“Wa Wa Wa”: Menjawab Panggilan Pelayanan di Tanah Terluar
- dr. Hendriko Kabanga

- Aug 20
- 3 min read
Updated: Aug 25
Saat Indonesia merayakan 80 tahun kemerdekaannya, kita diajak merenungkan apa arti kemerdekaan sejati – termasuk bagi saudara-saudara kita yang tinggal di daerah tertinggal, terdepan, dan terdalam (3T). Di balik gegap gempita perayaan nasional, salah satunya lagu viral Tabola Bale yang ‘menggoyang’ Istana Merdeka, realita di Papua berbicara lain. Ada banyak anak yang belum mendapatkan hak dasarnya: kesehatan.
Saya saat ini melayani sebagai dokter di Puskesmas Landikma, Kabupaten Yalimo, Papua Pegunungan – salah satu dari 30 kabupaten di Papua yang masuk kategori 3T. Di sini, program imunisasi dasar masih jauh dari merata. Anak-anak tumbuh tanpa perlindungan dasar terhadap penyakit. Dokter umum dan spesialis langka. Keamanan tidak terjamin. Banyak tempat hanya bisa dicapai dengan pesawat. Ada kisah-kisah kelam tentang kekerasan dan kriminalitas yang membuat tenaga kesehatan akhirnya enggan bertahan dan memilih mundur, meninggalkan medan pelayanan yang sesungguhnya sangat membutuhkan kehadiran mereka.
Di tengah semua itu, saya percaya bahwa pelayanan di tempat seperti ini bukan semata-mata soal pekerjaan, tapi soal panggilan hidup. Panggilan untuk menjadi terang, untuk menghadirkan kasih Kristus yang menyembuhkan dan merawat, di tempat-tempat yang dianggap “ujung dunia”.
Menggumulkan Panggilan: Bukan Soal Nyaman, Tapi Taat
Bagi rekan-rekan tenaga kesehatan Kristen, mungkin banyak yang sedang atau pernah bergumul dengan pertanyaan ini: “Tuhan, di mana Engkau ingin aku melayani?” Jawaban Tuhan tidak selalu membawa kita ke tempat yang nyaman. Kadang, justru sebaliknya. Terlepas dari banyaknya pergumulan yang dihadapi ketika akan melangkah atau bertahan di suatu tempat, kita dapat belajar bahwa ketaatan kepada panggilan Tuhan tidak ditentukan oleh seberapa siap kita secara manusia, tapi seberapa besar kita percaya bahwa Dia yang memanggil juga akan memampukan. Di tempat-tempat seperti Kabupaten Yalimo, pelayanan bukan soal skill medis semata, tetapi tentang membagikan harapan. Menjadi saksi hidup bahwa Tuhan tidak melupakan siapa pun, termasuk anak-anak kecil di pedalaman Papua sekali pun.
Kasih Kristus yang Mendorong Kita Maju
Di tengah keterbatasan, hanya belas kasihan Allah yang dapat menopang seseorang untuk tetap bertahan. Hanya anugerah-Nya yang memungkinkan kami dan juga banyak sejawat seperjuangan lainnya untuk terus melanjutkan pelayanan, hari demi hari. Merespon panggilan Allah untuk melangkah pergi bukan karena mereka menyenangkan, tetapi karena Kristus lebih dulu mengasihi.
Rasul Paulus pernah berkata: “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami...” (2 Korintus 5:14)
Inilah kekuatan sejati yang mendorong kita untuk tetap berdiri, tetap melayani, tetap berharap. Kerinduan untuk kasih-Nya yang telah menguasai kita boleh menjangkau dan menguasai mereka yang tinggal di tempat yang sulit dijangkau sekali pun. Karena pelayanan ini bukan tentang kita, tapi tentang Kristus yang bekerja melalui kita.
Generasi Sehat, Papua Bangkit
Kalau kita ingin melihat Papua bangkit, maka kita harus mulai dengan membangun generasi yang sehat dan cerdas. Anak-anak di tanah ini adalah masa depan. Mereka yang akan menjadi guru, pemimpin, dokter, dan hamba Tuhan di masa depan. Mereka layak mendapatkan kesempatan yang sama – dan itu dimulai dari pelayanan kita hari ini. Pelayanan yang holistik, bukan hanya dilayani secara fisik, melainkan juga jiwa yang boleh mengenal Kristus yang sejati.
Bagi setiap kita yang mungkin sedang bergumul dengan panggilan Tuhan untuk melayani di tempat seperti Papua, ingatlah bahwa Tuhan tidak mencari yang hebat, tapi yang bersedia. Dia sanggup memperlengkapi setiap orang yang mau berkata, “Ini aku, utuslah aku!” Dirgahayu Republik Indonesia ke-80. Kiranya Injil Kerajaan Allah terus diberitakan sampai ke ujung bumi – termasuk Kabupaten Yalimo, Papua Pegunungan.
Wa Wa Wa! Soli Deo Gloria.
/kb








Comments