top of page
Subscribe
Instagram
Facebook
Donation

Relasi dan Hikmat dalam Pernikahan

Pernah, saya dan istri menghadiri pemberkatan pernikahan anggota keluarga (Batak) di suatu gereja, yang dilanjutkan dengan acara adat. Saat berkhotbah, pendeta menyampaikan pesan yang menggelitik kepada kedua mempelai, namun seratus persen benar – setidaknya dalam pengalaman 26 tahun pernikahan kami. Beliau berkata, “Setelah ibadah pemberkatan ini, kalian akan mengikuti  acara adat, dimana untuk pertama kali seumur hidup kalian akan menerima lebih dari 100 nasihat dalam satu hari, yang berisi ayat Alkitab atau kata-kata bijak lainnya. Namun, kebanyakan orang yang memberi nasihat itu nanti tak dapat kalian hubungi untuk dimintai pertolongan saat kalian membutuhkannya”. Semua jemaat tertawa, entah sedang menertawakan diri sebagai “pelaku” atau sebagai “korban”.


Menjalani dan mempertahankan pernikahan tidaklah mudah, khususnya di zaman sekarang. Pernikahan menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan eksistensinya sesuai dengan nilai-nilai Kristiani. Zaman orangtua kami dulu, pernikahan seumur hidup itu hal biasa, walau ulang tahun pernikahan mereka jarang dirayakan. Tapi saat ini ulang tahun pernikahan 20 tahun itu sesuatu yang istimewa. Perceraian di usia pernikahan baru seumur jagung, sesuatu yang jamak. Bukan hanya di kalangan orang tidak percaya Tuhan, tapi juga mereka yang mengaku percaya Yesus. Ada pejabat pemerintah, pendeta, penggiat gereja dan mantan penggiat pelayanan kampus. Memang, usia pernikahan bukanlah satu-satunya tolak ukur karena masih ada tolak ukur lain, termasuk bagaimana keduanya bertumbuh bersama dalam pengudusan Allah. Namun, justru dalam wadah kesatuan suami istri itulah mereka dimaksudkan mengalami pengudusan itu.


Dalam studi dan observasi di ruang konsultasi yang dilakukannya, Ester Perel, seorang psikoterapis, mengungkapkan ada beberapa tantangan pernikahan modern (modern love) yang menjadi penyebab utama hancurnya relasi pasangan.


  1. Salah satu ekspektasi yang tidak realistis adalah harapan pasangan yang menginginkan pasangannya menjadi 'segalanya', seperti sahabat, kekasih, pendengar setia, pengganti orang tua, motivator, konselor, hingga rekan kerja. Beban ekspektasi yang tidak realistis ini tentunya terlalu berat dipikul oleh satu orang – ini sebenarnya merupakan peran komunitas satu kampung – dan sering berujung pada kekecewaan, frustasi, bahkan berakhir dengan mencarinya pada diri orang lain. Tanpa berniat untuk membenarkan, namun perselingkuhan harus juga dilihat sebagai gejala dari masalah yang lebih besar dalam suatu relasi. Perselingkuhan sering kali bukan hanya masalah fisik, tetapi juga masalah emosional. Hal Ini sering mencerminkan kebutuhan yang tidak terpenuhi, seperti keinginan untuk mendapat perhatian, sesuatu yang baru, atau validasi diri.


  2. Tantangan selanjutnya adalah menyeimbangkan antara keinginan akan stabilitas dan hasrat. Terdapat kebutuhan mendasar untuk stabilitas dan rasa aman dalam suatu hubungan, seperti kepercayaan (pada pasangan), rutinitas, dan rasa aman baik fisik maupun ekonomi. Namun, hasrat atau gairah erotisme biasanya membutuhkan unsur misteri, kebebasan, dan kejutan—hal-hal yang sering bertentangan dengan stabilitas. Kedua hal yang paradoks ini menjadi kebutuhan alamiah individu. Di satu sisi, individu ingin sesuatu yang stabil dan secure, namun bersamaan dengan itu juga ingin mengalami sesuatu yang baru (novelty), petualangan, misteri atau kejutan dalam sebuah relasi. Sering terlihat dalam kehidupan relasi muda-mudi, berpacaran dengan orang yang bertipe “free man/women”, tetapi menikah dengan orang yang memiliki stabilitas, karir atau penghasilan yang tetap, aman, dan punya tempat secara sosial. Setelah menikah, pasangan mungkin merasa sangat nyaman satu sama lain sehingga hubungan menjadi otomatis, rutin dan mudah ditebak. Akibatnya, unsur kejutan, antusiasme, sesuatu yang baru dan canda gurau (playfulness) dalam hubungan menjadi hilang.


  3. Masalah lain adalah kehilangan semangat dan kebosanan. Rutinitas sehari-hari, seperti pekerjaan, mengurus rumah, atau merawat dan mendidik anak, dapat mengurangi intensitas hubungan. Akibatnya, hubungan terasa monoton dan kurang gairah. Pasangan yang dulu sering menghabiskan waktu untuk berkencan berdua mungkin mulai kehilangan waktu bersama karena terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Hal ini menyebabkan relasi kehilangan chemistry-nya. Pasangan menjadi bingung kalau punya waktu berdua saja, “engga tau apa yang mau diomongin” dan sering kehabisan bahan pembicaraan dan tidak bisa bercanda-ria bersama. Akhirnya, berpaling kepada hape masing-masing.


Sebenarnya, ada beberapa tantangan pernikahan lain menurut Ester Perel, namun kita akan fokus pada tiga tantangan utama di atas beserta solusinya. Berdasarkan pengalaman kami, tidak ada tips praktis untuk menjalani relasi atau menghadapi masalah dalam pernikahan. Jalan menuju keharmonisan membutuhkan hikmat dan kerendahan hati untuk belajar dan mau diubahkan oleh Kristus.


  1. Relasi adalah kunci.

    Keretakan dalam relasi pernikahan dapat berujung pada perceraian dimana jantung permasalahannya terletak pada relasi antar pasangan dan relasi keduanya dengan Tuhan. Dalam konteks yang lebih besar kita memahami bahwa, hidup Kekristenan adalah bukan tentang hidup tidak berbuat dosa, tetapi relasi antara manusia dan Penciptanya. Relasi intim (intimasi) terbangun dari kasih dan pengampunan dari Sang Pencipta yang memampukan ciptaan yang memberontak untuk hidup dalam pembenaran dan kudus. Dalam pernikahan, intimasi merupakan sesuatu yang penting untuk terus dijaga. Pentingnya merawat hubungan seperti  merawat sebuah kebun. Perlu menyediakan waktu khusus untuk merawatnya, malah di tengah kesibukan yang rutin, perlu ada prioritas waktu untuk memeliharanya agar tetap terawat. Intimasi dalam pernikahan melibatkan keakraban emosional, fisik, dan spiritual yang erat. 


    Kejadian 2:24, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya  dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Ayat ini menekankan pentingnya intimasi antara suami dan istri. Ketika terawat, relasi bisa mencegah badai yang tidak perlu, dan kalaupun harus menghadapi badai, dia relatif lebih kuat. Ketiga tantangan di atas bisa diselesaikan kalau masing-masing pasutri belajar kasih dari Sang Maha Kasih yakni Allah sendiri. "Hai suami, kasihilah istrimu, sama seperti Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya." (Efesus 5:25). Bukan kasih yang hanya diucapkan, I love you, tetapi kasih yang berkorban. “Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, melainkan suami. Demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, melainkan isteri” (1 Korintus 7:4). Pentingnya untuk saling memperhatikan dan memenuhi kebutuhan masing-masing pasangan, saling mendengarkan, memahami, dan menghormati keinginan pasangannya. 


    Pernikahan Kristen juga bukan hanya tentang kehidupan di dalam rumah tangga, tetapi juga tentang panggilan untuk melayani Tuhan bersama. Suami dan istri dipanggil untuk menjadi rekan sekerja dalam ladang pelayanan. Dalam pelayanan bersama, pasangan dapat memperdalam intimasi mereka karena mereka memiliki tujuan bersama yang lebih besar daripada kepentingan keluarga. Sebagai contoh adalah pasangan Priskila dan Akwila yang menjadi teladan pelayanan bersama bagi pasangan Kristen. 


  2. Hikmat adalah vaksin pencegah.

    "Aku yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari dahulu kala hal-hal yang belum terjadi; Aku berkata: Rencana-Ku akan terlaksana dan segala yang Kukehendaki akan Kulakukan," (Yesaya 46:10). Allah berdaulat dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan pernikahan dan keluarga kita. Hanya saja kita sering over stretching memaknai kedaulatan Allah tersebut, dengan mengatakan bahwa masih ada plan B, plan C, plan D dan seterusnya dari Allah, seperti yang banyak diucapkan oleh banyak public figure kita saat mereka bercerai atau menghadapi konsekuensi dari tindakan bodoh yang dilakukannya. Kita perlu ekstra berhati-hati dengan konsep fatalisme yang merasuk secara diam-diam dalam nilai-nilai yang kita pegang. Fatalisme adalah kebodohan. Untuk itulah kitab Amsal diberikan untuk orang percaya, agar kita terhindar dari kesalahan dan menjauhi kebodohan dan punya hikmat untuk menghindari keduanya. Kesalahan dan kebodohan seringkali bukanlah dosa tapi bagian dari natur kejatuhan manusia, yang kemudian kerap dipakai Iblis untuk menarik kita untuk berdosa. Dalam pernikahan, dimana dua orang dengan natur kejatuhan (fallen world) dipersatukan, tentunya kita harus menerima bahwa tentu akan terjadi banyak benturan dan "ombak besar".


    Dosa Daud dan Batsyeba diawali oleh bagaimana Daud mengisi waktu luangnya (me-time) di atas sotoh. A simple stupidity, yang berlanjut pada dosa perzinahan, dusta, abuse of power dan pembunuhan. Ini merupakan pesan tegas pada banyak orang dewasa pada zaman ini, untuk berhati-hati menggunakan waktu luang, dan jadilah bijak. “Jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu…” (Matius 5:29). Komunikasikan dengan jujur kelemahan diri dengan pasangan dan saling mendukung dalam menjaga kekudusan. Komunikasikan harapan-harapan terhadap pasangan agar saling memahami dan juga menyadari bahwa mungkin ada ekspektasi yang tidak realistis, yang entah kita dapatkan dari sumber atau pengalaman hidup yang tidak sesuai nilai Kristiani. Kebodohan yang sering kita saksikan seperti terdapat orang percaya yang mendasarkan cara atau jalan hidupnya menurut kutipan yang sering dibacanya di sosial media atau podcast dari YouTuber terkenal yang sepertinya masuk akal, padahal menyesatkan. Setiap pasangan perlu mengupayakan waktu bersama untuk bertumbuh dalam Firman Tuhan. Sehingga konsep, nasihat, nilai-nilai yang kita bawa ke dalam pernikahan merupakan nilai-nilai yang sudah tersaring oleh hikmat Firman Tuhan. 


    Komunikasikan juga dengan terbuka bila salah satu pasangan merasakan kebosanan oleh rutinitas sehari-hari, seperti pekerjaan kantor, mengurus rumah, dan merawat anak. Kebosanan seringkali bukan dosa, tetapi natur alamiah manusia, yang harus diselesaikan bersama secara kreatif. Setiap solusi didasarkan pada penyebabnya. Sebagai contoh, jika salah satu pasangan merasa kehilangan semangat, pembagian tugas rumah tangga antara suami dan istri dapat membantu, atau dengan secara aktif menciptakan momen kebersamaan yang bermakna, seperti makan malam bersama, outing berdua, atau memberikan kejutan kecil untuk menjaga hubungan tetap hidup.


    Namun, jika masalah ini ditutupi atau diabaikan berlarut-larut, kebencian yang terpendam akan muncul karena merasa diabaikan. Hal ini kemudian mendorong salah satu pasangan mencari penyelesaian di luar, yang pada akhirnya dapat merusak hubungan. Ketika masalah mencapai titik ini, seringkali yang muncul sebagai penyebab adalah 'kami sangat berbeda dan tidak ada kecocokan'. Padahal, masalah tersebut sebenarnya dimulai dari hal yang sederhana.

What counts in making a happy marriage is not so much how compatible you are, but how you deal with incompatibility. By Leo Tolstoy.

Perlu juga dipahami, agak sedikit lebay tapi benar, komunikasi itu bukan masalah gadget, tapi masalah hati. Bukan tentang bagaimana menyusun kalimat yang standar juga jelas, dibantu dengan AI, dan dikirim pakai Iphone 16, tapi tentang bagaimana di dalamnya ada ketulusan, keterbukaan (jujur terhadap orang lain dan juga terhadap diri), dan didasarkan pada tujuan mengasihi pasangan atau orang lain. Justru gadget saat ini memfasilitasi banyak perselingkuhan. Untuk itu keterbukaan, ketulusan, dan kesabaran dalam mendengarkan adalah hal yang sentral dalam berkomunikasi, khususnya dengan pasangan. Komunikasi yang demikian harusnya secara terus menerus dibina dan diupayakan untuk memelihara “kebun” relasi suami dan istri. Alkitab menasihatkan semua hal di atas untuk hidup kita, dimana nilai-nilai Ilahi itu penting untuk dipelajari dari hari ke hari. Malah perlu untuk kembali diulang dan dipelajari dalam fase yang berbeda dalam hidup kita. Belajar Firman Tuhan akan memberikan hikmat untuk menjauhi kebodohan, yang lebih dari 70 kali disebut dalam kitab Amsal. “Akal budi adalah sumber kehidupan bagi orang yang memilikinya, dan orang bebal dihukum oleh kebodohannya”. (Amsal 16:22)


Akhirnya, melanjutkan acara pernikahan keponakan kami ceritakan di atas, tiba juga giliran kami untuk memberikan nasihat pada pasangan pengantin baru ini. Kami menyampaikan, selain relasi adalah kunci, dan hikmat adalah vaksin pencegah, komunitas yang saling mendukung dan memperhatikan adalah media penting untuk bertumbuh dalam kedewasaan iman dalam pernikahan dan berkeluarga. Carilah dan bergabunglah dalam komunitas itu, bisa dalam bentuk persekutuan di dalam gereja atau KTB (kelompok tumbuh bersama) di organisasi pelayanan lainnya atau sesama alumni persekutuan mahasiswa. Ini merupakan support system yang sehat untuk memelihara kehidupan pernikahan kita agar selalu bisa dinikmati oleh seluruh anggota keluarga dan komunitas serta mencapai tujuannya, yakni untuk pengudusan; dan juga berfungsi sebagai penopang saat pernikahan kita memasuki masa-masa sulit dalam bentuk dukungan nasihat sesuai Firman Tuhan, dan doa serta berbagi pengalaman hidup yang jujur. Dalam komunitas, pasangan tidak merasa sendiri dalam menghadapi tantangan dan beroleh kekuatan untuk berjalan bersama Allah.


Akhirnya…..

Tingo ma inggir-inggir

Tingko rata-rata

Pasu-pasu angka na uli 

Pasauton ni Amanta Debata.

(Sebuah pantun di adat Batak, yang artinya: Bulat buah inggir-inggir [sejenis biji-bijian], Bulat berwarna hijau, Berkat yang luhur, Kiranya diberikan oleh Allah Bapa).


Comments


Hubungi Kami

Dapatkan update artikel SAMARITAN terbaru yang dikirimkan langsung ke email Anda.

Daftar menjadi Samareaders sekarang!

Instagram
Facebook
Media Samaritan
Media Samaritan

 Media Samaritan 2022

bottom of page