebang, hingga tak lagi jadi tempat hidup banyak mahluk. Tetapi tunggul pohon itu tetap dibiarkan ada dan dilindungi dengan rantai besi serta tembaga. Tunggul itu dibiarkan dibasahi embun dari langit, dan bersama-sama binatang-binatang, makan rumput. Hati manusianya berubah menjadi hati Binatang. Demikian berlaku selama tujuh masa. Dan itu terjadi supaya orang-orang yang hidup tahu, bahwa Yang Mahatinggi berkuasa atas kerajaan manusia dan memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, bahkan orang yang paling kecil sekalipun dapat diangkat-Nya untuk kedudukan itu (4:10-17).  Dengan berani dan penuh hikmat Daniel menerangkan bahwa pohon itu adalah Nebudkanezar sendiri. Mimpi itu akan dialami oleh Nebukadnezar, supaya dia mengakui bahwa Yang Mahatinggi berkuasa atas kerajaan manusia dan memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya (4:19-25). Daniel juga memakai kesempatan itu untuk menasehati raja kafir itu agar bertobat, meninggalkan dosa-dosa, dengan berlaku adil dan menunjukkan belas kasihan kepada orang yang tertindas (4:27). Keren! Daniel dengan berani berkata demikian kepada seorang penguasa dunia yang terus-menerus melawan Allah, serta biasa berlaku tak adil dan kejam. Tuhan kembali berkenan atas Daniel yang berani menggunakan kesempatan yang Ia buka itu. Nebukadnezar benar-benar alami apa yang dinubuatkan dalam mimpi itu. Ia dihalau dari antara manusia dan makan rumput seperti lembu, tubuhnya basah oleh embun, sampai rambutnya menjadi panjang seperti bulu rajawali dan kukunya seperti kuku burung (4:33). Setelah tujuh masa berlalu, dan Nebukadnezar menengadah ke langit, mengakui Yang Mahatinggi, maka akal budinya kembali. Para Menteri dan pembesar menjemput dia, serta mengembalikan kerajaan kepadanya. Hingga dia berkata, ” Jadi sekarang aku, Nebukadnezar, memuji, meninggikan dan memuliakan Raja Sorga , yang segala perbuatan-Nya adalah benar   dan jalan-jalan-Nya adalah adil , dan yang sanggup merendahkan mereka yang berlaku congkak ” (4:37). Dia akhirnya percaya dan menyembah Tuhan.  Mari lanjut ke dalam Daniel 5. Sudah 20 tahun lamanya Daniel tersingkirkan dari ring 1 kerajaan Babel. Dia tak lagi menjadi penguasa tertinggi di bawah raja. Nebukadnezar telah mati, dan digantikan oleh anaknya Nabopolasar. Kemudian karena ketidakmampuan Nabopolasar memimpin, maka anaknya, yaitu Belsyazar, naik tahta memerintah bersamanya. Dalam masa pemerintahan ini, Tuhan kembali membuka kesempatan bagi Daniel untuk menjadi alat-Nya. Suatu hari Belsyazar mengadakan perjamuan besar untuk para pembesarnya. Ketika mabuk oleh anggur, ia memerintahkan agar perkakas-perkakas emas dan perak Bait Allah, yang dulu dirampas oleh Nebukadnezar, dipakai untuk minum oleh dia, para pembesarnya, serta para istri dan gundiknya, sambil memuji-muji dewa-dewi mereka (5:1-4). Ini suatu penghinaan besar bagi Allah. Allah tak tinggal diam. Maka tampaklah jari-jari tangan manusia menulis pada kapur dinding istana. Belsyazar jadi ketakutan, pucat pasi dan gelisah, hingga gemetar serta tak kuat berdiri. Kembali para ahli jampi, para Kasdim dan para ahli nujum dipanggil menghadap dan diminta membaca dan mengartikan tulisan di dinding itu, dengan iming-iming hadiah jubah kain ungu, kalung rantai emas, serta akan dijadikan “ orang ketiga ”, memerintah bersama Nabopolasar dan Belsyazar. Tapi mereka yang sanggup. Raja itu pun menjadi kian cemas dan pucat (5:5-9). Mendengar itu, ibu suri masuk dan menyarankan agar Belsyazar memanggil Daniel, untuk membaca dan menerangkan arti tulisan itu. Maka Daniel pun dipanggil. Meski sudah tersingkirkan dari ring 1 selama 20 tahun, Daniel tetap berani menggunakan kesempatan yang Tuhan buka. Dia memulai dengan tegas menolak iming-iming hadiah yang ditawarkan Belsyazar, tanda ia tahu bahwa kesempatan telah Tuhan buka bukan untuk dia dapat keuntungan pribadi, tetapi untuk dia dapat jalankan misi-Nya di Babel. Lalu dia lanjut dengan menjelaskan bahwa tulisan di dinding itu Tuhan tampilkan sebab Belsyazar telah meninggikan diri di hadapan Tuhan, Sang Pemberi Kekuasaan. Belsyazar juga tak belajar dari kakeknya, yaitu Nebukadnezar, yang pernah meninggikan diri sedemikian rupa, hingga direndahkan sedemikian rupa oleh Allah. Tulisan di dinding itu, “ Mene, mene, tekel ufarsin ”, artinya pemerintahan Belsyazar telah dihitung dan diakhiri oleh Allah, sebab telah ditimbang dengan neraca dan didapati terlalu ringan, tidak sesuai standar Allah. Dan karena itu kerajaannya diberikan kepada orang Media Persia (5:17-28). Keren! Daniel, yang sudah disingkirkan dari ring 1 selama 20 tahun, berani tampil dan menyatakan pesan Allah kepada seorang raja kafir yang berani rendahkan Allah.   Dan Allah berkenan atas Daniel yang berani menggunakan kesempatan yang Ia buka itu. Pada malam itu juga, pasukan kerajaan Media Persia berhasil menyusup masuk dan menaklukkan kerajaan Babel. Belsyazar terbunuh. Dan Darius, orang Media, naik tahta (5:30-6:1). Daniel dipakai-Nya untuk menyatakan pada dunia, bahwa kalau Babel dikalahkan Media Persia, itu karena Dia bekerja genapi rencana-Nya, hadirkan Kerajaan-Nya, seperti yang sudah disampaikan dalam mimpi yang Ia berikan kepada Nebukadnezar. Terakhir, lihat Daniel 6. Daniel telah berusia sekitar 80 tahun-an. Tuhan kembali buka kesempatan untuk berkarya dan bersaksi tentang Dia, dalam sebuah kerajaan baru, kerajaan Media Persia, dengan seorang rajanya yang baru, raja Darius. Daniel tak sia-siakan kesempatan itu. Dia terpilih jadi salah satu dari “ tiga pejabat tinggi ”, yang membawahi “ seratus dua puluh wakil-wakil raja ” agar “ raja jangan dirugikan ” (6:1-3). Daniel raih prestasi tinggi serta integritas tinggi, sehingga Darius hendak mengangkatnya menjadi pejabat tertinggi yang membawahi seluruh kerajaan (6:4). Saat kedua “ pejabat tinggi ” dan para “ wakil-wakil raja ” jadi iri dan hendak menjatuhkan dia dengan perangkap kebiasaannya berdoa kepada Tuhan, Daniel memakainya sebagai kesempatan untuk menyaksikan siapa Tuhan dan imannya kepada-Nya. Serupa dengan ketiga orang sahabatnya di waktu muda saat dipaksa menyembah patung emas Nebukadzar atau dilemparkan ke tanur yang menyala-nyala, Daniel tua meski hanya seorang diri berhadapan dengan singa-singa dalam gua, berani menyatakan bahwa Tuhan adalah Allah yang berkuasa, dan dia siap jadi korban untuk nyatakan itu. Demikianlah saudaraku, kehendak Tuhan bagi kita yang disampaikan lewat teladan Daniel, Hananya, Misael dan Azarya. Karena itu, marilah kita menyerang dengan baik, agar dapat bertahan dengan baik dalam menghadapi setiap ancaman di pelayanan kita. Entah kita masih muda, atau sudah memasuki usia tua. Entah kita belum masuk ring 1, sudah di dalam ring 1, ataupun telah sempat dikeluarkan dari ring 1. Entah berhadapan dengan tanur api yang bernyala-nyala, maupun berhadapan dengan gua penuh singa. Mari berani gunakan setiap kesempatan yang Tuhan buka, agar kita dapat saksikan siapa Dia dan iman kita kepada-Nya. Dan banyak orang akhirnya berkata, “ Jadi, sekarang aku, … memuji dan meninggikan dan memuliakan Raja Sorga, yang segala perbuatan-Nya adalah benar dan jalan-jalan-Nya adalah adil, dan yang sanggup merendahkan mereka yang berlaku congkak .”

  • Integritas Hidup

    Integritas menurut KBBI edisi keempat (2008) adalah mutu, sifat, atau keadaan yang enunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan. Menjadi seorang yang berintegritas berarti menjadi seorang paripurna atau utuh dalam berbagai aspek hidupnya, luar-dalam, kata-perbuatan, serta pikiran-tindakan yang serasi dan selaras. Di Alkitab istilah integritas tidak muncul, tetapi dipakai kata-kata seperti kejujuran (Mzm.25:21; Ams. 2:9; Yes.11:4; Mal.2:6; Mark.12:14) dan ketulusan (Mzm. 25:21;26:1, 11; 41:13; Ams. 11:3; 14:32; 2 Kor.1:12). Jujur dimengerti sebagai keserasian kata dengan perbuatan/fakta. Tulus adalah keserasian hati dengan kata dan perbuatan (Ams. 23:7). Berliku-liku jalan si penipu, tetapi orang yang jujur lurus perbuatannya (Ams. 21:8). Orang yang jujur tidak menyembunyikan kenyataan sehingga orang lain memercayai apa yang dia katakan sebagai kebenaran. Sebaliknya orang yang berwatak penipu, apa yang dia katakan tidak dapat dipegang, selalu ada alasan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. Bibir yang benar dikenan raja, dan orang yang berbicara jujur dikasihi-Nya (Ams. 16:10). Kejujuran merupakan faktor utama kepercayaan dan penghargaan orang lain, terutama pimpinan kita terhadap diri kita. ... orang jujurlah akan mendiami tanah, dan orang yang tak bercelalah yang akan tetap tinggal di situ (Ams. 2:21). Bagaimana menjalani hidup yang berintegritas? Mempertahankan hidup yang tidak bercela, penuh integritas dan berani tampil beda di tengah manusia, dunia yang korup atau sistem yang sudah rusak oleh dosa tidaklah mudah. Tidak sedikit orang yang akhirnya terseret mengikuti arus dunia sehingga menjadi orang yang gagap atau hidup menurut kelakuan orang fasik. Ted W. Engstrom, seorang pengarang Kristen menulis bahwa orang-orang yang mempunyai integritas sangat dibutuhkan: Dunia Membutuhkan Orang-Orang** yang tidak bisa dibeli: yang perkataan-perkataannya bisa diandalkan; yang lebih menghargai karakter dari pada kekayaan yang mempunyai pendapat sendiri dan berkemauan keras; yang lebih besar dari jabatannya; yang tidak gentar untuk mengambil risiko; yang tidak kehilangan individualitasnya dalam kumpulan massa; yang jujur terhadap soal-soal yang kecil maupun yang besar; yang tidak mengadakan kompromi dengan yang jahat; yang tidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri; yang tidak mengatakan bahwa mereka melakukan sesuatu, karena "tiap orang melakukannya" yang setia kepada kawan-kawannya dalam keadaan susah dan senang; yang tidak percaya bahwa kelicikan, keras kepala, dan tipu muslihat adalah cara-cara untuk mencapai sukses; yang tidak malu atau takut untuk berpegang pada kebenaran meskipun tidak populer, dan yang dapat berkata "tidak" dengan tegas, meskipun seluruh dunia berkata "ya"... Orang mempunyai integritas seperti itu kalau hati nuraninya senada dengan kehendak Allah. Persekutuan yang setia dengan Tuhan - memberi integritas kepada sikap dan kelakuannya. Ia tidak munafik. Sikap lahiriah yang kelihatan sama dengan sikap batiniah yang tidak kelihatan. Ia yakin bahwa yang terpenting dalam kehidupannya bukan pendapat orang lain, tetapi hubungannya dengan Tuhan Allah. *Ditulis kembali berdasarkan wawancara dengan dr. Merki Rundengan **Terjemahan oleh D. Susilaradeya dalam buku Hai Pemuda, Pilihlah!; BPK GM; hal. 82. /tp

  • Berani Tidak Kompromi Karena Yakin Allah Berdaulat Penuh

    "Membangun Pelayanan Bertahan dalam Berbagai Ancaman" Bagian 1 “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” (Yohanes 16:33b) Demikian pesan Yesus kepada murid-muridnya di penghujung serangkaian nasehat-Nya agar mereka bertekun ketika nanti Dia telah tunaikan misi dan kembali bertahta. Bagaimana wujud nyata penerapannya dalam mengerjakan panggilan pelayanan yang Tuhan berikan pada kita dengan berbagai ancaman yang ada? Saya melihat Tuhan memberikannya dalam kitab Daniel. Mari lihat apa dinyatakan dalam Daniel 1. Empat pemuda Israel, yaitu Daniel, Hananya, Misael dan Azarya, menghadapi serangkaian ancaman besar. Nebukadnezar, raja Babel yang kejam dan telah mengalahkan banyak kerajaan, kini telah menyerang kerajaan Yehuda. Yerusalem dihancurkan, Bait Allah dijarah, dibakar dan perkakas-perkakasnya diboyong serta diletakan sebagai trofi kemenangan rumah dewa Babel. Kemungkinan dewa Marduk, yang adalah dewa utama Babel. Ini cara Babel untuk menyatakan, “Dewa kami lebih baik dan lebih kuat daripada Allah-mu, hai orang Israel . ” Kita pun seringkali menghadapi serangan-serangan serupa, dalam beragam bentuknya, yang coba meluluhlantakkan iman kita akan kuasa Allah kita. Semuanya itu masih ditambah beberapa ancaman lagi. Yang pertama, Isolasi (Dan. 1:3). Dengan ditawan dan dibuang ke Babel, empat pemuda Israel itu dipisahkan dari Tanah Perjanjian, keluarga serta komunitas mereka. Ini mengguncangkan dan menghancurleburkan dunia mereka. Membuat mereka sangat terisolasi dari apa yang familiar,  serta sangat rentan terhadap nilai-nilai dunia kafir yang akan mereka hadapi. Pada masa kini pun, orang-orang dunia ini dengan berbagai strateginya coba mengisolasi kita dari Tuhan, firman-Nya, serta  umat-Nya, agar kita jadi sangat rentan terhadap cara pandang serta budaya mereka. Yang kedua, Indoktrinasi  (Dan. 1:4). Keempat pemuda Israel itu dimasukkan dalam pendidikan di Universitas Negeri Babel, yang akan memberikan mereka pendidikan sekuler dalam bahasa, filsafat, literatur, sains, sejarah dan astrologi Babel. Kepercayaan Babel juga merupakan bagian dari kurikulumnya, demikian pula mitologi, kebesaran dewa Marduk dan kumpulan dewa-dewa dunia timur kuno. Interpretasi mimpi dan pertanda-pertanda gaib termasuk muatan wajibnya.  Jelas indoktrinasi ini juga telah dan terus mengancam kita, lewat pendidikan formal, diklat pelatihan, seminar, film, musik, buku, dan beragam sosial media. Yang ketiga, Asimilasi (Dan. 1:5). Babel tak hanya berusaha mengubah pemikiran keempat pemuda Israel itu. Gaya hidup Ibrani mereka juga coba ubah. Tiap hari mereka diberikan jatah makanan dan anggur minuman raja Babel. Bila tidak mau, akan ada konsekuensi yang berat diberikan Nebukadnezar (Dan. 1:10). Gaya hidup yang baru ini akan menjerat mereka dengan beragam kenikmatan dan hak Istimewa. Membuat mereka menyerah, dan meninggalkan kehidupan sebagai umat Allah. Pada zaman kita, ancaman ini kian dahsyat. Memiliki gaya hidup dunia yang terkini, sudah menjadi dambaan, bahkan keharusan bila mau diterima. Tak sedikit orang percaya terjebak dan terbenam dalam gaya hidup duniawi. Bahkan tak sedikit gereja atau persekutuan yang telah mengadopsi gaya hidup duniawi, demi mendapatkan pengikut. Yang keempat, Disorientasi  (Dan. 1:6-7). Pemimpin pegawai istana Babel dengan paksa mengganti nama keempat pemuda Israel itu, dari nama yang artinya menghormati satu-satunya Allah yang sejati, yaitu Yahweh, menjadi nama yang artinya menghormati dewa-dewi Babel. Daniel (artinya Elohim [Allah] adalah Hakimku) diganti menjadi Beltsazar (artinya Belti [dewi yang merupakan istri dewa Bel], lindungilah sang raja) . Hananya (artinya Yahweh itu penuh kasih karunia) diganti jadi Sadrakh (artinya perintah dari Aku [dewa Bulan]). Misael (artinya siapa yang seperti Allah?) diganti jadi Mesakh (artinya  siapa yang seperti dewa Aku?). Azarya (artinya Yahweh adalah penolong) diganti jadi Abednego (artinya pelayan dari dia yang bersinar cemerlang —dewa Nebo). Nama mereka adalah identitas dan patokan kehidupan mereka. Penggantian nama itu berusaha memaksakan perubahan identitas dan patokan hidup. Disorientasi dari Yahweh kepada berhala-berhala Babel. Dunia kita pun secara halus maupun kasar, berusaha mendisorientasi kita, dengan memberikan identitas-identitas baru, agar berhala-berhala mereka jadi patokan hidup kita. Bagaimana kita dapat menghadapi ancaman-ancaman tersebut? Kepada dunia yang berkata, “Berhala-berhala kami lebih baik dan lebih kuat dari Allahmu” , kita harus berani berkata seperti Daniel dan kawan-kawannya, “Tidak, Allah kami adalah Allah yang sejati, Dia Berdaulat penuh atas segala sesuatu” . Narator menunjukkan bahwa inilah keyakinan empat pemuda Israel itu di tengah pelbagai ancaman yang menimpa mereka. Pada ayat 2 dia menyatakannya kepada kita: “Tuhan menyerahkan Yoyakim, raja Yehuda, dan sebagian dari perkakas-perkakas di rumah Allah ke tangannya. Semuanya itu dibawanya ke tanah Sinear, ke dalam rumah dewanya; perkakas-perkakas itu dibawanya ke dalam perbendaharaan dewanya .” Bukan Nebukadnezar dan dewanya yang lebih baik dan berkuasa, sehingga dapat menaklukkan Yerusalem dan jarah Rumah Allah. Tetapi Allah yang menyerahkan itu; Dia-lah yang terbaik dan paling berkuasa! Keyakinan itu dipertunjukkan secara nyata oleh keempat pemuda Israel itu dengan sejak dini membuat tekad bulat kuat di hati “ untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja; dimintanyalah kepada pemimpin pegawai istana itu supaya ia tidak usah menajiskan dirinya .” (Daniel 1:8). Sejak dini mereka buat ketetapan dalam hati dan perbuatan untuk tidak mengkompromikan keyakinan-keyakinan dan komitmen-komitmen hidup mereka kepada Allah. Allah berkenan atas tekad bulat dan kuat dari empat pemuda Israel itu. Ia mengarunikan kepada Daniel dan Kawan-kawan kasih  dan sayang dari Pemimpin Pegawai Istana Nebukadnezar, sehingga mengizinkan ada percobaan hanya makan sayur dan minum air selama 10 hari (Dan. 1:10-14). Setelah masa percobaan lewat, perawakan mereka lebih baik dan kelihatan lebih gemuk daripada semua orang muda yang telah makan santapan raja, sehingga kepada mereka selanjutnya hanya diberikan makan sayur dan air. Dan Tuhan karuniakan pengetahuan dan kepandaian tentang berbagai pengetahuan dan kepandaian tentang berbagai tulisan serta hikmat. Khusus bagi Daniel, Tuhan karuniakan pengertian tentang beragam penglihatan dan mimpi (Dan. 1:15-17). Dan Tuhan tidak berhenti di situ. Pada akhir masa pendidikan mereka, raja Nebukadnezar tidak mendapati yang setara dengan Daniel, Hananya, Misael dan Azarya, dan mengangkat mereka menjadi pegawainya (Dan. 1:19). Juga setelah berdinas di istana, saat raja menanyakan hal-hal yang memerlukan kebijaksaan dan pengertian, didapatinya mereka berempat itu 10 kali lebih cerdas daripada semua orang berilmu dan ahli jampi di seluruh kerajaannya (Dan. 1:20). Siapa Allah yang lebih baik dan lebih berkuasa dipertontonkan dengan nyata. Dan Dia dapat leluasa menjalankan rencana-Nya di dalam dan melalui empat pemuda Israel itu. Ingin membangun pelayanan yang bertahan dalam berbagai ancaman? Miliki dan bangun terus keyakinan bahwa Allah yang kita layani itu, adalah satu-satunya Allah sejati yang berdaulat. Dan wujud nyatakan keyakinanmu itu dengan memahatkan tekad bulat dan kuat untuk tidak mengkompromikan keyakinan-keyakinan serta komitmen-komitmen hidupmu sebagai murid Kristus dalam menghadapi setiap ancaman yang ada.

  • Pentingnya Komunitas dari Sudut Pandang Berbagai Generasi

    Dari generasi ke generasi, komunitas yang baik esensial untuk bertahan di tengah perbedaan zaman. Para pembaca Samaritan  yang terkasih dalam Tuhan Yesus, sebagai seorang pengikut Kristus kita pasti sudah tidak asing dengan istilah komunitas. Komunitas sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai   kelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu. Komunitas secara umum telah dipercaya menjadi hal yang bisa menguatkan seseorang mengatasi tantangan dalam hidup, khususnya tantangan dari luar. Hal ini dapat terlihat dari sejarah peradaban mula-mula, di mana orang tergabung dalam komunitas untuk menghadapi bahaya yang tidak bisa dihadapi bila berjuang sendiri (seperti bahaya binatang liar dan sebagainya). Lebih lanjut, kepentingan komunitas juga tercermin dalam peribahasa yang umum dipahami di Indonesia, seperti bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Di dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, banyak mencontohkan pentingnya komunitas untuk menghadapi tantangan dari luar di tengah perbedaan zaman. Di Perjanjian Lama, kisah tentang Sadrakh, Mesakh, dan Abednego merupakan salah satu contoh kekuatan komunitas. Kisah mereka dapat kita temukan di Daniel 3, ketika Sadrakh, Mesakh, dan Abednego dihadapkan pada sebuah pilihan: tunduk kepada patung emas yang dibuat Raja Nebukadnezar atau terbakar habis dalam perapian yang menyala-nyala. Pernyataan iman mereka dalam ayat 17–18 sangat menguatkan: “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan  kami, maka Ia akan melepaskan  kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja, tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” Kita sudah mengetahui akhir dari cerita ini: alih-alih terbakar, Raja Nebukadnezar melihat empat orang yang berjalan dalam api, dan ketika mereka keluar, mereka tidak terikat dan tidak terluka. Melalui kekuatan komunitas yang berdiri bersama di dalam api, pada akhirnya raja Nebukadnezar mengakui Allah Sadrakh, Mesakh, dan Abednego (ayat 29), karena tidak ada allah lain yang dapat melepaskan secara demikian itu. Di Perjanjian Baru, pentingnya komunitas dapat kita lihat dari cara hidup jemaat mula-mula sebagaimana tergambar dalam Kisah Para Rasul 2:41–47, di mana melalui komunitas tersebut nama Kristus semakin tersebar, sebagaimana tercantum dalam ayat 47: “Dan mereka disukai semua orang.” Dari contoh Alkitab di atas dapat kita lihat bahwa, walaupun generasi berbeda, komunitas tetap merupakan hal yang penting untuk bertahan di tengah perbedaan zaman. Untuk mengetahui apakah kebenaran yang ada di dalam Alkitab ini juga masih diimani di masa sekarang, penulis mengadakan sebuah survei sederhana. Survei ini penulis lakukan di komunitas Saline Serukam Trainer  yang terdiri dari berbagai generasi. Komunitas ini juga dipilih karena di Saline Process  sangat ditekankan tentang pentingnya komunitas, di mana hal yang mendasarinya adalah bahwa Tuhan menghendaki kita menjadi saksi-Nya sebagai bagian dari komunitas. Sehingga menjadi bagian dari komunitas lokal dan global merupakan hal yang selalu digaungkan, misalnya melalui komunitas Saline Online  dan lain sebagainya. Survei diadakan melalui tautan Google Form . Dari 24 trainer yang diberikan kuesioner, terkumpul 20 responden (83,3%). Berdasarkan profesi, responden terbanyak adalah perawat (8 orang/40%), disusul penginjil (4 orang/20%), dokter (3 orang/15%), apoteker (2 orang/10%), serta masing-masing 1 orang (5%) untuk administrasi, elektromedis, dan fisioterapis. Berdasarkan jenis kelamin, survei didominasi perempuan (13 orang/65%) dibanding laki-laki (7 orang/35%). Berdasarkan generasi, paling banyak adalah generasi milenial (kelahiran 1981–1996) sebanyak 15 orang (75%), disusul generasi X (1965–1980) sebanyak 3 orang (15%), dan generasi Z (1997–2012) sebanyak 2 orang (10%). Tidak ada responden dari generasi Baby Boomers (1946–1964) maupun generasi Alfa (2012–2025). Di tengah keragaman profesi, jenis kelamin, dan generasi, ketika mereka ditanya: “Apakah Anda setuju bahwa komunitas yang baik esensial (penting) untuk bertahan tetap teguh dengan iman dalam Tuhan di tengah perbedaan zaman?” Hasilnya: 100% (20 responden) secara bulat menyatakan setuju. Berikut beberapa kesaksian responden: “Karena tujuan komunitas itu untuk membangun pengaruh hidup nyata kekristenan ke dunia yang belum mengenal Yesus Kristus sebagai Tuhan.” (dokter, laki-laki, generasi X) “Tanpa dukungan komunitas, pelayanan sulit dilakukan.” (elektromedis, perempuan, generasi X) “Tujuan kita adalah berjalan bersama tanpa melihat siapa yang lebih dulu sampai atau siapa yang mendapat penghargaan. Tetapi dalam kebersamaan kita menjadi satu tim yang menyelesaikan rintangan.” (fisioterapis, laki-laki, generasi milenial) “Dukungan doa sebuah komunitas selalu menjadi penguat di dalam melewati situasi sulit, baik fisik maupun psikologis.” (perawat, perempuan, generasi milenial) “Bisa saling menghargai pendapat dan argumentasi dalam komunitas.” (perawat, laki-laki, generasi Z) “Saya beberapa kali sudah putus asa dan merasa ingin lari dari Tuhan, tapi karena doa dan tuntunan keluarga saya, saya bisa bertahan dan sekarang bisa melayani Tuhan sebagai dokter.” (dokter, perempuan, generasi Z) Dari survei tersebut, penulis juga menanyakan hal-hal apa saja yang menggambarkan sebuah komunitas yang baik, sehingga seseorang bisa bertahan di dalamnya. Jawabannya beragam, tetapi secara garis besar adalah: adanya persekutuan doa, dukungan dan kerja sama, berbagi pengetahuan dan ilmu dengan tetap sopan dan santun, keterbukaan untuk berdiskusi dua arah dengan kejujuran, saling membangun dan saling menjaga. Semoga melalui artikel ini para pembaca Samaritan  diingatkan kembali untuk aktif dalam komunitas Kristen dengan beragam aktivitasnya, sebagai sarana kita bisa bertumbuh dalam Tuhan. Sebagaimana firman Tuhan dalam Ibrani 10:25: “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang. Tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” Bagi pembaca Samaritan yang mungkin saat ini merasa jauh dari komunitas, semoga melalui artikel ini termotivasi untuk bergabung dalam komunitas Kristen terdekat. Minimal, carilah “Harun dan Hur” yang bisa menopang kita saat kita lelah, sebagaimana yang terjadi pada Musa di Keluaran 17:12: “Maka penatlah tangan Musa; sebab itu mereka mengambil sebuah batu, diletakkanlah di bawahnya, supaya ia duduk di atasnya. Harun dan Hur menopang kedua belah tangannya, seorang di sisi yang satu, seorang di sisi yang lain.” Tidak perlu jauh mencari, kiranya melalui Samaritan  dapat terbentuk komunitas Kristen yang saling mendukung, demi Kerajaan Allah terus diberitakan di muka bumi, baik melalui para pembaca, para penulis, para editor, dan orang-orang lain yang berkontribusi dalam terbitnya artikel ini. Sehat selalu dan tetap semangat untuk kita semua. Tuhan Yesus memberkati. Amin.

  • Komunitas Perjamuan Makan

    Mari kita mengingat, kapan terakhir kita duduk makan bersama teman-teman alumni, gereja atau sesama dokter Kristen? Makan sambil berbagi cerita, beban, pergumulan, firman Tuhan, atau hal apa saja.  Sesungguhnya hidup dalam persekutuan komunitas umat Allah merupakan ciri khas orang Kristen. Bahkan sejak di Perjanjian Lama , perayaan-perayaan bangsa Israel dikenal dengan perayaan yang sarat dengan acara makan bersama. Sebut saja perayaan Paskah, perayaan Pondok Daun dan lainnya. Bagi orang Yahudi makan bersama semeja adalah tanda persekutuan.   Yesus, selama tahun pelayanan-Nya, sangat sering melakukan perjamuan makan bersama, baik dengan murid-murid-Nya, sahabat-sahabat-Nya dan orang-orang yang dilayani-Nya (Matius 9:10-11). Perjamuan makan bersama keduabelas murid dilakukan-Nya menjelang kematian-Nya di salib. Ketika Yesus menampakkan diri pada murid-murid-Nya di Emaus dan di tepi Danau Tiberias, juga, Yesus lakukan dengan makan bersama.   Jika kita melihat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, kita akan melihat betapa Allah sangat memandang penting persekutuan umat-Nya, kebersamaan yang ditandai dengan perjamuan makan bersama. Persekutuan dengan hidangan makanan (memecah-mecahkan roti) menjadi gaya hidup jemaat mula-mula (lihat Kis. 2:41-47). Lukas mengisahkan gaya hidup jemaat masa itu yang hidup sebagai keluarga besar, berkumpul, berbagi, makan bersama, beribadah, dan Tuhan membuat mereka bertambah-tambah. Tuhan berkenan dengan gaya hidup mereka. Cara hidup tetap dalam persekutuan seperti ini terus dilakukan sampai berabad-abad berikutnya dan merupakan rahasia kekuatan jemaat abad pertama di tengah penganiayaan. Seperti yang diceritakan oleh beberapa surat ini. Surat kepada Diognetus, suatu surat yang berisikan apologetik terhadap gereja abad 1-2. …Mereka bernikah dan mempunyai anak seperti orang lain; tapi mereka tidak membunuh bayi yang tidak direncanakan. Mereka membagi meja makan tapi tidak membagi tempat tidur. Mereka hadir di dalam daging tapi tidak hidup menurut daging. Mereka melewati hari-hari mereka di bumi tapi mereka rakyat surgawi. Mereka menaati hukum dan bahkan melampaui hukum di dalam kehidupan mereka. Surat bernada sama juga ditulis oleh C. Plinius Caecilus Secundus, seorang negarawan yang diutus oleh Kaisar Trayan tahun 111 untuk menyelidiki kehidupan orang Kristen masa itu. Saat itu terjadi berbagai tuduhan palsu  terhadap ajaran Kristen dan penganiayaan pada Gereja. Plinius, antara lain menulis demikian dalam laporannya kepada kaisar: Namun demikian, waktu hamba meneliti dengan seksama tentang kesalahan dan kesesatan yang diakui mereka pada masa lampau itu, ternyata mereka hanya menjawab sebagai berikut: Bahwa kebiasaan mereka ialah berkumpul sebelum fajar menyingsing pada suatu hari yang ditentukan, dan bernyanyi dengan nyanyian rohani kepada Kristus sebagai dewa; bahwa mereka mengucapkan sumpah tetapi bukan sumpah untuk berbuat jahat. Justru sebaliknya, mereka bersumpah untuk tidak mencuri, tidak menyamun, tidak melanggar janjinya, tidak menolak untuk mengembalikan gadai jika diminta. Sesudah itu biasanya  mereka bubar, lalu bertemu kembali untuk makan bersama , tetapi dengan memakan hanya makanan yang biasa dan tidak berbahaya. (dikutip dari Semakin Dibabat Semakin Merambat;  C Ira, 2001). Gaya hidup dalam suatu komunitas bersama: berkumpul, beribadah, dan makan bersama secara rutin menjadi karakteristik mereka dan menarik perhatian banyak orang kala itu. Persekutuan dalam komunitas bersama ini merupakan hal yang tidak saja menguatkan mereka menghadapi penderitaan dalam masa penganiayaan, namun juga menjadi kesaksian bagi orang lain. Sayangnya, gaya hidup bersama seperti ini mulai ditinggalkan (tidak tahu sejak kapan) dan hanya sesekali dilakukan oleh komunitas gereja modern saat ini. Seberapa penting gaya hidup persekutuan dalam komunitas bagi hidup kristiani kita? Banyak dari kita saat ini menganggapnya tidak lagi penting dan bahkan sebagai sesuatu yang merugikan waktu tenaga dan dana saja.  Beberapa tahun lalu ketika saya mengunjungi seorang teman di Belanda, saya cukup terkejut ketika dia menjawab pertanyaan saya di mana dia bergereja, “Saya lebih sering gereja online, dok”. Saat itu, gereja online sudah mulai bermunculan, bahkan ketika taksi online belum marak. Firman Tuhan dan sejarah gereja sudah menjadi saksi bagaimana hidup dalam persekutuan komunitas orang Kristen merupakan gaya hidup yang Allah rancangkan bagi umat-Nya. Bukan hanya itu, persekutuan umat Allah yang ditandai dengan makan bersama merupakan masa depan kita kelak dalam kekekalan, seperti apa yang dinubuatkan oleh Yesaya: “TUHAN semesta alam akan menyediakan di gunung Sion ini bagi segala bangsa-bangsa suatu perjamuan dengan masakan yang bergemuk, suatu perjamuan dengan anggur yang tua benar, masakan yang bergemuk dan bersumsum, anggur yang tua yang disaring endapannya.”(Yesaya 25:6) Yesus di Injil Lukas juga menjanjikan,  “bahwa kamu akan makan dan minum semeja  dengan Aku di dalam Kerajaan-Ku”. (Lukas 22:30a) Karena itu, mari kita hidupkan kembali gaya hidup umat Allah yang Allah inginkan terjadi. Gaya hidup dalam komunitas kebersamaan: berkumpul, beribadah dan makan bersama. Saya menantikan undangan Saudara! /kb

  • Tujuh Mil yang Mengubah Hidup

    Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi. Kata mereka seorang kepada yang lain: "Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?" (Lukas 24:27, 32, TB)  Setelah melewati apa yang terjadi di Yerusalem pada hari-hari terakhir yang menyisakan pertanyaan, kecewa, takut dan kehilangan - hari pertama minggu setelah penguburan Yesus merupakan hari yang membingungkan bagi para murid. Mengejutkan. Beberapa perempuan telah pergi ke kubur saat pagi buta, tidak menemukan mayat-Nya, namun bertemu malaikat-malaikat yang mengatakan bahwa Yesus hidup.   Mengikuti kronologi perjumpaan dengan Yesus yang telah bangkit, Dia mula-mula menampakkan diri kepada Maria Magdalena, sesudah itu kepada dua orang dari murid-murid-Nya yang sedang dalam perjalanan ke luar kota. Dan pada akhirnya, menampakkan diri kepada sebelas murid ketika mereka sedang makan. [1]   Kisah pada hari minggu pertama ini selain menyatakan Yesus yang bangkit, dikaji dari sisi emansipasi wanita dimana Yesus memilih perempuan sebagai saksi mula-mula sebagai pembaharuan bagi pandangan Yudaisme. Yesus yang tidak membedakan lingkar murid, bukan tiga murid, juga bukan dua belas atau tujuh puluh puluh murid. Kajian lain tentang proses penampakan Yesus kepada seseorang, berdua dan kolektif. Saya meyakini Kitab Suci menyimpan mutiara-mutiara tak terbatas yang bisa ditemukan pada penggalian yang benar dan bertanggungjawab. Bagi saya muncul pertanyaan, apakah maksud dan pesan Yesus menampakkan diri-Nya di perjalanan Emaus? Mengapa Lukas memutuskan membukukan hasil penyelidikan saksi mata peristiwa ini dalam bukunya? Memang sama seperti tujuan penulisan Yohanes, Lukas juga bertujuan untuk menulis tentang segala sesuatu yang dikerjakan dan diajarkan Yesus, menunjukkan penderitaan-Nya, tanda yang membuktikan bahwa Ia hidup dan tentang Kerajaan Allah. [2]   Ini adalah peristiwa penampakan kedua Yesus, bukan kepada tiga murid-Nya, juga bukan kepada sebelas murid. Dari kutipan Markus dan Lukas dapat disimpulkan bahwa dua murid Yesus ini tidak mengetahui bahwa Maria Magdalena sudah melihat Yesus. [3] Barangkali hal ini merupakan alasan utama mengapa mereka tidak pernah terpikir akan bertemu Yesus yang bangkit. [4] Mereka sedang bercakap-cakap (talking, dialoguing) [5]  dan bertukar pikiran (discussing, debating, questioning) 9, [6]   saat Yesus atas inisiatif-Nya mendekati mereka, berjalan bersama-sama dengan mereka dan bertanya untuk memulai perbincangan. Seberapa penting homileo  dan suzeteo  ini bagi Yesus, bagi Kleopas dan teman? Bukankah lebih efektif jika Yesus menampakkan diri kepada mereka sama seperti yang dilakukan-Nya kepada Maria Magdalena? Tidak. Kita sering menyanyikan lirik sebuah lagu “kubur kosong membuktikan Dia hidup”, benarkah? [7] Terdapat logical fallacy  di dalam pernyataan di atas, slippery slope  atau false dichotomy . [8] Kubur kosong hanya membuktikan bahwa jasad Yesus tidak ada. Kubur kosong tidak mampu membuktikan Yesus bangkit dan hidup. Jika kubur kosong mampu membuktikan Yesus bangkit maka tidak perlu ada penampakan diri-Nya. 13  Alkitab mencatat satu pernyataan logis yang membuat saksi-saksi menerima kubur kosong karena kebangkitan.    Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya. (Mat 28:6, TB) Tetapi sekarang pergilah, katakanlah kepada murid murid-Nya dan kepada Petrus: Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia, seperti yang sudah dikatakan-Nya kepada kamu." (Mar 16:7, TB) Akan tetapi sesudah Aku bangkit, Aku akan mendahului kamu ke Galilea." (Mar 14:28, TB) Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit. Ingatlah apa yang dikatakan-Nya kepada kamu, ketika Ia masih di Galilea, yaitu bahwa Anak Manusia harus diserahkan ke tangan orang-orang berdosa dan disalibkan, dan akan bangkit pada hari yang ketiga." Maka teringatlah mereka akan perkataan Yesus itu.  (Luk 24:6-8, TB)   Tanpa pernyataan ini kubur kosong hanya membuat mereka percaya bahwa kubur benar-benar kosong.   Maka masuklah juga murid yang lain, yang lebih dahulu sampai di kubur itu dan ia melihatnya dan percaya. 9 Sebab selama itu mereka belum mengerti isi Kitab Suci yang mengatakan, bahwa Ia harus bangkit dari antara orang mati. (Joh 20:8-9, TB)   Perkataan malaikat “dikatakan-Nya” membuat mereka menerima peristiwa kebangkitan. Selanjutnya mereka membutuhkan bukti kebangkitan yaitu Yesus yang hidup.    Kembali ke jalan Emaus, Yesus melakukan eksperimen, tidak mengajukan bukti dan tanda tetapi mengajukan pengertian. Setelah menegur dengan:    "Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?" [9]   Lalu Ia menjelaskan [10] kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi. Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci. [11] Hati mereka berkobar-kobar, ketika Yesus menerangkan Kitab Suci sebelum mereka mengenali Yesus. [12] Kronologi kisah ini adalah; mereka mendengar berita sahih tentang kebangkitan, lalu bingung, memperdebatkan, bertemu tetapi tidak mengenal Yesus, Yesus menjelaskan dan menerangkan Kitab Suci, pikiran terbuka, mengerti Kitab Suci, hati yang berkobar-kobar, mengenali Yesus dan kembali ke Yerusalem.  Penampakan diri Yesus kepada Maria Magdalena membuktikan Dia bangkit dan hidup tetapi “percaya” murid-murid diselubungi oleh ketidakpercayaan. Akhirnya Ia menampakkan diri kepada kesebelas orang itu ketika mereka sedang makan, dan Ia mencela ketidakpercayaan dan kedegilan hati mereka, oleh karena mereka tidak percaya kepada orang-orang yang telah melihat Dia sesudah kebangkitan-Nya. [13]     Mereka tidak percaya kepada orang-orang yang telah melihat Dia sesudah kebangkitan-Nya. Jadi menjadi saksi adalah satu hal dan mengerti adalah hal yang lain. Lalu Yesus membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti isi Kitab Suci. [14] Bukti membutuhkan penjelasan dan pengertian untuk sampai ke tingkat percaya. Seeing  tidak otomatis believing , percaya dan iman sendiri adalah dasar dan bukti [15] . Bodoh dan lamban hati berkorelasi erat dengan pikiran, sedangkan mengerti berkorelasi erat dengan homileo dan suzeteo . Inilah alasan mengapa kita sangat membutuhkan diermeneuo . Hermeneutik dalam penggalian Kitab Suci.   Berlanjut dengan kisah Tomas, dalam paradigma “mencela ketidakpercayaan dan kedegilan hati” tidak percaya kepada kesaksian orang-orang yang telah menyaksikan, kita memahami perkataan Yesus:   Jesus said to him, "Have you believed because you have seen me? Blessed are the people who have not seen and yet have believed." (John 20:29 NET) Jesus said to him, "The basis for your believing was seeing. Blessed are those who without having seen, nevertheless believed." (Joh 20:29 MIT)   Dalam pernyataan di atas Yesus seolah-olah berkata, “memang engkau bisa percaya setelah melihat?” Tomas menuntut paradigma lama, bukti. Mencucukkan jari pada bekas paku dan lambung. Yesus menawarkan paradigma baru, mengerti. Eksperimen Emaus terbukti bisa. Hati mereka berkobar-kobar tanpa melihat Yesus. Dengan demikian melalui pemahaman yang benar, penggalian yang bertanggungjawab atas Kitab Suci, kita bisa percaya walau tidak melihat.    Kita tidak akan pernah lagi bisa menjadi saksi mata hidup atas kematian dan kebangkitan Yesus tetapi kita bisa percaya kepada orang-orang yang telah melihat Dia dan menulis kitab sesudah kebangkitan-Nya. Kita tidak akan pernah lagi menjadi saksi pendengar atas kesaksian para murid tetapi kita bisa percaya dari catatan mereka yang kita baca hari ini. Dengan demikian kita bisa juga menjadi pewarta dengan hati yang berkobar-kobar.   Sepanjang sejarah kekristenan, Yesus yang mati, Yesus yang bangkit, Yesus yang hidup dan ketuhanan Yesus, menjadi fokus serangan apologi non-kristen. Topik ini tak tergoyahkan karena dibangun di atas kesaksian dan pengajaran. Yesus sendiri meneguhkannya sebelum Dia naik ke surga. Pengajaran meneguhkan kesaksian. Sendiri atau hanya salah satu darinya membuat lemah dan tidak seimbang tetapi kesaksian tanpa pengajaran menjadi pengalaman subjektif. Hadirnya Roh Kudus setelah Yesus naik ke surga, sebagai kuasa, Penolong yang lain, Roh Kebenaran yang menyertai dan diam selama lamanya di dalam murid-murid menjadi peneguhan yang dijanjikan. [16]     Bagaimana dengan kita sekarang? Kisah di jalan ke Emaus mengajar kita untuk memiliki paradigma baru membuka pikiran, mengerti, memperbincangkan, bertukar pikiran dan menggali untuk mendapatkan penjelasan Kitab Suci dalam mengalami Tuhan. Lukas dalam suratnya mencatat orang-orang Yahudi di kota Berea lebih baik hatinya dari pada orang-orang Yahudi di Tesalonika, karena mereka menerima Firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci. [17]   Paulus mengingatkan Timotius untuk berusaha supaya layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang terus terang [18] , [19] memberitakan perkataan kebenaran. Terus terang yang berarti mengajar kebenaran secara langsung, lurus dan benar.    Perkembangan teknologi saat ini dapat memudahkan kita untuk mendapat tuntunan dan referensi dalam penggalian Alkitab. Menemukan tulisan bapa-bapa gereja pasca rasul bukan hal yang sulit bagi kaum awam sekarang ini. Hanya membutuhkan kemauan dan kebersamaan dalam menggali. Di sisi lain, teknologi bisa menjadi ancaman bagi iman Kristen. Hadirnya ChatGPT saat ini yang dinilai memberikan kemudahan jawaban aktual, mudah dan komprehensif atas masalah dan pertanyaan. Saatnya tiba tantangan Kekristenan bukan lagi pertentangan teologis tentang Allah atau penolakan Yesus adalah Tuhan, keselamatan, atau Alkitab bukan Firman Tuhan tetapi sinkretisme kepercayaan, relativitas post-modern, popular dan holistik berdasar algoritma yang mungkin tidak Alkitabiah sama sekali atau hanya mengandung kebenaran parsial yang tercampur dan tidak mudah dikenali [20] .    Pada akhirnya, pemahaman Alkitab yang bertanggungjawab disertai perbincangan terhadap isu-isu aktual haruslah menjadi budaya setiap kita sebagai murid Kristus. Melalui cara tersebut, para murid dapat hidup dengan memandang dan menyikapi pengalaman rohani agar tidak mudah diombang-ambingkan oleh isu-isu dunia yang datang dalam lompatan kuantum teknologi dan gulungan gelombang peradaban. /kb [1]  Mar 16:9,12,14 [2]  Kis 1:1-3 [3]  Yoh 20:18. “… benar yang dikatakan perempuan-perempuan itu, tetapi Dia tidak mereka lihat." (Luk 24:24) [4]  Alasan lain oleh Markus menyebutkan; menampakkan diri dalam rupa yang lain ( heteros morphe ) (Mar 16:12) tetapi tidak diterangkan bagaimana maksud rupa lain  [5]  Yun: homileo: 4) to converse with, talk about: with one. Homelitic from Greek homilētikos cordial, from homilein to converse with 9  Yun: suzeteo . Kata yang digunakan untuk “bersoal jawab” antara Stefanus dengan Yahudi (Kis 6:9) dan Paulus dengan orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani yang berusaha membunuh dia (9:28) [6]  Luk 24:15 [7]  Mat 28:5-6, luk 24:1-9, Yoh 20:1-2 [8]   Slippery slope ; ada loncatan logika antara pernyataan satu dan dua. Pernyataan satu dan dua tidak selalu terhubung atau sebab akibat. False dichotomy  hanya menghadirkan dua pilihan atau dua sisi [9]  Lamban; anoetos:  1) not understood, unintelligible 2) not understanding, unwise, foolish   bodoh; anoetos dan bradus:  1) slow 2) metaph. dull, inactive, in mind 2a) stupid, slow to apprehend or believe   [10]   Diermeneuo: Dia “through” and hermeneuo “to interpret”. 1) to unfold the meaning of what is said, explain, expound 2) to translate [11]  Luk 24:25-27,32 [12]  Luk 24:32 [13]  Mar 16:14 [14]  Luk 24:45 [15]  Ibrani 11:1. Iman tidak membutuhkan bukti, iman tentu dibuktikan jika dibutuhkan  [16]  Yoh 14:16-17 [17]  Kis 17:11 [18]  Berterus terang; orthotomeo: 1) to cut straight, to cut straight ways 1a) to proceed on straight paths, hold a straight course, equiv. to doing right 2) to make straight and smooth, to handle aright, to teach the truth directly and correctly [19]  Ti 2:15 [20]  Kekristenan menghadapi dunia yang semakin berpikir manusiawi. Beradab berarti menjunjung tinggi kebebasan dalam privasi, ide dan nilai-nilai. Baik kejahatan maupun moralitas semakin menjauh dari kebenaran Kristus.

  • “Wa Wa Wa”: Menjawab Panggilan Pelayanan di Tanah Terluar

    Dokumentasi Pribadi oleh dr. Hendriko Kabanga – Puskesmas Landikma, Kabupaten Yalimo, Papua Pegunungan Saat Indonesia merayakan 80 tahun kemerdekaannya, kita diajak merenungkan apa arti kemerdekaan sejati – termasuk bagi saudara-saudara kita yang tinggal di daerah tertinggal, terdepan, dan terdalam (3T). Di balik gegap gempita perayaan nasional, salah satunya lagu viral Tabola Bale yang ‘menggoyang’ Istana Merdeka, realita di Papua berbicara lain. Ada banyak anak yang belum mendapatkan hak dasarnya: kesehatan. Saya saat ini melayani sebagai dokter di Puskesmas Landikma, Kabupaten Yalimo, Papua Pegunungan – salah satu dari 30 kabupaten di Papua yang masuk kategori 3T. Di sini, program imunisasi dasar masih jauh dari merata. Anak-anak tumbuh tanpa perlindungan dasar terhadap penyakit. Dokter umum dan spesialis langka. Keamanan tidak terjamin. Banyak tempat hanya bisa dicapai dengan pesawat. Ada kisah-kisah kelam tentang kekerasan dan kriminalitas yang membuat tenaga kesehatan akhirnya enggan bertahan dan memilih mundur, meninggalkan medan pelayanan yang sesungguhnya sangat membutuhkan kehadiran mereka. Di tengah semua itu, saya percaya bahwa pelayanan di tempat seperti ini bukan semata-mata soal pekerjaan, tapi soal panggilan hidup. Panggilan untuk menjadi terang, untuk menghadirkan kasih Kristus  yang menyembuhkan dan merawat, di tempat-tempat yang dianggap “ujung dunia”. Menggumulkan Panggilan: Bukan Soal Nyaman, Tapi Taat Bagi rekan-rekan tenaga kesehatan Kristen, mungkin banyak yang sedang atau pernah bergumul dengan pertanyaan ini: “Tuhan, di mana Engkau ingin aku melayani?” Jawaban Tuhan tidak selalu membawa kita ke tempat yang nyaman. Kadang, justru sebaliknya. Terlepas dari banyaknya pergumulan yang dihadapi ketika akan melangkah atau bertahan di suatu tempat, kita dapat belajar bahwa ketaatan kepada panggilan Tuhan tidak ditentukan oleh seberapa siap kita secara manusia, tapi seberapa besar kita percaya bahwa Dia yang memanggil juga akan memampukan. Di tempat-tempat seperti Kabupaten Yalimo, pelayanan bukan soal skill medis semata, tetapi tentang membagikan harapan. Menjadi saksi hidup bahwa Tuhan tidak melupakan siapa pun, termasuk anak-anak kecil di pedalaman Papua sekali pun. Kasih Kristus yang Mendorong Kita Maju Di tengah keterbatasan, hanya belas kasihan Allah yang dapat menopang seseorang untuk tetap bertahan. Hanya anugerah-Nya yang memungkinkan kami dan juga banyak sejawat seperjuangan lainnya untuk terus melanjutkan pelayanan, hari demi hari. Merespon panggilan Allah untuk melangkah pergi bukan karena mereka menyenangkan, tetapi karena Kristus lebih dulu mengasihi. Rasul Paulus pernah berkata: “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami...” (2 Korintus 5:14) Inilah kekuatan sejati yang mendorong kita untuk tetap berdiri, tetap melayani, tetap berharap. Kerinduan untuk kasih-Nya yang telah menguasai kita boleh menjangkau dan menguasai mereka yang tinggal di tempat yang sulit dijangkau sekali pun. Karena pelayanan ini bukan tentang kita, tapi tentang Kristus yang bekerja melalui kita. Generasi Sehat, Papua Bangkit Kalau kita ingin melihat Papua bangkit, maka kita harus mulai dengan membangun generasi yang sehat dan cerdas. Anak-anak di tanah ini adalah masa depan. Mereka yang akan menjadi guru, pemimpin, dokter, dan hamba Tuhan di masa depan. Mereka layak mendapatkan kesempatan yang sama – dan itu dimulai dari pelayanan kita hari ini. Pelayanan yang holistik, bukan hanya dilayani secara fisik, melainkan juga jiwa yang boleh mengenal Kristus yang sejati. Bagi setiap kita yang mungkin sedang bergumul dengan panggilan Tuhan untuk melayani di tempat seperti Papua, ingatlah bahwa Tuhan tidak mencari yang hebat, tapi yang bersedia.  Dia sanggup memperlengkapi setiap orang yang mau berkata, “Ini aku, utuslah aku!” Dirgahayu Republik Indonesia ke-80. Kiranya Injil Kerajaan Allah terus diberitakan sampai ke ujung bumi – termasuk Kabupaten Yalimo, Papua Pegunungan. Wa Wa Wa! Soli Deo Gloria. /kb

  • Truth and Health

    A Missing Pillar Saat sharing atau khotbah tentang pelayanan medis dan kesehatan, maka atribut Ilahi yang sering dikaitkan adalah kasih — belas kasihan terhadap pasien, berempati terhadap mereka yang menderita. Tapi pernahkah kita sejenak bertanya: di mana peran “kebenaran” dalam pelayanan kesehatan? Mengapa kata yang begitu sentral dalam iman kita ini— truth —jarang muncul dalam seminar dan retreat pelayanan medis atau bahkan dalam mimbar gereja ketika kita bicara soal pelayanan kesehatan? Tulisan ini tidak sedang membuat dikotomi kasih dan kebenaran. Justru sebaliknya, ingin menunjukkan bahwa kasih dan kebenaran berjalan beriringan, dan bahwa pilar kebenaran yang sering terabaikan itu sesungguhnya adalah unsur sentral dalam pelayanan kesehatan dari masa lalu hingga hari ini.  Apakah kebenaran penting dalam dunia kesehatan? Perkembangan dunia kesehatan, termasuk dunia kedokteran di dalamnya sampai saat ini merupakan hasil dari pencarian kebenaran, penyataan kebenaran dan konsistensi kebenaran yang dijalankan oleh insan kesehatan yang bertekun di dalamnya.  Apa itu kebenaran? Menurut Aristoteles, “Mengatakan tentang apa yang ada bahwa itu ada, dan mengatakan tentang apa yang tidak ada bahwa itu tidak ada, adalah kebenaran.” Ini berarti kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan kenyataan yang dikaji melalui akal dan logika serta kejadian dan observasi. Dalam nilai kekristenan, kebenaran bukan hanya fakta logis tetapi juga prinsip moral dan spiritual. Yesus berkata, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup.” (Yohanes 14:6), yang berarti kebenaran lebih jauh lagi akhirnya ditemukan dalam keadilan, integritas, dan hikmat ilahi. Kebenaran adalah salah satu dari atribut Allah sendiri. Truth in Health: Discovery and Learning from Mistakes  Kemajuan dunia kesehatan tidak lahir secara kebetulan, melainkan dari semangat pencarian kebenaran. Penemuan mikroskop oleh Antonie van Leeuwenhoek (1670) dan teori infeksi oleh Louis Pasteur (1857-1865) dan Robert Koch (1876–1884) membuka jalan bagi dasar dari ilmu mikrobiologi dan ilmu penyakit infeksi. Penemuan antibiotik – Penisilin oleh Alexander Fleming (1928) merupakan revolusi dalam pengobatan infeksi kuman. Penemuan DNA (1953) oleh Watson dan Crick, membuka era genetika medis. Pengembangan Vaksin mRNA (2020), misalnya pada vaksin COVID-19 oleh Pfizer-BioNTech dan Moderna membuka era teknologi baru dalam imunisasi. Semua penemuan besar dunia kesehatan tersebut diawali oleh upaya dan kerja keras orang-orang tertentu untuk meneliti, menganalisis rangkaian fakta, menyimpulkan dan kemudian menyampaikan apa yang benar. Namun sejarah juga mengajarkan bahwa ketika kebenaran diabaikan, dampaknya bisa sangat tragis. Kasus skandal obat  Thalidomide  pada akhir tahun 1950-an hingga awal 1960-an menjadi pengingat penting bagi dunia kesehatan. Obat ini awalnya dipasarkan sebagai penenang dan pereda mual untuk ibu hamil, tetapi efek sampingnya menyebabkan ribuan bayi lahir dengan cacat bawaan serius (phocomelia) . Salah satu tokoh penting dalam mengungkap kebenaran ini adalah Dr. William McBride, seorang dokter kandungan asal Australia, yang pada tahun 1961 mencermati hubungan antara obat ini dan terjadinya phocomelia  dan memutuskan menerbitkan temuannya di jurnal the Lancet  dan sekaligus memperingatkan komunitas dunia kesehatan.  Akhirnya thalidomide  dilarang di seluruh dunia pada awal 1960-an dan peristiwa ini kemudian menjadi dasar pijakan untuk sistem uji klinis yang ketat, transparansi data, dan kejujuran dalam mengkomunikasikan risiko dalam penerbitan obat baru. Artikel Dr. Andrew Wakefield yang kontroversial diterbitkan di jurnal the Lancet  pada tahun 1998 mengklaim adanya hubungan antara vaksin MMR (campak, gondongan, rubella) dan autisme. Penelitian ini memicu kontroversi besar dan menyebabkan penurunan tajam dalam cakupan vaksinasi, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan kasus campak. Namun, reaksi muncul dari komunitas riset dan klinisi yang tidak menemukan fakta dari yang disampaikan Wakefield. Setelah lewat penyelidikan dan mendapatkan bukti yang kuat, the Lancet  menarik kembali artikel tersebut pada tahun 2010 karena ditemukan ketidakakuratan dan pelanggaran etika, dimana ditemukan adanya konflik kepentingan finansial. Namun kerusakan sudah sempat terjadi, banyaknya korban kematian balita akibat campak tak terelakkan. Ini pelajaran penting: kebenaran yang ditunda bisa berakibat fatal.  Refleksi bagi kita: apakah kita berani menyampaikan kebenaran fakta observasi, penelitian dan analisa yang tidak populer demi kebaikan pasien dan masyarakat luas? Margin of error and Humility Kebenaran ilmiah bersifat dinamis. Dalam ilmu statistik, margin of error (MoE)  adalah sebuah ukuran yang menunjukkan batas ketidakpastian dari suatu hasil survei atau estimasi. Ini sebuah pengakuan bahwa hasil yang kita peroleh dari suatu sampel tidak akan pernah persis mewakili populasi secara mutlak. Kita membuat estimasi, dan MoE memberi tahu kita seberapa besar kemungkinan kesalahan atau ketidakpastian dalam estimasi itu. Rumus MoE mendukung kebenaran teologis, dimana manusia tidak pernah benar-benar tahu secara mutlak—selalu ada ruang untuk keraguan, kesalahan, atau kekeliruan. Kita percaya bahwa kebenaran yang mutlak ada pada Tuhan.  Manusia hanya bisa mencoba mendekati kebenaran, mengukurnya, menafsirkannya, tetapi tidak pernah memilikinya secara penuh. Oleh karena itu maka perlu ada kerendahan hati dan keterbukaan untuk mau terus belajar. 1 Korintus 13:9–10 (TB): "Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap." Dalam pengalaman karir saya, orang yang benar-benar ahli selalu memberi ruang ketidakyakinan ( margin of error ) dalam tulisan atau komentarnya. Sebaliknya, orang bodoh biasanya selalu yakin. Dalam praktik sehari-hari, kesalahan diagnosis, tatalaksana atau tindakan intervensi memang bisa terjadi. Namun, itulah momen di mana kejujuran menjadi titik tolak untuk memperbaiki sistem yang ada. Mengakui terjadi satu kesalahan bukan hanya tentang keterbukaan menerima kekurangan, tetapi juga sebagai bentuk penghargaan terhadap kepercayaan pasien dan etika. Transparansi adalah fondasi bagi perbaikan sistem untuk lebih meningkatkan mutu layanan. Salah satu bentuk transparansi yang krusial dalam layanan kesehatan adalah kejujuran dalam melaporkan kasus-kasus near missed , yaitu insiden yang hampir menyebabkan cedera pada pasien tetapi berhasil dicegah sebelum fatal—merupakan indikator penting dalam upaya patient safety . Pelaporan yang jujur dan terbuka terhadap near missed  memungkinkan fasilitas kesehatan untuk melakukan analisis akar masalah, mencegah terulangnya kesalahan yang sama, dan membangun budaya keselamatan pasien yang lebih kuat. Betapa pentingnya kejujuran itu dinyatakan dalam sistem layanan kesehatan. Sebab kejujuran menyelamatkan banyak nyawa. Kejujuran tidak hanya berdampak pada sistem layanan kesehatan secara kolektif, tetapi juga membawa pengaruh yang nyata terhadap kondisi kesehatan individu. Sebuah studi tentang “ Science of Honesty ” oleh Profesor Anita Kelly dari University of Notre Dame  yang dipublikasikan tahun 2012 menunjukkan bahwa mengurangi kebohongan dalam kehidupan sehari-hari dapat meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Dalam studi ini, para peserta yang mengurangi kebohongan mengalami penurunan stres, keluhan fisik, dan peningkatan kesejahteraan secara keseluruhan. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa kejujuran memiliki manfaat kesehatan yang nyata dan signifikan, baik secara fisik maupun mental. A scientist can be wrong, but he must not lie Tak pelak kebenaran merupakan pondasi utama dalam dunia kesehatan. Walaupun tenaga kesehatan tidak pernah benar-benar tahu kebenaran ilmu pengetahuan secara mutlak—selalu ada ruang untuk kesalahan, atau kekeliruan, namun dia tidak boleh bohong atau menutupi fakta. Pesan mendalam dari Erwin Chargaff dalam bukunya Heraclitean Fire: Sketches from a Life Before Nature (1978)  tetap relevan: "Seorang ilmuwan bisa salah, tetapi dia tidak boleh berbohong." Chargaff mengingatkan bahwa kesalahan adalah bagian dari proses pencarian kebenaran. Namun, yang tak pernah bisa ditoleransi adalah kebohongan atau manipulasi atau menyembunyikan data atau informasi yang disengaja. Sejarah dunia kesehatan menunjukkan bahwa beberapa kali perkembangannya dijegal oleh individu atau korporasi yang melakukan kebohongan atau menyembunyikan fakta untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Ini berakibat penderitaan dan keselamatan banyak orang. William Osler, seorang Bapak Kedokteran Modern pernah menegaskan ,"Truth is not only violated by falsehood; it may be outraged by silence."  Dengan kata lain, ketidakbenaran bisa datang bukan hanya dari kebohongan, tetapi juga dari keengganan untuk menyatakan kebenaran atau “diam demi aman” ketika itu diperlukan. Dalam konteks ini, penting disadari bahwa kebohongan dalam dunia kesehatan tidak selalu berbentuk laporan klinis yang dimanipulasi—namun bisa juga berupa sistem yang rusak akibat praktik korupsi. WHO dalam publikasi-nya A study on the public health and socioeconomic impact of substandard and falsified medical products (2012)  mencatat bahwa peredaran obat palsu dan substandar erat kaitannya dengan tingginya tingkat korupsi suatu negara atau daerah. Lemahnya tata kelola, pengawasan, dan kapasitas teknis menciptakan ruang bagi praktik penipuan yang secara langsung mengorbankan mutu pelayanan dan keselamatan pasien. Ketika sistem gagal menjamin akses terhadap produk yang aman dan berkualitas, masyarakatlah yang menanggung akibatnya.  Mengingat skandal korupsi di Pertamina baru- baru ini, kita pasti marah. Kalau kita tidak marah, mungkin hati nurani kita sudah tumpul. Melihat negara dirampok sekitar Rp 193,7 triliun per tahun oleh beberapa pejabat dan melihat saudara atau keluarga kita ikut antrian gas LPG 3 kg berdesakan dan berpanas-panasan, kita geram. Kalau dibuat perbandingan besarnya angka korupsi, koruptor-koruptor itu kira-kira merampok anggaran kesehatan  satu tahun (tahun 2024 berjumlah Rp 187,5 triliun) dan itu berjalan sudah beberapa tahun. Bayangkan kalau dana itu dipakai seluruhnya untuk bidang kesehatan, betapa majunya pembangunan kesehatan negeri ini. Atau kalau berpikir terbalik, kalau dana itu tidak dikorupsi, maka mungkin sudah banyak kematian yang tercegah sepanjang tahun 2024. Oleh karena itu, kebenaran termasuk didalamnya transparansi menjadi kunci, bukan hanya dalam praktik pelayanan kesehatan, tetapi juga dalam menjaga sistem kesehatan secara keseluruhan. Find, Articulate and Implement Truth: A Sacred Calling Dunia kesehatan terus berubah dan kompleks dengan munculnya penyakit-penyakit baru dengan potensi menyebar secara global (pandemi). Dalam situasi ini kebenaran tetap menjadi senjata kita dalam menghadapinya. Seorang tenaga kesehatan yang memilih jalan kebenaran—meskipun harus menghadapi risiko kritik atau konsekuensi—pada akhirnya akan mendapatkan kepercayaan yang tak ternilai dari masyarakat dan komunitas dunia. Perjalanan panjang karir saya menunjukkan hal itu, walaupun kadang waktunya lama baru terjadi. Tenaga medis Kristen dipanggil bukan hanya mengasihi pasien, tetapi juga untuk hidup mencari kebenaran dan menyatakan kebenaran serta menjalankannya. Kasih tanpa kebenaran bisa jatuh menjadi bentuk kasih yang sentimental dan permisif; sedangkan kebenaran tanpa kasih bisa melukai. Tetapi kasih yang berpijak pada kebenaran adalah kekuatan yang menyelamatkan .  Kita juga perlu jujur dan kritis terhadap fenomena yang terjadi di antara para tenaga kesehatan Kristen. Bukankah tidak sedikit yang bersembunyi di balik frase “panggilan Tuhan” sebagai dasar untuk melayani di kota besar—padahal justru banyak daerah yang kekurangan tenaga kesehatan atau keahlian tertentu. Jika semua orang ‘dipanggil’ hanya di kota-kota besar, maka terlihat seolah-olah Tuhan tak bijak—karena memanggil anak-anak-Nya hanya di wilayah yang sudah padat tenaga kesehatannya, sementara membiarkan wilayah-wilayah lain kosong dan terabaikan. Panggilan hidup dalam kebenaran dari dimensi moral dan spiritual juga mencakup keberanian untuk hadir di tempat yang dibutuhkan, bukan hanya tempat yang diinginkan. Dan kebenaran seringkali begitu sederhana, hanya cukup dengan melihat data distribusi tenaga kesehatan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dan menjalankannya dengan melayani di sana. Sudah saatnya kita kembali mengarusutamakan topik tentang kebenaran—baik dari aspek logika dan rasionalitas, maupun dari dimensi moral dan spiritual—dalam pendidikan kedokteran dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya. Sudah saatnya kita menjadikan topik kebenaran kembali menjadi sentral diskusi dalam seminar, pelatihan medis, etika profesi, bahkan mimbar khotbah dan Persekutuan untuk membangun budaya profesi yang menjunjung kebenaran termasuk transparansi, dan keberanian menyuarakan yang benar. Sudah saatnya kita untuk benar-benar menyembah Allah yang adalah Roh dan Kebenaran dalam dunia profesi kita.

  • Ketika Allah Memanggil, Apakah Kita Mengeraskan Hati?

    Banyak orang Kristen sering mendengar, bahkan membahas tentang 'panggilan hidup'. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan panggilan hidup bagi orang Kristen? Panggilan hidup orang Kristen dapat dibedakan menjadi panggilan umum dan panggilan khusus. Berdasarkan Kitab Yohanes 17:18, “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku (Yesus) ke dalam dunia, demikian pula Aku (Yesus) telah mengutus mereka ke dalam dunia.” Ayat ini menyatakan dengan jelas panggilan umum orang Kristen adalah menjadi saksi Kristus di mana pun mereka berada (ditempatkan). Hal yang selanjutnya yang perlu untuk dibahas lebih mendalam adalah panggilan khusus. Beberapa orang dipanggil untuk menjadi saksi Kristus di tempat tertentu, mungkin ke tempat dengan budaya yang berbeda, atau bahkan pergi bermisi ke tempat terpencil. Panggilan bermisi merupakan respon setiap orang percaya terhadap cinta kasih Kristus yang menyelamatkan dari hukuman dosa. Pada Kitab 1 Korintus 9:16, Rasul Paulus melihat misi untuk memberitakan Injil sebagai konsekuensi dari kasih karunia keselamatan yang telah ia terima, bukan beban hidup atau pilihan yang bersifat opsional (bisa ya, bisa tidak). Pertanyaannya adalah: sebagai orang Kristen yang telah mengalami kelahiran baru dan menerima kasih karunia keselamatan, sudahkah kita sungguh-sungguh menggumulkan panggilan hidup kita? Ataukah justru kita sedang menjalani panggilan hidup versi kita sendiri, yang tidak sesuai dengan standar Allah? Apakah kita malah sering menuntut Allah untuk memenuhi keinginan dan standar kita, padahal seharusnya kitalah yang menyesuaikan diri dengan standar Allah? Allah memang berdaulat dan Mahakuasa , namun dalam kasih dan hikmat-Nya, Ia memilih bekerja melalui manusia —ciptaan-Nya yang dicipta segambar dengan-Nya (Imago Dei)—untuk melaksanakan rencana-Nya di dunia. Kitab Kejadian 2:15, “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” Sejak awal, manusia ditunjuk menjadi mitra kerja Allah : mewakili-Nya untuk memelihara ciptaan dan menjalankan kehendak-Nya di bumi. Panggilan Allah adalah kasih karunia , bukan karena manusia mampu, tapi karena Allah ingin melibatkan umat-Nya dalam rencana penebusan dunia. Dari Kitab Efesus 2:10, “Kita ini adalah ciptaan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya.” Allah bukan hanya menyelamatkan kita, tapi juga memanggil kita untuk menjadi alat kasih dan kebenaran-Nya  di dunia ini. Allah memanggil manusia untuk melakukan kehendak-Nya agar dunia melihat siapa Dia melalui hidup orang percaya . “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Matius 5:16).   Misi kita di dunia adalah memantulkan kemuliaan Allah , bukan untuk diri sendiri, tapi supaya orang lain tertarik kepada Dia. Sebagai dokter Kristen yang telah menerima kasih karunia keselamatan, sudah seharusnya kita merespons panggilan itu dengan melayani pasien-pasien kita dalam semangat misi Kristen. Pelayanan misi bukan hanya soal memberitakan Injil melalui pelayanan kesehatan, tetapi juga berupaya untuk memberikan pelayanan yang holistik—menyentuh seluruh aspek kebutuhan pasien. Kita perlu peka terhadap kebutuhan mereka dan hadir untuk menjawab kebutuhan nyata yang mereka hadapi. Kita belajar dari teladan Kristus yang menyembuhkan orang sakit (Luk. 10:9), memberi makan kepada yang lapar (Mat. 25:35–40), dan membela mereka yang tertindas (Yes. 1:17). Marilah kita setia menggumulkan dan menjalani panggilan hidup yang Tuhan percayakan kepada kita. Jangan mengeraskan hati atau membiarkan ego menguasai diri. Peliharalah iman kita sebagai orang Kristen, dan tetaplah peka terhadap suara dan panggilan Allah. Teruslah menguji dan menegaskan panggilan hidup kita di hadapan-Nya. Jangan sampai kita hidup sedemikian rupa hingga Allah memalingkan wajah-Nya dan tidak lagi mengindahkan kita. “Soli Deo Gloria”  — segala kemuliaan hanya bagi Allah , yang dari Dia, oleh Dia, dan kepada Dialah segala sesuatu (Roma 11:36) /ff

  • “Creation Care: Bagaimana Seharusnya?”

    Untuk kesekian kalinya, seruan penutupan pabrik kertas milik PT Toba Pulp Lestari di Kabupaten Toba Sumatra Utara yang kali ini disuarakan oleh Ephorus HKBP Pdt Dr Victor Tinambunan dilakukan, karena dampaknya yang begitu besar terhadap kerusakan lingkungan. Sementara itu, Pulau Raja Ampat yang merupakan kawasan konservasi yang dilindungi negara, dieksploitasi secara masif - sekitar 500 hektar hutannya dibabat dan tanahnya dikeruk. Masyarakat setempat juga telah menuntut penutupan perusahaan nikel yang beroperasi di sana. Dua fakta yang sempat viral tersebut, sayangnya menguap begitu saja tanpa tindak lanjut yang signifikan. Sesungguhnya, lingkungan hidup dimana kita tinggal dan hidup sedang tidak baik-baik saja: hilangnya hutan mengakibatkan punahnya berbagai spesies tumbuhan dan hewan ( biodiversity ), terjadinya degradasi lingkungan dan pencemaran air, serta naiknya permukaan air laut. Semua akibat kegagalan manusia dan negara menjalankan mandat penatalayanan ( stewardship ). Akibat ulah manusia, semua ciptaan baik manusia dan non-manusia pun mengerang. Pada umumnya motivasi dari gerakan kepedulian alam didasarkan pada perspektif antropologi dimana pemeliharaan alam semata-mata demi manusia, misalnya untuk menjaga keindahan, kebersihan, kesehatan dan warisan untuk generasi masa depan. Namun, apakah hanya sebatas itu mengingat orang Kristen malah terkesan lambat dalam menanggapi permasalahan ekologi? Bagaimanakah seharusnya memelihara ciptaan Tuhan? Menyadari beberapa pemahaman yang salah Pemahaman yang tidak tepat tentang ciptaan lainnya antara lain: menganggap hewan dan tumbuhan tidak punya masa depan ( future ) dan eksistensinya hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Anggapan bahwa Allah lebih memedulikan dan mengasihi manusia sehingga tindakan penyelamatan Allah hanya untuk manusia dan tidak ada hubungannya dengan ciptaan lainnya. Pemahaman lainnya adalah pemahaman eskatologi (akhir zaman) yang menekankan bahwa menangani isu ekologi membuang waktu karena dunia nantinya akan hancur. Selanjutnya, tindakan satu orang atau beberapa orang tidak akan memberikan dampak apa-apa. Pemahaman yang salah ini, hanya akan melemahkan perjuangan pemeliharaan ciptaan dan mengabaikan tugas panggilan penatalayan yang Allah embankan. Mengakui Allahlah sang pemilik bumi, bukan manusia Dalam Mazmur 24:1 dikatakan: “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya.” Dialah yang menopang seluruh ciptaan-Nya sejak penciptaan (Kolose 1:16-17), di dalam tangan-Nya, terletak nyawa segala yang hidup dan nafas setiap manusia (Ayub 12:10). Sebagai sang pemilik, Tuhan adalah tuan dan raja atas semuanya.  Dalam kebijaksanaan-Nya, Tuhan mengatur tata letak, batas, ragam, dan fungsi semua ciptaan-Nya. Dia juga mendesain relasi dan saling kebergantungan di antara ciptaan-Nya. Manusia tidak dapat hidup tanpa tumbuhan dan hewan, demikian sebaliknya. Manusia juga tidak dapat dipisahkan dari alam semesta, karena berasal dari alam yaitu debu. Terdapat hubungan timbal balik (interconnection)  antara manusia dan ciptaan lainnya.  Allah sungguh menikmati keindahan dan keharmonisan hasil karya-Nya. Dia tidak hanya berkenan menerima nyanyian pujian dari manusia melainkan juga menikmati pujian dari pohon yang bergoyang dan burung yang berkicau. Bahkan, di akhir zaman semua makhluk di bumi dan di surga akan memuji Yesus, Anak Domba yang duduk di atas takhta (Wahyu 5:13). Dia tidak pernah meninggalkan ciptaan-Nya dan tidak satu pun luput dari perhatian-Nya, bahkan burung pipit pun tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak-Nya (Matius 10:29). Oleh karena itu, Allah memercayakan tugas penatalayanan ( stewardship ) kepada manusia sebagai makhluk yang membawa gambar dan rupa Allah, untuk mewakili-Nya mengelola ciptaan lainnya. Allah menghendaki bumi dikelola dengan cara mengusahakan (Ibrani: abad=serve ) dan memelihara (Ibrani: shamar=keep/protect ), bukan untuk memiliki apalagi menjadi tuan atas ciptaan Allah (Kejadian 1:28; 2:15). Dengan demikian tindakan pembiaran, pasif, dan ketidakpedulian, apalagi eksploitasi terhadap ciptaan Allah adalah bentuk perlawanan terhadap Allah dan dosa di hadapan Sang Pemilik bumi dan segala isinya.  Alasan memelihara ciptaan Tuhan Kepedulian terhadap ciptaan (creation care)  meliputi kepedulian terhadap manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan karena kerusakan alam bukan hanya berdampak negatif terhadap manusia, melainkan juga terhadap tumbuhan dan hewan. Bila dalam ekosistem terdapat satu bagian yang rusak, maka semua akan kesakitan. Misalnya, penggundulan hutan akan mengakibatkan longsor dan banjir yang dapat membunuh binatang dan manusia. Allah peduli terhadap seluruh ciptaan-Nya . Allah menghendaki umat-Nya melakukan kebenaran dan menegakkan keadilan bagi sesama (Mikha 6:8). Dia juga memerintahkan Israel untuk menjaga produktivitas tanah dengan mencanangkan tahun Yobel (Imamat 25). Sebelum air bah, Nuh diperintahkan Allah untuk membawa ke dalam bahtera semua jenis binatang berpasang-pasangan (Kejadian 6:20). Selanjutnya, karya penebusan Kristus tidak hanya untuk manusia, melainkan untuk pembaharuan seluruh ciptaan (Kis. 3:21). Dengan menatalayani ciptaan Tuhan, sesungguhnya kita sedang merefleksikan karakter Allah dalam memperlakukan ciptaan-Nya, menghargai hasil karya Allah serta mendemonstrasikan ketundukan kita pada perintah Sang Pencipta, serta berpartisipasi dalam pekerjaan Allah dalam merestorasi dunia ciptaan yang rusak karena dosa manusia.  Kita merupakan bagian dari ciptaan. Kita perlu menyadari akan status dan posisi kita dalam tatanan ciptaan Tuhan dan bahwa kita tidak dapat dipisahkan dari ciptaan lainnya. Oleh karena itu, kita harus mendatangkan kebaikan bagi ciptaan lainnya dengan cara menatalayaninya sesuai kemampuan dan keterampilan yang dianugerahkan Tuhan. Allah mengatakan semua yang dijadikan-Nya sungguh amat baik. Dalam pandangan-Nya, dunia ciptaan sudah sesuai kehendak-Nya dan memuaskan hati-Nya. Dengan menatalayani ciptaan Tuhan, kita sedang mendemonstrasikan identitas kita sebagai part of creation  dan good steward  atas ciptaan Tuhan. Pemeliharaan ciptaan adalah masalah Injil. Ed Brown, Direktur Eksekutif dari Creation Care dalam IFES World Assembly tahun 2023 di Jakarta, menyatakan bahwa creation care is a matter of the Gospel . Creation care bukan hanya isu lingkungan, ilmu, politik atau ekonomi, melainkan masalah rohani. Gereja-gereja yang bergabung dalam Lausanne Movement telah menyusun pernyataan akan alasan mempedulikan ciptaan yaitu “bumi diciptakan, dipelihara, dan ditebus oleh Kristus. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengatakan bahwa kita mengasihi Allah sementara mengabaikan ciptaan-Nya. Kita seharusnya memakai ciptaan dengan bertanggung jawab. Hubungan kita dengan Allah tidak terpisah dari cara kita memperlakukan bumi.” Wujud kepedulian terhadap orang miskin. Orang miskinlah yang paling banyak kena dampak kerusakan lingkungan sekalipun mereka paling sedikit menyebabkan kerusakan alam dibandingkan orang pada umumnya yang memiliki konsumsi besar setiap harinya. Ingat, kita lebih banyak memproduksi sampah daripada mereka yang miskin. Dengan memelihara ciptaan, kita sedang mengurangi dampak negatif kerusakan lingkungan terhadap orang miskin.  Wujud memenuhi panggilan disiplin ilmu.  Pemeliharaan ciptaan merupakan panggilan mengintegrasikan disiplin ilmu dalam bentuk tindakan dan dalam keikutsertaan menatalayani ciptaan Tuhan. Sebagai kaum intelektual, kita ditantang untuk mengimplikasikan keilmuan yang kita miliki secara kreatif dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, di bidang kesehatan, selain menangani kesehatan manusia dan mengobati penyakit, juga berpartisipasi dalam aktivitas kesehatan lingkungan misalnya dengan penanaman pohon, pemilahan sampah, dan pengelolaan sampah, termasuk penyuluhan tentang hubungan penyakit dengan kerusakan lingkungan dan usulan kebijakan untuk umum. Berbagai aktivitas dapat dilakukan antara lain pengobatan, pencegahan, penyebarluasan informasi, juga usulan kebijakan publik di bidang kesehatan.   Tindakan praktis memelihara ciptaan Sekalipun yang kita lakukan kecil dan sepertinya tidak berpengaruh, tetapi semangatnya adalah menatalayani ciptaan Tuhan. Beberapa hal sederhana yang dapat segera kita lakukan adalah membangun gaya hidup dan tindakan sehari-hari dalam melakukan 3R ( reducing, reusing, dan recycling ). Kita perlu memeriksa cara membeli dan mengkonsumsi: Apakah kita telah mempraktekkan tindakan menghormati Allah dan memperdulikan alam? Melakukan evaluasi terhadap kebiasaan konsumsi dengan memperhatikan apakah produk yang dibeli aman bagi lingkungan (environment friendly) , membuat kompos dari sampah rumah tangga, mendaur ulang dan mengurangi penggunaan plastik dengan menggunakan tas belanja dan membawa botol minuman, memilih naik sepeda daripada mengendarai mobil, serta memilah sampah sebelum dibuang. Terdapat kisah nyata di tempat pembuangan akhir di Bandung dimana seorang pemulung sampah terluka tangannya akibat  pecahan gelas (beling) yang dimasukkan dalam kantong yang berisi sisa makanan.  Kita dapat bergabung dengan gerakan kebersihan lingkungan dan mendukung komunitas yang melakukan inisiatif pelestarian alam yang dilakukan oleh gereja, lembaga atau komunitas, maupun menggagas atau menginisiasi kegiatan pelestarian, juga mengadvokasi kebijakan dan praktek melindungi lingkungan. Kita juga dapat melakukan edukasi untuk mempromosikan tindakan pemeliharaan yang berkelanjutan. Melalui mimbar, liturgi dan doa, jemaat diajarkan tentang peran memelihara alam dan kemudian tergerak untuk mengatasi masalah lingkungan di sekitarnya termasuk menciptakan area hijau di sekitar rumah, gereja, dan komunitas.  Digerakkan melalui Kelompok Pemuridan Creation care is a fundamental part of our identity as followers of Jesus Christ .  Kepedulian terhadap ciptaan sebagai bagian dari pemuridan - dalam kelompok kecil, akan membentuk pola pikir yang alkitabiah dan mengakar kuat serta membangun gaya hidup dari anggota kelompok. Namun pada umumnya, bahan diskusi dan penelaahan Alkitab tentang penatalayan sering difokuskan hanya pada pengelolaan uang dan talenta, jarang mengarah pada penatalayanan terhadap ciptaan. Dalam kelompok, penelaahan alkitab seharusnya diikuti dengan mendiskusikan cara sederhana dan praktis untuk memelihara alam, termasuk langkah membentuk gaya hidup seorang penatalayan. Lebih lanjut, pemuridan di kalangan mahasiswa dan profesional perlu membahas implikasi berbagai disiplin ilmu terhadap pemeliharaan ciptaan misalnya di bidang kesehatan, tehnologi, tehnik, pertanian, peternakan, ekonomi bisnis, dlsb. Jadi, tindakan memelihara ciptaan seharusnya keluar dari hati yang beribadah kepada Tuhan, dan kasih kepada Tuhan dan ciptaan-Nya. Pemuridan akan menggerakan dan memampukan setiap anggota melakukan pemeliharaan ciptaan sebagai tindakan iman, bukan sekedar tindakan sosial atau kepedulian semata, melainkan juga menjadi tindakan partisipatif dari seluruh umat Tuhan - tua-muda, besar-kecil, dan bukan sekedar sekelompok orang yang memiliki interes yang sama. Yesuslah Tuhan atas segalanya dan semua ciptaan berada di bawah kekuasaan-Nya, karena itu marilah menatalayani ciptaan milik Tuan kita.  Sumber: Ephorus HKBP Victor Tinambunan Serukan Penutupan Permanen PT Toba Pulp Lestari pada Rakorwil PSBI - Tribun-medan.com . Sabtu (17/5/2025).  https://nasional.kompas.com/read/2025/06/09/10493731/polemik-tambang-di-raja-ampat-rusak-alam-diprotes-masyarakat-dan-dalih . Christopher Wright, The Mission of God’s People, Zondervan, USA, 2010   Dave Bookless, PlanetWise-Dare to Care for God’s World, Inter-Varsity Press, England, 2008 Ed Brown, Plenary Session, IFES World Assembly di Jakarta, YouTube, 2023 Creation Care and the Gospel - Lausanne Movement

Hubungi Kami

Dapatkan update artikel SAMARITAN terbaru yang dikirimkan langsung ke email Anda.

Daftar menjadi Samareaders sekarang!

Instagram
Facebook
Media Samaritan
Media Samaritan

 Media Samaritan 2022

bottom of page