Truth and Health
- dr. Benyamin Sihombing, MPH
- Mar 27
- 7 min read

A Missing Pillar
Saat sharing atau khotbah tentang pelayanan medis dan kesehatan, maka atribut Ilahi yang sering dikaitkan adalah kasih — belas kasihan terhadap pasien, berempati terhadap mereka yang menderita. Tapi pernahkah kita sejenak bertanya: di mana peran “kebenaran” dalam pelayanan kesehatan? Mengapa kata yang begitu sentral dalam iman kita ini—truth—jarang muncul dalam seminar dan retreat pelayanan medis atau bahkan dalam mimbar gereja ketika kita bicara soal pelayanan kesehatan? Tulisan ini tidak sedang membuat dikotomi kasih dan kebenaran. Justru sebaliknya, ingin menunjukkan bahwa kasih dan kebenaran berjalan beriringan, dan bahwa pilar kebenaran yang sering terabaikan itu sesungguhnya adalah unsur sentral dalam pelayanan kesehatan dari masa lalu hingga hari ini.
Apakah kebenaran penting dalam dunia kesehatan?
Perkembangan dunia kesehatan, termasuk dunia kedokteran di dalamnya sampai saat ini merupakan hasil dari pencarian kebenaran, penyataan kebenaran dan konsistensi kebenaran yang dijalankan oleh insan kesehatan yang bertekun di dalamnya.
Apa itu kebenaran? Menurut Aristoteles, “Mengatakan tentang apa yang ada bahwa itu ada, dan mengatakan tentang apa yang tidak ada bahwa itu tidak ada, adalah kebenaran.” Ini berarti kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan kenyataan yang dikaji melalui akal dan logika serta kejadian dan observasi. Dalam nilai kekristenan, kebenaran bukan hanya fakta logis tetapi juga prinsip moral dan spiritual. Yesus berkata, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup.” (Yohanes 14:6), yang berarti kebenaran lebih jauh lagi akhirnya ditemukan dalam keadilan, integritas, dan hikmat ilahi. Kebenaran adalah salah satu dari atribut Allah sendiri.
Truth in Health: Discovery and Learning from Mistakes
Kemajuan dunia kesehatan tidak lahir secara kebetulan, melainkan dari semangat pencarian kebenaran. Penemuan mikroskop oleh Antonie van Leeuwenhoek (1670) dan teori infeksi oleh Louis Pasteur (1857-1865) dan Robert Koch (1876–1884) membuka jalan bagi dasar dari ilmu mikrobiologi dan ilmu penyakit infeksi. Penemuan antibiotik – Penisilin oleh Alexander Fleming (1928) merupakan revolusi dalam pengobatan infeksi kuman. Penemuan DNA (1953) oleh Watson dan Crick, membuka era genetika medis. Pengembangan Vaksin mRNA (2020), misalnya pada vaksin COVID-19 oleh Pfizer-BioNTech dan Moderna membuka era teknologi baru dalam imunisasi. Semua penemuan besar dunia kesehatan tersebut diawali oleh upaya dan kerja keras orang-orang tertentu untuk meneliti, menganalisis rangkaian fakta, menyimpulkan dan kemudian menyampaikan apa yang benar.
Namun sejarah juga mengajarkan bahwa ketika kebenaran diabaikan, dampaknya bisa sangat tragis. Kasus skandal obat Thalidomide pada akhir tahun 1950-an hingga awal 1960-an menjadi pengingat penting bagi dunia kesehatan. Obat ini awalnya dipasarkan sebagai penenang dan pereda mual untuk ibu hamil, tetapi efek sampingnya menyebabkan ribuan bayi lahir dengan cacat bawaan serius (phocomelia). Salah satu tokoh penting dalam mengungkap kebenaran ini adalah Dr. William McBride, seorang dokter kandungan asal Australia, yang pada tahun 1961 mencermati hubungan antara obat ini dan terjadinya phocomelia dan memutuskan menerbitkan temuannya di jurnal the Lancet dan sekaligus memperingatkan komunitas dunia kesehatan. Akhirnya thalidomide dilarang di seluruh dunia pada awal 1960-an dan peristiwa ini kemudian menjadi dasar pijakan untuk sistem uji klinis yang ketat, transparansi data, dan kejujuran dalam mengkomunikasikan risiko dalam penerbitan obat baru.
Artikel Dr. Andrew Wakefield yang kontroversial diterbitkan di jurnal the Lancet pada tahun 1998 mengklaim adanya hubungan antara vaksin MMR (campak, gondongan, rubella) dan autisme. Penelitian ini memicu kontroversi besar dan menyebabkan penurunan tajam dalam cakupan vaksinasi, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan kasus campak. Namun, reaksi muncul dari komunitas riset dan klinisi yang tidak menemukan fakta dari yang disampaikan Wakefield. Setelah lewat penyelidikan dan mendapatkan bukti yang kuat, the Lancet menarik kembali artikel tersebut pada tahun 2010 karena ditemukan ketidakakuratan dan pelanggaran etika, dimana ditemukan adanya konflik kepentingan finansial. Namun kerusakan sudah sempat terjadi, banyaknya korban kematian balita akibat campak tak terelakkan. Ini pelajaran penting: kebenaran yang ditunda bisa berakibat fatal.
Refleksi bagi kita: apakah kita berani menyampaikan kebenaran fakta observasi, penelitian dan analisa yang tidak populer demi kebaikan pasien dan masyarakat luas?
Margin of error and Humility
Kebenaran ilmiah bersifat dinamis. Dalam ilmu statistik, margin of error (MoE) adalah sebuah ukuran yang menunjukkan batas ketidakpastian dari suatu hasil survei atau estimasi. Ini sebuah pengakuan bahwa hasil yang kita peroleh dari suatu sampel tidak akan pernah persis mewakili populasi secara mutlak. Kita membuat estimasi, dan MoE memberi tahu kita seberapa besar kemungkinan kesalahan atau ketidakpastian dalam estimasi itu. Rumus MoE mendukung kebenaran teologis, dimana manusia tidak pernah benar-benar tahu secara mutlak—selalu ada ruang untuk keraguan, kesalahan, atau kekeliruan. Kita percaya bahwa kebenaran yang mutlak ada pada Tuhan. Manusia hanya bisa mencoba mendekati kebenaran, mengukurnya, menafsirkannya, tetapi tidak pernah memilikinya secara penuh. Oleh karena itu maka perlu ada kerendahan hati dan keterbukaan untuk mau terus belajar. 1 Korintus 13:9–10 (TB): "Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap." Dalam pengalaman karir saya, orang yang benar-benar ahli selalu memberi ruang ketidakyakinan (margin of error) dalam tulisan atau komentarnya. Sebaliknya, orang bodoh biasanya selalu yakin.
Dalam praktik sehari-hari, kesalahan diagnosis, tatalaksana atau tindakan intervensi memang bisa terjadi. Namun, itulah momen di mana kejujuran menjadi titik tolak untuk memperbaiki sistem yang ada. Mengakui terjadi satu kesalahan bukan hanya tentang keterbukaan menerima kekurangan, tetapi juga sebagai bentuk penghargaan terhadap kepercayaan pasien dan etika. Transparansi adalah fondasi bagi perbaikan sistem untuk lebih meningkatkan mutu layanan. Salah satu bentuk transparansi yang krusial dalam layanan kesehatan adalah kejujuran dalam melaporkan kasus-kasus near missed, yaitu insiden yang hampir menyebabkan cedera pada pasien tetapi berhasil dicegah sebelum fatal—merupakan indikator penting dalam upaya patient safety. Pelaporan yang jujur dan terbuka terhadap near missed memungkinkan fasilitas kesehatan untuk melakukan analisis akar masalah, mencegah terulangnya kesalahan yang sama, dan membangun budaya keselamatan pasien yang lebih kuat. Betapa pentingnya kejujuran itu dinyatakan dalam sistem layanan kesehatan. Sebab kejujuran menyelamatkan banyak nyawa. Kejujuran tidak hanya berdampak pada sistem layanan kesehatan secara kolektif, tetapi juga membawa pengaruh yang nyata terhadap kondisi kesehatan individu. Sebuah studi tentang “Science of Honesty” oleh Profesor Anita Kelly dari University of Notre Dame yang dipublikasikan tahun 2012 menunjukkan bahwa mengurangi kebohongan dalam kehidupan sehari-hari dapat meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Dalam studi ini, para peserta yang mengurangi kebohongan mengalami penurunan stres, keluhan fisik, dan peningkatan kesejahteraan secara keseluruhan. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa kejujuran memiliki manfaat kesehatan yang nyata dan signifikan, baik secara fisik maupun mental.
A scientist can be wrong, but he must not lie
Tak pelak kebenaran merupakan pondasi utama dalam dunia kesehatan. Walaupun tenaga kesehatan tidak pernah benar-benar tahu kebenaran ilmu pengetahuan secara mutlak—selalu ada ruang untuk kesalahan, atau kekeliruan, namun dia tidak boleh bohong atau menutupi fakta. Pesan mendalam dari Erwin Chargaff dalam bukunya Heraclitean Fire: Sketches from a Life Before Nature (1978) tetap relevan: "Seorang ilmuwan bisa salah, tetapi dia tidak boleh berbohong." Chargaff mengingatkan bahwa kesalahan adalah bagian dari proses pencarian kebenaran. Namun, yang tak pernah bisa ditoleransi adalah kebohongan atau manipulasi atau menyembunyikan data atau informasi yang disengaja. Sejarah dunia kesehatan menunjukkan bahwa beberapa kali perkembangannya dijegal oleh individu atau korporasi yang melakukan kebohongan atau menyembunyikan fakta untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Ini berakibat penderitaan dan keselamatan banyak orang. William Osler, seorang Bapak Kedokteran Modern pernah menegaskan,"Truth is not only violated by falsehood; it may be outraged by silence." Dengan kata lain, ketidakbenaran bisa datang bukan hanya dari kebohongan, tetapi juga dari keengganan untuk menyatakan kebenaran atau “diam demi aman” ketika itu diperlukan.
Dalam konteks ini, penting disadari bahwa kebohongan dalam dunia kesehatan tidak selalu berbentuk laporan klinis yang dimanipulasi—namun bisa juga berupa sistem yang rusak akibat praktik korupsi. WHO dalam publikasi-nya A study on the public health and socioeconomic impact of substandard and falsified medical products (2012) mencatat bahwa peredaran obat palsu dan substandar erat kaitannya dengan tingginya tingkat korupsi suatu negara atau daerah. Lemahnya tata kelola, pengawasan, dan kapasitas teknis menciptakan ruang bagi praktik penipuan yang secara langsung mengorbankan mutu pelayanan dan keselamatan pasien. Ketika sistem gagal menjamin akses terhadap produk yang aman dan berkualitas, masyarakatlah yang menanggung akibatnya. Mengingat skandal korupsi di Pertamina baru- baru ini, kita pasti marah. Kalau kita tidak marah, mungkin hati nurani kita sudah tumpul. Melihat negara dirampok sekitar Rp 193,7 triliun per tahun oleh beberapa pejabat dan melihat saudara atau keluarga kita ikut antrian gas LPG 3 kg berdesakan dan berpanas-panasan, kita geram. Kalau dibuat perbandingan besarnya angka korupsi, koruptor-koruptor itu kira-kira merampok anggaran kesehatan satu tahun (tahun 2024 berjumlah Rp 187,5 triliun) dan itu berjalan sudah beberapa tahun. Bayangkan kalau dana itu dipakai seluruhnya untuk bidang kesehatan, betapa majunya pembangunan kesehatan negeri ini. Atau kalau berpikir terbalik, kalau dana itu tidak dikorupsi, maka mungkin sudah banyak kematian yang tercegah sepanjang tahun 2024. Oleh karena itu, kebenaran termasuk didalamnya transparansi menjadi kunci, bukan hanya dalam praktik pelayanan kesehatan, tetapi juga dalam menjaga sistem kesehatan secara keseluruhan.
Find, Articulate and Implement Truth: A Sacred Calling
Dunia kesehatan terus berubah dan kompleks dengan munculnya penyakit-penyakit baru dengan potensi menyebar secara global (pandemi). Dalam situasi ini kebenaran tetap menjadi senjata kita dalam menghadapinya. Seorang tenaga kesehatan yang memilih jalan kebenaran—meskipun harus menghadapi risiko kritik atau konsekuensi—pada akhirnya akan mendapatkan kepercayaan yang tak ternilai dari masyarakat dan komunitas dunia. Perjalanan panjang karir saya menunjukkan hal itu, walaupun kadang waktunya lama baru terjadi.
Tenaga medis Kristen dipanggil bukan hanya mengasihi pasien, tetapi juga untuk hidup mencari kebenaran dan menyatakan kebenaran serta menjalankannya. Kasih tanpa kebenaran bisa jatuh menjadi bentuk kasih yang sentimental dan permisif; sedangkan kebenaran tanpa kasih bisa melukai. Tetapi kasih yang berpijak pada kebenaran adalah kekuatan yang menyelamatkan. Kita juga perlu jujur dan kritis terhadap fenomena yang terjadi di antara para tenaga kesehatan Kristen. Bukankah tidak sedikit yang bersembunyi di balik frase “panggilan Tuhan” sebagai dasar untuk melayani di kota besar—padahal justru banyak daerah yang kekurangan tenaga kesehatan atau keahlian tertentu. Jika semua orang ‘dipanggil’ hanya di kota-kota besar, maka terlihat seolah-olah Tuhan tak bijak—karena memanggil anak-anak-Nya hanya di wilayah yang sudah padat tenaga kesehatannya, sementara membiarkan wilayah-wilayah lain kosong dan terabaikan. Panggilan hidup dalam kebenaran dari dimensi moral dan spiritual juga mencakup keberanian untuk hadir di tempat yang dibutuhkan, bukan hanya tempat yang diinginkan. Dan kebenaran seringkali begitu sederhana, hanya cukup dengan melihat data distribusi tenaga kesehatan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dan menjalankannya dengan melayani di sana.
Sudah saatnya kita kembali mengarusutamakan topik tentang kebenaran—baik dari aspek logika dan rasionalitas, maupun dari dimensi moral dan spiritual—dalam pendidikan kedokteran dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya. Sudah saatnya kita menjadikan topik kebenaran kembali menjadi sentral diskusi dalam seminar, pelatihan medis, etika profesi, bahkan mimbar khotbah dan Persekutuan untuk membangun budaya profesi yang menjunjung kebenaran termasuk transparansi, dan keberanian menyuarakan yang benar. Sudah saatnya kita untuk benar-benar menyembah Allah yang adalah Roh dan Kebenaran dalam dunia profesi kita.
Comments