top of page
Subscribe
Instagram
Facebook
Donation

119 results found with an empty search

  • Peringatan Salomo

    Menyimak kehidupan raja Salomo, kita mendapat banyak  pelajaran berharga, terutama, dalam hal kepemimpinan dan ketidakteguhan iman. Meskipun ia diberkati dengan kebijaksanaan yang luar biasa dan pencapaian yang tak tertandingi, kegagalan utamanya untuk tetap teguh dalam iman kepada Tuhan menjadi narasi peringatan, bukan saja untuk para pemimpin tapi terutama semua individu. Raja Salomo memerintah rakyatnya dengan bijaksana, dan kerajaannya berkembang pesat.  Secara jelas, kitab 1 Raja-raja 9 menunjukan keberhasilan Raja Salomo yang selama 7 tahun membangun Bait Suci, proyek terbesar yang Tuhan percayakan kepadanya - Tuhan bahkan telah menjawab dan menerima doa Salomo, “Aku telah menguduskan rumah yang kaudirikan ini untuk membuat nama-Ku tinggal di situ sampai selama-lamanya, maka mata-Ku dan hati-Ku akan ada di situ sepanjang masa” (1 Raja-raja 9:3). Tetapi,  tepat pada pasal berikutnya, kejatuhan iman raja Salomo dimulai dan diakhiri dengan penyembahannya pada Ilah lain. Secara jelas, 1 Raja-raja 9:6 menyatakan “ Tetapi jika kamu ini dan anak-anakmu berbalik dari pada-Ku dan tidak berpegang pada segala perintah dan ketetapan-Ku yang telah Kuberikan kepadamu, dan pergi beribadah kepada allah lain dan sujud menyembah kepadanya” , itulah kejatuhan Salomo, penyembahan berhala. Tepat dimasa keemasannya sebagai raja Israel, dia melakukan pengkhianatan terhadap Tuhan. Kejatuhan iman Salomo tidak terjadi secara tiba tiba. Dimulai dengan kompromi dengan dunia,  Salomo menikahi perempuan-perempuan asing meskipun Tuhan melarang, dia menikahi putri Firaun yang bertujuan politik untuk memperkuat hubungan Israel dengan Mesir. Berikutnya,  dia bermasalah dengan banyak wanita, dimulai dengan pujian dan pemberian dari ratu Syeba yang dibalas dengan pemberian berupa apapun yang diminta sang ratu dan ditutup dengan kenyataan bahwa raja Salomo mencintai dan menikahi perempuan asing ( 1 Raja-raja 10-11). Meskipun setiap kebutuhan jasmani dan rohaninya terpenuhi dengan berlimpah, Salomo memutuskan bahwa dia juga membutuhkan wanita bahkan banyak sekali wanita. Alkitab mengatakan bahwa Salomo memiliki tujuh ratus istri dan tiga ratus selir. Mereka adalah wanita-wanita asing dari negeri asing yang menyembah dewa-dewa asing. Mereka “berasal dari bangsa-bangsa yang telah difirmankan TUHAN kepada orang Israel: ‘Janganlah kamu kawin campur dengan mereka, sebab mereka akan mencondongkan hatimu kepada allah-allah mereka’” (1 Raja-raja 11:2). Dalam Ulangan 17:17, melarang raja untuk menikahi banyak wanita, tetapi itulah justru yang Salomo lakukan. Maka kemudian dia melakukan ketaatan yang semu dengan membiarkan penyembahan berhala demi menyenangkan istri-istrinya dan mengabaikan peringatan Tuhan hingga akhirnya dia bahkan mencondongkan hatinya kepada ilah-ilah lain. Raja Salomo meninggalkan TUHAN di masa tuanya. Dia beralih dari hikmat ke kebodohan, dari ketaatan ke pemberontakan. Bila kita mempertimbangkan hikmat yang dimiliki Salomo, mungkin sulit untuk memahami bagaimana ia berpaling dari TUHAN. Bagaimana mungkin seorang pria yang menulis banyak amsal yang luar biasa, seorang pria yang menulis bahwa yang terpenting adalah “takut akan Tuhan dan berpegang pada perintah-perintah-Nya” (Pengkhotbah 12:13), pada akhirnya berpaling. Kisah Salomo menjadi pengingat bahwa orang yang paling bijak sekalipun rentan terhadap pengaruh kekuasaan, kekayaan, dan pujian duniawi terlebih bagi mereka yang sudah mencapai puncak kesuksesan dan karir. Sekitar tahun ‘80 dan ‘90-an, penggemar musik akan segera tahu bila nama  Whitney Houston disebut,  karena dia adalah artis yang selama beberapa dekade telah menjadi penyanyi yang sangat sukses dan terkenal, namanya melambung tinggi dalam dunia musik karena suaranya yang sangat bagus dan penampilan yang disukai banyak penggemarnya. Dia dibesarkan oleh orang-orang yang takut akan Tuhan di Gereja Baptis Harapan Baru dan menjadikannya seorang Kristen yang taat bahkan diawal awal karirnya aktif menyanyikan lagu lagu rohani.  Tapi berita mengejutkan terjadi yaitu pada malam penghargaan Grammy Awards tahun 2012, asisten Whitney menemukannya tenggelam di bak mandi kamarnya di Beverly Hilton,  dokter menyatakan bahwa kematian Whitney disebabkan oleh tenggelamnya dia secara tidak sengaja ‘karena efek dari penyakit jantung yang diderita dan penggunaan kokain yang berlebihan’. Pertarungan panjang penyanyi ini dengan kecanduan kokain  akhirnya terpublikasikan. Ketenaran dan sukses sebagai penyanyi pop  dan memilih pasangan yang tidak beriman pada Yesus  berdampak pada  pernikahannya yang gagal membuatnya jatuh dalam depresi , gangguan kecemasan  dan awal kompromi terhadap kokain untuk membantu depresi  beralih pada penghambaan pada obat tersebut. Demikian pula terjadi pada Josua Harris, penulis buku  I Kissed Dating Goodbye . Buku yang dirilis tahun 1997 itu   sangat fenomenal dan  laku dengan penjualan 1,2 juta buku.  Narasi buku ini merupakan penolakan budaya evangelis yang signifikan pada tahun 1990-an terhadap kebebasan seksual dalam budaya secara umum dan fakta bahwa budaya kencan yang sangat longgar, telah membawa banyak dosa dan kesedihan bagi banyak orang muda. Harris secara efektif menyerukan diakhirinya seluruh sistem kencan di kalangan remaja dan dewasa muda. Sebaliknya, ia menunjuk pada model pacaran yang lebih berbasis gerejawi dan  keluarga. Karena buku dan pandangannya dia banyak diwawancara dan berkotbah tentang visi radikal Alkitab mengenai seks dan pernikahan. Karena ketenarannya , dia mulai kompromi terhadap kelompok-kelompok yang tidak menyukai tulisan dan khotbahnya. Dia bersikap lunak dan meminta maaf pada kelompok-kelompok tersebut termasuk organisasi LGBT. Dan tahun 2015 -2016, secara mengejutkan Joshua Haris menyatakan bercerai dan tidak lagi beriman  pada Kristus bahkan menarik bukunya itu. Kedua kisah di atas menunjukan kesuksesan yang disertai dengan kompromi terhadap dunia akan mengikis secara perlahan hubungan kita dengan Tuhan. Tak seorang pun dari kita yang dapat mengumpulkan kekayaan dan mengalami kesuksesan  seperti Salomo, meskipun demikian  banyak dari kita bergumul dan  fokus untuk mendapatkan kenyamanan dan kemewahan. Pengejaran-pengejaran duniawi  semacam itu pada akhirnya mengalihkan fokus hubungan kita dengan Tuhan. Seperti Salomo, hati kita juga berubah-ubah. Meskipun kita tidak mungkin didatangi  tujuh ratus wanita yang ingin kita menyembah patung-patung mereka, tapi kita cukup rentan untuk membiarkan hasrat tertentu menjadi fokus dan kecintaan kita. Hasrat itu dapat berupa pencapaian kompetensi klinis, posisi atau ketenaran yang berujung pada  peningkatan kemakmuran. Hasrat itu semua berjalan lambat, tenang dan akhirnya kita sudah berpaling dari Tuhan.  Kejatuhan Salomo mengingatkan kita  bahwa kita tidak kebal terhadap perubahan  yang masuk ke dalam hati kita terutama   ketika kita memiliki hasrat utama pada sesuatu selain Allah, maka kehancuran  dapat terjadi ketika kita berusaha melindungi hasrat itu dengan segala cara. Ada beberapa dokter yang saya kenal, yang telah mencapai puncak kesuksesan sebagai  klinisi atau manajemen RS, pada saat menjadi mahasiswa kedokteran atau masa awal menjadi dokter terlibat secara aktif dalam pelayanan dan persekutuan,  saat ini mulai meninggalkan Tuhan. Kompromi dimulai diantaranya dengan mengabaikan Ibadah minggu atau menghindari pelayanan gereja atau  dengan dalih pelayanan kesehatan, memilih prosedur pengobatan dengan biaya lebih membedani pasien dengan dalih “ sangat diiperlukan” berlanjut pada pengabaian  etika kedokteran dan kekudusan iman kristen.  Kompromi sudah dimulai saat fokus  hidup beralih dari hidup untuk memuliakan Tuhan menjadi memuliakan diri sendiri. Hingga akhirnya tanpa disadari kita pada titik  sudah benar-benar meninggalkan Tuhan. Kita harus ingat bahwa tidak peduli berapa lama kita telah berjalan bersama Tuhan, tidak peduli apa yang telah kita capai atau tugas apa yang telah dipercayakan-Nya kepada kita - kita  rentan untuk berpaling dari Tuhan. Kita manusia yang lemah dan rentan, dan iblis tahu bahwa menjatuhkan seseorang yang telah berjalan dengan setia bersama Tuhan akan menghasilkan pecahan-pecahan.  Kejatuhan Salomo ke dalam penyembahan berhala pada akhirnya meruntuhkan sebuah kerajaan. Kejatuhan kita dapat berarti menjatuhkan keluarga kita, pernikahan kita, teman-teman kita, dan gereja kita. Peringatan dari kejadian Salomo juga dimaksudkan untuk menyoroti bahwa tidak peduli berapa banyak karunia yang telah Tuhan berikan kepada kita atau seberapa setia kita berjalan bersama-Nya, kita tetap membutuhkan-Nya setiap hari. Setiap hari kita harus memantapkan pandangan kita kepada Tuhan yang telah membawa kita hingga saat  ini dan mengingat bahwa hanya Dia yang dapat membawa kita dengan selamat sampai ke garis akhir. Sedang di posisi manapun hati kita saat ini, tetaplah berjaga-jaga karena  sangat mungkin kita akan mengalami kejatuhan  seperti Salomo. Maka dengarkanlah apa yang Yesus katakan dalam Firman-Nya: “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, jikalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak dapat berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia adalah ranting dan ia menjadi kering dan dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar.” (Yohanes 15:4-6).

  • Truth and Health

    A Missing Pillar Saat sharing atau khotbah tentang pelayanan medis dan kesehatan, maka atribut Ilahi yang sering dikaitkan adalah kasih — belas kasihan terhadap pasien, berempati terhadap mereka yang menderita. Tapi pernahkah kita sejenak bertanya: di mana peran “kebenaran” dalam pelayanan kesehatan? Mengapa kata yang begitu sentral dalam iman kita ini— truth —jarang muncul dalam seminar dan retreat pelayanan medis atau bahkan dalam mimbar gereja ketika kita bicara soal pelayanan kesehatan? Tulisan ini tidak sedang membuat dikotomi kasih dan kebenaran. Justru sebaliknya, ingin menunjukkan bahwa kasih dan kebenaran berjalan beriringan, dan bahwa pilar kebenaran yang sering terabaikan itu sesungguhnya adalah unsur sentral dalam pelayanan kesehatan dari masa lalu hingga hari ini.  Apakah kebenaran penting dalam dunia kesehatan? Perkembangan dunia kesehatan, termasuk dunia kedokteran di dalamnya sampai saat ini merupakan hasil dari pencarian kebenaran, penyataan kebenaran dan konsistensi kebenaran yang dijalankan oleh insan kesehatan yang bertekun di dalamnya.  Apa itu kebenaran? Menurut Aristoteles, “Mengatakan tentang apa yang ada bahwa itu ada, dan mengatakan tentang apa yang tidak ada bahwa itu tidak ada, adalah kebenaran.” Ini berarti kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan kenyataan yang dikaji melalui akal dan logika serta kejadian dan observasi. Dalam nilai kekristenan, kebenaran bukan hanya fakta logis tetapi juga prinsip moral dan spiritual. Yesus berkata, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup.” (Yohanes 14:6), yang berarti kebenaran lebih jauh lagi akhirnya ditemukan dalam keadilan, integritas, dan hikmat ilahi. Kebenaran adalah salah satu dari atribut Allah sendiri. Truth in Health: Discovery and Learning from Mistakes  Kemajuan dunia kesehatan tidak lahir secara kebetulan, melainkan dari semangat pencarian kebenaran. Penemuan mikroskop oleh Antonie van Leeuwenhoek (1670) dan teori infeksi oleh Louis Pasteur (1857-1865) dan Robert Koch (1876–1884) membuka jalan bagi dasar dari ilmu mikrobiologi dan ilmu penyakit infeksi. Penemuan antibiotik – Penisilin oleh Alexander Fleming (1928) merupakan revolusi dalam pengobatan infeksi kuman. Penemuan DNA (1953) oleh Watson dan Crick, membuka era genetika medis. Pengembangan Vaksin mRNA (2020), misalnya pada vaksin COVID-19 oleh Pfizer-BioNTech dan Moderna membuka era teknologi baru dalam imunisasi. Semua penemuan besar dunia kesehatan tersebut diawali oleh upaya dan kerja keras orang-orang tertentu untuk meneliti, menganalisis rangkaian fakta, menyimpulkan dan kemudian menyampaikan apa yang benar. Namun sejarah juga mengajarkan bahwa ketika kebenaran diabaikan, dampaknya bisa sangat tragis. Kasus skandal obat  Thalidomide  pada akhir tahun 1950-an hingga awal 1960-an menjadi pengingat penting bagi dunia kesehatan. Obat ini awalnya dipasarkan sebagai penenang dan pereda mual untuk ibu hamil, tetapi efek sampingnya menyebabkan ribuan bayi lahir dengan cacat bawaan serius (phocomelia) . Salah satu tokoh penting dalam mengungkap kebenaran ini adalah Dr. William McBride, seorang dokter kandungan asal Australia, yang pada tahun 1961 mencermati hubungan antara obat ini dan terjadinya phocomelia  dan memutuskan menerbitkan temuannya di jurnal the Lancet  dan sekaligus memperingatkan komunitas dunia kesehatan.  Akhirnya thalidomide  dilarang di seluruh dunia pada awal 1960-an dan peristiwa ini kemudian menjadi dasar pijakan untuk sistem uji klinis yang ketat, transparansi data, dan kejujuran dalam mengkomunikasikan risiko dalam penerbitan obat baru. Artikel Dr. Andrew Wakefield yang kontroversial diterbitkan di jurnal the Lancet  pada tahun 1998 mengklaim adanya hubungan antara vaksin MMR (campak, gondongan, rubella) dan autisme. Penelitian ini memicu kontroversi besar dan menyebabkan penurunan tajam dalam cakupan vaksinasi, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan kasus campak. Namun, reaksi muncul dari komunitas riset dan klinisi yang tidak menemukan fakta dari yang disampaikan Wakefield. Setelah lewat penyelidikan dan mendapatkan bukti yang kuat, the Lancet  menarik kembali artikel tersebut pada tahun 2010 karena ditemukan ketidakakuratan dan pelanggaran etika, dimana ditemukan adanya konflik kepentingan finansial. Namun kerusakan sudah sempat terjadi, banyaknya korban kematian balita akibat campak tak terelakkan. Ini pelajaran penting: kebenaran yang ditunda bisa berakibat fatal.  Refleksi bagi kita: apakah kita berani menyampaikan kebenaran fakta observasi, penelitian dan analisa yang tidak populer demi kebaikan pasien dan masyarakat luas? Margin of error and Humility Kebenaran ilmiah bersifat dinamis. Dalam ilmu statistik, margin of error (MoE)  adalah sebuah ukuran yang menunjukkan batas ketidakpastian dari suatu hasil survei atau estimasi. Ini sebuah pengakuan bahwa hasil yang kita peroleh dari suatu sampel tidak akan pernah persis mewakili populasi secara mutlak. Kita membuat estimasi, dan MoE memberi tahu kita seberapa besar kemungkinan kesalahan atau ketidakpastian dalam estimasi itu. Rumus MoE mendukung kebenaran teologis, dimana manusia tidak pernah benar-benar tahu secara mutlak—selalu ada ruang untuk keraguan, kesalahan, atau kekeliruan. Kita percaya bahwa kebenaran yang mutlak ada pada Tuhan.  Manusia hanya bisa mencoba mendekati kebenaran, mengukurnya, menafsirkannya, tetapi tidak pernah memilikinya secara penuh. Oleh karena itu maka perlu ada kerendahan hati dan keterbukaan untuk mau terus belajar. 1 Korintus 13:9–10 (TB): "Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap." Dalam pengalaman karir saya, orang yang benar-benar ahli selalu memberi ruang ketidakyakinan ( margin of error ) dalam tulisan atau komentarnya. Sebaliknya, orang bodoh biasanya selalu yakin. Dalam praktik sehari-hari, kesalahan diagnosis, tatalaksana atau tindakan intervensi memang bisa terjadi. Namun, itulah momen di mana kejujuran menjadi titik tolak untuk memperbaiki sistem yang ada. Mengakui terjadi satu kesalahan bukan hanya tentang keterbukaan menerima kekurangan, tetapi juga sebagai bentuk penghargaan terhadap kepercayaan pasien dan etika. Transparansi adalah fondasi bagi perbaikan sistem untuk lebih meningkatkan mutu layanan. Salah satu bentuk transparansi yang krusial dalam layanan kesehatan adalah kejujuran dalam melaporkan kasus-kasus near missed , yaitu insiden yang hampir menyebabkan cedera pada pasien tetapi berhasil dicegah sebelum fatal—merupakan indikator penting dalam upaya patient safety . Pelaporan yang jujur dan terbuka terhadap near missed  memungkinkan fasilitas kesehatan untuk melakukan analisis akar masalah, mencegah terulangnya kesalahan yang sama, dan membangun budaya keselamatan pasien yang lebih kuat. Betapa pentingnya kejujuran itu dinyatakan dalam sistem layanan kesehatan. Sebab kejujuran menyelamatkan banyak nyawa. Kejujuran tidak hanya berdampak pada sistem layanan kesehatan secara kolektif, tetapi juga membawa pengaruh yang nyata terhadap kondisi kesehatan individu. Sebuah studi tentang “ Science of Honesty ” oleh Profesor Anita Kelly dari University of Notre Dame  yang dipublikasikan tahun 2012 menunjukkan bahwa mengurangi kebohongan dalam kehidupan sehari-hari dapat meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Dalam studi ini, para peserta yang mengurangi kebohongan mengalami penurunan stres, keluhan fisik, dan peningkatan kesejahteraan secara keseluruhan. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa kejujuran memiliki manfaat kesehatan yang nyata dan signifikan, baik secara fisik maupun mental. A scientist can be wrong, but he must not lie Tak pelak kebenaran merupakan pondasi utama dalam dunia kesehatan. Walaupun tenaga kesehatan tidak pernah benar-benar tahu kebenaran ilmu pengetahuan secara mutlak—selalu ada ruang untuk kesalahan, atau kekeliruan, namun dia tidak boleh bohong atau menutupi fakta. Pesan mendalam dari Erwin Chargaff dalam bukunya Heraclitean Fire: Sketches from a Life Before Nature (1978)  tetap relevan: "Seorang ilmuwan bisa salah, tetapi dia tidak boleh berbohong." Chargaff mengingatkan bahwa kesalahan adalah bagian dari proses pencarian kebenaran. Namun, yang tak pernah bisa ditoleransi adalah kebohongan atau manipulasi atau menyembunyikan data atau informasi yang disengaja. Sejarah dunia kesehatan menunjukkan bahwa beberapa kali perkembangannya dijegal oleh individu atau korporasi yang melakukan kebohongan atau menyembunyikan fakta untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Ini berakibat penderitaan dan keselamatan banyak orang. William Osler, seorang Bapak Kedokteran Modern pernah menegaskan ,"Truth is not only violated by falsehood; it may be outraged by silence."  Dengan kata lain, ketidakbenaran bisa datang bukan hanya dari kebohongan, tetapi juga dari keengganan untuk menyatakan kebenaran atau “diam demi aman” ketika itu diperlukan. Dalam konteks ini, penting disadari bahwa kebohongan dalam dunia kesehatan tidak selalu berbentuk laporan klinis yang dimanipulasi—namun bisa juga berupa sistem yang rusak akibat praktik korupsi. WHO dalam publikasi-nya A study on the public health and socioeconomic impact of substandard and falsified medical products (2012)  mencatat bahwa peredaran obat palsu dan substandar erat kaitannya dengan tingginya tingkat korupsi suatu negara atau daerah. Lemahnya tata kelola, pengawasan, dan kapasitas teknis menciptakan ruang bagi praktik penipuan yang secara langsung mengorbankan mutu pelayanan dan keselamatan pasien. Ketika sistem gagal menjamin akses terhadap produk yang aman dan berkualitas, masyarakatlah yang menanggung akibatnya.  Mengingat skandal korupsi di Pertamina baru- baru ini, kita pasti marah. Kalau kita tidak marah, mungkin hati nurani kita sudah tumpul. Melihat negara dirampok sekitar Rp 193,7 triliun per tahun oleh beberapa pejabat dan melihat saudara atau keluarga kita ikut antrian gas LPG 3 kg berdesakan dan berpanas-panasan, kita geram. Kalau dibuat perbandingan besarnya angka korupsi, koruptor-koruptor itu kira-kira merampok anggaran kesehatan  satu tahun (tahun 2024 berjumlah Rp 187,5 triliun) dan itu berjalan sudah beberapa tahun. Bayangkan kalau dana itu dipakai seluruhnya untuk bidang kesehatan, betapa majunya pembangunan kesehatan negeri ini. Atau kalau berpikir terbalik, kalau dana itu tidak dikorupsi, maka mungkin sudah banyak kematian yang tercegah sepanjang tahun 2024. Oleh karena itu, kebenaran termasuk didalamnya transparansi menjadi kunci, bukan hanya dalam praktik pelayanan kesehatan, tetapi juga dalam menjaga sistem kesehatan secara keseluruhan. Find, Articulate and Implement Truth: A Sacred Calling Dunia kesehatan terus berubah dan kompleks dengan munculnya penyakit-penyakit baru dengan potensi menyebar secara global (pandemi). Dalam situasi ini kebenaran tetap menjadi senjata kita dalam menghadapinya. Seorang tenaga kesehatan yang memilih jalan kebenaran—meskipun harus menghadapi risiko kritik atau konsekuensi—pada akhirnya akan mendapatkan kepercayaan yang tak ternilai dari masyarakat dan komunitas dunia. Perjalanan panjang karir saya menunjukkan hal itu, walaupun kadang waktunya lama baru terjadi. Tenaga medis Kristen dipanggil bukan hanya mengasihi pasien, tetapi juga untuk hidup mencari kebenaran dan menyatakan kebenaran serta menjalankannya. Kasih tanpa kebenaran bisa jatuh menjadi bentuk kasih yang sentimental dan permisif; sedangkan kebenaran tanpa kasih bisa melukai. Tetapi kasih yang berpijak pada kebenaran adalah kekuatan yang menyelamatkan .  Kita juga perlu jujur dan kritis terhadap fenomena yang terjadi di antara para tenaga kesehatan Kristen. Bukankah tidak sedikit yang bersembunyi di balik frase “panggilan Tuhan” sebagai dasar untuk melayani di kota besar—padahal justru banyak daerah yang kekurangan tenaga kesehatan atau keahlian tertentu. Jika semua orang ‘dipanggil’ hanya di kota-kota besar, maka terlihat seolah-olah Tuhan tak bijak—karena memanggil anak-anak-Nya hanya di wilayah yang sudah padat tenaga kesehatannya, sementara membiarkan wilayah-wilayah lain kosong dan terabaikan. Panggilan hidup dalam kebenaran dari dimensi moral dan spiritual juga mencakup keberanian untuk hadir di tempat yang dibutuhkan, bukan hanya tempat yang diinginkan. Dan kebenaran seringkali begitu sederhana, hanya cukup dengan melihat data distribusi tenaga kesehatan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dan menjalankannya dengan melayani di sana. Sudah saatnya kita kembali mengarusutamakan topik tentang kebenaran—baik dari aspek logika dan rasionalitas, maupun dari dimensi moral dan spiritual—dalam pendidikan kedokteran dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya. Sudah saatnya kita menjadikan topik kebenaran kembali menjadi sentral diskusi dalam seminar, pelatihan medis, etika profesi, bahkan mimbar khotbah dan Persekutuan untuk membangun budaya profesi yang menjunjung kebenaran termasuk transparansi, dan keberanian menyuarakan yang benar. Sudah saatnya kita untuk benar-benar menyembah Allah yang adalah Roh dan Kebenaran dalam dunia profesi kita.

  • Itu Sudah Cukup

    Never enough, Never, never Never enough, Never, never Never enough, For me For me, For me, For me Cuplikan di atas, merupakan kutipan dari lagu Never Enough dalam film The Greatest Showman  yang rilis pada tahun 2017. Lagu tersebut menjadi sebuah lagu yang sangat populer karena menyuarakan isi hati banyak orang. Dimana baik dahulu (sesuai dengan latar belakang waktu film tersebut dirilis), saat ini dan mungkin sampai Tuhan datang kedua kalinya, manusia tidak pernah  merasa cukup. Sulit merasa cukup sebenarnya kalau mau ditarik lebih jauh lagi sudah dimulai sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa di taman Eden. Dengan segala sesuatu yang telah Tuhan jadikan dari hari pertama sampai hari keenam penciptaan dan semuanya  sungguh amat baik, ternyata, manusia masih ingin lebih dari apa yang sudah dimiliki saat itu dengan ingin menjadi seperti Allah dan akhirnya melanggar perintah untuk tidak memakan buah pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.  Konsep cukup pada akhirnya menjadi hal yang jarang dibicarakan, Semua orang merasa perlu untuk mendapatkan, mengkonsumsi, meningkatkan dan memperbesar kebutuhan. Salah satu hal yang mendasarinya adalah kekhawatiran akan masa depan sehingga merasa perlu untuk mengumpulkan harta sebanyak – banyaknya selagi ada kesempatan. Di dalam Alkitab sendiri, Allah telah berkali – kali mengingatkan manusia untuk tidak perlu kuatir. Matius 6:25 – 34 dengan perikop pararelnya di Lukas 12:12-31 memberitakan tentang hal kekuatiran ini. Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bahkan tentang hal mengumpulkan harta, Alkitab juga telah mengingatkan kita di Matius 6:19 – 24. Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya (sebagaimana kita mungkin pernah baca artikel tentang kerugian orang yang menyimpan uang kertas di rumah yang tidak laku lagi karena uangnya hancur dimakan ngengat) dan pencuri membongkar serta mencurinya (sebagaimana yang pernah dialami penulis yang menyimpan uang kertas di rumah karena ATM sering rusak tetapi lalu saat keluar rumah pencuri datang dan mengambilnya, atau pengalaman orang yang ditipu dan lain sebagainya). Sikap hidup orang yang mengumpulkan harta sebanyak – banyaknya juga terjadi pada masa hidup Samuel Plimsoll seorang politisi dari Inggris (10 Februari 1824 – 3 Juni 1898). Pada masa itu praktik perdagangan budak masih menjadi hal yang lazim dilakukan. Budak – budak didatangkan dari benua Afrika menuju benua Eropa yang dipisahkan oleh samudra Atlantik. Untuk mendapatkan keuntungan sebesar – besarnya, para penjual budak seringkali mengisi kapal dengan budak sebanyak – banyaknya, tetapi karena belum ada cara untuk menginformasikan apakah muatan kapal sudah berlebih atau tidak, ada kapal – kapal yang akhirnya tenggelam karena kelebihan muatan dengan kematian  semua budak – budak didalamnya. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan Samuel Plimsoll dan beliau membuat sistem garis Plimsoll pada setiap kapal yang berguna untuk menginformasikan apakah muatan di kapal itu cukup/berlebihan yang dapat berpotensi menenggelamkan kapal. Lalu, bagaimana kita bisa menemukan dan mendefinisikan kecukupan (garis plimsol kehidupan) bagi kita masing – masing? Pada prinsipnya ada tiga hal yang bisa kita lakukan: menghindari keserakahan, merasa cukup dan memiliki karakter serupa Kristus.  Menghindari Keserakahan Keserakahan atau ketamakan  secara sederhana dapat diartikan sebagai keinginan untuk memiliki lebih. Serakah/tamak sendiri adalah dosa yang jarang diungkapkan atau disadari. Keluaran 20:17 merupakan salah satu ayat yang berbicara terkait peringatan untuk menghindari keserakahan: Jangan mengingini rumah sesamamu, jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki – laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya, atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu. Minimal terdapat empat dampak dari keserakahan/ketamakan sebagaimana tertulis dalam 1 Timotius 6:2b – 10 yang berbicara tentang cinta uang: Mengkorupsi kebenaran firman Tuhan seperti yang tergambar di ayat 3-5 ketika Paulus mengkonfrontasi para pengajar palsu yang memiliki motivasi tidak benar (mencari keuntungan diri) dalam mengajari jemaat yang akhirnya berujung pada ajaran yang tidak benar dan gaya hidup yang tidak benar. Mengkontaminasi nilai kita , ayat 5: Percekcokan antara orang – orang yang tidak lagi berpikiran sehat dan kehilangan kebenaran yang mengira ibadah itu adalah sumber keuntungan. Membalikkan hidup kita , sama seperti kapal yang melewati garis plimsol bisa terbalik lalu tenggelam. Ayat 9 Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai – bagai nafsu yang hampa dan mencelakakan ,yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Mencekik iman kita  ayat 10 berkata karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai – bagai duka.  Lalu apakah sebagai orang Kristen memiliki uang menjadi hal yang salah? Sementara ada tokoh – tokoh Alkitab yang digambarkan dengan kekayaan besar seperti Ayub, Abraham, Daud, Salomo dan sebagainya. Sehingga yang menjadi masalah bukan pada materi tetapi hati. Pengkhotbah 5:7-19 menyoroti tentang kesia – siaan kekayaan: Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Inipun sia – sia. Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang – orang yang menghabiskannya. Uang sendiri bukanlah sesuatu yang buruk dan tidak membuat orang menjadi buruk, tetapi cinta akan uang dapat menjatuhkan seseorang. Orang dapat menjadi serakah dan melakukan hal buruk ketika mencintai uang. Tuhan menginginkan kita untuk menggunakan uang membantu orang yang terluka. Kita akan menjadi salah bila melukai dan menggunakan orang untuk mendapatkan uang. Uang sendiri bukanlah persoalannya tetapi salah menggunakan uang (tidak menggunakan uang dengan bijak) adalah persoalannya. Bila kita membagikan dan memberikan kita akan berhasil tetapi bila kita hanya ingin menjadi kaya, kita akan sulit untuk bisa mencintai Tuhan karena kita lebih mencintai uang. Harta sejati kita hendaklah hanyalah kasih akan Allah, iman pada Yesus dan keselamatan di dalam surgaNya. Sehingga terdapat minimal 6 hal yang bisa kita lakukan untuk menghindari cinta uang: Menyadari bahwa semua kepemilikan kita suatu saat akan hilang; Merasa cukup atas segala sesuatu; Merencanakan cara bijak dalam mendapatkan uang; Mengasihi sesama lebih dari uang; Mencintai pekerjaan Tuhan lebih dari uang; Memberi/berbagi apa yang kita punya dengan orang lain Merasa cukup atas segala sesuatu Dasar dari merasa cukup atas segala sesuatu salah satunya dapat kita ambil dari 1 Timotius 6:6, memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup memberi keuntungan besar. Kecukupan dalam ibadah menjadi satu dari tiga hal penting yang membedakan antara ibadah Kristen yang ibadah sejati dengan ibadah kaum pagan saat itu selain ibadah yang dimulai dari takut/kagum akan Tuhan yang membuat kita menyembahNya dan ibadah dengan perspektif kekekalan. Rasa cukup yang kita miliki bukanlah karena usaha kita sendiri melainkan karena Kristus. Sehingga rasa cukup orang Kristen sebaiknya adalah hasil dari tiga hal berikut yaitu: merasa aman dalam Tuhan, percaya pada sifat Tuhan dan percaya pada janji Tuhan sebagaimana disampaikan dalam Filipi 4:13 dimana Paulus sampaikan bahwa dia telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Salah satu ayat yang mengingatkan kita untuk ibadah dengan perspektif kekekalan dapat kita baca dalam 2 Korintus 4:18 Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tidak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal dan 1 Timotius 6:7-8 sekali lagi membantu kita untuk bisa merasa cukup atas segala sesuatu: Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa – apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian cukuplah.  Memiliki karakter seperti Kristus   Memiliki karakter seperti Kristus adalah langkah ketiga dan terakhir yang bisa kita lakukan untuk mendefinisikan kecukupan hidup kita. Di dalam 1 Timotius 6:1 Paulus mengingatkan kita untuk mengejar keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan yang semuanya adalah karakter Kristus alih – alih mengejar materi di dunia yang sifatnya instan. Untuk mendapatkan hal tersebut tentu membutuhkan proses tiap hari dan energi untuk mengerjakannya. Dengan memfokuskan diri untuk hidup cukup, kita bisa memusatkan hidup kita untuk kerajaan Allah, setia memberi, alih – alih mengejar materi yang dekat dengan sifat tamak dan mencerminkan keegoisan dan jauh dari karakter Kristus.  Ada empat langkah praktis yang bisa kita lakukan untuk dapat menerapkan tiga hal diatas:  Bangun gaya hidup untuk memiliki batasan dalam memiliki materi untuk kebutuhan dan bukan keinginan, seperti tidak besar pasak daripada tiang, belanja atau konsumsi sesuai pendapatan. Beberapa prinsip dapat membantu seperti prinsip 10 ataupun 1234. Prinsip 10 dapat berarti apabila kita membeli sesuatu barang yang nilainya besar kita akan lakukan bila di dalam tabungan kita memiliki uang 10x lipat daripada harga barang yang kita butuhkan. Prinsip 1234 berarti dalam setiap penghasilan yang kita dapatkan 10% kita sisihkan untuk Tuhan, 20% untuk tabungan, 30% untuk investasi dan 40% untuk kebutuhan hidup sehari – hari.  Bangun sifat kemurahan dan bukan ketamakan. Perlunya membangun disiplin diri untuk memberi yaitu perpuluhan, persembahan, peka terhadap kemana Tuhan ingin kita memberi. Bangun karakter diri . Investasi pada hal yang bernilai kekal. Sebagai penutup artikel ini ada pernyataan iman yang kita bisa ungkapkan sebagai wujud komitmen kita untuk merasa cukup atas segala sesuatu: tidak khawatir akan masa depan dan tidak memfokuskan diri untuk semata mengumpulkan harta di bumi.   Saya akan merasa cukup pada semua keadaan karena tahu bahwa Allah yang menyediakan selalu bersama saya dan saya tidak akan pernah lepas dari pemeliharaanNya. Jika yang saya punyai di dunia ini hanyalah makanan dan pakaian, saya akan tetap merasa cukup dan yakin akan pemeliharaan Tuhan.  Saya tidak akan menetapkan fokus hidup saya pada uang dan kekayaan, melupakan fakta bahwa saya memiliki Bapa di surga yang mengasihi dan peduli pada saya; karena saya tahu bahwa orang yang fokus pada uang dan kekayaan akan jatuh kedalam banyak pencobaan dan jerat, akan memiliki hasrat yang sia – sia dan membahayakan yang bisa berujung pada keruntuhan dan kehancuran. Cinta akan uang adalah akar dari segala kejahatan. Karena menyangkal bahwa Tuhanlah satu - satunya penyedia sejati. Beberapa orang yang memfokuskan hidup pada uang dan mendapatkannya, telah berpaling dari iman dan membawa mereka ke dalam berbagai penderitaan. Saya menolak untuk menjadi seperti mereka.  Saya, sebagai pria dan wanita yang beriman dalam Tuhan, akan menjauhkan diri dari segala kecemaran, melainkan mengejar kebenaran, ibadah yang sejati, iman, kasih, ketahanan dan keramahan. Saya akan berjuang dengan baik dalam pertarungan iman saya, dengan berpengharapan pada hidup kekal yang mana saya telah dipanggil oleh Tuhan dan saya akan menyatakan iman saya di hadapan banyak saksi.  Jangan kamu kuatir Burung di udara Dia pelihara Jangan kamu kuatir Bunga di padang Dia hiasi Jangan kamu kuatir Apa yang kau makan minum pakai Jangan kamu kuatir Bapa di sorga memlihara Aku tidak kuatir Burung di udara Dia pelihara Aku tidak kuatir Bunga dipadang Dia hiasi Aku tidak kuatir Apa yang kumakan minum pakai Aku tidak kuatir Bapa di surga memelihara (Yehuda Singers – 1992) Sumber:  Gary Inrig. Cultivating a Heart of Contentment. Discovery Series James Riddle. The Complete Personalized Promise Bible NIV. Life Application Study Bible NIrV. Kids’ Quest Study Bible Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab

  • Masalah Stunting di Indonesia dalam Perspektif Medis Kristen

    Stunting merupakan masalah serius dalam masyarakat, yang memengaruhi kualitas hidup banyak anak balita di Indonesia, terutama pada anak usia 1000 hari pertama kehidupan (sejak dalam kehamilan hingga usia dua tahun). Seorang anak stunting akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang disebabkan kekurangan gizi kronis. Data dari World Bank dan UNICEF menyatakan 27% balita Indonesia mengalami stunting. Menurut data Kementerian Kesehatan angka stunting di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 21,5%, hanya turun 0,1% (21,6% pada tahun 2022). Masalah stunting merupakan isu kesehatan di Indonesia yang melibatkan banyak aspek. Beberapa hal yang terkait masalah stunting di Indonesia : Prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi (target 14% pada tahun 2024 belum tercapai), hal ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang kronis jika prevalensi stunting lebih dari 20% (WHO).  Penyebab utama stunting yaitu kurangnya asupan gizi kronis selama 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), mulai dari janin hingga bayi berusia dua tahun, selain sanitasi yang buruk, kurangnya akses air bersih, dan lingkungan yang kurang bersih.  Dampak stunting tidak hanya memengaruhi tinggi badan anak, tetapi juga berdampak jangka panjang pada kecerdasan, menyebabkan kemampuan belajar menurun, gangguan perkembangan mental dan emosional. Daya tahan tubuh menurun, meningkatkan risiko penyakit kronis. Hal ini mengakibatkan kerugian ekonomi bagi negara dan memperburuk siklus kemiskinan pada generasi berikutnya.  Masalah stunting di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor yang saling terkait, antara lain ketidakcukupan gizi pada ibu hamil, kurangnya pemahaman tentang pola makan sehat, akses terhadap fasilitas layanan kesehatan yang berkualitas sangat terbatas. Masalah lingkungan sosial-ekonomi yang buruk, seperti kemiskinan, distribusi pangan tidak merata, dan kurangnya edukasi gizi bagi orangtua atau keluarga. Masalah lain di daerah dengan budaya makan yang tidak memadai dan minimnya perhatian terhadap gizi bayi dan balita. Bagaimana upaya pencegahan stunting? Pencegahan stunting meliputi pemenuhan gizi bagi ibu hamil yang berpengaruh pada nutrisi janin dalam kandungannya, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan, dan pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang tepat, pemantauan rutin di Posyandu, akses air bersih, sanitasi yang baik, dan kebersihan lingkungan. Lalu, bagaimana perspektif Kristen dalam menghadapi masalah stunting?  Mazmur 82:3 menyatakan, “Berikan keadilan kepada orang yang lemah dan kepada anak yatim, belalah hak orang sengsara dan orang yang kekurangan!”, dapat menjadi dasar panggilan orang Kristen untuk mengasihi dan melayani sesama kita yang menderita, memperhatikan kebutuhan fisik dan rohani, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan bergizi.  Dalam hal ini, Gereja dapat berperan penting dalam memberi edukasi kepada masyarakat tentang pemberian gizi yang baik dan seimbang sejak dini. Gereja dapat membantu mencegah stunting dengan memberikan pelatihan-pelatihan kepada ibu, orangtua, masyarakat tentang pola hidup sehat, pentingnya perawatan selama masa kehamilan dan pentingnya pola asah, asih, asuh yang baik bagi anak usia dini. Gereja juga dipanggil untuk menjadi agen perubahan dalam membangun kesadaran sosial tentang pentingnya memperhatikan kesehatan bayi dan anak-anak (terutama pada 1000 HPK).  Pendekatan oleh Gereja yang berbasis kasih, empati dan perhatian terhadap sesama sangat diperlukan dalam pencegahan dan pemberantasan masalah stunting. Gereja tidak hanya berbicara tentang kasih, tetapi juga beraksi untuk memenuhi kebutuhan praktis umatnya, khususnya dalam menangani masalah kesehatan dan gizi anak-anak, seperti yang diajarkan dalam Yakobus 2:15-17, bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati.  Penyelesaian masalah stunting di Indonesia harus melibatkan pemerintah, masyarakat, dan lembaga keagamaan, termasuk Gereja. Sebagai bagian dari masyarakat, Gereja dapat memperkuat program-program pemerintah dengan memberi edukasi, advokasi, penyediaan layanan kesehatan dan gizi bagi masyarakat. Gereja dapat bekerjasama dengan berbagai organisasi Kristen lainnya untuk memberantas kemiskinan dan kekurangan gizi. Melalui kerja sama antara masyarakat, pemerintah, dan Gereja, kita dapat memberikan dampak positif bagi generasi masa depan. Sebagai orang Kristen, kita diberi tanggung jawab untuk menjadi saluran berkat bagi sesama, mengatasi keadilan sosial, dan berperan aktif dalam menjaga kesehatan tubuh. Sejatinya, kita harus bersatu dan berusaha bersama dalam mengurangi angka stunting di Indonesia dengan memperhatikan dan memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil dan janin dalam kandungan serta gizi anak-anak. Kasih Tuhan yang menggerakkan hati kita untuk berkomitmen dan turut berperan dalam mengatasi masalah kesehatan ini dengan langkah nyata, baik dalam tindakan medis dan pelayanan rohani. Tuhan memanggil setiap kita menjadi agen perubahan dan menjadi berkat dalam mengatasi masalah stunting, sehingga anak-anak Indonesia dapat tumbuh sehat, kuat, cerdas dan penuh harapan untuk masa depan yang lebih baik.

  • Relasi dan Hikmat dalam Pernikahan

    Pernah, saya dan istri menghadiri pemberkatan pernikahan anggota keluarga (Batak) di suatu gereja, yang dilanjutkan dengan acara adat. Saat berkhotbah, pendeta menyampaikan pesan yang menggelitik kepada kedua mempelai, namun seratus persen benar – setidaknya dalam pengalaman 26 tahun pernikahan kami. Beliau berkata, “Setelah ibadah pemberkatan ini, kalian akan mengikuti  acara adat, dimana untuk pertama kali seumur hidup kalian akan menerima lebih dari 100 nasihat dalam satu hari, yang berisi ayat Alkitab atau kata-kata bijak lainnya. Namun, kebanyakan orang yang memberi nasihat itu nanti tak dapat kalian hubungi untuk dimintai pertolongan saat kalian membutuhkannya”. Semua jemaat tertawa, entah sedang menertawakan diri sebagai “pelaku” atau sebagai “korban”. Menjalani dan mempertahankan pernikahan tidaklah mudah, khususnya di zaman sekarang. Pernikahan menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan eksistensinya sesuai dengan nilai-nilai Kristiani. Zaman orangtua kami dulu, pernikahan seumur hidup itu hal biasa, walau ulang tahun pernikahan mereka jarang dirayakan. Tapi saat ini ulang tahun pernikahan 20 tahun itu sesuatu yang istimewa. Perceraian di usia pernikahan baru seumur jagung, sesuatu yang jamak. Bukan hanya di kalangan orang tidak percaya Tuhan, tapi juga mereka yang mengaku percaya Yesus. Ada pejabat pemerintah, pendeta, penggiat gereja dan mantan penggiat pelayanan kampus. Memang, usia pernikahan bukanlah satu-satunya tolak ukur karena masih ada tolak ukur lain, termasuk bagaimana keduanya bertumbuh bersama dalam pengudusan Allah. Namun, justru dalam wadah kesatuan suami istri itulah mereka dimaksudkan mengalami pengudusan itu. Dalam studi dan observasi di ruang konsultasi yang dilakukannya, Ester Perel, seorang psikoterapis, mengungkapkan ada beberapa tantangan pernikahan modern ( modern love ) yang menjadi penyebab utama hancurnya relasi pasangan. Salah satu ekspektasi yang tidak realistis adalah harapan pasangan yang menginginkan pasangannya menjadi 'segalanya', seperti sahabat, kekasih, pendengar setia, pengganti orang tua, motivator, konselor, hingga rekan kerja. Beban ekspektasi yang tidak realistis ini tentunya terlalu berat dipikul oleh satu orang – ini sebenarnya merupakan peran komunitas satu kampung – dan sering berujung pada kekecewaan, frustasi, bahkan berakhir dengan mencarinya pada diri orang lain. Tanpa berniat untuk membenarkan, namun perselingkuhan harus juga dilihat sebagai gejala dari masalah yang lebih besar dalam suatu relasi. Perselingkuhan sering kali bukan hanya masalah fisik, tetapi juga masalah emosional. Hal Ini sering mencerminkan kebutuhan yang tidak terpenuhi, seperti keinginan untuk mendapat perhatian, sesuatu yang baru, atau validasi diri. Tantangan selanjutnya adalah menyeimbangkan antara keinginan akan stabilitas dan hasrat. Terdapat kebutuhan mendasar untuk stabilitas dan rasa aman dalam suatu hubungan, seperti kepercayaan (pada pasangan), rutinitas, dan rasa aman baik fisik maupun ekonomi. Namun, hasrat atau gairah erotisme biasanya membutuhkan unsur misteri, kebebasan, dan kejutan—hal-hal yang sering bertentangan dengan stabilitas. Kedua hal yang paradoks ini menjadi kebutuhan alamiah individu. Di satu sisi, individu ingin sesuatu yang stabil dan secure, namun bersamaan dengan itu juga ingin mengalami sesuatu yang baru (novelty), petualangan, misteri atau kejutan dalam sebuah relasi. Sering terlihat dalam kehidupan relasi muda-mudi, berpacaran dengan orang yang bertipe “free man/women”, tetapi menikah dengan orang yang memiliki stabilitas, karir atau penghasilan yang tetap, aman, dan punya tempat secara sosial. Setelah menikah, pasangan mungkin merasa sangat nyaman satu sama lain sehingga hubungan menjadi otomatis, rutin dan mudah ditebak. Akibatnya, unsur kejutan, antusiasme, sesuatu yang baru dan canda gurau (playfulness) dalam hubungan menjadi hilang. Masalah lain adalah kehilangan semangat dan kebosanan. Rutinitas sehari-hari, seperti pekerjaan, mengurus rumah, atau merawat dan mendidik anak, dapat mengurangi intensitas hubungan. Akibatnya, hubungan terasa monoton dan kurang gairah. Pasangan yang dulu sering menghabiskan waktu untuk berkencan berdua mungkin mulai kehilangan waktu bersama karena terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Hal ini menyebabkan relasi kehilangan chemistry-nya. Pasangan menjadi bingung kalau punya waktu berdua saja, “engga tau apa yang mau diomongin” dan sering kehabisan bahan pembicaraan dan tidak bisa bercanda-ria bersama. Akhirnya, berpaling kepada hape masing-masing. Sebenarnya, ada beberapa tantangan pernikahan lain menurut Ester Perel, namun kita akan fokus pada tiga tantangan utama di atas beserta solusinya. Berdasarkan pengalaman kami, tidak ada tips praktis untuk menjalani relasi atau menghadapi masalah dalam pernikahan. Jalan menuju keharmonisan membutuhkan hikmat dan kerendahan hati untuk belajar dan mau diubahkan oleh Kristus. Relasi adalah kunci. Keretakan dalam relasi pernikahan dapat berujung pada perceraian dimana jantung permasalahannya terletak pada relasi antar pasangan dan relasi keduanya dengan Tuhan. Dalam konteks yang lebih besar kita memahami bahwa, hidup Kekristenan adalah bukan tentang hidup tidak berbuat dosa, tetapi relasi antara manusia dan Penciptanya. Relasi intim (intimasi) terbangun dari kasih dan pengampunan dari Sang Pencipta yang memampukan ciptaan yang memberontak untuk hidup dalam pembenaran dan kudus. Dalam pernikahan, intimasi merupakan sesuatu yang penting untuk terus dijaga. Pentingnya merawat hubungan seperti  merawat sebuah kebun. Perlu menyediakan waktu khusus untuk merawatnya, malah di tengah kesibukan yang rutin, perlu ada prioritas waktu untuk memeliharanya agar tetap terawat. Intimasi dalam pernikahan melibatkan keakraban emosional, fisik, dan spiritual yang erat.  Kejadian 2:24, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya  dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Ayat ini menekankan pentingnya intimasi antara suami dan istri. Ketika terawat, relasi bisa mencegah badai yang tidak perlu, dan kalaupun harus menghadapi badai, dia relatif lebih kuat. Ketiga tantangan di atas bisa diselesaikan kalau masing-masing pasutri belajar kasih dari Sang Maha Kasih yakni Allah sendiri. "Hai suami, kasihilah istrimu, sama seperti Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya." (Efesus 5:25). Bukan kasih yang hanya diucapkan, I love you , tetapi kasih yang berkorban. “Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, melainkan suami. Demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, melainkan isteri” (1 Korintus 7:4). Pentingnya untuk saling memperhatikan dan memenuhi kebutuhan masing-masing pasangan, saling mendengarkan, memahami, dan menghormati keinginan pasangannya.  Pernikahan Kristen juga bukan hanya tentang kehidupan di dalam rumah tangga, tetapi juga tentang panggilan untuk melayani Tuhan bersama. Suami dan istri dipanggil untuk menjadi rekan sekerja dalam ladang pelayanan. Dalam pelayanan bersama, pasangan dapat memperdalam intimasi mereka karena mereka memiliki tujuan bersama yang lebih besar daripada kepentingan keluarga. Sebagai contoh adalah pasangan Priskila dan Akwila yang menjadi teladan pelayanan bersama bagi pasangan Kristen.  Hikmat adalah vaksin pencegah. "Aku yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari dahulu kala hal-hal yang belum terjadi; Aku berkata: Rencana-Ku akan terlaksana dan segala yang Kukehendaki akan Kulakukan," (Yesaya 46:10). Allah berdaulat dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan pernikahan dan keluarga kita. Hanya saja kita sering over stretching  memaknai kedaulatan Allah tersebut, dengan mengatakan bahwa masih ada plan B, plan C,   plan D  dan seterusnya dari Allah, seperti yang banyak diucapkan oleh banyak public figure  kita saat mereka bercerai atau menghadapi konsekuensi dari tindakan bodoh yang dilakukannya. Kita perlu ekstra berhati-hati dengan konsep fatalisme yang merasuk secara diam-diam dalam nilai-nilai yang kita pegang. Fatalisme adalah kebodohan. Untuk itulah kitab Amsal diberikan untuk orang percaya, agar kita terhindar dari kesalahan dan menjauhi kebodohan dan punya hikmat untuk menghindari keduanya. Kesalahan dan kebodohan seringkali bukanlah dosa tapi bagian dari natur kejatuhan manusia, yang kemudian kerap dipakai Iblis untuk menarik kita untuk berdosa. Dalam pernikahan, dimana dua orang dengan natur kejatuhan ( fallen world ) dipersatukan, tentunya kita harus menerima bahwa tentu akan terjadi banyak benturan dan "ombak besar". Dosa Daud dan Batsyeba diawali oleh bagaimana Daud mengisi waktu luangnya ( me-time ) di atas sotoh. A simple stupidity, yang berlanjut pada dosa perzinahan, dusta , abuse of power dan pembunuhan .  Ini merupakan pesan tegas pada banyak orang dewasa pada zaman ini, untuk berhati-hati menggunakan waktu luang , dan   jadilah bijak. “Jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu…” (Matius 5:29). Komunikasikan dengan jujur kelemahan diri dengan pasangan dan saling mendukung dalam menjaga kekudusan. Komunikasikan harapan-harapan terhadap pasangan agar saling memahami dan juga menyadari bahwa mungkin ada ekspektasi yang tidak realistis, yang entah kita dapatkan dari sumber atau pengalaman hidup yang tidak sesuai nilai Kristiani. Kebodohan yang sering kita saksikan seperti terdapat orang percaya yang mendasarkan cara atau jalan hidupnya menurut kutipan yang sering dibacanya di sosial media atau podcast dari YouTuber terkenal yang sepertinya masuk akal, padahal menyesatkan. Setiap pasangan perlu mengupayakan waktu bersama untuk bertumbuh dalam Firman Tuhan. Sehingga konsep, nasihat, nilai-nilai yang kita bawa ke dalam pernikahan merupakan nilai-nilai yang sudah tersaring oleh hikmat Firman Tuhan.  Komunikasikan juga dengan terbuka bila salah satu pasangan merasakan kebosanan oleh rutinitas sehari-hari, seperti pekerjaan kantor, mengurus rumah, dan merawat anak. Kebosanan seringkali bukan dosa, tetapi natur alamiah manusia, yang harus diselesaikan bersama secara kreatif. Setiap solusi didasarkan pada penyebabnya. Sebagai contoh, jika salah satu pasangan merasa kehilangan semangat, pembagian tugas rumah tangga antara suami dan istri dapat membantu, atau dengan secara aktif menciptakan momen kebersamaan yang bermakna, seperti makan malam bersama, outing  berdua, atau memberikan kejutan kecil untuk menjaga hubungan tetap hidup. Namun, jika masalah ini ditutupi atau diabaikan berlarut-larut, kebencian yang terpendam akan muncul karena merasa diabaikan. Hal ini kemudian mendorong salah satu pasangan mencari penyelesaian di luar, yang pada akhirnya dapat merusak hubungan. Ketika masalah mencapai titik ini, seringkali yang muncul sebagai penyebab adalah 'kami sangat berbeda dan tidak ada kecocokan'. Padahal, masalah tersebut sebenarnya dimulai dari hal yang sederhana. What counts in making a happy marriage is not so much how compatible you are, but how you deal with incompatibility. By Leo Tolstoy. Perlu juga dipahami, agak sedikit  lebay  tapi benar, komunikasi itu bukan masalah gadget, tapi masalah hati. Bukan tentang bagaimana menyusun kalimat yang standar juga jelas, dibantu dengan AI,  dan dikirim pakai Iphone 16 , tapi tentang bagaimana di dalamnya ada ketulusan, keterbukaan (jujur terhadap orang lain dan juga terhadap diri), dan didasarkan pada tujuan mengasihi pasangan atau orang lain. Justru gadget saat ini memfasilitasi banyak perselingkuhan. Untuk itu keterbukaan, ketulusan, dan kesabaran dalam mendengarkan adalah hal yang sentral dalam berkomunikasi, khususnya dengan pasangan. Komunikasi yang demikian harusnya secara terus menerus dibina dan diupayakan untuk memelihara “kebun” relasi suami dan istri. Alkitab menasihatkan semua hal di atas untuk hidup kita, dimana nilai-nilai Ilahi itu penting untuk dipelajari dari hari ke hari. Malah perlu untuk kembali diulang dan dipelajari dalam fase yang berbeda dalam hidup kita. Belajar Firman Tuhan akan memberikan hikmat untuk menjauhi kebodohan, yang lebih dari 70 kali disebut dalam kitab Amsal. “Akal budi adalah sumber kehidupan bagi orang yang memilikinya, dan orang bebal dihukum oleh kebodohannya”. (Amsal 16:22) Akhirnya, melanjutkan acara pernikahan keponakan kami ceritakan di atas, tiba juga giliran kami untuk memberikan nasihat pada pasangan pengantin baru ini. Kami menyampaikan, selain relasi adalah kunci, dan hikmat adalah vaksin pencegah, komunitas yang saling mendukung dan memperhatikan adalah media penting untuk bertumbuh dalam kedewasaan iman dalam pernikahan dan berkeluarga. Carilah dan bergabunglah dalam komunitas itu, bisa dalam bentuk persekutuan di dalam gereja atau KTB (kelompok tumbuh bersama) di organisasi pelayanan lainnya atau sesama alumni persekutuan mahasiswa. Ini merupakan support system  yang sehat untuk memelihara kehidupan pernikahan kita agar selalu bisa dinikmati oleh seluruh anggota keluarga dan komunitas serta mencapai tujuannya, yakni untuk pengudusan; dan juga berfungsi sebagai penopang saat pernikahan kita memasuki masa-masa sulit dalam bentuk dukungan nasihat sesuai Firman Tuhan, dan doa serta berbagi pengalaman hidup yang jujur. Dalam komunitas, pasangan tidak merasa sendiri dalam menghadapi tantangan dan beroleh kekuatan untuk berjalan bersama Allah. Akhirnya….. Tingo ma inggir-inggir Tingko rata-rata Pasu-pasu angka na uli  Pasauton ni Amanta Debata. (Sebuah pantun di adat Batak, yang artinya: Bulat buah inggir-inggir [sejenis biji-bijian], Bulat berwarna hijau, Berkat yang luhur, Kiranya diberikan oleh Allah Bapa).

  • 5 Kiat dalam Mencari Pasangan Hidup

    Dalam dunia modern saat ini, institusi pernikahan terus dipertanyakan fungsi dan tujuannya, bahkan terus mengalami redefinisi secara tidak bertanggung jawab. Membicarakan tentang relasi pacaran pun kini memiliki banyak interpretasi yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang seseorang, terutama lingkungan di mana ia tinggal dan bersosialisasi. Ditambah lagi dengan suguhan begitu banyak gambaran alasan dan gaya berpacaran yang tidak sesuai dengan prinsip Firman Tuhan melalui tontonan, bacaan, sosial media, dan bahkan lingkungan sekitar yang tidak bisa terelakkan, semuanya itu akhirnya mengubah cara berpikir dan memandang seseorang dalam melihat sebuah relasi pacaran dan institusi pernikahan. Sebagai seorang Kristen yang tinggal di Indonesia, tidak banyak (walaupun ada, dan ini topik yang berbeda) yang akan berargumentasi terkait relasi pernikahan antara pria dan wanita. Saat kita berbicara tentang relasi berpacaran, hal yang mendasar yang perlu kita pahami adalah tentang pernikahan. Perlu digarisbawahi bahwa relasi pacaran yang terjadi antara dua orang dewasa merupakan proses menuju pernikahan, yang adalah institusi yang diciptakan oleh Allah sendiri. Ya,   pernikahan adalah desain dan rancangan Allah sendiri. Kejadian 2:18, 22-24: TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.  Sehingga, tidak seharusnya kita memisahkan proses berpacaran dari pernikahan sebagai tujuannya. Berpacaran bukanlah semata-mata ketertarikan antara dua lawan jenis, terlebih lagi sebagai wadah untuk memuaskan nafsu. Namun, berpacaran merupakan bagian dari menuju pernikahan yang bukan hanya bertujuan sebagai alat prokreasi, tetapi juga relasional yang menggambarkan hubungan Kristus dan jemaat-Nya (Ef. 5:22-33). Bila pemikiran tentang pernikahan tidak menjadi dasar dari sebuah relasi pacaran, maka untuk apa berpacaran?! Terlepas dari banyaknya aspek berpacaran yang dapat dibahas, artikel ini akan membahas tentang bagaimana sebaiknya orang Kristen menemukan pasangan hidup menuju pernikahan. Hal utama yang menjadi dasar dari proses pencarian pasangan hidup adalah bahwa Allah tidak menghendaki seorang Kristen menikah dengan orang yang bukan sesama orang percaya. 2 Kor. 6:14, Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Berikut ini terdapat lima hal yang dapat dilakukan seseorang dalam mencari pasangan hidup. Datanglah kepada Tuhan dalam doa. Suatu waktu, seseorang bertanya tentang upaya apa yang dilakukan untuk mencari pacar, dan saya menjawab dengan berdoa kepada Tuhan untuk mempertemukan dengan orang yang tepat. Respon orang tersebut adalah tertawa. Hal ini mungkin terdengar aneh bagi banyak anak muda di luar sana, tetapi bagi kita sebagai orang percaya, berdoa adalah hal mendasar yang perlu dilakukan dalam mencari pasangan hidup. Filipi 4:5 mengingatkan kita untuk menyerahkan segala permohonan dan kekhawatiran kita kepada Allah, dan itu termasuk pasangan hidup. Tanyakan dan bermohonlah kepada Allah sebagai pencipta institusi pernikahan untuk mempertemukan kita dengan pasangan yang sepadan, yang kelak bersama dapat melayani Allah yang sejati. Buat daftar kriteria pasangan. Ini adalah hal praktis yang penting. Mengapa? Karena kita tidak ingin bertemu dengan sembarang orang, melainkan dengan pasangan hidup yang berkarakter ilahi . Namun, kriteria dasar tersebut sangat umum, bukan? Saat ini, terdapat hampir 280 juta orang di Indonesia. Maka dari itu, membuat daftar yang terdiri dari kriteria absolut dan relatif sangat dianjurkan. Selanjutnya, bandingkan daftar yang kita buat dengan prinsip-prinsip Alkitab. Jangan sampai kita kebingungan dan tertukar antara kriteria absolut (apa yang Allah kehendaki) dan kriteria relatif (apa yang kita inginkan). Sebagai contoh, kriteria absolut bisa berupa seseorang dengan karakter ilahi sejati, kedewasaan rohani, memiliki visi dan panggilan yang sama atau cinta dan melayani di Gereja yang sejati. Sedangkan, kriteria relatif bisa berupa sesama suku, secara fisik lebih tinggi, preferensi profesi tertentu dan sebagainya. Teruslah bawa setiap kriteria dalam doa. Allah menghendaki kita untuk membawa segala keinginan kita kepada-Nya dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Ini berarti, tidak salah bagi kita untuk menginginkan suatu kriteria dari pasangan kita. Namun, dalam prosesnya, setiap kita harus meminta Allah untuk memurnikan segala keinginan kita, agar berpusat pada Allah dan kehendak-Nya, bukan diri sendiri. Pada akhirnya, kebanyakan orang akan memangkas banyak kriteria relatif ketika diperhadapkan dengan prinsip-prinsip kebenaran Firman Tuhan, karena Allah berkuasa mengubah hati dan pikiran kita agar selaras dengan kehendak dan panggilan-Nya.  Carilah pasangan di lingkungan yang benar. Berdoa tanpa aktif bersosialisasi dan mencari tentu bukanlah yang dikehendaki Allah. Okay,  tapi, kemana kita mencari? Bila seseorang ingin bertemu dengan seseorang yang memiliki ketertarikan terhadap permainan catur, maka bergabunglah dengan komunitas pecinta catur. Begitu pula, bila kita ingin bertemu dengan pria atau wanita yang percaya dan berkarakter ilahi, gereja dan/atau persekutuan Kristen adalah tempat yang tepat. Namun, hal ini tidak membenarkan tindakan pergi ke satu demi satu gereja atau persekutuan pemuda dengan tujuan utama mencari pasangan hidup. Aktiflah mencari di gereja di mana kita berakar dan bertumbuh di dalamnya. Dan, carilah seseorang yang juga berkomitmen sebagai anggota gereja yang berakar dan bertumbuh di dalam komunitas ilahi. Not just anyone at church.  Carilah nasihat dari sahabat dan teladan rohani. Menilai pasangan seorang diri sangat mungkin membuat kita tidak objektif dan akhirnya salah dalam memilih pasangan. Komunitas yang bertumbuh dan dewasa dalam Tuhan dapat menolong kita melihat tanda-tanda yang negatif yang mungkin terlewatkan atau bahkan sengaja kita abaikan. Carilah nasihat dari pemimpin gereja, pasangan suami dan istri yang menjadi teladan dalam pernikahan mereka, dan/atau sahabat yang berkarakter ilahi. Mereka dapat dipakai Tuhan untuk menolong kita dalam menemukan pasangan hidup yang sesuai dengan prinsip kebenaran Firman Tuhan. Persetujuan orangtua merupakan hal yang esensial. Kehidupan keluarga Kristen berdasar pada ketaatan pada otoritas yang ditunjuk oleh Allah. Oleh sebab itu, persetujuan orangtua merupakan hal yang esensial yang tidak bisa diabaikan, bahkan di zaman modern ini. Kebijaksanaan orangtua dapat dipakai Tuhan untuk menunjukkan kehendak-Nya. Mungkin ada kondisi di mana orangtua bukan merupakan orang percaya, sehingga banyak pertimbangan mereka tidak berdasarkan prinsip Alkitab. Namun, meskipun itu berarti dibutuhkan waktu yang lebih lama dan kesabaran yang lebih panjang dalam menunggu persetujuan orangtua, percayalah bahwa Allah sanggup melembutkan hati setiap orang jika pasangan yang kita doakan adalah sesuai dengan kehendak-Nya. Mencari dan menemukan pasangan hidup tentu tidaklah mudah, terlebih di tengah dunia yang memutarbalikkan definisi relasi pernikahan, mengabaikan kekudusan dengan menonjolkan aspek seksualitas dan nafsu sesaat, serta mengesampingkan komitmen seumur hidup demi kepentingan diri sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa institusi pernikahan harus dihadapi dengan keseriusan dan tanggung jawab penuh oleh setiap orang percaya. Teruslah membawa pergumulan pasangan hidup kita kepada-Nya, dan minta Tuhan untuk memberikan kita kepekaan dan ketaatan dalam mendengar dan meresponi jawaban Tuhan. Kiranya setiap kita dapat terus bersandar kepada kebenaran Firman-Nya dalam menemukan pasangan hidup yang sepadan dan sesuai kebenaran Alkitab, serta kelak dapat membangun sebuah keluarga ilahi yang dipakai Tuhan untuk kemuliaan nama-Nya. Sumber: How Should Christians Go About Finding a Godly Spouse? https://learn.ligonier.org/podcasts/ask-ligonier/how-should-christians-go-about-finding-a-godly-spouse Finding a Spouse https://learn.ligonier.org/devotionals/finding-spouse Defining and Redefining Marriage https://www.reformedclassicalist.com/home/defining-and-redefining-marriage

  • Refleksi MMC: Menyadari Panggilan Saya...

    Saya sangat bersyukur kepada Tuhan atas pengalaman-pengalaman luar biasa yang membawa saya semakin mendalami panggilan hidup sebagai dokter. Dua pengalaman penting bagi saya adalah saat mengikuti Medical Mission Course (MMC) di RSU Bethesda Serukam dan menjalani magang di RS Baptis Batu. Pengalaman enam minggu di RSU Bethesda Serukam melalui MMC menjadi momen yang sangat berkesan dalam hidup saya. Saya menyaksikan langsung bagaimana rumah sakit sederhana ini dipakai Tuhan untuk melayani pasien dengan penuh kasih, tanpa memandang status sosial atau keterbatasan finansial. Semangat pantang menyerah dari tenaga medis di sana – mulai dari dokter, perawat, hingga staf lainnya – memberikan teladan nyata tentang melayani dengan maksimal dan tulus. Pelayanan di RSU Bethesda Serukam mengajarkan saya bahwa medis bukan hanya tentang kompetensi klinis, tetapi juga kasih. Melihat pasien dari berbagai daerah yang datang dengan pengharapan besar, dan tim medis yang memberikan segala usaha terbaik, bahkan di luar keterbatasan fasilitas. Saya juga terberkati melalui interaksi dengan dokter-dokter  -  meskipun lelah oleh beban kerja yang tinggi, tetap melayani dengan hati yang penuh perhatian. Itu menjadi pengingat penting bagi saya akan panggilan sejati seorang dokter. Selain pengalaman medis, sesi-sesi doa di bangsal bersama tim PI, sharing  hidup dari rekan-rekan nakes, dan kesaksian keluarga yang mengabdikan diri di Serukam membuat saya belajar banyak tentang iman dan ketaatan pada panggilan Tuhan. Saya terinspirasi oleh keberanian mereka untuk meninggalkan kenyamanan demi melayani, dan saya melihat bahwa kebahagiaan sejati datang ketika hidup dijalani sesuai dengan rencana-Nya. Pengalaman mendalam di RSU Bethesda Serukam semakin menguatkan keyakinan saya bahwa menjadi dokter tidak hanya soal menyembuhkan, tetapi juga hadir untuk merawat, mendengar, dan mendampingi pasien di tengah kondisi sulit mereka. Di sinilah saya mulai menyadari panggilan saya untuk melayani pasien dalam dimensi yang lebih personal dan manusiawi, khususnya di bidang paliatif. Ketertarikan pada paliatif pertama kali muncul saat menghadiri sesi di MMC yang menggerakkan hati saya untuk mendalami lebih jauh dan menguji panggilan saya secara langsung di lapangan. Saya berkesempatan menjalani magang dan observasi lapangan di pelayanan paliatif RS Baptis Batu selama tiga bulan. Selama magang, saya bergabung dengan tim dr. Wang Elly dan Bu Ririn, melayani 6-10 pasien per hari, mayoritas penderita kanker, serta pasien dengan stroke dan kondisi terminal lainnya. Saya belajar bahwa pelayanan paliatif bukan hanya soal perawatan fisik, seperti pemeriksaan atau terapi simptomatis, tetapi juga soal membangun hubungan yang erat dengan pasien dan keluarga mereka, serta memberi dukungan emosional, spiritual, dan pendampingan penuh kasih. Setiap kunjungan memberi saya pelajaran tentang pentingnya hadir  bagi mereka yang sedang berjuang, menjadikan empati dan penguatan spiritual sama pentingnya dengan pengobatan fisik. Selain itu, saya terinspirasi oleh dedikasi relawan-relawan paliatif care  di Kota Batu, yang tulus mendampingi pasien bahkan harus menempuh perjalanan jauh ke Malang. Pelayanan di Pondok Pemulihan Doulos yang mendukung korban penyalahgunaan narkoba dan gangguan kejiwaan, memperluas wawasan saya tentang kasih yang nyata dan tak bersyarat. Meski penuh tantangan, termasuk kelelahan emosional dan spiritual, pengalaman ini mengajarkan saya untuk terus menjaga hubungan dengan Tuhan sebagai sumber kekuatan. Saya juga mengalami momen-momen mengesankan, seperti menyaksikan kekuatan iman seorang ibu penderita kanker yang dirawat penuh kasih oleh anak-anaknya, meskipun berada dalam situasi sulit. Pasien dan keluarga mereka mengajarkan saya banyak hal tentang cinta, pengorbanan, dan iman yang teguh. Melalui pengalaman tiga bulan ini, saya semakin diteguhkan bahwa pelayanan paliatif adalah panggilan saya. Pelayanan ini mengutamakan martabat manusia, mengurangi penderitaan, dan menguatkan keluarga pasien. Saya memiliki rencana untuk melanjutkan pendidikan S2 di bidang Paliatif di UK (Inggris Raya) agar bisa memperdalam pengetahuan dan keterampilan saya dalam bidang ini. Setelah itu, saya berharap bisa kembali ke Indonesia sebagai dokter paliatif, sekaligus menjadi edukator dalam pelatihan-pelatihan paliatif. Saya juga ingin mengambil peran dalam mendukung advokasi serta pengembangan regulasi paliatif di Indonesia, agar lebih banyak orang yang mendapatkan akses pada layanan paliatif yang penuh kasih dan memperhatikan kualitas hidup pasien terminal. Saya sungguh berterima kasih atas dukungan penuh dari panitia MMC dan pengurus PMdN yang telah memfasilitasi, mendukung secara finansial, dan mendoakan saya sepanjang masa magang dan mengenali panggilan-Nya. Kiranya pengalaman ini menjadi landasan untuk langkah saya ke depan dalam memenuhi panggilan Tuhan di bidang paliatif, memberikan perhatian, penguatan, dan menghantarkan kasih Kristus melalui sentuhan saya kepada jiwa-jiwa yang membutuhkan.

  • C.S. Lewis: Pemimpin yang Mempengaruhi banyak Orang lewat Tulisan

    Clive Staples Lewis (1898–1963) Di dalam dunia ini paling tidak ada tiga kelompok orang, yaitu penonton  yang jumlahnya mungkin paling besar, lalu pengikut  yang jumlahnya juga tidak kalah banyak, dan terakhir adalah penggerak/pemimpin  yang biasanya hanya sekelompok kecil orang. Dari ketiga kelompok itu, yang mana yang paling berpengaruh dalam mengubah dunia? Seorang pemimpin adalah seorang yang karena posisi, talenta, teladan, reputasi, karakter atau hikmatnya mampu mempengaruhi orang lain dalam bidang pemikiran atau kegiatan dan karena itu ia didengar atau diikuti. Pemimpin Kristen adalah seorang karena posisi, talenta, hikmat yang dikaruniakan Tuhan kepadanya dengan maksud membawa orang-orang kepada hal-hal yang sesuai dengan rencana dan kehendak Allah. Dalam pengertian di atas, setiap orang Kristen sesungguhnya dipanggil menjadi “pemimpin,” baik sebagai saksi Kristus maupun sebagai murid Kristus yang dipanggil untuk memuridkan orang lain menjadi murid Kristus. Pemimpin rohani yang baik akan menetapkan dirinya untuk bersekutu dengan Dia dan mendengarkan firman-Nya setiap hari, sehingga ia akan mengalami keyakinan akan panggilan-Nya, menyadari kebutuhan akan penyertaan dan kuasa-Nya, serta makin berhikmat dalam mempertimbangkan keputusan yang diambil. Oswald Chambers telah menemukan bahwa: “Seberapa bernilai pelayanan publik saya kepada Allah, bergantung pada seberapa kuatnya persekutuan saya dengan Dia.” Relasi dan persekutuan kita dengan Tuhan merupakan hal yang paling utama dari semua pemimpin rohani yang besar. Karena itu, semua pengurus atau pelayan harus memenangkan peperangan melawan kemalasan, ketidakdisiplinan, ketidakseriusan, dan berbagai hambatan yang merintangi kita setiap hari untuk bersekutu dengan Allah melalui merenungkan firman-Nya dan berdoa. Pada kesempatan kali ini, kita akan belajar dari kehidupan seorang influencer ternama dalam kekristenan, yaitu C.S. Lewis. Dia bukan seorang pemimpin formal yang pernah menjabat atau memegang posisi penting tertentu, tetapi mari kita melihat seorang pemimpin yang telah menginspirasi banyak orang, melalui tulisan dan pemikirannya, bahkan setelah kematiannya. Clive Staples Lewis (1898–1963) adalah salah satu raksasa intelektual abad kedua puluh dan bisa dibilang salah satu penulis paling berpengaruh  pada zamannya. Dia adalah fellow  dan tutor dalam Sastra Inggris di Universitas Oxford sampai 1954, ketika dia dengan suara bulat terpilih menjadi Ketua Sastra Abad Pertengahan dan Renaissance di Universitas Cambridge, posisi yang dipegangnya sampai pensiun. Lewis menulis lebih dari tiga puluh buku, memungkinkannya menjangkau khalayak luas, dan karya-karyanya terus menarik ribuan pembaca baru setiap tahun. Prestasi C. S. Lewis yang paling terkenal dan populer termasuk Mere Christianity, Out of the Silent Planet, The Great Divorce, The Screwtape Letters , dan karya klasik yang diakui secara universal dalam The Chronicles of Narnia . Sampai saat ini, buku Narnia telah terjual lebih dari 100 juta eksemplar dan telah diubah menjadi tiga film besar. Masa kecil dan keluarga  Clive Staples Lewis lahir pada 29 November 1898, di Belfast, Irlandia, dari pasangan Albert James Lewis, seorang pengacara, dan Florence Augusta, putri seorang pendeta Anglikan.  Ketika dia berusia tujuh tahun, keluarganya pindah ke daerah Belfast Timur. Sebagai seorang anak, ia suka membaca cerita fantasi dan tertarik dengan makhluk imajiner dan hewan antropomorfik.  CS Lewis:   penulis yang mempengaruhi banyak orang dan generasi C.S. Lewis mendapat pengakuan dunia sebagai penulis anak-anak untuk serial klasiknya The Chronicles of Narnia . Dia juga mendapat pujian atas tinjauan apologetikanya yang populer, seperti Mere Christianity  dan The Screwtape Letters . Terlebih lagi, ia mendapat pengakuan sebagai penulis fiksi ilmiah untuk Ransom Trilogy -nya. Selanjutnya, ia mendapat pujian atas karya ilmiahnya dalam sastra Abad Pertengahan dan Renaisans dengan The Allegory of Love dan A Preface to Paradise Lost . Banyak penulis memiliki momen ketenaran beberapa saat setelah buku mereka diterbitkan sampai beberapa tahun setelahnya. Namun, buku-buku CS Lewis tetap dicetak selama tujuh puluh, delapan puluh, dan sembilan puluh tahun setelahnya. Selama bertahun-tahun, proses pencetakan terus berkembang makin banyak, kita bisa melihatnya di berbaga perpustakaan, toko-toko buku, maupun dalam bentuk digital. Lebih lagi, banyak quotes dari Lewis menginspirasi dan memberkati banyak orang seperti dua contoh di bawah ini. Don't shine so that others can see you. Shine so that through you, others can see Him . Life with God is not immunity from difficulties, but peace in difficulties. Mere Christianity Dalam buku Mere Christianity  (1952) ini, Lewis merangkumkan bahwa Kekristenan bukanlah agama tentang malaikat yang melayang-layang dan iman yang buta, tetapi kehendak bebas, rasa keadilan dan anugerah Tuhan. Buku ini diakui sebagai buku yang sangat tepat untuk orang-orang sekuler mengenal tentang basic Christianity  yang ditulis dengan elegan tapi tidak mengurangi inti yang mau disampaikan. Buku ini terus dicetak dan bahkan ada yang pernah mengatakan bahwa setelah Alkitab, maka buku yang perlu dimiliki setiap orang percaya adalah Mere Christianity . Berikut ini adalah beberapa tulisan dalam buku tersebut, saya tidak menerjemahkannya, supaya kita semua dapat merasakan gaya bahasa dan pemakaian ilustrasi yang ada. “Imagine yourself as a living house. God comes in to rebuild that house. At first, perhaps, you can understand what He is doing. He is getting the drains right and stopping the leaks in the roof and so on; you knew that those jobs needed doing and so you are not surprised. But presently He starts knocking the house about in a way that hurts abominably and does not seem to make any sense. What on earth is He up to? The explanation is that He is building quite a different house from the one you thought of - throwing out a new wing here, putting on an extra floor there, running up towers, making courtyards. You thought you were being made into a decent little cottage: but He is building a palace. He intends to come and live in it Himself.” “To have faith in Christ means, of course, trying to do all that He says. There would be no sense in saying you trusted a person if you would not take his advice. Thus if you have really handed yourself over to Him, it must follow that you are trying to obey Him. But trying in a new way, a less worried way. Not doing these things in order to be saved, but because He has begun to save you already. Not hoping to get to Heaven as a reward for your actions, but inevitably wanting to act in a certain way because a first faint gleam of Heaven is already inside you.” Seorang influencer yang juga mempunyai kekurangan dan kelemahan Walaupun seorang C.S. Lewis sangat menginspirasi banyak orang, bahkan setelah kematiannya, toh  kita semua tahu tidak ada orang yang sempurna kecuali Allah sendiri. John Piper, dalam tulisannya di Desiring God , mengungkapkan bahwa meskipun tulisan-tulisan dan pemikiran C.S. Lewis sangat menjadi berkat namun dia tidaklah luput dari kekurangan dan kelemahan. Namun, dari banyak kelemahan tentang doktrin ataupun lainnya, Piper mengatakan paling tidak ada banyak hal yang bisa dipelajari dari hidupnya, diantaranya sebagai berikut: Lewis selalu bergerak maju menuju Ortodoks. Secara umum istilah ortodoks mengacu pada bentuk kekristenan tradisional dan konservatif yang menjunjung tinggi kepercayaan tradisional Kristen tentang Allah Tritunggal dan tentang Yesus Kristus seperti yang diajarkan dalam kredo-kredo awal gereja. C.S. Lewis bertobat dari seorang ateis menjadi Kristen dan sepanjang hidupnya semakin bertumbuh dalam imannya. Dia tidak pernah goyah dan meragukan imannya sedikitpun. Cukup banyak orang tadinya begitu setia pada Kristus, namun kemudian mulai meragukan Allah yang dipercayainya karena kekecewaan-kekecewaan dalam hidup, baik terhadap orang-orang di sekitarnya atau bahkan gereja; namun tidak demikian dengan seorang C.S. Lewis. Dia teguh berpegang pada ajaran Firman Tuhan dan gereja yang menjadi arah hidupnya. Lewis percaya pada doktrin keselamatan. C.S. Lewis seorang yang ortodoks dalam komitmennya pada keilahian Kristus dan Trinitas, dan kematian Kristus sebagai satu-satunya penebusan atas dosa manusia dan jalan keselamatan hanya melalui iman. Salah satu kesaksian yang terbaik adalah bahwa dia adalah seorang anggota gereja tetap dalam Gereja Anglikan, seorang Anglikan yang jujur dan ortodoks. Lewis seorang yang rasional. Lewis juga seorang yang sangat rasional. Dia menyukai kejelasan, karena dia murni dan jujur dalam cara dia berkomunikasi. Dia tidak pernah memutar balik fakta apapun yang ada dan dia tidak pernah bermain-main dengan kata-kata. John Piper mengatakan bahwa Lewis seorang yang benar-benar teladan dalam hal ini dan oleh karena itu, dia merasa aman di sekitar Lewis.  Lewis berkomitmen dalam menyelamatkan jiwa-jiwa. Tulisan-tulisan apologetikanya sangat terkenal dan nampak bahwa melalui tulisan-tulisan itulah, seorang Lewis berupaya untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang terhilang. C.S. Lewis percaya bahwa menyelamatkan jiwa buat Tuhan adalah hal utama di dunia ini. Penutup Pdt. Caleb Tong pernah mengatakan bahwa pemimpin adalah orang yang mampu menggunakan pengaruhnya  untuk bergerak dan menggerakkan orang lain. Pemimpin bisa membawa pengaruh ataupun daya tular kepada orang lain, seperti seorang ibu kepada bayi yang dikandungnya sebelum lahir, atau pembinaan dan pengajaran selama masa pertumbuhan. Jiwa manusia selalu terkesan akan pemimpin yang mengasuhnya.  Pemimpin, menurut Caleb Tong, memberi pengaruh melalui kemampuan, pengetahuan, perkataan dan keteladanannya.  C.S. Lewis telah memberikan pengaruh melalui seluruh tulisan dan karyanya yang menggerakkan banyak orang kepada Kristus. Pemimpin bukan hanya suatu posisi atau kedudukan secara fisik, namun juga suatu pengaruh yang membawa orang kepada suatu tujuan. Siapapun kita, kualitas kepemimpinan seseorang tidak terjadi secara instan, tapi dibentuk dari hari ke hari, bahkan bertahun-tahun. Kesungguhan hati, ketaatan, kerendahan hati, ketekunan, pekerjaan Roh Kudus, persekutuan, firman dan doa, serta pelayanan bahkan penderitaan sangat diperlukan dalam proses pembentukan ini. Marilah kita menjadi pemimpin bagi Allah, sesuai dengan panggilan, talenta dan pengalaman bersama-Nya dalam hidup kita. Kepustakaan The official website of C.S. Lewis. Bambang Nugroho Hadi, Materi ajar kepemimpinan Kristen lanjutan STT Syalom Lampung. Piper, John. Why Honor C.S. Lewis When He Had So Many Flaws? Desiring God, October 17, 2013. Mere Christianity quotes, Goodreads.

  • Kita Gereja

    Mungkin, ada dari kita yang pernah mendengar seorang teman berkata bahwa dia memilih untuk tidak aktif menjadi anggota gereja tertentu dan cukup baginya untuk tidak pernah melewatkan ibadah minggu di banyak gereja secara bergantian. Ataupun, ada yang memang tidak ingin terlibat aktif dalam satu gereja tertentu karena tidak menemukan gereja yang ideal atau bahkan pernah kecewa terhadap satu gereja. Ada lagi yang merasa cukup dengan terus menjaga relasi pribadi dengan Tuhan tanpa ingin berkomitmen dalam satu gereja tertentu. Atau malah, sudah mempunyai gereja rutin setiap minggu, tetapi tidak ingin mengambil komitmen lebih jauh untuk menjadi anggota gereja tersebut dan memilih tidak ingin dilibatkan dalam pelayanan gereja karena urusan pekerjaan dan keluarga sudah sangat mengambil banyak waktu. Kita, yang mengenal Tuhan melalui pemuridan di Persekutuan Kampus dan pernah atau sedang terlibat aktif dalam pelayanan mahasiswa yang mana merupakan para-church, sudah seharusnya terlibat aktif di sebuah gereja saat sudah menjadi alumni. Tulisan di bawah ini akan membahas sedikit tentang Gereja yang dikaitkan dengan kita sebagai orang percaya. Dalam Perjanjian Baru, kata ekklesia yang   secara umum menunjuk kepada Gereja, berasal dari kata -ek dan -kaleo, yang berarti “memanggil keluar”. Sehingga, bisa ditafsirkan bahwa gereja adalah sekumpulan umat pilihan Tuhan yang dipanggil keluar. Dalam Matius 16:18, pertama kali muncul kata ekklesia  yang digunakan oleh Tuhan Yesus saat berkata kepada murid-muridNya “… dan diatas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku  dan alam maut tidak akan menguasainya” . Dengan demikian, gereja merupakan suatu institusi yang ditetapkan dan didirikan oleh Allah sendiri. Hal ini sudah merupakan satu alasan mendasar dan absolut mengapa gereja ada dan orang Kristen sebagai umat pilihan Allah harus menjadi bagian dari gereja. Menariknya, kata “gereja” yang kita gunakan sekarang ini diterjemahkan dari kata Church dalam bahasa inggris, Kerk dan Kirche masing-masing dalam bahasa Belanda dan Jerman, yang artinya “milik Tuhan” dan bukan berasal dari kata ekklesia. Already but not yet! Hanya oleh karena Anugerah Allah semata kita boleh mendapat bagian dalam keselamatan yang sudah dipersiapkan Allah sebelumnya. Akan tetapi, kita pun menyadari bahwa hidup dalam ketaatan kepada Kristus tidaklah mungkin dilakukan tanpa Anugerah Allah yang terus-menerus. Dalam Westminster Shorter Catechism no. 88 dinyatakan bahwa “cara lahiriah dan umum dimana Kristus mengkomunikasikan kepada kita manfaat dari penebusan adalah melalui tata cara-Nya, terutama Firman, sakramen dan doa; semuanya dibuat efektif bagi umat pilihan untuk keselamatan”. Louis Berkhof menambahkan bahwa Firman dan Sakramen tersebut merupakan  Means of Grace atau alat-alat Anugerah yang objektif yang Allah sediakan dan tetapkan dalam gereja, yang melalui karya Roh Kudus, memimpin orang percaya kepada pengenalan akan Kristus atau menuju persekutuan yang lebih erat dengan Dia. Bisa disimpulkan bahwa sudah seharusnya bagi setiap orang percaya memiliki kehidupan bergereja untuk dapat menikmati berkat rohani dan terlebih lagi mengenal dan menikmati Allah senantiasa. Sebagai umat pilihan Allah, kita dipanggil untuk menjadi bagian dari gereja lokal. Bukanlah Gereja Keliling-keliling, tetapi berkomitmen untuk terlibat aktif, belajar melayani dan bersekutu dalam satu gereja yang tampak. Menurut St. Agustinus, ada yang disebut Invisible Church yang berarti sekelompok orang Kristen sejati yang secara “tidak tampak” dipersatukan dengan Kristus oleh Roh Kudus dan ada yang disebut Visible Church yang merupakan gereja dalam arti bangunan dan keanggotaan gereja yang terdiri dari umat pilihan Allah yang merupakan bagian dari Invisible Church,  ataupun terdiri dari kumpulan orang bukan Kristen, tetapi lahir dan hidup dalam keluarga Kristen yang mendorongnya untuk menjadi anggota tetap dan aktif berpartisipasi dalam sebuah gereja. Adalah suatu pelanggaran terhadap Allah sebagai pendiri institusi gereja bila kita sebagai orang Kristen sejati memilih untuk tidak terlibat dalam keanggotan gereja tertentu. Berikut adalah 3 (tiga) hal mengapa orang Kristen harus menjadi bagian dari sebuah gereja: Persekutuan bersama anggota-anggota keluarga Allah (Ef. 2:19-22) akan menolong setiap orang percaya bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan melalui pendengaran dan penggalian Firman Tuhan bersama, saling menopang, dan bahkan saling mengoreksi (Mat. 18:15). Secara tekun mendengar Firman Tuhan yang disampaikan oleh Gembala di gereja dimana kita rutin berbakti sangatlah berbeda bila dibandingkan dengan mendengar Firman yang disampaikan oleh Hamba Tuhan dari gereja yang berbeda-beda setiap minggunya. Gembala gereja sejatinya bertanggungjawab terhadap jemaat gerejanya dan hal ini dapat menolong pertumbuhan rohani jemaat (Ibr 13:17).  Dalam Kis. 20:28 dituliskan tentang tanggungjawab seorang gembala dalam menjaga kawanan umat Allah yang ditetapkan Roh Kudus baginya. Tentu sulit bagi kita untuk dikenal oleh gembala sebuah gereja bila kita tidak mengambil komitmen untuk terlibat aktif di sebuah gereja. Seorang gembala tidak mungkin mengenal domba yang tidak digembalakan-nya. Sudah sangat jelas bahwa Allah menghendaki setiap orang percaya untuk berkomitmen dalam sebuah gereja tertentu. Namun, bagaimana kita memilih  gereja merupakan hal esensi yang selanjutnya perlu kita pahami. Sebagai orang percaya yang rindu untuk mengenal Allah yang sejati, kita harusnya secara aktif dan teliti mempertimbangkan di gereja mana kita beribadah dan apakah ajaran dalam gereja tersebut dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan Firman Tuhan. Tuhan Yesus sendiri memberikan peringatan kepada kita tentang hal pengajaran yang sesat (Mat. 7:15-23). Sehingga, kita seharusnya berespon melalui ketaatan atas Firman-Nya dengan memiliki kehidupan bergereja yang bertanggungjawab di hadapan Tuhan. Secara sederhana, kita bisa memulai dengan berefleksi melalui pertanyaan ini: apakah gereja kita saat ini mendorong kita semakin mengenal dan mengasihi Allah yang sejati sesuai dengan yang diberitakan oleh Alkitab? Secara singkat, kita akan melihat 3 (tiga) tanda gereja yang sejati di bawah ini: Pemberitaan Firman secara benar.  Gereja yang sejati harus berpegang teguh pada dasar kebenaran iman yang sejati, doktrin yang berdasar dari Firman-Nya, serta praktek hidup umat yang sepadan dengan Firman Tuhan. Apakah gereja tersebut percaya bahwa Alkitab adalah otoritas tertinggi? Apakah penafsiran Alkitab dijaga ketat oleh gereja? (2 Tim. 3:16-17, 2 Pet. 1: 20-21). Pelaksanaan sakramen-sakramen dengan benar  (1 Kor. 11:27-29) yang tidak boleh dipisahkan dari Firman Tuhan. Prosesi pelaksanaannya pun harus dengan disiplin dan oleh orang yang dapat mempertanggungjawabkan iman dan perbuatannya di hadapan jemaat (1 Tim. 3:2-7, 2 Tim 2:24). Pelaksanaan disiplin dengan setia oleh gereja  untuk menjaga kemurnian doktrin dan sakramen, serta mempertahankan kebenaran Firman yang sejati (1 Kor. 5:1-5). Terlepas dari segala kesibukan kita dalam melayani keluarga dan juga masyarakat lewat profesi sebagai tenaga kesehatan, “panggilan keluar” untuk bertumbuh dalam pengenalan sejati akan Allah merupakan perintah Allah sendiri bagi setiap orang percaya, agar setiap orang percaya dipersiapkan Tuhan untuk menjadi kesaksian bagi kemuliaan Allah di tengah-tengah dunia. Pada akhirnya, kiranya artikel ini dapat mendorong setiap kita sebagai orang percaya untuk terlibat aktif, berkomitmen dan berakar dalam gereja Allah yang sejati untuk kemuliaan Allah semata. Soli Deo Gloria. “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.” Efesus 2:19-22 Sumber: https://www.ligonier.org/learn/articles/ordinary-means-of-grace/ https://renewingyourmind.org/2019/12/16/biblical-images-of-the-church https://www.desiringgod.org/interviews/should-i-commit-to-one-church Berkhof, Louis. Teologi Sistematika. Volume 5: Doktrin Gereja. Penerbit Momentum, 2014.

  • Kegagalan Salomo

    Image: https://www.britannica.com/biography/Solomon Siapakah Raja Salomo? Salomo adalah raja ketiga bangsa Israel, sejak mereka meminta kepada Samuel agar dipimpin oleh seorang raja (1 Sam. 8: 1-22). Dia adalah anak Raja Daud dari istrinya, Batsyeba (2 Sam. 12:24).  Setelah ayahnya memerintah Israel selama 40 tahun, Salomo menggantikannya menjadi raja atas Israel. Salomo lahir dan memerintah di tengah-tengah kerajaan Israel yang sudah kokoh (1 Raj. 2:12). Kerajaan itu menikmati kedamaian ( peace ), kemakmuran ( prosperity ), dan kestabilan politik. Hal ini tercermin dari nama Salomo (Ibrani: שְׁלֹמֹ֥ה) yang berasal dari kata “shalom” (שָׁלוֹם). Sama halnya dengan Saul dan Daud, Salomo memerintah atas bangsa Israel selama 40 tahun (1 Raj. 11: 42). Memulai dengan ‘Cukup’ Baik Berbeda dengan ayahnya, Salomo tidak menghadapi banyak pergumulan atau tantangan sebelum naik tahta. Daud mengalami begitu banyak bahaya, perang, ancaman dan upaya pembunuhan, fitnah, serta berbagai intrik politik ketika ia mulai terlibat dalam kehidupan kerajaan Israel, khususnya saat ia mengalahkan Goliat, prajurit raksasa Filistin itu. Sejak kemenangan itu, Daud semakin dipuji oleh bangsa Israel. Di sisi lain, Daud tumbuh menjadi musuh bebuyutan Raja Saul yang harus dibunuh bila ada kesempatan. Akan tetapi, berbagai pergumulan itu membuat Daud berelasi akrab dengan TUHAN. Salomo tidak mengenal TUHAN seperti ayahnya. Ketika Salomo mulai memimpin kerajaan itu, TUHAN menampakkan diri kepadanya di Gibeon dalam sebuah mimpi. Berfirmanlah Allah: “Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu” (1 Raj. 3:5). Jawab Salomo: “...berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang paham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat...” (1 Raj. 3:9). Allah mengabulkan permintaannya. Hikmat ini menyertainya dalam banyak perkara kerajaan dan hikmatnya tersiar sampai ke seluruh Israel (1 Raj.3:28) dan segala bangsa datang kepadanya untuk mendengar hikmatnya (1 Raj.4:34). Allah pun mengaruniakan damai di seluruh negerinya (1 Raj.4:24). Salomo memulai kepemimpinannya dengan cukup baik, meskipun bukan tanpa kekurangan. Salomo membangun Bait Allah Sejak dahulu, Daud berkeinginan untuk membangun bait bagi Allahnya. Namun, Allah berfirman: “Engkau tidak akan mendirikan rumah bagi nama-Ku, sebab engkau ini seorang prajurit dan telah menumpahkan darah... Salomo, anakmu, dialah yang akan mendirikan rumah-Ku dan pelataranku sebab Aku telah memilih dia menjadi anak-ku dan Aku akan menjadi bapanya” (1 Taw. 8:3,6). Allah memandang Salomo spesial dan dipercayakan untuk membangun bait bagi Allahnya. Pada tahun keempat kepemimpinannya, Salomo mulai mendirikan rumah bagi TUHAN (1 Raj.6:1). Setelah tujuh tahun lamanya, rumah bagi Allah pun selesai didirikan (1 Raj. 6:38).   Kegagalan Raja Salomo Raja Salomo memulai dengan cukup baik ketika meminta hikmat kepada Allah yang berfirman: “Mintalah apa yang hendak kuberikan kepadamu” (1 Raj. 3:5). Allah kemudian memberikan kepadanya hati yang penuh hikmat dan pengertian sehingga sebelumnya tidak ada seorang pun seperti dia, dan sesudah dia takkan bangkit seorang pun seperti Salomo. Tidak berhenti di situ, Allah juga memberikan kepadanya yang tidak ia minta yaitu kemuliaan yang besar (1 Raj. 3: 12-13). Hikmatnya menjadi terkenal dan kemuliaannya tersiar. Namun, mengapa dengan segala hikmat itu,  Salomo sampai melakukan hal-hal yang dibenci Tuhan? Mengapa Salomo  menjadi orang yang gagal? Cinta harta Salomo adalah raja yang sangat kaya. Ia membuat banyaknya emas dan perak di Yerusalem sama seperti batu dan banyaknya pohon kayu aras sama seperti pohon ara yang tumbuh di Daerah Bukit (2 Taw. 1:15). Salomo membangun megah istananya dengan takhta bertingkat dan megah (1 Raj. 10:18-20). Ia memang membangun bait Allah (selama 7 tahun), namun Salomo membangun istana bagi dirinya jauh lebih besar dan lebih mahal selama 13 tahun (1 Raj. 7:1) menggunakan bahan-bahan terbaik dan sangat mahal dengan segala perkakasnya. Emas yang dibawa kepada Salomo dalam satu tahun ialah seberat 666 talenta, belum terhitung yang didapat dari para saudagar, pedagang, raja-raja Arab dan para bupati (1 Raj. 10:14-15).   Cinta banyak wanita Setelah menjadi raja, Salomo mengambil putri Firaun, raja Mesir, menjadi istrinya. Tidak hanya itu, Salomo mencintai banyak perempuan asing. Di samping anak Firaun ia mencintai perempuan-perempuan Moab, Amon, Edom, Sidon dan Het (1 Raj.11:1). Kepada bangsa Israel, TUHAN Allah telah berfirman: “Janganlah ia (raja) mempunyai banyak isteri, supaya hatinya jangan menyimpang...” (Ul. 17:17). Pada akhirnya, perempuan-perempuan itulah yang membuat hati Salomo menyimpang dari TUHAN Allah.   Cinta kuasa dan kemuliaan Raja Salomo berusaha membangun kekuatan militer yang kuat, salah satu parameter kekuatan di masa itu adalah kuda. TUHAN Allah telah berfirman tentang raja Israel: “...janganlah  ia memelihara banyak kuda dan janganlah ia mengembalikan bangsa ini ke Mesir untuk mendapat banyak kuda...” (Ul. 17:16). Apa yang Salomo miliki? Salomo mempunyai kuda 40.000 kandang untuk kereta-keretanya dan 12.000 orang berkuda (1 Raj. 4:26). Dari mana Salomo mendapat kuda-kuda itu? “Kuda untuk Salomo didatangkan dari Misraim (Mesir/ Egypt ) dan dari Kewe... Sebuah kereta yang didatangkan dari Misraim (Mesir) berharga sampai 600 syikal perak...” (1 Raj. 10:28-29). Sangat menarik mempelajari pandangan Tuhan Yesus tentang kemuliaan Salomo ini. “Perhatikanlah bunga bakung di ladang... namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu” (Mat. 6:28-29) Pada akhirnya, Salomo melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, dan ia tidak dengan sepenuh hati mengikuti TUHAN, seperti Daud, ayahnya (1 Raj. 11:6). Ia tidak memiliki relasi yang terus-menerus dengan TUHAN. Semua yang diberikan TUHAN kepadanya menjadi berhala bagi Salomo yang menyimpangkan hatinya dari Allah. Ia memulai dengan ‘cukup’ baik, namun pada akhirnya Salomo jatuh kepada penyembahan berhala hingga TUHAN pun akhirnya mengoyakkan kerajaan itu dari Salomo dan keturunannya.

  • A Good Return: Prinsip-prinsip Alkitabiah untuk Pekerjaan, Kekayaan, dan Hikmat.

    Penulis: John C Lennox Diterjemahkan dan diterbitkan oleh Literatur Perkantas 2024 Dunia kerja saat ini berjalan begitu cepat dan sibuk. Semakin sedikit waktu untuk seseorang bisa berpikir tentang makna dari pekerjaannya, khususnya bagi orang Kristen: “Apa makna pekerjaan mereka bagi Tuhan?” Sadar atau tidak, semakin kita sibuk, semakin sering kita terbawa untuk meyakini bahwa kehidupan kerja kita semakin tidak lagi ada hubungannya dengan rencana dan tujuan Allah. Dan, bagian kehidupan kita yang berorientasi kepada Allah justru didefinisikan oleh apa yang kita lakukan di luar pekerjaan kita. “A Good Return”, sebuah buku yang membahas tentang pentingnya pandangan Kristen dalam mengelola sumber daya dan menjalankan tanggung jawab kita sebagai pengikut Kristus. Buku ini ingin menggaris-bawahi bahwa prinsip-prinsip Alkitabiah bisa begitu relevan dengan pengelolaan keuangan, bisnis, maupun pekerjaan kita sehari-hari. John C. Lennox, sang penulis, seorang profesor emeritus matematika di Oxord dan fellow emeritus di Green Templeton College. Dia menulis banyak buku tentang sains dan kekristenan, serta menjadi lecturer maupun sebagai panelist dalam debat bersama beberapa nama pemikir-pemikir atheis. Tidak heran, gaya penulisannya diperkaya dengan banyak argumen, dibawakan dengan sangat sistematis dan berlogika. Buku ini juga tidak hanya berisi pandangan atau konsep rohani saja. Lennox justru mengeksplorasi bagaimana iman Kristen dapat memberikan panduan praktis dalam menghadapi tantangan ekonomi dan tantangan etika di post-covid-era. Penulis juga menggali tentang pentingnya menggunakan hikmat Tuhan, berintegritas, bekerja-keras, dan menjadi dermawan di dunia bisnis maupun kehidupan pribadi. Dengan pendekatan yang mendalam dan reflektif, John C. Lennox memberikan wawasan yang kaya tentang bagaimana kita dapat mencapai "a good return" bukan hanya dari segi finansial, tetapi juga dari segi spiritual dan moral. Buku ini mengajak pembaca untuk merenungkan kembali cara mereka melihat dan menggunakan sumber daya yang mereka miliki. Buku ini penting dibaca oleh kita yang sedang, atau sudah lama bekerja. Juga akan menjadi bahasan yang sangat menarik untuk direnungkan bersama dalam kelompok kecil di lingkungan kerja. Selamat membaca dan menghasilkan return yang baik.

  • Hidup dalam Kasih-Nya

    Dalam suratnya kepada Timotius, Paulus mengingatkan bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar (2 Tim. 3:1- 9) dimana terjadi delapan belas aksi kejahatan yang menyedihkan dan salah satunya adalah tidak tahu mengasihi. Orang-orang menjadi begitu bodoh dan miskin dalam mengasihi. Hati yang tumpul dan mati, bukan hanya tidak peka tetapi bertindak diluar nalar kasih sama sekali. Tentu kondisi ini menjadi sangat kontras dan jauh dari standar hidup yang  Tuhan berikan kepada anak-anak-Nya. Karena seharusnya kasihlah yang menjadi dasar dan prioritas dalam semua aspek hidup, sebagaimana yang diperintahkan-Nya  "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (Mat. 22:37-39).  Kasih kepada Allah menjadi dasar untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri. Kasih kepada Allah akan mendorong dan memampukan untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri. Sebaliknya tidak mungkin seseorang bisa mengasihi sesamanya dengan benar seperti diri sendiri tanpa didasari kasih kepada Allah. Sejalan dengan itu Paulus juga mengingatkan dengan keras jemaat Korintus dalam suratnya 1 Korintus 13. Bagian ini adalah lanjutan dari pembahasan Paulus mengenai karunia rohani. Karunia rohani memang penting bagi pembangunan tubuh Kristus. Namun, jika karunia rohani tidak disertai kasih, maka semua akan sia-sia. Berbeda dengan cinta berahi yang berpusatkan pada diri sendiri. Kasih yang dimaksud bersumber dari Allah (1 Yoh. 4:19). Dari 1 Korintus 13 paling tidak ada tiga hal yang  kita pelajari tentang kasih: Pertama , betapa tidak bergunanya segala karunia tanpa kasih (ayat 1-3). Semua karunia sehebat apa pun, akan menjadi sia-sia, tidak berguna bagi orang lain  juga bagi diri sendiri bila tidak dilakukan dalam kasih dan karena kasih. Di sini ia menekankan bahwa memiliki karunia Roh tanpa mempunyai kasih tidak berguna sama sekali. Hati-hati, tanpa kasih gereja jadi tong kosong berbunyi nyaring, melimpah aktivitas tanpa dampak ke luar, gemuk karunia namun kerdil di dalam tindakan. Kedua , deskripsi kasih (ayat 4-7). Kasih dideskripsikan lima belas kata kerja. Bagian ini menggambarkan kasih sebagai suatu kegiatan dan kelakuan, bukan sekadar suatu perasaan batin atau motivasi. Kasih itu sabar. Kasih itu sanggup menanggung perbuataan jahat, luka-luka, dan hasutan, tanpa dipenuhi oleh kebencian, kejengkelan, atau balas dendam. Kasih membuat pikiran menjadi tabah, memberikan kekuatan untuk mengalahkan nafsu amarah. Kasih itu murah hati. Kasih seperti itu baik hati, melimpah dalam memberi. Kasih itu suka menolong dan berbuat baik, berusaha menjadi orang yang berguna.  Kasih itu tidak cemburu. Kasih itu tidak bersedih atas keberuntungan orang lain. Kasih tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak membesarkan diri atas pencapaian-pencapaiannya, juga tidak menyombongkan diri dengan kehormatan dan  kekuasaan serta penghargaan, tidak kasar dan jumawa, merendahkan orang lain, atau menginjak-injak mereka. Kasih itu  tidak melakukan yang tidak sopan, tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas, berhati-hati untuk tidak melanggar batas-batas kesopanan. Kasih tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak menginginkan dan juga tidak mencari pujian, kehormatan, keuntungan, atau kesenangan bagi diri sendiri. Kasih tidak cepat merasa jengkel atau marah. Kasih memperbaiki ketajaman penguasaan diri, tidak cepat berprasangka dan juga tidak langsung melampiaskan hawa nafsu yang kuat. Kasih tidak menyimpan kesalahan orang lain. Kasih tidak menyimpan kebencian, juga tidak memberikan kesempatan bagi pembalasan dendam. Kasih tidak bersukacita karena ketidakadilan. Kasih tidak mengharapkan sesuatu yang buruk bagi siapa pun, apa lagi melukai atau menyakiti siapa pun, setidaknya tidak akan menjadikan hal ini sebagai sesuatu yang menyenangkan, bersukacita dalam melakukan kejahatan dan kekacauan. Kasih juga tidak akan bersukacita atas kesalahan dan kegagalan orang lain, dan bersorak-sorak atas mereka tetapi bersukacita karena kebenaran, bersukacita melihat orang-orang dibentuk untuk memiliki watak yang sesuai dengan Injil dan menjadi baik. Kasih itu menutupi segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu, tidak mengumumkan kesalahan orang lain untuk mempermalukan dan mencela mereka, namun menutupinya dari perhatian masyarakat luas selama kita masih mampu melakukannya, serta tetap setia kepada Allah dan kepada orang lain. Kasih itu sabar menanggung segala sesuatu, ia akan membiarkannya berlalu dan menahan semua kesakitan tanpa  menyimpan dendam, bersikap sabar terhadap hasutan, dan panjang sabar, tetap teguh dan menahan semua kesulitan, walaupun sangat terguncang. Kasih percaya dan mengharapkan kebaikan bagi orang lain, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu. Kasih tidak akan segera mengakhiri suatu perkara dengan keputusasaan, tetapi tetap mengharapkan perubahan dari keadaan manusia yang paling jahat sekalipun   Ketiga ,  nilai mutlak dan keabadian kasih.(ayat 8,13).  Kasih tidak berkesudahan, nubuat akan berakhir, bahasa  roh akan berhenti, pengetahuan  akan lenyap. Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan, dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih. Kasih akan berlangsung terus selamanya. Hidup dalam kasih-Nya bukan alternatif tapi jati diri kita. Mari terus bertumbuh dalam kasih-Nya. Kiranya kasih-Nya menjiwai sikap dan tindakan kita, sehingga Dia dipermuliakan dalam seluruh aspek hidup kita. /is

Hubungi Kami

Dapatkan update artikel SAMARITAN terbaru yang dikirimkan langsung ke email Anda.

Daftar menjadi Samareaders sekarang!

Instagram
Facebook
Media Samaritan
Media Samaritan

 Media Samaritan 2022

bottom of page