Tidak mengenal kata sulit. Itulah salah satu prinsip hidup sosok Johannes Leimena. Sering kali dikenal dengan Om Jo, Leimena lahir di keluarga Kristen, tanggal 6 Maret 1905 di Ambon. Ayah dan ibunya adalah Dominggus Leimena dan Elizabeth Sulitatu, keduanya berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar. Leimena merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Hidup yang keras di tengah kemiskinan pada zaman penjajahan, tidak menjadi alasan bagi Leimena untuk tidak berjuang dan berkarya. Dalam 72 tahun hidupnya, kita semua tidak asing dengan nama legendaris di dunia kesehatan dan perpolitikan ini. Leimena merupakan menteri yang menjabat paling lama dalam sejarah Indonesia. Sejak orde lama hingga orde baru, dia menjabat selama 20 tahun dan duduk dalam 18 kabinet berbeda dengan berbagai jabatan (Menteri Kesehatan, Wakil Perdana Menteri, Menko Distribusi, Menteri Sosial). Leimena juga merupakan penggagas berdirinya Puskesmas di seluruh Indonesia.
Berkemauan keras dan tangguh sejak kecil
Leimena menjadi seorang yatim ketika berusia 5 tahun, lalu tidak lama kemudian ibunya memutuskan untuk menikah lagi. Setelah ayahnya meninggal, Leimena bersekolah di Ambonsche Burgerschool, tempat pamannya menjabat sebagai kepala sekolah. Namun kemudian pamannya dimutasi ke Cimahi. Leimena ingin ikut pamannya pindah, sedangkan ketiga saudaranya tinggal bersama ayah tiri mereka. Keinginan Leimena itu tidak diizinkan ibunya, karena ia dinilai masih terlampau kecil untuk hidup jauh dari orang tua. Berbekal kemauan keras dan nekat, Leimena menyelinap ke kapal yang membawa pamannya ke Cimahi dan baru menampakkan diri saat kapal telah berlayar. Sejak saat itu ia tinggal bersama pamannya. Pada tahun 1914 Leimena pun ikut pindah ke Batavia bersama pamannya. Leimena hidup penuh disiplin, setiap hari ia berjalan kaki pulang dan pergi ke sekolah, ia juga selalu bangun subuh untuk membantu pekerjaan rumah tangga di tempat pamannya.
Pada masa itu, berbagai penyakit berbahaya muncul di seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda. Kurangnya tenaga kesehatan yang dapat dipekerjakan mendorong pemerintah kolonial untuk mendirikan STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen, atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) yang saat ini dikenal sebagai Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Setelah menyelesaikan SMA-nya, Leimena pun melanjutkan studi di STOVIA. Berbeda dengan nama besar FKUI pada zaman ini, pada masa itu STOVIA lebih sering dikenal sebagai sekolah orang miskin. Bersekolah di sana tidak dipungut biaya dan justru diberikan beasiswa sebanyak 15 gulden per bulannya. Lulus dari STOVIA tahun 1930, Leimena melanjutkan spesialis di bidang penyakit dalam dan lulus 9 tahun kemudian. Kiprahnya di dunia organisasi serta politik ternyata telah diasah sejak masa mudanya. Ketika kuliah Leimena aktif di berbagai organisasi pemuda dan kegiatan keagamaan. Ia menjadi anggota Jong Ambon, aktif di Gerakan Oikumene, menjabat sebagai panitia Kongres Pemuda Pertama dan Kedua, serta mendirikan Christen Studenten Vereniging (Perkumpulan Pelajar Kristen).
“Pendetaku”
Setelah Leimena lulus sebagai dokter spesialis, ia mengabdi sebagai dokter dan sempat beberapa kali dipindahtugaskan. Ia pernah bekerja di RS Cipto Mangunkusumo, menangani korban letusan Gunung Merapi, menjabat sebagai direktur di RS Banyu Asin di Purwakarta, dan di RS Zending Imanuel Bandung. Pada saat ia bekerja di Purwakarta, Jepang telah menginvasi Hindia Belanda. RS Banyu Asin tempat Leimena bekerja sempat diduduki pasukan Jepang dan dihentikan operasionalnya, sehingga Leimena tidak diizinkan bekerja. Leimena sempat ditahan oleh pasukan Jepang untuk beberapa lama, diduga karena pertemanannya dengan Amir Sjarifuddin atau karena ia merawat tentara Belanda yang terluka dalam pertempuran Kalijati. Dia ditahan dalam penjara selama enam bulan, di mana ia dipukuli dan disiksa oleh tentara Jepang. Akan tetapi, hal tersebut tidak membuatnya pahit maupun menyimpan dendam. Selayaknya seorang Kristen yang beriman teguh, ia masih menunjukkan belas kasihannya dalam kondisi terjepit sekalipun. Di masa penahanannya, Leimena merawat seorang perwira Kempeitai Jepang yang menderita malaria hingga sembuh. Dan karena jasanya tersebut, ia akhirnya dilepaskan namun dikirim ke Tangerang. Kempeitai adalah polisi militer Jepang sekaligus polisi rahasia milik Jepang seperti halnya Gestapo milik Nazi Jerman. Pada masa itu Kempeitai adalah satuan militer Jepang yang paling ditakuti masyarakat Indonesia, karena terkenal dengan kekejamannya dalam memperlakukan siapa saja yang dinilai berisiko merugikan Jepang dalam Perang Pasifik.
Leimena pertama kali bertemu Soekarno pada tahun 1945, setelah peristiwa Lengkong. Soekarno sedang menjenguk para korban dan Leimena sedang merawat mereka. Dua bulan kemudian, Leimena diundang sebagai Menteri Muda Kesehatan. Awalnya Leimena menolak undangan tersebut karena tugasnya sebagai dokter. Namun dengan berbagai pertimbangan, akhirnya ia menerima kepercayaan tersebut. Meskipun sekarang ia menjabat kedudukan penting, Leimena selalu menjalankan tugas kewajibannya dengan tanggung jawab dan penuh integritas. Bahkan dari cacatan Soekarno, Leimena tidak pernah absen sekalipun dalam rapat kabinet selama Soekarno menjabat sebagai presiden. Dikenal sebagai teman dekat Soekarno, ia sering dijuliki “mijn dominee” oleh Soekarno, yang artinya “Pendetaku”. Saat peralihan ke orde baru, banyak Menteri-menteri dari orde lama yang ditangkap dan dipenjarakan. Leimena adalah salah satu dari sedikit menteri yang tidak dipenjarakan. Dia juga dikenal sebagai diplomat ulung, yang sering mewakili Indonesia sebagai delegasi dalam berbagai perundingan seperti Perjanjian Renville, Konferensi Meja Bundar, dan sebagainya.
Pasca perang kemerdekaan, kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia begitu buruk. Indonesia menghadapi deretan masalah seperti pemerintah kolonial yang tidak begitu peduli, ditambah usaha pengambilalihan rumah sakit selama pendudukan militer Jepang, keributan selama masa perang kemerdekaan, dan maraknya malnutrisi. Saat itu Leimena tengah menjabat sebagai Menteri Kesehatan. Leimena menilai kesehatan masyarakat merupakan salah satu komponen kunci untuk pembangunan Indonesia. Maka ia memfokuskan diri pada sistem pencegahan dan peningkatan kebersihan di berbagai wilayah di Indonesia, terutama area pedesaan. Kebijakan ini bertolak belakang dengan sistem zaman kolonial yang hanya memperhatikan pelayanan kesehatan di area perkotaan. Salah satu dobrakan besar yang dilakukan Leimena adalah menginisiasi Bandung Plan. Sistem ini diadopsi dari program yang mula-mula dijalankan Leimena di RS Zendingg Imanuel Bandung, tempat ia bekerja sebelum menjadi menteri. Ketika itu ia melihat masyarakat Muslim cenderung ragu-ragu berobat ke rumah sakit, karena pada saat itu kebanyakan rumah sakit adalah rumah sakit milik misionaris Kristen. Maka Leimena memutuskan untuk mulai membangun sejumlah klinik di pedesaan sebagai jembatan pelayanan dari rumah sakit pusat di kota. Agenda ini kemudian dikenal sebagai Bandung Plan, atau Leimena Plan, dan sejak tahun 1952 diputuskan untuk dikembangkan ke seluruh Indonesia. Program ini sempat mendapat perhatian dan penghargaan dari WHO dan dijadikan acuan bagi negara-negara lain.
Selain itu, Leimena juga mencurahkan perhatian pada tingginya angka kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir. Mortalitas ibu melahirkan mencapai 12-16 per 1000 ibu melahirkan di zaman itu, dan angka kematian bayi mencapai 115-300 per 1000 kelahiran bayi. Angka ini hanya menggambarkan kematian yang tercatat di rumah sakit. Sedangkan prevalensi kematian ibu dan bayi baru lahir di luar rumah sakit, diperkirakan lebih tinggi lagi. Leimena kemudian menginisasi Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak pada tahun 1951.
Orang paling jujur
Begitu banyak kontribusi Leimena dalam memajukan bangsa ini, tanpa mencari keuntungan bagi diri sendiri maupun kalangan tertentu. Dalam ranah personal pun, Leimena terus memberikan dampak pada orang-orang sekitarnya. Menurut Soekarno dan Mohammad Roem, Leimena adalah seorang politisi yang jujur dan diplomat yang berbakat. Bahkan Soekarno pernah mengatakan Leimena adalah orang paling jujur yang pernah ia temui seumur hidupnya. Dalam kedekatan antara Leimena dengan Soekarno, orang-orang di sekitar mereka pun mengakui – seperti Sutan Sjahrir -, bahwa Leimena selalu menyampaikan pikirannya secara tulus kepada Soekarno. Kendati menjabat peran yang begitu penting dalam waktu yang lama, juga terafiliasi dengan pemangku kekuasaan di negara ini, Leimena adalah sosok yang sederhana. Ia biasa memakai kemeja putih kemana pun ia pergi. Soekarno mencatat dalam autobiografinya bahwa Leimena bahkan tidak memiliki pakaian formal. Dalam beberapa kesempatan saat ia dikirim untuk diplomasi, ia harus meminjam jas dan dasi dari temannya.
Menutup usia pada tanggal 29 Maret 1977 di usianya yang ke 72 tahun, Leimena telah meninggalkan begitu banyak warisan sejarah, teladan, dan warisan iman bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bukan harta berkelimpahan, bukan kekuasaan tak terjamah bagi anak cucunya. Tetapi aspirasinya adalah bagi kita. Hidupnya adalah bagi Indonesia. Bahkan segala jerih lelah, upaya, dan air matanya adalah bagi orang-orang kecil yang tak pernah dikenalnya. Tiga puluh tahun lebih dari sejak kepergiannya, tepatnya tahun 2010, nama Johannes Leimena ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Mengenang hidup Leimena, sulit untuk tidak teringat pada Yeremia 29:7, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Kita dipanggil bukan untuk pasif, tetapi untuk mengusahakan dengan aktif. Bukan untuk menerima saja, tetapi berjuang untuk memberi. Kita kadang termakan kekecewaan dan pesimisme ketika melihat kacaunya dunia di sekitar kita. Mungkin tidak jauh dari realita di Indonesia saat ini. Begitu besar godaan untuk bersikap apatis, sebab mungkin tidak ada hal dalam jangkauan kita yang dapat membawa perubahan yang nyata. Akan tetapi, perintah Tuhan dalam kita Yeremia tadi juga datang kepada orang-orang biasa, pada rakyat jelata seperti kita yang terbatas kapasitasnya. Maka mari sekali lagi mengimani, bahwa hal sehari-hari yang menjadi bagian kita, seberapa kecil pun itu, dapat Tuhan pakai dalam rencana besar-Nya. Kita mungkin dipakai Tuhan dengan cara yang berbeda dari Johannes Leimena. Setiap kita adalah “sekadar” potongan puzzle di tangan Tuhan, dan yang Ia tuntut dari kita adalah untuk menjalankan bagian kita dengan setia.
Keteladanan Leimena
Tidak menyerah dalam kesulitan. Lahir dalam keluarga miskin dan di tengah zaman penjajahan, tidak menjadi alasan untuk Leimena berhenti mengejar pendidikan setinggi-tingginya.
Berjuang untuk mempraktekkan imannya dengan sepenuh hati dan setia. Iman Kristen yang dipegangnya teguh menjadi pelita bagi langkah hidupnya. Betapa setiap orang adalah berharga di mata Tuhan, dan kewajiban apa yang diampu seorang Kristen di tengah dunia ini di dalam konteks profesi dan kepercayaan yang diberikan padanya. Dalam hidup kesehariannya pun Leimena mempengaruhi orang-orang di sekitarnya dengan kejujuran, integritas, serta kesederhanaan.
Tidak pasif sebagai orang Kristen. Di dorong oleh kasih yang begitu besar, Leimena berjuang bagi setiap orang, bahkan orang-orang kecil di pedesaan dan daerah terpencil yang sering kali diabaikan orang lain. Juga beban yang dipikulnya untuk menjadi terang dan garam, mendorongnya untuk terus berkontribusi bagi bangsa ini.
“Tugas seorang Kristen Indonesia adalah memperlihatkan bahwa menjadi Kristen tidak ada sangkut pautnya dengan kolonialisme. Menjadi Kristen berarti hidup dalam dua dunia, sebagai anggota yang hidup dari bangsa sendiri dan juga sebagai anggota persekutuan orang-orang kudus di dalam Kristus.”
(kutipan tulisan Leimena dalam majalah Belanda Eltheto, 1935)
Sumber:
Astiannis R, Saripudin D. Johannes Leimena Dalam Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia (1946-1956). 2018. Factum; 7:2.
Commentaires