Simon mengenal pria yang sedang diikuti banyak orang di pantai pagi itu. Pria itu sedang menjadi bahan pembicaraan orang saat itu dan banyak orang mengikuti kemanapun Dia pergi. Pria itu, Yesus, yang kelak memberinya nama baru: Petrus, sangat menarik, penuh kuasa dalam mujizat dan pengajaran-Nya. Simon memperhatikan Yesus sambil membersihkan jalanya di samping perahunya. Pagi itu akan menjadi hari yang tak terlupakan bagi Simon dan teman-temannya. Hari yang mengubah agenda hidupnya. Setelah berlayar semalaman dengan sia-sia, apa yang terjadi di hari itu membuatnya sangat bersemangat: mendengarkan Yesus mengajar dari dalam perahunya, dekat dengannya, walaupun sempat bingung ketika pria itu menyuruhnya menebarkan jala di siang bolong. Belum surut rasa terkejutnya melihat jalanya yang robek karena penangkapan ikan yang sangat banyak, Simon mendengar Yesus berkata pada mereka, “Mulai sekarang engkau akan menjala manusia.” Yesus memberi mereka agenda hidup yang baru: dari penjala ikan menjadi penjala manusia. Simon Petrus pun mengikat perahunya dan meninggalkan segala sesuatu untuk mengikut Yesus. Sejak itu hidupnya tidak lagi seperti maunya. Dia yang sebelumnya dikenal sangat bersemangat dan reaktif kini tunduk dan fokus hanya pada agenda Tuhannya.
Tiga setengah tahun kemudian, karena sedih, kecewa, setelah Yesus disalibkan, dia sempat kembali pada agenda lamanya: melepas ikatan perahunya dan menebar jalanya. Tuhan Yesus yang mengerti pergumulannya, menghampirinya kembali dengan kejadian yang membuatnya teringat akan kejadian pagi bersejarah itu. Kembali Yesus memberinya agenda baru: menggembalakan domba. Peristiwa di pantai itu menjadi titik bangkitnya kembali: menjalankan agenda Allah. Sejak saat itu, setelah hari pentakosta, Petrus setia menjalankan agenda tersebut: membangun jemaat di Yerusalem, Samaria, Babilonia, dan Roma. Di akhir hidupnya, 30 tahun kemudian, kembali Yesus memberinya agenda lain. Berdasarkan naskah apokrifa Perjanjian Baru, Acts of Peter, saat Petrus akan meninggalkan kota Roma untuk menyelamatkan diri dari penganiayaan kaisar Nero, Yesus menampakkan diri padanya di tengah jalan dan saat dia bertanya, “Kemanakah Engkau akan pergi Tuhan?, Yesus menjawab, “Aku datang untuk disalibkan kedua kalinya.” Petrus pun mengerti maksud Tuhan Yesus, itu berarti ada agenda yang harus dijalankan: menderita dan mati bagi Yesus. Dia pun kembali ke Roma dan kemudian mati disalibkan dengan posisi terbalik.
Paulus, seorang yang dulunya sangat bersemangat menganiaya para pengikut Kristus, tetapi agenda hidupnya berubah setelah perjumpaannya dengan Kristus. Dalam surat-suratnya Paulus sering menyebut dirinya sebagai: Paulos doulos Iesou Christou, Paul, a slave of Jesus Christ atau Paulus, budak Yesus Kristus! Hidupnya sepenuhnya bagi Kristus, menjalankan agenda Kristus bagi-Nya.
Ketika Yesus memberikan perumpamaan tentang seorang tuan yang mempercayakan talenta pada hamba-hambaNya dalam Matius 25: 14-30, kata “hamba” yang digunakan dalam perumpamaan tersebut adalah juga “Doulos”.
Seorang doulos adalah budak terendah yang tidak memiliki hak atas dirinya sendiri, dia sepenuhnya milik tuannya. Dalam hidup seorang doulos tidak ada tempat bagi agenda pribadi. Seorang doulos tidak pernah mempertanyakan apalagi membantah perintah majikannya. Dia mutlak menaati perintah tuannya meskipun perintah itu sulit, berbahaya, dan dapat mengancam jiwanya. Apapun situasi dirinya, baik sedang dalam keadaan yang baik maupun tidak baik, perintah Sang Tuan harus dikerjakan. Bahkan seorang doulos tidak memiliki hak untuk mendapatkan penghargaan atau apresiasi sekalipun dari tuannya.
Agenda khusus ini tidak hanya milik Petrus dan Paulus. Semua kisah di perjanjian lama dan perjanjian baru menceritakan bagaimana Allah memberi agenda yang khusus pada tiap-tiap pribadi. Seperti Petrus dan teman teman rasul lainnya, seperti para saksi iman di gereja mula-mula, seperti jejak iman yang ditinggalkan para bapa gereja dan kaum martir, sesungguhnya Allah kita masih tetap dengan cara-Nya: mempercayakan agenda khusus pada tiap-tiap anak-Nya. Tiap masa dengan orang yang berbeda dan agenda yang berbeda-beda pula.
Sebelum abad ke 19, kisah tentang perbudakan dan perdagangan budak merupakan hal yang lazim dilakukan khususnya di dunia Barat sampai kemudian seorang anggota parlemen di Yorkshire Inggris pada tahun 1784-1812 bernama William Wilberforce menjadi pemimpin penghapusan perbudakan dan perdagangan budak di Inggris. Pertemuannya dengan Kristus di usia 26 tahun membuatnya meninggalkan gaya hidup bangsawan yang hedonis dan berkomitmen untuk mengabdikan hidup dan pekerjaannya bagi Tuhan. Tuhan memimpinnya pada agenda untuk melakukan reformasi sosial di Inggris setelah dia bertemu dan dibina oleh John Newton. Sejak saat itu gerakan politiknya diwarnai dengan imannya dan kerinduannya untuk memajukan kekristenan dan etika Kristen dalam hidup pribadi dan masyarakat Inggris. Dia dan teman-temannya berkampanye untuk mengakhiri perdagangan budak, membuat pamflet, buku, demonstrasi, petisi dan melobi parlemen. Sampai kemudian tahun 1807 perdagangan budak dihapuskan dan tahun 1833 Kerajaan Inggris akhirnya memberi kemerdekaan pada semua budak di wilayahnya. Allah terus memberinya agenda lain dengan mempelopori gerakan reformasi moral di masyarakat Inggris. Pada masanya Allah memakai William Wilberforce untuk melakukan agenda reformasi sosial di Inggris.
Tidak semua dari kita dipercayakan agenda yang besar dan spektakuler seperti Petrus, Paulus atau William Wilberforce. Kebanyakan dari kita mungkin hanya melakukan agenda yang terlihat biasa dan tak banyak diceritakan. Tidak pernah dibayangkan oleh Prof. George Mathew bahwa dia akan menghabiskan karirnya di tempat yang dia sebut “in the middle of nowhere”. Prof. Dr. dr. George Matthew, saat ini berusia 70 tahun, seorang dokter bedah digestif senior ternama dari India, lulusan The Royal Adelaide Hospital, University of Adelaide. Dia seorang dokter misi sejak lulus sebagai dokter umum. Setia menjalankan agenda Tuhan dalam hidupnya. Dimulai dengan menjadi dokter di sebuah rumah sakit di tempat sangat terpencil di Bhutan. Lalu agenda Tuhan membawanya kembali ke rumah sakit Christian Medical College Velore untuk menjadi staf pendidik, dekan, dan direktur RS di sana. Dia memimpin puluhan proyek riset, mempublikasikan 65 karya ilmiah selama 21 tahun terakhir. Saat memasuki usia pensiun, setelah melalui pergumulan panjang, dia memilih untuk meninggalkan tawaran menjadi direktur beberapa rumah sakit ternama di India dengan pergi keluar India menjadi dekan di Fakultas Kedokteran salah satu universitas swasta di Indonesia dan menjadi direktur suatu lembaga riset. Kembali menjadi dekan, membangun rumah sakit pendidikan yang baru berdiri. Namun setelah beberapa tahun, Prof. George Matthew merasa Tuhan menggerakkannya untuk agenda lainnya. Seseorang men-sharing-kan suatu rumah sakit misi yang membutuhkan dokter di daerah rural India: Biru, Jharkhand. Rumah sakit kecil yang terletak di daerah yang sangat miskin, terbelakang, dan tertinggal di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan keamanan. Setelah dia mengunjungi daerah tersebut, dia tahu ada agenda baru baginya. Bagi seorang dokter senior, cukup ternama di India dengan usia yang sudah lanjut (saat itu 67 tahun), dengan karir dan kehidupan cukup mapan, tidaklah mudah memutuskan untuk meninggalkan keluarga dan karirnya di Indonesia dan memulai dari awal sebagai dokter umum di rumah sakit pedalaman seperti itu. Kehadirannya, walaupun hanya dengan jabatan sebagai dokter umum tetapi dengan kemampuan bedah digestif berpengalaman tentu saja menjadi jawaban bagi daerah yang hampir tidak memiliki dokter ahli. Kesetiaannya pada pimpinan Tuhan untuk menjalankan tiap agenda Tuhan dalam setiap fase hidupnya terus dia jalankan walaupun dengan konsekuensi meninggalkan keluarga, kemapanan, dan nama besar.
Para doulos-doulos ini menunjukkan ketaatannya: Petrus pergi meninggalkan perahunya, Paulus menganggap sampah semua atribut dan pencapaiannya, William Willberforce pergi meninggalkan kemapanan hidupnya, Prof George Matthew pergi meninggalkan karir dunia medis dan pendidikan yang gemilang untuk terus melakukan agenda Allah dalam hidup mereka. Hingga kini Allah masih terus bekerja di dunia yang dikasihi-Nya ini. Dia masih terus memilih banyak orang untuk melakukan agendaNya yang khusus bagi mereka. Seberapa jauh kita menyadari bahwa Dia juga sudah memilih kita untuk menjadi doulos-doulos kepunyaan-Nya yang taat melakukan agenda-Nya? Atau apakah justru kita sedang sibuk mengerjakan agenda pribadi kita selama ini? Mungkin kita berpikir, “ini agendaku akan kuberikan bagi-Mu” dan bukan sebaliknya “Mana agenda-Mu Tuhan untuk kujadikan agendaku”.
“Maaf, saya sedang sibuk menyelesaikan kuliah S3”, atau “Saya masih terlibat di pelayanan gereja saat ini sehingga tidak bisa terlibat di pelayanan itu”, atau “anak-anak masih kecil”, dan banyak lagi alasan lain yang sering kita dengar ketika seseorang menolak tawaran untuk terlibat di suatu pelayanan. Kerap pula itu terucap tanpa terlebih dulu mempertimbangkan dan bertanya pada Tuhan apakah itu agenda yang Dia percayakan bagi kita. Di kehidupan dunia modern yang bergerak sangat cepat, berubah sangat dinamis, terhubung secara global, terdampak sangat kompetitif, agenda siapakah yang sedang kita jalankan?
Akankah kita berespon seperti Simon yang meninggalkan agenda hidupnya dan mengikuti agenda Tuhan atau malah berkata: “Maaf, jadwalku sudah penuh, silakan cari yang lain Tuhan"
Akankah kita berespon seperti Simon yang meninggalkan agenda hidupnya dan mengikuti agenda Tuhan atau malah berkata: “Maaf, jadwalku sudah penuh, silakan cari yang lain Tuhan”.
Kommentare