Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain.
(Matius 6:24a)
Seorang rekan alumni membagikan refleksi pengalaman pribadi dan pengamatannya terhadap rekan-rekannya yang sama-sama tumbuh di PMK. Menurut pengamatannya, masa 5-10 tahun pertama seorang alumni memasuki dunia kerja adalah masa transisi yang cukup menentukan apakah seseorang akan memiliki kehidupan iman yang menyatu dengan pekerjaannya sehari-hari ataukah kesuksesan dalam karir akhirnya berpisah jalan dengan kehidupan imannya. Mungkin orang tersebut masih rutin datang ke gereja di hari minggu, namun menjalani dua kehidupan yang terpisah dengan dua norma yang berbeda.
Apa makna dari pengamatan tersebut? Pertama, bahwa masa beberapa tahun pertama di dunia kerja adalah satu masa transisi yang perlu disikapi dengan serius, karena dampaknya bisa seumur hidup. Kehadiran orang-orang yang berfungsi sebagai mentor, model (teladan), dan rekan-rekan sevisi merupakan sesuatu yang penting dalam masa transisi memasuki konteks kehidupan yang berbeda. Kehadiran mereka sebagai satu kesatuan disebut “mentoring community”. Namun hal lain yang tidak kalah penting adalah bahwa masa transisi tersebut sebetulnya merupakan ujian terhadap spiritualitas yang selama ini dibangun di dunia mahasiswa. Apakah spiritualitas yang dibangun adalah spiritualitas sejati atau hanya kosmetik? Apakah iman seseorang dibangun di atas pondasi batu karang atau di atas pasir?
Bagaimana dengan kehidupan Salomo? Tampaknya Salomo melalui masa awal kekuasaannya sebagai raja dengan langkah-langkah yang baik. Hal ini terlihat saat ia datang ke Gibeon mempersembahkan seribu korban bakaran di hadapan Tuhan. Satu tanda keseriusan dalam ibadahnya kepada Allah. Demikian juga ketika Tuhan menawarkan kepada Salomo untuk meminta sesuatu, bukan kekayaan atau nyawa musuh-musuhnya, melainkan hikmat agar bisa melakukan tugasnya dengan baik sebagai seorang raja. Tuhan sangat berkenan dengan permohonan tersebut dan bahkan memberikan kekuasaan dan kekayaan yang berlimpah sebagai bonus (1 Raja 3:4-14). Hal besar lain yang dikerjakannya adalah membangun Bait Allah di Yerusalem. Setelah lebih dari 480 tahun berada di tanah perjanjian, orang Israel akhirnya bisa beribadah di Bait Allah yang permanen, bukan lagi di sebuah tenda (Kemah Pertemuan). Bait Allah yang megah tersebut dibangun dengan penuh rasa hormat akan kebesaran dan kemuliaan Allah dan merupakan masterpiece yang luar biasa yang bertahan hingga hampir empat ratus tahun kemudian.
Namun, ketika kekuasaan Salomo makin kokoh seiring waktu berjalan, ia makin sulit memahami siapa dirinya dan siapa Allah. Ia merasa bebas menentukan sendiri apa yang benar dan salah. Sebuah contoh yang dicatat oleh Alkitab adalah ia memuaskan nafsunya dengan mengumpulkan isteri hingga sebanyak 700 orang dan gundik 300 orang. Selanjutnya bahkan, “isteri-isterinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain.” Sangat menyedihkan bahwa Salomo yang di masa mudanya sangat menghormati Tuhan, malah ikut menyembah dan mendirikan berbagai tempat ibadah dewa-dewa yang disembah bangsa-bangsa penyembah berhala di sekitarnya: Asytoret, Milkom, Kamos, Molokh, dan lain-lain. “Demikian juga dilakukannya bagi semua isterinya, orang-orang asing itu, yang mempersembahkan korban ukupan dan korban sembelihan kepada allah-allah mereka.” (1 Raja 11:5-8).
Suatu ironi yang mengerikan. Seorang yang memulai perjalanan karirnya dengan melakukan hal-hal yang baik di mata Tuhan, kemudian menyelesaikannya dengan melakukan berbagai hal yang jahat di mata Tuhan. Dan yang lebih mengerikan, hal ini terjadi pada seseorang yang dianggap memiliki hikmat yang luar biasa dan pernah mengalami dua kali Allah menampakkan diri kepadanya (11:9). Ini menjadi satu peringatan bagi siapapun untuk tidak berpuas diri dengan rasa aman yang palsu. Bukan hanya komitmen awal yang penting. Kesetiaan mengikut Tuhan langkah demi langkah hingga akhir perjalanan hidup adalah sesuatu yang tidak bisa taken for granted.
Apa yang sebetulnya terjadi di balik kehidupan yang semakin menyimpang tersebut? Bila dibandingkan dengan Saul dan Daud, tampaknya Salomo tidak memiliki sesuatu yang mereka miliki. Ketika Saul melakukan hal yang mendukakan Tuhan, masih ada Samuel yang menegur (1 Samuel 15). Meskipun kemudian Saul mengeraskan hati, itu persoalan lain lagi. Ketika Daud di puncak kekuasaannya melakukan hal yang jahat di mata Tuhan, masih ada nabi Natan yang berani menegurnya dengan keras (2 Samuel 12). Namun ketika Salomo melakukan hal-hal yang sedemikian jahat di mata Tuhan, sama sekali tidak ada catatan bahwa ada seorang seperti Samuel atau Natan yang berani menegur Salomo. Tidak ada seorang pun yang berani menegur Salomo. Padahal kejahatannya seperti bola salju yang kian lama makin besar. Sehingga dalam murka-Nya kemudian Allah memutuskan untuk mengoyakkan kerajaan Israel.
Satu tantangan bagi alumni adalah ketika posisi di tempat pekerjaan makin meningkat sehingga orang-orang di sekitar kita makin sungkan untuk menegur ketika kita melakukan kesalahan. Ini situasi yang berbahaya. Dalam masa transisi memasuki dunia kerja kita butuh mentoring community yang menolong kita dengan panduan hikmat dari orang-orang yang sudah lebih dulu memasuki medan pertempuran, dengan contoh-contoh nyata yang inspiratif, dan dengan dorongan semangat di saat-saat yang sulit. Namun setelah melewati masa transisi bukan berarti kita tidak lagi membutuhkan komunitas yang mendukung. Kita terus membutuhkan orang-orang seperti Samuel bagi Saul dan nabi Natan bagi Daud, yang berani menegur saat langkah kaki kita sudah menyimpang terlalu jauh.
Mutually supporting community merupakan pola relasi yang lebih sesuai bagi sebagian orang yang sudah menemukan kematangan setelah melewati masa transisi, seperti yang dialami oleh Daniel, Hananya, Misael, dan Azarya di Babel. Di setiap tahapan pada dasarnya kita membutuhkan orang-orang yang bisa mengingatkan ketika kita mulai menyimpang dari kebenaran. Kita membutuhkan rekan-rekan yang dengannya kita bisa saling mendorong maupun berani untuk saling menegur ketika langkah kita mulai keluar dari jalur. Hal sangat penting ini tidak dialami oleh Salomo dan sebagian alumni pelayanan mahasiswa yang memulai perjalanan hidupnya mengikut Tuhan dengan baik, namun mengakhirinya dengan buruk.
Penjelasan lain adalah bahwa kejatuhan Salomo bukan disebabkan oleh kekayaan dan kekuasaan yang makin besar. Akar dari kejatuhan itu sudah ada dalam diri Salomo. Kekuasaan dan kekayaan yang makin besar hanya memberi jalan bagi Salomo untuk mewujudkan apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Cinta akan harta dan kekuasaan lah yang menjadi jerat bagi Salomo dan banyak orang.
Sangat menarik untuk kita renungkan bahwa cinta akan uang bisa terjadi pada orang kaya maupun orang miskin (contoh: orang muda yang kaya – Mat 19:16-22 vs asisten nabi Elisa – 2 Raja-raja 5:20-24). Demikian pula sebaliknya sikap tidak terikat pada harta kekayaan bisa terjadi pada orang kaya maupun miskin (contoh: Zakheus setelah bertobat – Luk 19:1-10 vs janda yang memberi persembahan di Bait Allah – Luk 21:1-4). Kekayaan atau kekuasaan bukanlah akar kejahatan. Cinta akan uang dan kekuasaan-lah yang patut diwaspadai. Cinta akan uang dan kekuasaan, entah kita sudah memilikinya atau belum, adalah akar kejatuhan bila kita tidak selesaikan dengan jujur di hadapan Allah.
Sebagai makhluk yang diciptakan segambar dengan Allah, kita manusia diperlengkapi dengan berbagai kemampuan untuk meneruskan karya penciptaan dengan mengembangkan kehidupan sosial dan teknologi, yang kita kenal dengan sebutan “mandat budaya” (= mandat untuk mengembangkan peradaban yang berkenan di hadapan Allah – Kej 1:26-28). Seperti halnya karunia-karunia rohani diberikan Allah dalam bentuk yang berbeda-beda untuk kita bisa saling melayani dalam konteks kehidupan berjemaat (1 Kor 12), demikian juga talenta yang berbeda-beda (dalam berbagai bentuk kecerdasan: matematis, bahasa, seni, dan sebagainya) diberikan Allah untuk kita bisa saling melayani dalam konteks kehidupan bermasyarakat.
Kejatuhan manusia dalam dosa (Kejadian 3) menyebabkan disorientasi dan bahkan amnesia. Kita jadi lupa bahwa setiap kemampuan yang kita sebut talenta dan berbagai kesempatan istimewa yang kita miliki dalam hidup ini adalah titipan Sang Pencipta. Semua talenta dan kesempatan itu bukan milik kita. Itu titipan Allah. Untuk didedikasikan bagi kepentingan sesama, orang banyak. Bukan untuk dimiliki sendiri. Apalagi untuk diperjualbelikan untuk keuntungan pribadi. Apapun namanya, mulai dari penawaran terbaik dalam berkarir, keuntungan maksimal dalam berbisnis, dan sebagainya. Dosa menyebabkan amnesia dan disorientasi tersebut.
Apa dampak penebusan Kristus? Karya penebusan Kristus dimaksudkan untuk membebaskan kita dari disorientasi dan amnesia tersebut. Hidup yang semula berpusat pada diri sendiri diputar seratus delapan puluh derajat menjadi hidup yang berpusat pada Allah dan diabdikan untuk melayani sesama. Dalam pengenalan akan Allah kita dimampukan untuk menemukan sumber sukacita dan kepuasan sejati. Uang dan kekuasaan hanyalah sarana yang bisa digunakan secukupnya, sesuai dengan yang dibutuhkan untuk mengerjakan misi yang Allah percayakan dalam hidup kita (Filipi 4:12-13). Posisinya adalah pelengkap, bukan sesuatu yang perlu dikejar sebagai yang utama dalam hidup (Matius 6:24-34).
Kita dipanggil dari kegelapan dan hidup yang mendatangkan murka Allah kepada terang Kristus yang ajaib untuk menjalani hidup sebagai gambar Allah, sebagai rekan-rekan sekerja Allah dalam karya pemeliharaan-Nya atas seisi dunia, dalam karya penciptaan-Nya yang terus berkelanjutan untuk mengembangkan peradaban umat manusia, dan dalam karya penyelamatan-Nya atas dunia yang sudah jatuh dalam dosa. Kita dipanggil untuk menghadirkan “cicipan” kehidupan yang dipulihkan di bawah pemerintahan Allah (= Kerajaan Allah) lewat keahlian profesional dan setiap bentuk talenta dan kesempatan yang Tuhan titipkan kepada kita. Sehingga bukan hanya kita tidak patut mengejar kekayaan dan kekuasaan, melainkan kita dipanggil untuk semaksimal mungkin mendedikasikan keahlian profesional dan setiap talenta yang kita miliki untuk kepentingan Allah dan sesama. Pengabdian tertinggi, bukan penawaran tertinggi, yang perlu kita kejar dalam setiap helaan nafas kita! Hidup yang dibagikan bagi Allah dan sesama, seperti maksud Allah ketika menciptakan manusia. Dan seperti maksud Allah ketika Ia membebaskan kita dari belenggu dosa melalui karya salib Kristus. Segala kemuliaan bagi Allah!
/kb
Comments