111 items found for ""
- Kita Gereja
Mungkin, ada dari kita yang pernah mendengar seorang teman berkata bahwa dia memilih untuk tidak aktif menjadi anggota gereja tertentu dan cukup baginya untuk tidak pernah melewatkan ibadah minggu di banyak gereja secara bergantian. Ataupun, ada yang memang tidak ingin terlibat aktif dalam satu gereja tertentu karena tidak menemukan gereja yang ideal atau bahkan pernah kecewa terhadap satu gereja. Ada lagi yang merasa cukup dengan terus menjaga relasi pribadi dengan Tuhan tanpa ingin berkomitmen dalam satu gereja tertentu. Atau malah, sudah mempunyai gereja rutin setiap minggu, tetapi tidak ingin mengambil komitmen lebih jauh untuk menjadi anggota gereja tersebut dan memilih tidak ingin dilibatkan dalam pelayanan gereja karena urusan pekerjaan dan keluarga sudah sangat mengambil banyak waktu. Kita, yang mengenal Tuhan melalui pemuridan di Persekutuan Kampus dan pernah atau sedang terlibat aktif dalam pelayanan mahasiswa yang mana merupakan para-church, sudah seharusnya terlibat aktif di sebuah gereja saat sudah menjadi alumni. Tulisan di bawah ini akan membahas sedikit tentang Gereja yang dikaitkan dengan kita sebagai orang percaya. Dalam Perjanjian Baru, kata ekklesia yang secara umum menunjuk kepada Gereja, berasal dari kata -ek dan -kaleo, yang berarti “memanggil keluar”. Sehingga, bisa ditafsirkan bahwa gereja adalah sekumpulan umat pilihan Tuhan yang dipanggil keluar. Dalam Matius 16:18, pertama kali muncul kata ekklesia yang digunakan oleh Tuhan Yesus saat berkata kepada murid-muridNya “… dan diatas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” . Dengan demikian, gereja merupakan suatu institusi yang ditetapkan dan didirikan oleh Allah sendiri. Hal ini sudah merupakan satu alasan mendasar dan absolut mengapa gereja ada dan orang Kristen sebagai umat pilihan Allah harus menjadi bagian dari gereja. Menariknya, kata “gereja” yang kita gunakan sekarang ini diterjemahkan dari kata Church dalam bahasa inggris, Kerk dan Kirche masing-masing dalam bahasa Belanda dan Jerman, yang artinya “milik Tuhan” dan bukan berasal dari kata ekklesia. Already but not yet! Hanya oleh karena Anugerah Allah semata kita boleh mendapat bagian dalam keselamatan yang sudah dipersiapkan Allah sebelumnya. Akan tetapi, kita pun menyadari bahwa hidup dalam ketaatan kepada Kristus tidaklah mungkin dilakukan tanpa Anugerah Allah yang terus-menerus. Dalam Westminster Shorter Catechism no. 88 dinyatakan bahwa “cara lahiriah dan umum dimana Kristus mengkomunikasikan kepada kita manfaat dari penebusan adalah melalui tata cara-Nya, terutama Firman, sakramen dan doa; semuanya dibuat efektif bagi umat pilihan untuk keselamatan”. Louis Berkhof menambahkan bahwa Firman dan Sakramen tersebut merupakan Means of Grace atau alat-alat Anugerah yang objektif yang Allah sediakan dan tetapkan dalam gereja, yang melalui karya Roh Kudus, memimpin orang percaya kepada pengenalan akan Kristus atau menuju persekutuan yang lebih erat dengan Dia. Bisa disimpulkan bahwa sudah seharusnya bagi setiap orang percaya memiliki kehidupan bergereja untuk dapat menikmati berkat rohani dan terlebih lagi mengenal dan menikmati Allah senantiasa. Sebagai umat pilihan Allah, kita dipanggil untuk menjadi bagian dari gereja lokal. Bukanlah Gereja Keliling-keliling, tetapi berkomitmen untuk terlibat aktif, belajar melayani dan bersekutu dalam satu gereja yang tampak. Menurut St. Agustinus, ada yang disebut Invisible Church yang berarti sekelompok orang Kristen sejati yang secara “tidak tampak” dipersatukan dengan Kristus oleh Roh Kudus dan ada yang disebut Visible Church yang merupakan gereja dalam arti bangunan dan keanggotaan gereja yang terdiri dari umat pilihan Allah yang merupakan bagian dari Invisible Church, ataupun terdiri dari kumpulan orang bukan Kristen, tetapi lahir dan hidup dalam keluarga Kristen yang mendorongnya untuk menjadi anggota tetap dan aktif berpartisipasi dalam sebuah gereja. Adalah suatu pelanggaran terhadap Allah sebagai pendiri institusi gereja bila kita sebagai orang Kristen sejati memilih untuk tidak terlibat dalam keanggotan gereja tertentu. Berikut adalah 3 (tiga) hal mengapa orang Kristen harus menjadi bagian dari sebuah gereja: Persekutuan bersama anggota-anggota keluarga Allah (Ef. 2:19-22) akan menolong setiap orang percaya bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan melalui pendengaran dan penggalian Firman Tuhan bersama, saling menopang, dan bahkan saling mengoreksi (Mat. 18:15). Secara tekun mendengar Firman Tuhan yang disampaikan oleh Gembala di gereja dimana kita rutin berbakti sangatlah berbeda bila dibandingkan dengan mendengar Firman yang disampaikan oleh Hamba Tuhan dari gereja yang berbeda-beda setiap minggunya. Gembala gereja sejatinya bertanggungjawab terhadap jemaat gerejanya dan hal ini dapat menolong pertumbuhan rohani jemaat (Ibr 13:17). Dalam Kis. 20:28 dituliskan tentang tanggungjawab seorang gembala dalam menjaga kawanan umat Allah yang ditetapkan Roh Kudus baginya. Tentu sulit bagi kita untuk dikenal oleh gembala sebuah gereja bila kita tidak mengambil komitmen untuk terlibat aktif di sebuah gereja. Seorang gembala tidak mungkin mengenal domba yang tidak digembalakan-nya. Sudah sangat jelas bahwa Allah menghendaki setiap orang percaya untuk berkomitmen dalam sebuah gereja tertentu. Namun, bagaimana kita memilih gereja merupakan hal esensi yang selanjutnya perlu kita pahami. Sebagai orang percaya yang rindu untuk mengenal Allah yang sejati, kita harusnya secara aktif dan teliti mempertimbangkan di gereja mana kita beribadah dan apakah ajaran dalam gereja tersebut dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan Firman Tuhan. Tuhan Yesus sendiri memberikan peringatan kepada kita tentang hal pengajaran yang sesat (Mat. 7:15-23). Sehingga, kita seharusnya berespon melalui ketaatan atas Firman-Nya dengan memiliki kehidupan bergereja yang bertanggungjawab di hadapan Tuhan. Secara sederhana, kita bisa memulai dengan berefleksi melalui pertanyaan ini: apakah gereja kita saat ini mendorong kita semakin mengenal dan mengasihi Allah yang sejati sesuai dengan yang diberitakan oleh Alkitab? Secara singkat, kita akan melihat 3 (tiga) tanda gereja yang sejati di bawah ini: Pemberitaan Firman secara benar. Gereja yang sejati harus berpegang teguh pada dasar kebenaran iman yang sejati, doktrin yang berdasar dari Firman-Nya, serta praktek hidup umat yang sepadan dengan Firman Tuhan. Apakah gereja tersebut percaya bahwa Alkitab adalah otoritas tertinggi? Apakah penafsiran Alkitab dijaga ketat oleh gereja? (2 Tim. 3:16-17, 2 Pet. 1: 20-21). Pelaksanaan sakramen-sakramen dengan benar (1 Kor. 11:27-29) yang tidak boleh dipisahkan dari Firman Tuhan. Prosesi pelaksanaannya pun harus dengan disiplin dan oleh orang yang dapat mempertanggungjawabkan iman dan perbuatannya di hadapan jemaat (1 Tim. 3:2-7, 2 Tim 2:24). Pelaksanaan disiplin dengan setia oleh gereja untuk menjaga kemurnian doktrin dan sakramen, serta mempertahankan kebenaran Firman yang sejati (1 Kor. 5:1-5). Terlepas dari segala kesibukan kita dalam melayani keluarga dan juga masyarakat lewat profesi sebagai tenaga kesehatan, “panggilan keluar” untuk bertumbuh dalam pengenalan sejati akan Allah merupakan perintah Allah sendiri bagi setiap orang percaya, agar setiap orang percaya dipersiapkan Tuhan untuk menjadi kesaksian bagi kemuliaan Allah di tengah-tengah dunia. Pada akhirnya, kiranya artikel ini dapat mendorong setiap kita sebagai orang percaya untuk terlibat aktif, berkomitmen dan berakar dalam gereja Allah yang sejati untuk kemuliaan Allah semata. Soli Deo Gloria. “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.” Efesus 2:19-22 Sumber: https://www.ligonier.org/learn/articles/ordinary-means-of-grace/ https://renewingyourmind.org/2019/12/16/biblical-images-of-the-church https://www.desiringgod.org/interviews/should-i-commit-to-one-church Berkhof, Louis. Teologi Sistematika. Volume 5: Doktrin Gereja. Penerbit Momentum, 2014.
- Kegagalan Salomo
Image: https://www.britannica.com/biography/Solomon Siapakah Raja Salomo? Salomo adalah raja ketiga bangsa Israel, sejak mereka meminta kepada Samuel agar dipimpin oleh seorang raja (1 Sam. 8: 1-22). Dia adalah anak Raja Daud dari istrinya, Batsyeba (2 Sam. 12:24). Setelah ayahnya memerintah Israel selama 40 tahun, Salomo menggantikannya menjadi raja atas Israel. Salomo lahir dan memerintah di tengah-tengah kerajaan Israel yang sudah kokoh (1 Raj. 2:12). Kerajaan itu menikmati kedamaian ( peace ), kemakmuran ( prosperity ), dan kestabilan politik. Hal ini tercermin dari nama Salomo (Ibrani: שְׁלֹמֹ֥ה) yang berasal dari kata “shalom” (שָׁלוֹם). Sama halnya dengan Saul dan Daud, Salomo memerintah atas bangsa Israel selama 40 tahun (1 Raj. 11: 42). Memulai dengan ‘Cukup’ Baik Berbeda dengan ayahnya, Salomo tidak menghadapi banyak pergumulan atau tantangan sebelum naik tahta. Daud mengalami begitu banyak bahaya, perang, ancaman dan upaya pembunuhan, fitnah, serta berbagai intrik politik ketika ia mulai terlibat dalam kehidupan kerajaan Israel, khususnya saat ia mengalahkan Goliat, prajurit raksasa Filistin itu. Sejak kemenangan itu, Daud semakin dipuji oleh bangsa Israel. Di sisi lain, Daud tumbuh menjadi musuh bebuyutan Raja Saul yang harus dibunuh bila ada kesempatan. Akan tetapi, berbagai pergumulan itu membuat Daud berelasi akrab dengan TUHAN. Salomo tidak mengenal TUHAN seperti ayahnya. Ketika Salomo mulai memimpin kerajaan itu, TUHAN menampakkan diri kepadanya di Gibeon dalam sebuah mimpi. Berfirmanlah Allah: “Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu” (1 Raj. 3:5). Jawab Salomo: “...berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang paham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat...” (1 Raj. 3:9). Allah mengabulkan permintaannya. Hikmat ini menyertainya dalam banyak perkara kerajaan dan hikmatnya tersiar sampai ke seluruh Israel (1 Raj.3:28) dan segala bangsa datang kepadanya untuk mendengar hikmatnya (1 Raj.4:34). Allah pun mengaruniakan damai di seluruh negerinya (1 Raj.4:24). Salomo memulai kepemimpinannya dengan cukup baik, meskipun bukan tanpa kekurangan. Salomo membangun Bait Allah Sejak dahulu, Daud berkeinginan untuk membangun bait bagi Allahnya. Namun, Allah berfirman: “Engkau tidak akan mendirikan rumah bagi nama-Ku, sebab engkau ini seorang prajurit dan telah menumpahkan darah... Salomo, anakmu, dialah yang akan mendirikan rumah-Ku dan pelataranku sebab Aku telah memilih dia menjadi anak-ku dan Aku akan menjadi bapanya” (1 Taw. 8:3,6). Allah memandang Salomo spesial dan dipercayakan untuk membangun bait bagi Allahnya. Pada tahun keempat kepemimpinannya, Salomo mulai mendirikan rumah bagi TUHAN (1 Raj.6:1). Setelah tujuh tahun lamanya, rumah bagi Allah pun selesai didirikan (1 Raj. 6:38). Kegagalan Raja Salomo Raja Salomo memulai dengan cukup baik ketika meminta hikmat kepada Allah yang berfirman: “Mintalah apa yang hendak kuberikan kepadamu” (1 Raj. 3:5). Allah kemudian memberikan kepadanya hati yang penuh hikmat dan pengertian sehingga sebelumnya tidak ada seorang pun seperti dia, dan sesudah dia takkan bangkit seorang pun seperti Salomo. Tidak berhenti di situ, Allah juga memberikan kepadanya yang tidak ia minta yaitu kemuliaan yang besar (1 Raj. 3: 12-13). Hikmatnya menjadi terkenal dan kemuliaannya tersiar. Namun, mengapa dengan segala hikmat itu, Salomo sampai melakukan hal-hal yang dibenci Tuhan? Mengapa Salomo menjadi orang yang gagal? Cinta harta Salomo adalah raja yang sangat kaya. Ia membuat banyaknya emas dan perak di Yerusalem sama seperti batu dan banyaknya pohon kayu aras sama seperti pohon ara yang tumbuh di Daerah Bukit (2 Taw. 1:15). Salomo membangun megah istananya dengan takhta bertingkat dan megah (1 Raj. 10:18-20). Ia memang membangun bait Allah (selama 7 tahun), namun Salomo membangun istana bagi dirinya jauh lebih besar dan lebih mahal selama 13 tahun (1 Raj. 7:1) menggunakan bahan-bahan terbaik dan sangat mahal dengan segala perkakasnya. Emas yang dibawa kepada Salomo dalam satu tahun ialah seberat 666 talenta, belum terhitung yang didapat dari para saudagar, pedagang, raja-raja Arab dan para bupati (1 Raj. 10:14-15). Cinta banyak wanita Setelah menjadi raja, Salomo mengambil putri Firaun, raja Mesir, menjadi istrinya. Tidak hanya itu, Salomo mencintai banyak perempuan asing. Di samping anak Firaun ia mencintai perempuan-perempuan Moab, Amon, Edom, Sidon dan Het (1 Raj.11:1). Kepada bangsa Israel, TUHAN Allah telah berfirman: “Janganlah ia (raja) mempunyai banyak isteri, supaya hatinya jangan menyimpang...” (Ul. 17:17). Pada akhirnya, perempuan-perempuan itulah yang membuat hati Salomo menyimpang dari TUHAN Allah. Cinta kuasa dan kemuliaan Raja Salomo berusaha membangun kekuatan militer yang kuat, salah satu parameter kekuatan di masa itu adalah kuda. TUHAN Allah telah berfirman tentang raja Israel: “...janganlah ia memelihara banyak kuda dan janganlah ia mengembalikan bangsa ini ke Mesir untuk mendapat banyak kuda...” (Ul. 17:16). Apa yang Salomo miliki? Salomo mempunyai kuda 40.000 kandang untuk kereta-keretanya dan 12.000 orang berkuda (1 Raj. 4:26). Dari mana Salomo mendapat kuda-kuda itu? “Kuda untuk Salomo didatangkan dari Misraim (Mesir/ Egypt ) dan dari Kewe... Sebuah kereta yang didatangkan dari Misraim (Mesir) berharga sampai 600 syikal perak...” (1 Raj. 10:28-29). Sangat menarik mempelajari pandangan Tuhan Yesus tentang kemuliaan Salomo ini. “Perhatikanlah bunga bakung di ladang... namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu” (Mat. 6:28-29) Pada akhirnya, Salomo melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, dan ia tidak dengan sepenuh hati mengikuti TUHAN, seperti Daud, ayahnya (1 Raj. 11:6). Ia tidak memiliki relasi yang terus-menerus dengan TUHAN. Semua yang diberikan TUHAN kepadanya menjadi berhala bagi Salomo yang menyimpangkan hatinya dari Allah. Ia memulai dengan ‘cukup’ baik, namun pada akhirnya Salomo jatuh kepada penyembahan berhala hingga TUHAN pun akhirnya mengoyakkan kerajaan itu dari Salomo dan keturunannya.
- A Good Return: Prinsip-prinsip Alkitabiah untuk Pekerjaan, Kekayaan, dan Hikmat.
Penulis: John C Lennox Diterjemahkan dan diterbitkan oleh Literatur Perkantas 2024 Dunia kerja saat ini berjalan begitu cepat dan sibuk. Semakin sedikit waktu untuk seseorang bisa berpikir tentang makna dari pekerjaannya, khususnya bagi orang Kristen: “Apa makna pekerjaan mereka bagi Tuhan?” Sadar atau tidak, semakin kita sibuk, semakin sering kita terbawa untuk meyakini bahwa kehidupan kerja kita semakin tidak lagi ada hubungannya dengan rencana dan tujuan Allah. Dan, bagian kehidupan kita yang berorientasi kepada Allah justru didefinisikan oleh apa yang kita lakukan di luar pekerjaan kita. “A Good Return”, sebuah buku yang membahas tentang pentingnya pandangan Kristen dalam mengelola sumber daya dan menjalankan tanggung jawab kita sebagai pengikut Kristus. Buku ini ingin menggaris-bawahi bahwa prinsip-prinsip Alkitabiah bisa begitu relevan dengan pengelolaan keuangan, bisnis, maupun pekerjaan kita sehari-hari. John C. Lennox, sang penulis, seorang profesor emeritus matematika di Oxord dan fellow emeritus di Green Templeton College. Dia menulis banyak buku tentang sains dan kekristenan, serta menjadi lecturer maupun sebagai panelist dalam debat bersama beberapa nama pemikir-pemikir atheis. Tidak heran, gaya penulisannya diperkaya dengan banyak argumen, dibawakan dengan sangat sistematis dan berlogika. Buku ini juga tidak hanya berisi pandangan atau konsep rohani saja. Lennox justru mengeksplorasi bagaimana iman Kristen dapat memberikan panduan praktis dalam menghadapi tantangan ekonomi dan tantangan etika di post-covid-era. Penulis juga menggali tentang pentingnya menggunakan hikmat Tuhan, berintegritas, bekerja-keras, dan menjadi dermawan di dunia bisnis maupun kehidupan pribadi. Dengan pendekatan yang mendalam dan reflektif, John C. Lennox memberikan wawasan yang kaya tentang bagaimana kita dapat mencapai "a good return" bukan hanya dari segi finansial, tetapi juga dari segi spiritual dan moral. Buku ini mengajak pembaca untuk merenungkan kembali cara mereka melihat dan menggunakan sumber daya yang mereka miliki. Buku ini penting dibaca oleh kita yang sedang, atau sudah lama bekerja. Juga akan menjadi bahasan yang sangat menarik untuk direnungkan bersama dalam kelompok kecil di lingkungan kerja. Selamat membaca dan menghasilkan return yang baik.
- Hidup dalam Kasih-Nya
Dalam suratnya kepada Timotius, Paulus mengingatkan bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar (2 Tim. 3:1- 9) dimana terjadi delapan belas aksi kejahatan yang menyedihkan dan salah satunya adalah tidak tahu mengasihi. Orang-orang menjadi begitu bodoh dan miskin dalam mengasihi. Hati yang tumpul dan mati, bukan hanya tidak peka tetapi bertindak diluar nalar kasih sama sekali. Tentu kondisi ini menjadi sangat kontras dan jauh dari standar hidup yang Tuhan berikan kepada anak-anak-Nya. Karena seharusnya kasihlah yang menjadi dasar dan prioritas dalam semua aspek hidup, sebagaimana yang diperintahkan-Nya "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (Mat. 22:37-39). Kasih kepada Allah menjadi dasar untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri. Kasih kepada Allah akan mendorong dan memampukan untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri. Sebaliknya tidak mungkin seseorang bisa mengasihi sesamanya dengan benar seperti diri sendiri tanpa didasari kasih kepada Allah. Sejalan dengan itu Paulus juga mengingatkan dengan keras jemaat Korintus dalam suratnya 1 Korintus 13. Bagian ini adalah lanjutan dari pembahasan Paulus mengenai karunia rohani. Karunia rohani memang penting bagi pembangunan tubuh Kristus. Namun, jika karunia rohani tidak disertai kasih, maka semua akan sia-sia. Berbeda dengan cinta berahi yang berpusatkan pada diri sendiri. Kasih yang dimaksud bersumber dari Allah (1 Yoh. 4:19). Dari 1 Korintus 13 paling tidak ada tiga hal yang kita pelajari tentang kasih: Pertama , betapa tidak bergunanya segala karunia tanpa kasih (ayat 1-3). Semua karunia sehebat apa pun, akan menjadi sia-sia, tidak berguna bagi orang lain juga bagi diri sendiri bila tidak dilakukan dalam kasih dan karena kasih. Di sini ia menekankan bahwa memiliki karunia Roh tanpa mempunyai kasih tidak berguna sama sekali. Hati-hati, tanpa kasih gereja jadi tong kosong berbunyi nyaring, melimpah aktivitas tanpa dampak ke luar, gemuk karunia namun kerdil di dalam tindakan. Kedua , deskripsi kasih (ayat 4-7). Kasih dideskripsikan lima belas kata kerja. Bagian ini menggambarkan kasih sebagai suatu kegiatan dan kelakuan, bukan sekadar suatu perasaan batin atau motivasi. Kasih itu sabar. Kasih itu sanggup menanggung perbuataan jahat, luka-luka, dan hasutan, tanpa dipenuhi oleh kebencian, kejengkelan, atau balas dendam. Kasih membuat pikiran menjadi tabah, memberikan kekuatan untuk mengalahkan nafsu amarah. Kasih itu murah hati. Kasih seperti itu baik hati, melimpah dalam memberi. Kasih itu suka menolong dan berbuat baik, berusaha menjadi orang yang berguna. Kasih itu tidak cemburu. Kasih itu tidak bersedih atas keberuntungan orang lain. Kasih tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak membesarkan diri atas pencapaian-pencapaiannya, juga tidak menyombongkan diri dengan kehormatan dan kekuasaan serta penghargaan, tidak kasar dan jumawa, merendahkan orang lain, atau menginjak-injak mereka. Kasih itu tidak melakukan yang tidak sopan, tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas, berhati-hati untuk tidak melanggar batas-batas kesopanan. Kasih tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak menginginkan dan juga tidak mencari pujian, kehormatan, keuntungan, atau kesenangan bagi diri sendiri. Kasih tidak cepat merasa jengkel atau marah. Kasih memperbaiki ketajaman penguasaan diri, tidak cepat berprasangka dan juga tidak langsung melampiaskan hawa nafsu yang kuat. Kasih tidak menyimpan kesalahan orang lain. Kasih tidak menyimpan kebencian, juga tidak memberikan kesempatan bagi pembalasan dendam. Kasih tidak bersukacita karena ketidakadilan. Kasih tidak mengharapkan sesuatu yang buruk bagi siapa pun, apa lagi melukai atau menyakiti siapa pun, setidaknya tidak akan menjadikan hal ini sebagai sesuatu yang menyenangkan, bersukacita dalam melakukan kejahatan dan kekacauan. Kasih juga tidak akan bersukacita atas kesalahan dan kegagalan orang lain, dan bersorak-sorak atas mereka tetapi bersukacita karena kebenaran, bersukacita melihat orang-orang dibentuk untuk memiliki watak yang sesuai dengan Injil dan menjadi baik. Kasih itu menutupi segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu, tidak mengumumkan kesalahan orang lain untuk mempermalukan dan mencela mereka, namun menutupinya dari perhatian masyarakat luas selama kita masih mampu melakukannya, serta tetap setia kepada Allah dan kepada orang lain. Kasih itu sabar menanggung segala sesuatu, ia akan membiarkannya berlalu dan menahan semua kesakitan tanpa menyimpan dendam, bersikap sabar terhadap hasutan, dan panjang sabar, tetap teguh dan menahan semua kesulitan, walaupun sangat terguncang. Kasih percaya dan mengharapkan kebaikan bagi orang lain, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu. Kasih tidak akan segera mengakhiri suatu perkara dengan keputusasaan, tetapi tetap mengharapkan perubahan dari keadaan manusia yang paling jahat sekalipun Ketiga , nilai mutlak dan keabadian kasih.(ayat 8,13). Kasih tidak berkesudahan, nubuat akan berakhir, bahasa roh akan berhenti, pengetahuan akan lenyap. Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan, dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih. Kasih akan berlangsung terus selamanya. Hidup dalam kasih-Nya bukan alternatif tapi jati diri kita. Mari terus bertumbuh dalam kasih-Nya. Kiranya kasih-Nya menjiwai sikap dan tindakan kita, sehingga Dia dipermuliakan dalam seluruh aspek hidup kita. /is
- Tuhan Tidak Pernah Lelah
Renungan Natal 2024 Sahabat PMdN, dalam perjalanan sepanjang tahun 2024, pastilah banyak pergumulan yang telah kita lalui. Duduk diam di penghujung tahun, mengambil waktu teduh, mengevaluasi diri dan merenungkan apa yang telah dikerjakan-Nya bagi kita, tentu menjadi momen berharga bagi kita. Sebagian kilas balik mungkin menghadirkan banyak senyum dan kegembiraan: ketika kita muncul sebagai pemenang setelah melalui perjuangan yang berat, atau ketika menyaksikan orang-orang yang kita kasihi sukses dan bertumbuh dalam Tuhan, atau bahkan sekedar menuai buah kedisplinan dengan pencapaian sederhana atau personal best dalam hobi dan tentunya banyak lagi yang bisa disyukuri. Namun tidak sedikit kesedihan dan air mata di saat kita mengingat kecerobohan yang pernah dibuat sehingga meninggalkan jejak yang permanen dalam catatan perjalanan karir, atau ketika rasa bersalah menuding diri karena gagal memberikan yang terbaik buat orang-orang yang kita kasihi, atau ketika mengingat kepergian orang-orang yang kita kasihi, yang telah memberikan dampak positif dalam hidup kita, atau banyak hal lainnya yang bisa memperpanjang daftar ini. Roma 8:28 dan Filipi 1:6 dapat menjadi pengingat bagi kita, sekaligus penyemangat untuk terus berjuang karena menyadari Allah yang mengasihi kita, hadir dalam setiap pergumulan hidup kita sampai Dia menyelesaikan seluruh rencana-Nya atas hidup kita. Banyak hal-hal sederhana yang menjadi simbol perjuangan berat yang telah kita lalui. Buat saya, kursi di pojok ruangan praktek adalah pengingat betapa rentannya saya ketika menghadapi kasus-kasus sulit dengan outcome yang tidak jelas, dan betapa seringnya saya berlutut di sana memohon pertolongan dan belas kasihan-Nya untuk pasien-pasien yang saya tangani. Saya bersyukur bisa menikmati kehadiran Tuhan yang menuntun saya menyelesaikan kasus demi kasus dengan cara-Nya sendiri, yang seringkali melampaui kemampuan saya berfikir, dan saya yakin banyak para sahabat pun memiliki pengalaman yang sama. “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu petanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda (cat. virgin versi NIV) mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel” (Yes.7:14). Ayat ini mungkin selalu hadir dalam ibadah-ibadah Natal yang kita ikuti, namun sadarkah kita bahwa dalam konteks pasal ini, ayat ini adalah bagian dari teguran keras yang diberikan Tuhan kepada Raja Yehuda, Ahas, atas ketidakpercayaannya kepada janji pemeliharaan Tuhan bagi bangsanya yang sedang diserang oleh aliansi Raja Aram dan Raja Israel. Bagian ini ditutup dengan sebuah peringatan: “Jika kamu tidak percaya sungguh, kamu tidak teguh jaya” (If you do not stand firm in your faith, you will not stand at all - NIV) (Yes.7:1-10). Raja Ahas tampaknya rendah hati dan menghormati Tuhan (Yes.7:12), namun sesungguhnya dia lebih percaya kepada pertolongan Raja Asyur dibandingkan mempercayai janji-janji Tuhan (2 Raja-Raja 16:7-9). Lalu berkatalah Nabi Yesaya:” “Baiklah dengarkan, hai keluarga Daud! Belum cukupkah kamu melelahkan orang, sehingga kamu melelahkan Allahku juga? (Yes. 7:13) Yang menarik adalah Tuhan tidak pernah lelah menghadapi kekerasan hati umat pilihan-Nya, dan memilih untuk menghadirkan sang Imanuel sebagai tanda pemenuhan janji-Nya kepada umat-Nya. Ayat-ayat selanjutnya dalam pasal ini (Yes. 7:15-25) menjadi kenyataan sejarah bahwa apa yang dinubuatkan-Nya benar-benar terjadi. Bagian Firman Tuhan ini mengajarkan saya banyak hal, mulai dari pentingnya memiliki keteguhan hati dalam mengikut Tuhan, kesabaran Tuhan dalam berperkara dengan umat-Nya, kehadiran Allah dalam perjalanan sejarah umatNya, hingga cara Tuhan yang melampaui akal dalam menggenapi rencana-Nya melalui umat-Nya yang sering kali tidak setia. Saya terkesan dengan lirik sebuah lagu rohani yang mengatakan: “... Ku kagumi caraMu mencintaiku, Kau ada di cerita proses hidupku, di titik terendahku, Kau hadir tuk mengangkatku, ku tau Kau tak menyerah akan hidupku…”. Berkarya di tengah profesi medis yang begitu complicated dan melelahkan dan yang tidak selalu berujung dengan sebuah penghargaan dari pihak yang dilayani, serta hidup di tengah jaman dimana orang begitu mudah kehilangan harapan dan memilih mengakhiri hidupnya dengan jalan pintas - lagu ini seolah mengingatkan kembali bahwa kalau Tuhan saja tidak menyerah dengan hidup kita, mengapa kita yang harus menyerah???. Yang pasti, untuk bertahan dan berjalan dalam rencana-Nya, kita membutuhkan belas kasihan dan anugerah-Nya dari waktu ke waktu, dan ini tersedia bagi semua orang yang mengasihi-Nya. Sungguh menguatkan dan menghibur, bila kita merenungkan Mazmur 103:13-14: “Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia. Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat bahwa kita ini debu”. Sahabat PMdN yang saya kasihi, di penghujung tahun ini, marilah kita sekali lagi menghampiri Tuhan dalam segala kerendahan hati dengan sebuah keyakinan bahwa Tuhan peduli dan tidak pernah lelah menolong kita, Dia terus bekerja menggenapi rencana-Nya yang terbaik atas hidup kita. Selamat Hari Natal 2024 & Tahun Baru 2025, Tuhan Yesus memberkati kita semua. Dr. Lineus Hewis, Sp.A ( Ketua PMdN)
- Bagian Kedua: Menantikan Sang Mesias dengan Respon yang Benar
Respon ketiga terhadap berita kelahiran Sang Mesias yang akan dibahas dalam artikel ini adalah mereka yang menantikan Sang Mesias dan yang berespon dengan benar terhadap berita kelahiran Sang Raja Damai. Siapakah mereka? Menariknya, mereka bukanlah dari kelompok bangsa Israel yang sudah seharusnya menanti-nantikan kedatangan Kristus, melainkan dari kalangan bangsa non Yahudi. Alkitab mencatat mereka sebagai orang majus dari Timur. Identitas mereka masih diperdebatkan. Ada yang mengaitkan mereka secara positif dengan para filsuf dan imam dari Persia. Tidak sedikit juga yang merujuk kepada profesi yang erat dengan astronomi. Namun, kedatangan para majus dari Timur ini pun tidak terlepas dari penggenapan nubuatan dalam Yesaya 60. Bangsa-bangsa lain, dari Midian dan Efa, akan datang menyembah Sang Mesias yang dijanjikan. Yesaya 60:3, 6, “Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu… Sejumlah besar unta akan menutupi daerahmu, unta-unta muda dari Midian dan Efa. Mereka semua akan datang dari Syeba, akan membawa emas dan kemenyan, serta memberitakan perbuatan masyhur TUHAN.” Allah menghendaki keselamatan bagi segala bangsa, bukan eksklusif untuk bangsa Israel saja. Hal itu dengan jelas tergambarkan melalui kedatangan para majus dari Timur yang merupakan bangsa non Yahudi yang dianggap kafir dan najis bagi orang Yahudi. Donald Hagner, seorang Teolog Perjanjian Baru, menyatakan bahwa Matius dalam bagian ini bermaksud menunjukkan orang kafir (bagi orang Yahudi) yang diwakili para majus malah menunjukkan keterbukaan terhadap maksud dan tujuan Allah serta memberi penghormatan yang sangat besar bagi Raja yang baru lahir. Para majus dari Timur tersebut mengarungi perjalanan yang jauh dan berbahaya untuk dapat bertemu dengan Sang Raja tersebut. Mereka yang sungguh-sungguh berhasrat untuk mengenal Kristus, tidak menganggap kesulitan sebagai penghalang dalam mencari Dia. Penghormatan bagi Kristus oleh para majus terlihat dari tindakan mereka sesaat setelah menemukan Sang Bayi tersebut. Mereka sujud menyembah Kristus, bukan hanya sebagai Raja, tetapi sebagai Tuhan. Tindakan mengekspresikan rasa sukacita dan hormat yang dalam, tidak ditulis dilakukan mereka ketika bertemu dengan si raja kecil, Herodes. Terlebih lagi, mereka datang membawa persembahan yang sangat bernilai, bukan untuk melakukan praktik jual beli, melainkan sebagai bentuk penghormatan terhadap Raja yang baru lahir, berupa emas, kemenyan, dan mur. Banyak yang menafsirkan signifikansi dari ketiga persembahan tersebut yaitu emas yang melambangkan penghormatan mereka kepada Kristus sebagai Raja, kemenyan yang merupakan dupa yang harum sebagai persembahan bagi Allah, dan mur yang merupakan bahan balsem bagi mayat yang merujuk kepada Kristus yang harus mati. Tetapi, ketiga persembahan di atas tidak berarti bahwa para majus hanya berjumlah tiga orang, seperti yang tanpa sadar diyakini banyak dari kita. Kedatangan para majus dari Timur merupakan berita sukacita bagi kita yang tidak terlahir dari keturunan bangsa Israel. Status mereka sebagai bangsa asing yang dianggap najis juga merujuk kepada kenajisan kita akibat dosa dan ketidaklayakan kita di hadapan Allah. Namun, karya keselamatan melalui inkarnasi Kristus, Allah menjadi manusia yang lahir dalam dunia yang hina, tidak tertutup bagi kita yang kafir dan najis ini. Para majus yang menyembah Sang Raja dan mewakili bangsa asing, merupakan tanda awal penggenapan janji Allah kepada Abraham, “Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat…” (Kej. 22:18). Sekali lagi, janji berkat keselamatan tidak terbatas hanya bagi bangsa Israel, melainkan juga kepada bangsa-bangsa lain yaitu setiap orang yang percaya kepada Kristus Yesus sebagai satu-satunya Juruselamat dan Tuhan atas hidup mereka. Pada akhirnya, rasa hormat yang mendalam dan ketaatan oleh para majus tersebut harusnya merefleksikan respon kita sebagai orang percaya. Semua orang yang telah diberikan anugerah untuk bertemu secara pribadi dengan Kristus Yesus sudah seharusnya jatuh tersungkur untuk menyembah dan mempersembahkan yang terbaik dari diri mereka kepada Kristus. Bukan sebagian tetapi seluruh aspek kehidupan kita. Dan bukan untuk mendapatkan keuntungan dari Tuhan tetapi sebagai rasa syukur dan respon cinta kepada Tuhan yang terlebih dahulu berinisiatif memberikan yang terbaik bagi kita ketika kita masih belum mengenal Dia. Kiranya masa raya Natal tahun ini, sekali lagi menyadarkan kita akan kasih Allah yang begitu besar untuk kita yang sama sekali tidak layak. Biarlah kita hidup semakin mencintai Allah dan giat bekerja untuk Dia, sampai kita bertemu dengan-Nya, muka dengan muka. Soli Deo Gloria. /tnp
- Bagian Pertama: Sudahkah kita menantikan Sang Mesias dengan respon yang benar di masa Natal ini?
Saat ini kita kembali memasuki masa Natal di penghujung tahun 2024. Pertanyaan yang patut kita renungkan sebagai orang percaya adalah apa yang sudah ataupun sedang kita persiapkan? Siapakah atau apakah yang kita nantikan? Bagaimana kita meresponi masa Natal ini? Sembari kita merefleksikan pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis mengajak untuk kita dapat melihat kembali apa yang tertulis di Alkitab tentang tiga kelompok orang yang berespon terhadap berita lahirnya Sang Mesias yaitu kelompok orang yang tidak menantikan, ingin terlihat seakan menantikan, dan yang benar menantikan kehadiran Sang Mesias. Bagaimana respon mereka dan hal apa yang dapat kita pelajari dari mereka (baca Matius 2:1-18). Setelah bangsa Israel secara bertahap kembali ke Yerusalem dari pembuangan di Babel sejak tahun 537/538 SM, pembangunan Bait Allah dan pembacaan Taurat kembali dilakukan setelah sekian lama. Namun, pengembalian jati diri dan identitas sebagai umat Allah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pengaruh budaya asing dan penyembahan ilah-ilah dari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah rupanya begitu kental mempengaruhi bangsa Israel. Kawin campur, pelanggaran pada hukum Taurat seperti pengabaian perpuluhan dan hari Sabat, serta moralitas yang rusak akibat pengaruh budaya asing, terutama dari budaya Helenistik yang dominan, menjadi gambaran kondisi buruk bangsa Israel saat itu. Ditambah lagi dengan bangsa-bangsa lain yang menjajah mereka silih berganti dari Persia, Yunani, sampai dengan Romawi. Di masa-masa tersebut, orang Yahudi merasa begitu terpuruk dan menderita sehingga janji akan keselamatan oleh Sang Mesias menjadi pengharapan mereka satu-satunya. Sayangnya, masa-masa penantian tersebut diperburuk dengan tidak adanya suara Tuhan. Masa tersebut disebut sebagai masa keheningan 400 tahun, yaitu sejak 420 SM (masa Maleakhi) sampai abad ke 1. Inilah salah satu masa terburuk bagi bangsa Israel, bukan hanya karena kondisi hidup mereka, tetapi juga karena ketiadaan wahyu Allah. Yang tidak menantikan Sang Mesias Respon pertama atas berita kelahiran Sang Mesias yang akan kita pelajari adalah respon dari Herodes. Para majus dari timur tiba di Yerusalem untuk menemukan Sang Mesias. Namun, respon Herodes malah terkejut (Mat. 2:3). Kata “terkejut” tersebut menggunakan bahasa Yunani ταράσσω, yang menurut Craig Bloomberg seorang teolog Perjanjian Baru, lebih tepat diterjemahkan sebagai “dalam kekacauan” atau bahkan “ketakutan”. Kenapa Herodes ketakutan? Herodes, raja Yudea saat itu, merupakan keturunan Edom yang cukup familiar terhadap nubuatan Sang Mesias dan Kerajaan-Nya. Setelah 35 tahun bertahta sebagai raja kecil, kabar penggenapan janji Allah membuatnya iri hati dan takut kehilangan jabatannya sebagai ‘raja’. Bukan saja ia berharap bahwa penggenapan janji tersebut gagal, Herodes tidak ragu untuk melakukan segala cara demi menggagalkan hadirnya Sang Mesias dengan caranya sendiri. Ia menggali informasi dari para majus dan bahkan mengumpulkan imam kepala dan para ahli Taurat bangsa Yahudi untuk bisa mendapatkan lokasi dan waktu yang tepat terkait lahirnya Sang Raja. Hati jahatnya pun mengakibatkan tangis dan ratapan yang teramat sedih bagi para ibu yang kehilangan anak akibat rasa takut dan cemburu si raja kecil (Mat. 2:16-18). Bagaimana dengan kita saat ini? Mungkin sebagian dari kita berkata “Jelas aku bukan seperti Herodes yang ingin membunuh Yesus!”. Namun dengan tidak menempatkan Kristus sebagai satu-satunya Raja dalam kehidupan kita, kita tidak berbeda dengan Herodes. Sikap hati yang ingin bebas mendefinisikan apapun, tidak mau tunduk pada kebenaran Firman Tuhan, dan hanya mau mendengarkan apa yang mau kita dengar, merupakan ciri sikap hati “raja kecil” yang menganggap kebenaran Allah sebagai ancaman terhadap otoritas keakuan diri kita, yang pada akhirnya secara sadar atau tidak menjadikan Tuhan sebagai “musuh” yang kehadiran-Nya merupakan gangguan bagi kenyamanan diri dalam keberdosaan. Yang sepertinya menantikan Sang Mesias Kelompok orang yang kedua adalah para imam kepala dan ahli Taurat. Menariknya di masa ketika Allah ”diam”, bangkitlah dua kelompok keagamaan utama Yahudi yaitu yang disebut Farisi yang terkenal legalistik dan kelompok Saduki yang dikenal sangat liberal. Para Imam dan ahli Taurat ini tentu bisa menjawab dengan sangat akurat saat Herodes bertanya di mana Mesias akan dilahirkan, “Di Bethlehem, di tanah Yudea…” seperti yang tertulis di Mikha 5:1. Imam kepala merupakan pemimpin agama Yahudi dengan jabatan tertinggi yang mengemban tugas utama untuk mengawasi jalannya ibadah di Bait Suci, sedangkan ahli Taurat memang bertugas untuk mempelajari hukum Taurat (atau Perjanjian Lama bagi orang Kristen). Sehingga, sudah tidak heran mereka begitu memahami nubuat terkait kedatangan Mesias yang dijanjikan. Dan sebagai pemimpin agama, seharusnya pengetahuan mereka diikuti dengan kerinduan yang teramat dalam akan datangnya Sang Mesias ”untuk membebaskan umat Allah dari penjajahan bangsa Romawi kala itu” (hal ini pun merupakan interpretasi superfisial dan keliru). Namun, respon imam kepala dan para ahli Taurat hanya berhenti di situ. Mereka menjawab pertanyaan Herodes yang sedang kebakaran jenggot tentang Kristus yang sudah lahir. Lalu, mereka mungkin kembali ke aktivitas hidup keagamaan mereka tanpa aksi apapun. Sebagai pemimpin yang harusnya sadar akan kondisi buruk bangsanya, mereka harusnya jadi pihak yang paling merindukan penggenapan janji kedatangan Mesias. Sudah seharusnya mereka berespon dengan segera ikut para majus untuk menyambut kehadiran Sang Raja. Mesias yang dinanti-nantikan telah lahir, tunggu apa lagi?! Sangat disayangkan, mereka tidak melakukan apa-apa. Pemahaman kognitif yang dalam tentang Firman Tuhan tidak serta merta membuahkan respon yang benar di hadapan Tuhan. Orang Kristen yang sepertinya terlihat rajin menggali kebenaran Alkitab dan pergi beribadah, belum tentu benar-benar menanti-nantikan Kristus. Banyak yang melakukannya hanya untuk memuaskan otak atau memuaskan perasaan atau memang sekedar mencari nafkah dengan profesi rohaniawan. Kristus hanya penting selama mendatangkan keuntungan. Sudah sejauh mana kita mempersiapkan diri di masa Natal ini? Benarkah Sang Mesias yang kita nanti-nantikan? Sejauh mana kita menyadari kemerosotan kita sehingga menyadari signifikansi kedatangan Kristus? Kiranya refleksi dari tulisan ini mendorong setiap kita yang membaca untuk sungguh-sungguh merindukan pengenalan yang sejati akan Allah melalui momen Natal di bulan ini. Minggu depan, kita akan melanjutkan untuk mempelajari respon kelompok orang yang ketiga yaitu yang menantikan Sang Mesias dan berespon dengan benar atas kelahiran Sang Raja Damai.
- Johannes Leimena: Dokter Kristen yang Hidup dalam Dua Dunia
Tidak mengenal kata sulit. Itulah salah satu prinsip hidup sosok Johannes Leimena. Sering kali dikenal dengan Om Jo, Leimena lahir di keluarga Kristen, tanggal 6 Maret 1905 di Ambon. Ayah dan ibunya adalah Dominggus Leimena dan Elizabeth Sulitatu, keduanya berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar. Leimena merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Hidup yang keras di tengah kemiskinan pada zaman penjajahan, tidak menjadi alasan bagi Leimena untuk tidak berjuang dan berkarya. Dalam 72 tahun hidupnya, kita semua tidak asing dengan nama legendaris di dunia kesehatan dan perpolitikan ini. Leimena merupakan menteri yang menjabat paling lama dalam sejarah Indonesia. Sejak orde lama hingga orde baru, dia menjabat selama 20 tahun dan duduk dalam 18 kabinet berbeda dengan berbagai jabatan (Menteri Kesehatan, Wakil Perdana Menteri, Menko Distribusi, Menteri Sosial). Leimena juga merupakan penggagas berdirinya Puskesmas di seluruh Indonesia. Berkemauan keras dan tangguh sejak kecil Leimena menjadi seorang yatim ketika berusia 5 tahun, lalu tidak lama kemudian ibunya memutuskan untuk menikah lagi. Setelah ayahnya meninggal, Leimena bersekolah di Ambonsche Burgerschool , tempat pamannya menjabat sebagai kepala sekolah. Namun kemudian pamannya dimutasi ke Cimahi. Leimena ingin ikut pamannya pindah, sedangkan ketiga saudaranya tinggal bersama ayah tiri mereka. Keinginan Leimena itu tidak diizinkan ibunya, karena ia dinilai masih terlampau kecil untuk hidup jauh dari orang tua. Berbekal kemauan keras dan nekat, Leimena menyelinap ke kapal yang membawa pamannya ke Cimahi dan baru menampakkan diri saat kapal telah berlayar. Sejak saat itu ia tinggal bersama pamannya. Pada tahun 1914 Leimena pun ikut pindah ke Batavia bersama pamannya. Leimena hidup penuh disiplin, setiap hari ia berjalan kaki pulang dan pergi ke sekolah, ia juga selalu bangun subuh untuk membantu pekerjaan rumah tangga di tempat pamannya. Pada masa itu, berbagai penyakit berbahaya muncul di seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda. Kurangnya tenaga kesehatan yang dapat dipekerjakan mendorong pemerintah kolonial untuk mendirikan STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen, atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) yang saat ini dikenal sebagai Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Setelah menyelesaikan SMA-nya, Leimena pun melanjutkan studi di STOVIA. Berbeda dengan nama besar FKUI pada zaman ini, pada masa itu STOVIA lebih sering dikenal sebagai sekolah orang miskin. Bersekolah di sana tidak dipungut biaya dan justru diberikan beasiswa sebanyak 15 gulden per bulannya. Lulus dari STOVIA tahun 1930, Leimena melanjutkan spesialis di bidang penyakit dalam dan lulus 9 tahun kemudian. Kiprahnya di dunia organisasi serta politik ternyata telah diasah sejak masa mudanya. Ketika kuliah Leimena aktif di berbagai organisasi pemuda dan kegiatan keagamaan. Ia menjadi anggota Jong Ambon, aktif di Gerakan Oikumene, menjabat sebagai panitia Kongres Pemuda Pertama dan Kedua, serta mendirikan Christen Studenten Vereniging (Perkumpulan Pelajar Kristen). “Pendetaku” Setelah Leimena lulus sebagai dokter spesialis, ia mengabdi sebagai dokter dan sempat beberapa kali dipindahtugaskan. Ia pernah bekerja di RS Cipto Mangunkusumo, menangani korban letusan Gunung Merapi, menjabat sebagai direktur di RS Banyu Asin di Purwakarta, dan di RS Zending Imanuel Bandung. Pada saat ia bekerja di Purwakarta, Jepang telah menginvasi Hindia Belanda. RS Banyu Asin tempat Leimena bekerja sempat diduduki pasukan Jepang dan dihentikan operasionalnya, sehingga Leimena tidak diizinkan bekerja. Leimena sempat ditahan oleh pasukan Jepang untuk beberapa lama, diduga karena pertemanannya dengan Amir Sjarifuddin atau karena ia merawat tentara Belanda yang terluka dalam pertempuran Kalijati. Dia ditahan dalam penjara selama enam bulan, di mana ia dipukuli dan disiksa oleh tentara Jepang. Akan tetapi, hal tersebut tidak membuatnya pahit maupun menyimpan dendam. Selayaknya seorang Kristen yang beriman teguh, ia masih menunjukkan belas kasihannya dalam kondisi terjepit sekalipun. Di masa penahanannya, Leimena merawat seorang perwira Kempeitai Jepang yang menderita malaria hingga sembuh. Dan karena jasanya tersebut, ia akhirnya dilepaskan namun dikirim ke Tangerang. Kempeitai adalah polisi militer Jepang sekaligus polisi rahasia milik Jepang seperti halnya Gestapo milik Nazi Jerman. Pada masa itu Kempeitai adalah satuan militer Jepang yang paling ditakuti masyarakat Indonesia, karena terkenal dengan kekejamannya dalam memperlakukan siapa saja yang dinilai berisiko merugikan Jepang dalam Perang Pasifik. Leimena pertama kali bertemu Soekarno pada tahun 1945, setelah peristiwa Lengkong. Soekarno sedang menjenguk para korban dan Leimena sedang merawat mereka. Dua bulan kemudian, Leimena diundang sebagai Menteri Muda Kesehatan. Awalnya Leimena menolak undangan tersebut karena tugasnya sebagai dokter. Namun dengan berbagai pertimbangan, akhirnya ia menerima kepercayaan tersebut. Meskipun sekarang ia menjabat kedudukan penting, Leimena selalu menjalankan tugas kewajibannya dengan tanggung jawab dan penuh integritas. Bahkan dari cacatan Soekarno, Leimena tidak pernah absen sekalipun dalam rapat kabinet selama Soekarno menjabat sebagai presiden. Dikenal sebagai teman dekat Soekarno, ia sering dijuliki “ mijn dominee ” oleh Soekarno, yang artinya “Pendetaku”. Saat peralihan ke orde baru, banyak Menteri-menteri dari orde lama yang ditangkap dan dipenjarakan. Leimena adalah salah satu dari sedikit menteri yang tidak dipenjarakan. Dia juga dikenal sebagai diplomat ulung, yang sering mewakili Indonesia sebagai delegasi dalam berbagai perundingan seperti Perjanjian Renville, Konferensi Meja Bundar, dan sebagainya. Pasca perang kemerdekaan, kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia begitu buruk. Indonesia menghadapi deretan masalah seperti pemerintah kolonial yang tidak begitu peduli, ditambah usaha pengambilalihan rumah sakit selama pendudukan militer Jepang, keributan selama masa perang kemerdekaan, dan maraknya malnutrisi. Saat itu Leimena tengah menjabat sebagai Menteri Kesehatan. Leimena menilai kesehatan masyarakat merupakan salah satu komponen kunci untuk pembangunan Indonesia. Maka ia memfokuskan diri pada sistem pencegahan dan peningkatan kebersihan di berbagai wilayah di Indonesia, terutama area pedesaan. Kebijakan ini bertolak belakang dengan sistem zaman kolonial yang hanya memperhatikan pelayanan kesehatan di area perkotaan. Salah satu dobrakan besar yang dilakukan Leimena adalah menginisiasi Bandung Plan . Sistem ini diadopsi dari program yang mula-mula dijalankan Leimena di RS Zendingg Imanuel Bandung, tempat ia bekerja sebelum menjadi menteri. Ketika itu ia melihat masyarakat Muslim cenderung ragu-ragu berobat ke rumah sakit, karena pada saat itu kebanyakan rumah sakit adalah rumah sakit milik misionaris Kristen. Maka Leimena memutuskan untuk mulai membangun sejumlah klinik di pedesaan sebagai jembatan pelayanan dari rumah sakit pusat di kota. Agenda ini kemudian dikenal sebagai Bandung Plan, atau Leimena Plan, dan sejak tahun 1952 diputuskan untuk dikembangkan ke seluruh Indonesia. Program ini sempat mendapat perhatian dan penghargaan dari WHO dan dijadikan acuan bagi negara-negara lain. Selain itu, Leimena juga mencurahkan perhatian pada tingginya angka kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir. Mortalitas ibu melahirkan mencapai 12-16 per 1000 ibu melahirkan di zaman itu, dan angka kematian bayi mencapai 115-300 per 1000 kelahiran bayi. Angka ini hanya menggambarkan kematian yang tercatat di rumah sakit. Sedangkan prevalensi kematian ibu dan bayi baru lahir di luar rumah sakit, diperkirakan lebih tinggi lagi. Leimena kemudian menginisasi Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak pada tahun 1951. Orang paling jujur Begitu banyak kontribusi Leimena dalam memajukan bangsa ini, tanpa mencari keuntungan bagi diri sendiri maupun kalangan tertentu. Dalam ranah personal pun, Leimena terus memberikan dampak pada orang-orang sekitarnya. Menurut Soekarno dan Mohammad Roem, Leimena adalah seorang politisi yang jujur dan diplomat yang berbakat. Bahkan Soekarno pernah mengatakan Leimena adalah orang paling jujur yang pernah ia temui seumur hidupnya. Dalam kedekatan antara Leimena dengan Soekarno, orang-orang di sekitar mereka pun mengakui – seperti Sutan Sjahrir -, bahwa Leimena selalu menyampaikan pikirannya secara tulus kepada Soekarno. Kendati menjabat peran yang begitu penting dalam waktu yang lama, juga terafiliasi dengan pemangku kekuasaan di negara ini, Leimena adalah sosok yang sederhana. Ia biasa memakai kemeja putih kemana pun ia pergi. Soekarno mencatat dalam autobiografinya bahwa Leimena bahkan tidak memiliki pakaian formal. Dalam beberapa kesempatan saat ia dikirim untuk diplomasi, ia harus meminjam jas dan dasi dari temannya. Menutup usia pada tanggal 29 Maret 1977 di usianya yang ke 72 tahun, Leimena telah meninggalkan begitu banyak warisan sejarah, teladan, dan warisan iman bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bukan harta berkelimpahan, bukan kekuasaan tak terjamah bagi anak cucunya. Tetapi aspirasinya adalah bagi kita. Hidupnya adalah bagi Indonesia. Bahkan segala jerih lelah, upaya, dan air matanya adalah bagi orang-orang kecil yang tak pernah dikenalnya. Tiga puluh tahun lebih dari sejak kepergiannya, tepatnya tahun 2010, nama Johannes Leimena ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mengenang hidup Leimena, sulit untuk tidak teringat pada Yeremia 29:7, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Kita dipanggil bukan untuk pasif, tetapi untuk mengusahakan dengan aktif. Bukan untuk menerima saja, tetapi berjuang untuk memberi. Kita kadang termakan kekecewaan dan pesimisme ketika melihat kacaunya dunia di sekitar kita. Mungkin tidak jauh dari realita di Indonesia saat ini. Begitu besar godaan untuk bersikap apatis, sebab mungkin tidak ada hal dalam jangkauan kita yang dapat membawa perubahan yang nyata. Akan tetapi, perintah Tuhan dalam kita Yeremia tadi juga datang kepada orang-orang biasa, pada rakyat jelata seperti kita yang terbatas kapasitasnya. Maka mari sekali lagi mengimani, bahwa hal sehari-hari yang menjadi bagian kita, seberapa kecil pun itu, dapat Tuhan pakai dalam rencana besar-Nya. Kita mungkin dipakai Tuhan dengan cara yang berbeda dari Johannes Leimena. Setiap kita adalah “sekadar” potongan puzzle di tangan Tuhan, dan yang Ia tuntut dari kita adalah untuk menjalankan bagian kita dengan setia. Keteladanan Leimena Tidak menyerah dalam kesulitan. Lahir dalam keluarga miskin dan di tengah zaman penjajahan, tidak menjadi alasan untuk Leimena berhenti mengejar pendidikan setinggi-tingginya. Berjuang untuk mempraktekkan imannya dengan sepenuh hati dan setia. Iman Kristen yang dipegangnya teguh menjadi pelita bagi langkah hidupnya. Betapa setiap orang adalah berharga di mata Tuhan, dan kewajiban apa yang diampu seorang Kristen di tengah dunia ini di dalam konteks profesi dan kepercayaan yang diberikan padanya. Dalam hidup kesehariannya pun Leimena mempengaruhi orang-orang di sekitarnya dengan kejujuran, integritas, serta kesederhanaan. Tidak pasif sebagai orang Kristen. Di dorong oleh kasih yang begitu besar, Leimena berjuang bagi setiap orang, bahkan orang-orang kecil di pedesaan dan daerah terpencil yang sering kali diabaikan orang lain. Juga beban yang dipikulnya untuk menjadi terang dan garam, mendorongnya untuk terus berkontribusi bagi bangsa ini. “Tugas seorang Kristen Indonesia adalah memperlihatkan bahwa menjadi Kristen tidak ada sangkut pautnya dengan kolonialisme. Menjadi Kristen berarti hidup dalam dua dunia, sebagai anggota yang hidup dari bangsa sendiri dan juga sebagai anggota persekutuan orang-orang kudus di dalam Kristus.” (kutipan tulisan Leimena dalam majalah Belanda Eltheto , 1935) Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Johannes_Leimena#cite_note-tirto-65 https://www.paideia.gkicitra1.id/mengenal-dr-johannes-leimena-.paideia https://ikpni.or.id/pahlawan/johannes-leimena-prof-dr/ https://tirto.id/johannes-leimena-orang-paling-jujur-di-mata-sukarno-bJLB Astiannis R, Saripudin D. Johannes Leimena Dalam Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia (1946-1956). 2018. Factum; 7:2.
- Tidak Berhenti Menjadi Murid-Nya
Sejatinya setiap orang yang mengaku pengikut Kristus adalah murid-Nya. Itu sebabnya jika kita mengaku orang Kristen, orang yang percaya kepada-Nya, dan mengikut-Nya, berarti kita adalah murid-Nya. MURID adalah identitas kita. Menyatu dengan kita, tidak terpisah dan tidak berhenti. Benarkah kita murid-Nya? Yesus memberi kriteria atau syarat yang ketat jika ingin menjadi murid-Nya. Salah satu ayat yang singkat namun padat sebagaimana tertulis dalam Lukas 9:23. Kata-Nya kepada mereka semua: " Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku ". Dari perikop ini paling tidak kita dapat melihat ada tiga syarat menjadi murid-Nya. Yang pertama, kita harus menyangkal diri. Menyangkal diri tidak sama dengan menyiksa diri. Menyangkal diri berarti mengatakan ‘tidak’ pada diri sendiri dan ‘ya’ kepada Tuhan. Fokusnya adalah Tuhan dan kehendak-Nya bukan diri kita atau keinginan kita. Kedua, memikul salibnya setiap hari. Setiap hari adalah hari untuk siap sedia menanggung penderitaan karena kita mengikut Kristus. Penderitaan karena kita melakukan kebaikan. Penderitaan karena menyatakan kebenaran. Ini adalah harga yang harus dibayar oleh seorang murid. Penderitaan yang tidak harus dia tanggung; meneladani Kristus Sang Guru (1 Petrus 2:19-22). Bukan penderitaan karena kesalahannya. Ketiga, mengikut Dia. Kita mengikuti Dia. Kita meneladani Dia. Semakin hari kita semakin serupa dengan-Nya. Yesus menjadi teladan dan role model kita dalam seluruh aspek hidup kita (1 Yohanes. 2:6). Itu sebabnya sebagai murid seharusnya kita terus bertumbuh dan diubahkan. Bill Hull menyampaikan ada enam aspek yang diubahkan jika kita menjadi murid yang bertumbuh. Pertama, pikiran yang diubahkan, pembaharuan akal budi (Roma 12:2). Kedua watak yang diubahkan. Watak yang teruji dengan godaan (Matius 4:1-10). Ketiga, hubungan yang diubahkan. Mengasihi sebagaimana Yesus mengasihi (Yohanes 13:34-35). Keempat, kebiasaan-kebiasaan yang diubahakan; seperti kebiasaan berdiam diri, ketundukan, kesiapan berkorban, hemat dan lain-lain.Kelima, pelayanan yang diubahkan. Melayani bukan dilayani. Keenam, pengaruh yang diubahkan. Memimpin sebagaimana Yesus memimpin. Memimpin dengan kerendahan hati, bukan dengan tangan besi dan kekuasaan (Filipi 2:5-7). Sebagai pribadi dan komunitas orang percaya - baik gereja atau persekutuan, kita perlu terus mengevaluasi dan mengantisipasi agar tetap pada agenda yang diamanatkan Yesus kepada kita, yaitu: memuridkan. Bagi Yesus pemuridan itu sangat penting. Yesus memulai pelayanan-Nya dengan memanggil para murid dan memuridkan mereka, lalu pada akhir pelayanan-Nya di dunia sebelum Dia naik ke surga Dia mengutus murid-murid-Nya agar memuridkan dan menjadikan semua bangsa murid-Nya (Matius 28:18-20). Dari perikop ini kita melihat ada empat kata kerja yang berbentuk perintah dalam ayat 19-20 : ‘pergilah’, ‘jadikanlah’, ‘baptislah’, ‘ajarlah’. Dalam perintah ini, ada satu kata kerja utama yang berbentuk perintah (menurut tata bahasa Yunani disebut aorist imperative ), yaitu “ matheiteusate ” (jadikanlah murid/muridkanlah), sedangkan tiga kata kerja lainnya merupakan keterangan berbentuk aorist participle dan present participle yang berfungsi menjelaskan apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan perintah utama tersebut: “ poreuthentes ” (pergilah), “ baptizontes ” (baptislah), dan “ didaskontes ” (ajarlah). Perintah “pergilah” tidak selalu bermakna geografis, melainkan menyiratkan suatu tindakan aktif. Artinya, untuk mengerjakan tugas memuridkan dituntut inisiatif kita untuk pergi memberitakan Firman Tuhan dan mencari jiwa-jiwa yang terhilang, bukan hanya sekedar pasif menunggu orang yang datang menyerahkan diri. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan frase “as you go” yang bermakna kemana pun kita pergi, sejatinya memuridkan. Sedangkan arti kata “ajarlah” dalam perikop ini menjelaskan proses yang harus dijalani dalam membentuk seseorang menjadi murid Kristus. Ini merupakan proses panjang yang berkaitan dengan aspek kualitas. Langkah berikutnya adalah mengajar orang tersebut untuk “melakukan segala sesuatu” yang diperintahkan oleh Kristus untuk hidup dalam ketaatan total terhadap Firman Tuhan. Perintah ini bukan sesuatu yang mustahil karena yang dituntut bukanlah kesempurnaan tanpa cacat cela, melainkan karakter yang taat Firman Tuhan dalam segala hal. Bukan pula hanya terjadi sewaktu-waktu, atau disebabkan oleh ketakutan tertentu, ataupun karena mengharapkan sesuatu, melainkan menyatu dengan cara berpikir dan cara hidup sehari-hari. Dan pernyataan “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”, menyiratkan bahwa Amanat Agung tersebut tidak hanya ditujukan kepada sebelas murid yang hadir di Danau Galilea pada masa itu, melainkan juga ditujukan kepada murid-murid Kristus generasi selanjutnya hingga akhir zaman. Hal ini berarti bahwa Amanat Agung tersebut berlaku juga bagi setiap kita yang mengaku sebagai pengikut Kristus pada zaman ini. Kita perlu terus mengingat siapa yang menyertai kita adalah Yesus yang kepada-Nya telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Jika Yesus menyertai kita, seharusnya tidak ada alasan untuk takut dan gentar. Sang Pribadi inilah yang membuat kita bisa tetap maju, aktif, tekun dan setia sampai akhir. Undangan dan panggilan menjadi murid-Nya sesungguhnya tidak berhenti pada diri kita tetapi juga berarti panggilan dan undangan untuk memuridkan. Memuridkan bukan sebatas program dan aktivitas melainkan menjadi teman untuk berjalan bersama dalam relasi kasih yang saling asah dan asih bertumbuh bersama, mengikuti Yesus, Tuhan kita, Sang Guru dan teladan kita (is) Referensi: Bill Hull, 2014. Panduan Lengkap Pemuridan, Yayasan Gloria- Katalis, Jogyakarta Indrawaty Sitepu dkk ,2023. Pendidik, Pengajar yang Belajar , Literatur Perkantas, Jakarta Tim Staf Perkantas, 2013. Pemuridan Dinamis Membangun Bangsa , Literatur Perkantas, Jakarta
- Tenaga Kesehatan Politis, Why Not?
SEKECIL apa pun terang suatu lilin, ia akan mampu menyinari kegelapan di sekitarnya. Seiring dengan itu, kita sebagai umat tebusan yang sekarang ini ada dalam Fase Kejatuhan dan Fase Penebusan, perlu berperan dan bertanggung jawab memulihkan ciptaan atas semua kerusakan yang ada. Pun kerusakan politik. Partisipasi orang Kristen sebagai warga negara yang aktif dalam semua bidang, termasuk bidang politik adalah keniscayaan. Keterlibatan itu, dalam profesi apa pun, adalah wujud nyata dari panggilan iman (kewajiban iman) sekaligus hak istimewa sebagai warga negara. Berpartisipasi secara aktif, proporsional, dan seimbang dalam bidang politik, patut dijalankan supaya memberi manfaat bagi kehidupan bersama. Kabar Indonesia terkini Indonesia saat ini tidak dalam kondisi yang fit dan bugar jika melihat kabarnya melalui data-data. Indonesia masuk deretan 100 negara miskin di dunia. Pada 2023 Indonesia menjadi negara termiskin ke-70 di dunia (Global Finance dalam idxchannel.com , 16/01/2024). IQ nasional kita bahkan terendah di antara negara Asia Tenggara lainnya. Laporan World Population Review 2023 (dalam worldpopulationreview.com ) menulis skor rata-rata IQ orang Indonesia adalah 78,49—peringkat ke-126 dari 199 negara. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) baru mencapai 74,38 pada 2023 (Indeks Pembangunan Manusia 2023, 2024). Celakanya, hingga tahun 2023 generasi yang ada pada usia produktif kelak justru kebanyakan mengalami stunting. Tercatat sebesar 21,5% angka stunting di Indonesia (Kementerian Kesehatan dalam sehatnegeriku.kemkes.go.id , 25/07/2024). Diperparah dengan rasio dokter di Indonesia yang masih kurang, yakni 0,47—hanya 0,47 dokter per 1.000 penduduk—dengan urutan 147 di dunia (ibid., 24/04/2024). Semakin parah jika berkaca pada fasilitas kesehatan di daerah Timur juga daerah terdepan Indonesia lainnya. Kualitas pendidikan juga mengkhawatirkan. Mengacu pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Maret, 2023), Angka Partisipasi Murni (APM) untuk jenjang pendidikan tinggi hanya 21,73. Pendidikan kedokteran punya cerita lain lagi. Selain biaya studinya yang terkenal tinggi dibanding studi lainnya, pun banyak mahasiswa Kedokteran yang masih dibebankan biaya ‘ilegal’ lainnya. Kejatuhan Manusia Dalam cara pandang Kristen (Christian worldview)—penciptaan (Creation)-kejatuhan (Fall)-penebusan (Redemption)-penyempurnaan (Consummation)—yang kita imani, sekelumit masalah yang kompleks tersebut adalah bagian dari fase kejatuhan manusia dalam dosa di kehidupan dunia ini. Alkitab menegaskan bahwa manusia itu seluruhnya bobrok dan bahwa dunia, di mana Allah menempatkannya (manusia) sebagai penguasa, kini berada dalam keadaan rusak sebagai akibat dosa; bahwa maut telah masuk ke dalam dunia sebagai hukuman atas dosa... (H. Henry Meeter, 2012: hlm 15). Dosanya berlapis. Lembaga pemerintahan yang pusatnya adalah kekuasaan secara alamiah memang cenderung bersifat korup, menindas, dan menyimpang. Demokrasi sudah meramalnya. Skema checks and balances antar-ketiga lembaga pemerintahan—Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif—secara kasat mata belum berjalan optimal. Berkaca pada kasus-kasus tersebut, kita bersedih karena tampaknya justru berjalan mundur. Bukan checks and balances , melainkan saling bermufakat demi kepentingan masing-masing. Tak luput, ada celah pada struktural. Struktural yang dimaksud adalah bagaimana mekanisme negara pasti memengaruhi permasalahan publik. Patut dipertanyakan mengapa kebijakan publik belum menjawab akar persoalan. Ada alur perumusan kebijakan yang tidak dijalankan secara rigid dan konsekuen. Bisa jadi karena kekeliruan pada tahap input atau pada tahap proses, atau keduanya, sehingga melahirkan output (kebijakan publik) yang cacat. Singkatnya, masalah ada karena mekanisme dari sistemnya ‘memaksa’ lahirnya masalah tersebut. Sebagai individu, kita juga berkontribusi atas lahirnya masalah-masalah tersebut. Yang konkret dan dekat adalah soal partisipasi politik kita yang masih di ambang lemah. Patologinya biasanya sikap sebagai pemuja ulung. Memuja-muji kekuasaan tanpa ada sikap kritis yang tajam dan proporsional. Ini sangat bahaya karena akan menimbulkan bias bagi mereka yang berkuasa: seakan semua baik-baik saja, tidak ada masalah. Imbasnya, tidak ada perbaikan yang dilakukan. Bahkan kekuasaan bisa dijalankan secara sembarangan akibat ketiadaan sikap kritis dari warga negara. Patologi selanjutnya adalah bersikap apatis, acuh tak acuh. Kasus yang umum terjadi adalah saat Pemilu - hanya sebatas coblos lalu tinggalkan tanpa memedulikan apa yang terjadi setelahnya. Sikap kita ini telah melonggarkan pengawalan selama ia menjabat, yang berpotensi besar menjadi lampu hijau baginya untuk berpraktik lancung. Partisipasi politik tenaga kesehatan Alam dan semua kehidupan ini adalah tempat kudus untuk memuliakan Allah. Adalah mandat untuk tidak hanya berurusan dengan yang rohaniah, tapi juga mampu menjawab tantangan dari realitas dunia. Seorang Calvinis menganggap sebagai kewajibannya untuk menyelidiki seluruh kehidupan dan, dalam hal kebudayaan intelektual, mengembangkan pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya, menatanya ke dalam satu keseluruhan yang harmonis dan terperinci, dan menggunakannya bagi Allahnya (ibid., 2012; hlm. 18). Kita semua harusnya merasa resah gelisah dengan kondisi Indonesia sekarang ini. Abraham Kuyper (2005; hlm. 27) menegaskan, “Dengan demikian kutuk tidak lagi berada di atas dunia itu sendiri, tetapi di atas apa yang berdosa di dalamnya, dan alih-alih melarikan diri dari dunia dengan masuk biara, tugas kini diarahkan untuk melayani Allah di dalam dunia, dalam setiap posisi dalam kehidupan.” Berdasarkan cara pandang Kristen yang kita imani, sebagai masyarakat juga umat Kristiani, kita perlu melibatkan diri dalam politik. Terlebih, politik adalah tanggung jawab warga negara, apa pun profesinya—pedagang, guru, dokter, dst.. Cara mudah adalah suarakan, pakai hak berpendapat kita. Suarakan kegelisahan dengan proporsional dan elegan supaya tepat sasaran dan dipertimbangkan. Tenaga kesehatan, sebagai warga negara, harus berperan memikirkan politik kebijakan publik secara umum dan kebijakan negara sektor kesehatan secara khusus. Untuk tidak melulu mengenai lingkup utamanya, tapi juga lingkup lainnya secara komprehensif. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki sikap profesional, pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan tinggi yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya Kesehatan (Pasal 1 angka 7 UU Kesehatan). Tenaga kesehatan perlu bersikap politis. Berpartisipasi politik secara aktif dan kritis. Mengutip Huntington (No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, 1994), partisipasi politik berarti kita yang bertindak sebagai pribadi-pribadi memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Bisa secara individu/otonom/sukarela, melalui platform media sosial pribadi. Partisipasi ini mendesak demi mengontrol pemerintah. Menyalurkan tentang kebutuhan dan kepentingan kita, yang diharapkan berimpak pembangunan negara. Bisa juga secara organisasi (dimobilisasi) atau sampaikan ke mitra terkait. Langkah lainnya adalah berpartisipasi langsung untuk memengaruhi kebijakan. Semua bisa dilakukan tanpa perlu meninggalkan tanggung jawab utama. Kita tidak diperkenankan lelah menyuarakan, karena ini adalah bagian dari tanggung jawab kita sebagai warga negara. Partisipasi politik penting agar ada kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintah dan kekuasaan negara tidak absolut. Jangan partisipasi minimal, karena sama saja itu berarti pengawalan tidak ketat dan potensi masih ada celah. Kita, sebagai umat tebusan, perlu berperan dan bertanggung jawab memulihkan ciptaan atas semua kerusakan yang ada. Dalam bidang politik, berpartisipasi secara aktif, proporsional, dan seimbang adalah bentuk konkretnya. Itu upaya kita untuk menjadi terang lilin yang mampu menyinari kegelapan di sekitarnya sekaligus merupakan hak kita sebagai warga negara. Profil Singkat Nama : Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si . TTL/Umur : Wayaua (Bacan/Halmahera Selatan), 20 Agustus 1987/35 tahun Pekerjaan : • Anggota DPD-RI Terpilih Prov. Maluku Utara (2024–2029) • Tenaga Ahli Anggota DPR-RI (2019–2023) • Tenaga Ahli DPR-Papua (2014–2018) • Bapak Rumah Tangga Pendidikan : • S3 Ilmu Politik Universitas Indonesia (2018–2022) • S2 Ilmu Sosiologi Universitas Indonesia (2011–2014) • S1 Ilmu Administrasi Negara Universitas Merdeka Malang (2005–2009)
- Aborsi: Apa Masalahnya?
“PP Kesehatan baru, pemerintah legalkan aborsi untuk korban perkosaan”, begitu kira-kira judul berita yang heboh tersebar di Indonesia belakangan ini, sekitar pertengahan tahun 2024. Sejak disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024, topik aborsi menjadi satu topik kesehatan reproduksi yang banyak diperbincangkan. Ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa peraturan ini adalah terobosan baru di Indonesia, meskipun ini tidak benar. Kenapa? Di Indonesia, aborsi untuk korban perkosaan sudah legal dan ini sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan yang lama yaitu UU Kesehatan no. 36 tahun 2009. Dalam UU Kesehatan tersebut, pasal 75 dan 76 mengatakan bahwa perempuan korban perkosaan yang mengalami kehamilan dapat melakukan aborsi sebelum kehamilan berumur 6 minggu (dihitung dari hari pertama haid terakhir). Jika aturan ini sudah ada sejak tahun 2009, lalu apa yang berbeda mengenai peraturan aborsi legal di tahun 2024? Yang membedakan adalah batas usia kehamilan untuk korban perkosaan di mana aborsi secara legal boleh dilakukan. Peraturan yang baru mengatakan bahwa batas usia kehamilan tersebut adalah 14 minggu (UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 463). Dengan demikian, batas usia kehamilan yang sebelumnya adalah 6 minggu sekarang berubah menjadi 14 minggu. Di satu sisi, kita bisa memahami bahwa peraturan mengenai aborsi ini dirancang untuk melindungi perempuan. Kasus pemerkosaan pasti meninggalkan luka dan trauma yang mendalam bagi korban. Sudah mengalami pelecehan, dia kini harus menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini semakin menambah beban mentalnya, karena setiap kali melihat kandungannya, dia akan teringat pada pelaku pemerkosaan. Belum lagi jika dia mengalami kesulitan finansial: bagaimana dengan biaya perawatan untuk kehamilan dan persalinan? Apa yang harus dilakukan dengan biaya untuk membesarkan anak jika sudah lahir? Ditambah lagi, stigma sosial yang harus dihadapi: menjadi bahan pembicaraan masyarakat, dicap sebagai "anak haram", dan sebagainya. Bayangkan betapa beratnya tantangan yang mungkin dihadapi oleh perempuan korban pemerkosaan ini. Sehingga, aborsi ditawarkan sebagai salah solusi untuk menolong perempuan yang mengalami situasi sulit tersebut. Apa itu aborsi? Dari tadi kata “aborsi” sudah disinggung berkali-kali, namun apa itu aborsi? Aborsi adalah pengakhiran kehamilan dengan mengeluarkan embrio atau janin dari dalam rahim perempuan dengan menggunakan berbagai macam metode (tergantung usia kehamilan) yang mengakibatkan kematian sang janin. Iman Kristen percaya bahwa kehidupan manusia dimulai sejak proses fertilisasi (pembuahan) terjadi (Mazmur 139:13,16). Fertilisasi adalah ketika sel sperma bersatu dengan sel telur untuk membentuk zigot. Pada tahap inilah (bahkan ketika masih satu sel ini) kehidupan seorang manusia dimulai. Zigot lalu perlahan bertumbuh dan berkembang menjadi embrio, fetus, dan bayi mungil dalam kandungan. Namun, aborsi mengakibatkan kematian janin–baik itu tahap zigot, embrio, fetus, atau bayi–yang adalah seorang manusia. Dengan kata lain, aborsi adalah pembunuhan hidup seorang manusia. Aborsi: solusikah? Kembali kepada masalah perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan akibat pemerkosaan, apakah aborsi adalah solusi yang paling tepat untuk menjawab masalah ini? Apalagi ada yang mengatakan bahwa aborsi adalah hak setiap perempuan, khususnya hak atas tubuh mereka sendiri. Maksudnya, setiap perempuan berhak untuk menentukan pilihan atas tubuhnya sendiri, termasuk tindakan aborsi yang dikenakan pada tubuhnya sendiri. Lebih lanjut lagi, jika aborsi adalah hak perempuan atas tubuhnya, maka mereka juga berhak untuk mendapatkan akses aborsi yang aman. Inilah yang sedang diperjuangkan oleh beberapa pihak yang setuju aborsi. Sekali lagi, kita sama sekali tidak mengecilkan atau meremehkan segala macam kesulitan yang dialami oleh perempuan korban perkosaan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Namun, aborsi adalah solusi yang buruk untuk menjawab masalah yang ada. Memang betul bahwa dalam satu pengertian setiap perempuan berhak atas tubuhnya sendiri, tapi dalam konteks kehamilan sang perempuan tidak hanya berhadapan dengan tubuhnya sendiri, melainkan dengan tubuh manusia yang lain, yaitu janin yang ada di dalam kandungan. Maka, aborsi merenggut hak sang janin untuk hidup. Ketika pemenuhan sebuah hak seorang individu mengakibatkan pelanggaran hak bagi individu yang lainnya, maka itu adalah kejahatan. Jadi, hak atas tubuh sendiri bukan berarti kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk diri sendiri. Kebebasan seorang manusia adalah kebebasan yang terbatas. Dalam konteks aborsi pada kehamilan yang tidak diinginkan, kebebasan perempuan tersebut untuk melakukan aborsi setidaknya dibatasi oleh hak sang janin untuk hidup. Bagaimana dengan pemerkosa yang menghamili seorang perempuan? Bukankah si pemerkosa ini juga melanggar hak perempuan tersebut? Tentu hal tersebut merupakan pelanggaran hak sang perempuan dan adalah kejahatan yang besar, maka si pemerkosa sudah seharusnya dan sepantasnya dihukum. Namun, aborsi bukanlah solusi atas kehamilan yang tidak diinginkan bagi korban perkosaan. Membunuh sang janin melalui tindakan aborsi malah menambah kejahatan yang baru selain kejahatan pemerkosaan yang sudah terjadi. Jika trauma psikologis adalah yang menjadi masalah dan beban bagi sang perempuan korban perkosaan, maka solusinya adalah konseling dan pendampingan psikologis dari pihak yang kompeten dan bertanggung jawab. Jika masalahnya terletak pada beban finansial untuk kontrol kehamilan dan persalinan, maka konsep rumah aman ( crisis pregnancy center ), seperti Rumah Tumbuh Harapan (Rumah RUTH) di Bandung dan Bali atau Yayasan Pondok Hayat di Surabaya dan Kupang, harus lebih diperjuangkan dan dikembangkan di Indonesia. Jika masalahnya terletak pada ketidaksiapan–baik itu mental, sosial, finansial, atau alasan lainnya–untuk mengurus dan membesarkan sang anak (jika sudah lahir nanti), maka adopsi yang bertanggung jawab bisa menjadi pilihan solusinya. Pergeseran yang tidak kelihatan Saat ini di Indonesia peraturan aborsi memang masih sangat dibatasi yaitu aborsi yang legal hanyalah untuk perempuan hamil akibat korban perkosaan. Namun, itu pun sudah terjadi pergeseran secara perlahan-lahan. Yang awalnya usia kehamilan dibatasi hanya sampai usia 6 minggu, sekarang batas usia kehamilannya dilonggarkan menjadi 14 minggu. Di dunia Barat, jangankan bicara tentang batas usia kehamilan yang sangat longgar (melampaui 14 minggu), beberapa negara bahkan melegalkan aborsi dengan alasan apa pun (tidak hanya terbatas pada alasan kehamilan akibat perkosaan). Dengan demikian, melihat fenomena yang terjadi di dunia sekarang ini mengenai aborsi, kita harus sadar bahwa batas usia kehamilan atau alasan untuk aborsi legal yang makin dilonggarkan sebenarnya hanya fenomena eksternal yang kelihatan. Kita harus peka bahwa setiap yang kelihatan selalu didasari oleh sesuatu yang tidak kelihatan. Ada semangat dan cara pandang tertentu di balik segala sesuatu yang kelihatan di dunia ini, termasuk isu aborsi. Jadi, meskipun secara ranah praktis ada solusi yang lebih baik daripada aborsi yang bisa kita tawarkan dan perjuangkan, solusi yang praktis ini tidak sepenuhnya mengatasi akar permasalahan yang ada. Untuk mengatasi akar permasalahannya, kita harus mengerti terlebih dahulu maksud dari semangat yang tidak kelihatan tersebut. Apakah itu? /kb Penulis saat ini bekerja di Klinik Pratama Samaritan dan aktif melayani di PMdN dan Pro Life Indonesia
- Nehemia: Karakter Pemimpin yang Membawa Perubahan
Nehemia merupakan seseorang yang dipanggil menjadi pemimpin untuk menyuarakan kebenaran dan membawa perubahan. Ia pada awalnya adalah seorang juru minuman Raja Persia, Artahsasta I. Salah satu tugas juru minum raja adalah memilih minuman untuk raja dan memastikan bahwa minuman tersebut tidak berbahaya. Dalam sejarah, ayahanda dari Raja Artahsasta I dibunuh di tempat tidurnya oleh salah satu anggota istana. Dengan latar belakang itu, pastilah Nehemia adalah orang yang memenuhi kualitas yang sangat bisa dipercaya oleh raja Artahsasta. Nehemia memiliki arti nama “The LORD comforts” . Berikut beberapa karakter dan kemampuan seorang pemimpin yang dapat kita pelajari dari Nehemia. Visi yang jelas. Seseorang pernah berkata: “Leaders without vision are like guides without a map” . Pemimpin adalah seseorang yang memiliki gambar besar dan arah yang akan dituju. Karena itulah orang mengikuti mereka, karena mereka tahu arah yang akan dituju, hasil yang akan dicapai dan bagaimana cara untuk mencapainya. Nehemia memiliki visi yang jelas dalam menjalani panggilannya. Visi Nehemia adalah membangun kembali kota Yerusalem. Visi yang mulia ini lahir dari mendengar keadaan tanah air yang menyedihkan: runtuh dan hancur. Terdapat waktu empat bulan (dari bulan Kislew ke Nisan) sejak Nehemia mendengar tentang kondisi kehancuran Yerusalem sebelum ia mengungkapkan isi hatinya kepada raja. Empat bulan yang cukup untuk Nehemia berdoa, berpikir, membuat tujuan dan perencanaan, mempertajam visi, mencari kemungkinan cara-cara penyelesaian, menghitung kemungkinan dukungan dan sumber daya yang dimiliki, dan seterusnya. Empat bulan yang mengubah sebuah keresahan hati menjadi sebuah rencana konkrit yang terukur untuk sebuah perubahan. Permintaan Nehemia kepada raja adalah sangat spesifik dan mendetail (Neh.2:5-9) yaitu permintaan izin dengan durasi yang spesifik, permohonan surat dari raja untuk para bupati di daerah sungai Efrat dan bagi Asaf, pengawas taman raja, untuk memberikan bahan baku untuk pembangunan pintu-pintu gerbang di benteng Bait Suci, tembok kota dan untuk rumah yang didiaminya. Ia memiliki gambaran bagaimana cara mencapai visinya, dan komitmen untuk menyelesaikannya. Keberanian mengambil resiko. Keberanian adalah sebuah kualitas pikiran seseorang yang memampukannya menghadapi bahaya atau kesukaran dengan tegar dan kuat, tanpa roh ketakutan atau tertekan. Nehemia keluar dari kepompong ketakutan dan zona nyaman untuk mengambil inisiatif yang membawa perubahan bagi bangsanya. Nehemia mengambil risiko yang sangat besar. Bagaimana kalau raja tidak memberi izin dan malah menghukumnya karena kelancangannya melakukan banyak permintaan? Bagaimana kalau sumber daya tidak cukup? Bagaimana bila ia tidak mampu menghadapi semua tantangan dan akhirnya gagal, berhenti dan tidak mampu? Pertimbangan-pertimbangan tersebut bisa saja membuatnya mundur dan melupakan panggilannya. Salah satu kata kunci adalah: calculate the risk, manage the risk. Nehemia sebenarnya sangat takut terhadap raja (Nehemia 2:2). Tapi, ia berhasil mengalahkan ketakutannya dan melangkah maju mengambil resiko untuk menceritakan visinya kepada raja. Doa menjadi kekuatan pada saat-saat krusial yang sangat menentukan pilihan dan keputusannya (2:4). Keberanian menembus ketakutan itu juga didukung oleh perencanaan yang matang. Problem Solver : Pengambilan keputusan secara tepat dengan timing yang tepat. Kualitas lain yang tampak dalam diri Nehemia adalah problem solver . Ketika menjalani panggilan Tuhan, seringkali ketidakmampuan menyelesaikan masalah dengan tepat bisa memperburuk keadaan yang ada. Oleh sebab itu, dibutuhkan hikmat dalam menjalani panggilan-Nya. Nehemia ketika tiba di Yerusalem, tidak langsung bekerja membangun tembok setelah menginjakkan kakinya di Yerusalem. Tiga hari ia tinggal sebelum melakukan survei, mengenali, mendata, menguji, menginspeksi secara detail kondisi kerusakan, kehancuran tembok-tembok yang ada. Ia mencari realitas permasalahan, merenungkan solusi yang tepat atas realita tersebut. Setelah menemukan perspektif yang tepat atas masalah yang ada, Nehemia mengumumkan kepada publik tentang rencana dan strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Permasalahan utama adalah Yerusalem dalam reruntuhan dan bangsa yang hidup dalam kondisi tercela! Ada banyak permasalahan yang ada, namun penting untuk melihat dari mana kita mulai untuk menyelesaikannya. Menemukan masalah utama adalah hal yang sangat penting dalam kepemimpinan; membuat kebijakan, keputusan yang tepat dan berhikmat terhadap masalah tersebut akan membawa kemajuan bagi orang-orang yang dipimpin. Pemimpin kemudian membuat alternatif-alternatif bagaimana menyelesaikan permasalahan utama tersebut. Motivator: Kemampuan menyampaikan visi dan menggerakkan tim. Perlu adanya transfer visi kepada orang lain. Yang dilakukan Nehemia selanjutnya adalah menjadikan visi itu sebagai milik bersama. Salah satu kelemahan banyak pemimpin adalah ketidakmampuan untuk menyampaikan dan menerjemahkan visi untuk dilakukan bersama-sama. Nehemia sudah memiliki alat dan bahan yang dibutuhkan untuk membangun. Tetapi, visi yang besar itu tidak mungkin terealisasi sendiri tanpa dukungan dari masyarakat Yerusalem. Kemampuan membagi dan mendelegasikan tugas juga merupakan salah satu kemampuan kepemimpinan yang dimiliki oleh Nehemia. Ia mengumpulkan orang-orang dan membagi strategi untuk membangun tembok (2:17). Nehemia berhasil menggerakkan berbagai komponen masyarakat untuk bergandengan tangan membangun tembok itu. Dari imam besar, para imam, orang-orang Lewi, hingga berbagai lapisan masyarakat secara antusias ikut membangun. Ada keluarga tukang emas, juru campur rempah-rempah, anak-anak perempuan, serta para pedagang yang ikut turun tangan untuk bekerja berdampingan (3: 8, 12, 32). Namun, Nehemia tidak melakukan pendelegasian secara sembarangan. Ia memilih orang yang berkualitas dan tepat untuk pekerjaan tertentu (Neh. 7:2). Dan pada akhirnya, pekerjaan itu bisa selesai dalam waktu yang sangat cepat yaitu 52 hari. Menghadapi kritik dan ancaman. Salah satu hal yang pasti dihadapi dalam menghidupi panggilan Tuhan adalah adanya kritik dari oposisi yang dapat berujung pada penolakan, ancaman dan konfrontasi. Hal ini dialami oleh Nehemia sebagai seorang pemimpin. Pihak oposisinya adalah orang-orang yang terganggu dan terancam yang tidak ingin menerima perubahan yang baik (Neh. 2:10). Secara progresif oposisi ini meningkat menjadi iri hati, marah, dan sakit hati (Neh. 4:1), lalu menghina dan mencerca pekerjaan Nehemia (Neh. 4:2-4). Dari hinaan verbal berubah menjadi ancaman penyerangan dan kekacauan; hingga 10 kali ancaman datang ke orang-orang yang sedang membangun (4:8,12). Oposisi adalah hal yang pasti akan dihadapi oleh para pemimpin. Nehemia memiliki daya tahan (resilience) yang tinggi sehingga tidak goyah akibat ancaman yang bisa menggerogoti visinya. Pernah, bangsa itu nyaris menyerah (Neh. 4:10) “Berkatalah orang Yehuda: “Kekuatan para pengangkat sudah merosot dan puing masih sangat banyak. Tak sanggup kami membangun kembali tembok ini.” Tetapi, Nehemia memberikan motivasi untuk ingat pada Tuhan yang besar dan dahsyat, dan mendorong rakyat untuk terus berjuang. Rakyat itu kembali berjuang dengan segenap tenaga. Memperjuangkan orang yang miskin dan lemah. Panggilan Tuhan salah satunya juga seringkali berkaitan dengan orang yang miskin dan lemah. Sebagai pemimpin, Nehemia juga memperjuangkan keadilan sosial dengan memperjuangkan keadilan bagi rakyat miskin yang diperas (Neh. 5). Rakyat kecil diperas secara ekonomi sehingga mereka harus menggadaikan hak milik mereka, membayar pajak yang tinggi, bahkan anak mereka masuk ke perbudakan akibat pemerasan yang terjadi oleh sesama anak bangsa. Nehemia sangat marah akibat ketidakadilan dan ketidakbenaran yang terjadi. Kemarahan yang benar adalah salah satu ciri pemimpin yang sejati. Kemarahan yang lahir dari kepedihan atas kondisi ketidakadilan, kebobrokan dan ketidakbenaran yang terjadi. Kemarahan yang suci itu kemudian bertransformasi ke dalam kebijakan-kebijakan yang berani dan membawa perubahan yang sangat signifikan. The Gracious Hand of God: Pentingnya doa. Satu hal yang sangat penting untuk kita teladani dari Nehemia adalah kehidupan doanya. Nehemia menangis, berkabung, berpuasa dan berdoa ketika mendengar berita tentang Yerusalem (Neh. 1). Nehemia mengawali pergumulan ini dalam doa. Ia berdoa kepada Tuhan di sepanjang prosesnya (Neh. 2:4; 4:9). Ia melihat tangan Tuhan yang murah memberkati dan memimpin panggilannya. Doa menjadi salah satu yang sentral dalam kitab Nehemia. Di akhir kitab Nehemia, ia berdoa kepada Allah “Ya Allahku, ingatlah kepadaku, demi kesejahteraanku!”. Nehemia sadar, kemampuan, seluruh sumber daya dan hasil yang diterimanya tidak mungkin terjadi tanpa belas kasihan tangan Allah. Nehemia menjadi teladan pemimpin yang berdoa dan bergantung kepada Allah sebagai sumber segala sesuatu. Penutup Kiranya kita dapat belajar dari teladan Nehemia sebagai seorang pemimpin yang berkarakter. Apapun yang Tuhan percayakan kepada kita untuk kita kerjakan saat ini, biarlah kita bisa bersungguh hati menjalaninya. Biarlah kiranya semangat pemimpin Kristen yang terus menyuarakan kebenaran yang sejati terus menyala dalam diri kita. Kiranya melalui kita, nama Tuhan dimuliakan di seluruh bumi terutama di bangsa Indonesia, tempat di mana Tuhan tempatkan kita. Amin. /knd-kb