top of page

Keadilan yang Menjadi Tanggung Jawab Kita (Bagian 1)

Penulis : dr. Maria Simanjuntak, SpPD, KGH-KIC

dr. Bobby Simarmata, M.Sc


Seorang influencer Indonesia ternama pernah berkata dalam salah satu YouTube-nya, “Hidup mengajarkan bahwa keadilan itu adalah bonus, hadiah. Kalau dapat ‘Alhamdulilah’, kalau tidak ‘That’s life’”. Pernyataan tersebut diucapkan saat mengomentari hukuman yang dijatuhkan hakim pada para pengeroyoknya. Seolah-olah menurutnya ketidakadilan dalam putusan peradilan di Indonesia adalah hal yang biasa.


Terhadap ketidakadilan yang terjadi di bidang hukum mungkin kita berkata: ”Itu bukan ranah kita sebagai tenaga kesehatan”. Sementara itu, Mikha menyerukan dalam kitab Mikha 6:8 “Wahai manusia, engkau telah diberitahu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN daripadamu selain menegakkan keadilan, mencintai kesetiaan , dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu.”(Terjemahan VAB)


Apakah tuntutan TUHAN untuk menegakkan keadilan tidak berlaku untuk tenaga kesehatan seperti kita ?


Menegakkan Keadilan di Bidang Layanan Kesehatan

Adanya Sistem Jaminan Sosial Nasional bidang Kesehatan (BPJS) sejak 31 Desember 2013 merupakan oase bagi ketidak adilan layanan kesehatan di Indonesia. Layanan kesehatan yang dulu hanya mampu dijangkau masyarakat menengah atas atau setidaknya yang memiliki asuransi (ASKES atau asuransi swasta) kini dapat diakses oleh mayarakat ekonomi lemah.


Berawal dari seorang tokoh bernama Prof. Dr. Gerrit Augustinus Siwabessy yang adalah menteri kesehatan di era presiden Soekarno setelah dr. Leimena tahun 1966-1978. Beliau adalah seorang dokter ahli radiologi nuklir kelahiran Maluku 1914, lulusan sekolah kedokteran NIAS (Neederlandsch Indische Artsen School) Surabaya (kini menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga). Oleh dr. Leimena, yang merupakan menteri kesehatan RI kala itu, dr. G. A. Siabessy dikirim untuk belajar radiologi ke Universitas London dan Rumah Sakit Hammersmith London dengan beasiswa British Council. Disanalah dr. G. A. Siwabessy mempelajari sistem kesejahteraan di bidang kesehatan. Ketika menjabat sebagai menteri kesehatan, beliau pun mengembangkan Asuransi Kesehatan (Askes) yang merupakan cikal bakal BPJS.


Hal ini kemudian berlanjut pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000, saat Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang Pengembangan Konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sesuai dengan UUD 1945 dan perubahannya tahun 2002. Melalui proses yang panjang, akhirnya Presiden Megawati mengesahkan UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN pada 19 Oktober 2004, sehingga Indonesia masuk dalam daftar ‘negara dengan jaminan sosial’. Dalam melaksanakan UU SJSN, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk program JKN, sebuah program layanan kesehatan yang berkualitas dan berkesinambungan bagi seluruh penduduk Indonesia, yang mulai berlaku pada 1 Januari 2014.


Tahun 1999, penderita penyakit ginjal kronik tahap akhir yang tidak memiliki uang atau asuransi tidak akan dapat menjalani terapi pengganti ginjal seperti hemodialisa, CAPD apalagi transplantasi. Jika tidak memiliki uang atau asuransi, maka seorang penderita jantung koroner tidak dapat menjalani operasi jantung bypass. Begitu juga tindakan kesehatan lainnya seperti kemoterapi dan radioterapi maupun pemeriksaan seperti CT scan, MRI, endoskopi. Dahulu pemeriksaan dan tindakan tersebut amat terbatas untuk dirasakan oleh mereka yang tak memiliki asuransi kesehatan. Berkat BPJS, tindakan dan pemeriksaan tersebut kini bisa dinikmati. Dahulu poliklinik penyakit kronis hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu, peserta ASKES atau jaminan perusahaan. Kini, semua itu bisa diakses oleh masyarakat ekonomi lemah tanpa harus menjual segala kepunyaannya. Inilah yang disebut “Do Justly” di bidang layanan kesehatan.


Lantas, apakah layanan kesehatan setelah era JKN sudah benar-benar berjalan dengan baik dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia? (bersambung ke bagian 2)


/stl



85 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page