“Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” merupakan kalimat agung yang disampaikan Yesus saat murid-murid–Nya, Yakobus dan Yohanes, serta yang lainnya ingin mendapatkan kedudukan tinggi dan mulia bersama Dia (Markus 10:35-45).
Apakah yang terjadi pada diri kita sebagai orang percaya akan sama dengan murid-murid Kristus dikala kita mengabdikan diri pada masyarakat? Sepertinya hal ini wajar saja karena kita memberikan seluruh pikiran, tenaga, keahlian kita dengan sebaik-baiknya bagi bangsa dan negara. Apakah ada yang salah? Sepertinya hal ini baik dan benar, namun jika kita diperhadapkan pada masalah besar yang terjadi di bangsa kita, bahkan seluruh dunia ini, maka akan nampak jelas keberadaan kita. Ambisi manusia mencari keuntungan dan nama sebesar-besarnya untuk diri sendiri, sehingga ada yang acuh tak acuh dalam menyikap pandemi, ada yang sedikit peduli, ada yang melakukannya dengan terpaksa, terlebih lagi ada juga yang malah menyalahkan Tuhan dan orang lainnya. Dengan kata lain, ambisi kita mempengaruhi mata dalam melihat dan hati dalam merasakan sehingga betapa pentingnya kita memikirkan tujuan hidup kita yang sebenarnya, sama seperti Yesus dalam kehadiran-Nya di dunia ini.
Panggilan dan kehadiran-Nya di dunia
Melalui ayat di atas, kita melihat bagaimana Ia datang bukan untuk diri-Nya sendiri, melainkan untuk dunia yang telah jatuh dalam dosa. Banyak hal yang telah Ia kerjakan, misalnya dalam Yohanes 6:14, banyak orang ingin mengangkat-Nya menjadi raja, walaupun mereka sebenarnya tidak mengenal Dia yang turun dari surga karena mereka ingin menikmati roti yang diberikan-Nya dan ingin terus dikenyangkan dengan cara yang mudah. Namun, apakah Yesus tergoda oleh berbagai pujian yang diberikan manusia dan memberikan diri-Nya diangkat menjadi raja? Tentu saja jawaban-Nya dengan jelas tidak! Sejak awal, Dia sudah memahami bahwa kehadiran-Nya di dunia adalah untuk melayani (memberi diri) sepenuhnya bagi pergumulan manusia yang menderita karena dosa, bahkan Ia akan memberikan nyawa-Nya mati di atas kayu salib menebus untuk menggantikan hukuman murka Allah yang harusnya ditimpakan pada semua umat berdosa. Itu sebabnya Ia hadir di kota-kota dan desa-desa bertemu dengan manusia yang bergumul secara fisik, mental, rohani, politik, ekonomi, dan lain sebagainya (Mat. 9:35).
Sebagai orang percaya, kita hadir di dunia bukanlah kebetulan semata dan juga bukan untuk diri sendiri. Allah menciptakan kita menurut ‘gambar dan rupa-Nya’ serta memberi ‘kuasa’ (tanggung jawab) memelihara dunia ini. Hidup bukan untuk berdiam, melainkan berkarya bersama Dia memelihara ciptaan-Nya (Kej. 1:26-28; 2:15). Panggilan seperti ini membuat kita akan peduli pada penderitaan yang sedang dialami banyak orang karena pandemi. John F. Kennedy (eks presiden Amerika) mengatakan: ”Jangan tanyakan apa yang negara bisa berikan padamu, tapi tanyakan apa yang bisa kau berikan pada negara” telah memberikan inspirasi padanya untuk mengabdi sepanjang masa pemerintahannya, dan menginspirasi banyak orang melakukan hal yang sama.
2. Penglihatan-Nya begitu tajam
Dengan sikap hidup untuk membawa ‘kelepasan’ bagi manusia, setiap hari Ia berjumpa dengan mereka di berbagai tempat; Matius mencatat Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Surga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan (Mat. 9:35). Apa yang dilakukan-Nya keluar dari hati-Nya yang paling dalam, karena ‘melihat’ mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala (36), yaitu tidak ada perlindungan, bantuan, padang rumput, dan bimbingan, sehingga berada dalam kondisi yang menyedihkan, menyakitkan, dan membawa pada kematian. Apalagi jika serigala datang, mereka tidak berdaya dan akan mati dan dimakan oleh musuh-musuh tersebut. Yesus melihat manusia begitu rapuh (fragile) dan dalam keberdosaannya, mereka tidak ada kekuatan untuk menyelamatkan diri sendiri.
Belajar dari-Nya, kita perlu peduli melihat keberadaan masyarakat di bangsa ini yang menderita, ada banyak hal bisa kita telusuri, melalui televisi, internet, dan media massa lainnya, mendengar dari tetangga atau melihatnya sendiri; di mana setiap hari yang terkena wabah covid semakin bertambah, demikian juga mereka yang harus pergi dari dunia ini. Wabah ini tidak peduli etnis, jenis kelamin, status, ekonomi, dan kedudukan manusia; siapapun bisa dihampirinya. Hal ini membuat begitu banyak orang ketakutan tertular karena akan membawa pada kematian.
3. Hati yang penuh belas kasihan (Compassion)
Maka tergeraklah Yesus oleh belas kasihan (compassion) kepada mereka. Inilah hati yang peduli, Dia tidak bisa tinggal diam di tengah-tengah kekalutan dan penderitaan yang terjadi dan untuk itulah Ia datang. Ia menghampiri dan ikut serta merasakan pergumulan penderitaan manusia, serta membawa mereka keluar dari penderitaan tersebut dengan kehadiran-Nya, penghiburan-Nya bahkan kuasa-Nya yang menyembuhkan. Ia membawa manusia mengalami pertolongan dan jalan keluar sehingga mereka menikmati kasih sayang Tuhan yang luar biasa.
Adakah hati kita dipenuhi dengan kasih seperti ini setiap melihat manusia yang mengalami kesakitan, kebingungan, dan ketakuatan karena ancaman kematian? Atau hati menjadi dingin, beku, bahkan tidak perduli (que sera sera) ? Kita perlu meminta pada-Nya hati yang dapat ikut merasakan, bukan hanya sekedar emosi/perasaan, melainkan sakit yang kita rasakan sampai pada ginjal (kidney), sehingga kita tidak bisa hanya diam berpangku tangan, melainkan mendorong kita bertindak untuk menolong, melepaskan yang menderita dari kesakitan atau pergumulannya.
Semua ini bisa kita alami jika kita memiliki kasih kepada sesama. Rasul Yohanes mengatakan, bagaimana kita dapat mengasihi Allah yang tidak kelihatan jika kita tidak mengasihi saudara yang dapat kita lihat. Dengan perkataan lain, jika kita mengasihi Allah, maka kita juga dimampukan mengasihi sesama kita (1 Yoh. 4:20-21). Kasih Allah menggerakkan kita untuk peduli dan ikut terlibat menolong dengan nyata sambil mengentaskan covid 19 ini.
4. Melayani dengan berkorban
Pemahaman seperti ini yang Yesus lakukan, bahwa sepanjang hidup Ia tidak berambisi untuk mencari kenikmatan semu/pribadi (lihat Matius 4:1-11). Dari waktu ke waktu Ia bekerja tanpa kenal lelah, merasakan kepedihan dan kesusahan manusia dan Ia tidak peduli pada cemoohan, kehinaan yang menghampiri sepanjang hidupnya. Yesus dengan tekun berkarya sampai memikul salib dan kematian di bukit Golgota. Ia tahu resiko besar yang akan dialami, bahkan dengan cinta-Nya yang melampaui keberdosaan manusia (unconditional). Ia tidak menghiraukan nyawa-Nya sedikitpun, melainkan bersedia menanggung murka Allah, yaitu mati secara mengerikan di atas kayu salib (hukuman untuk budak yang melakukan kejahatan keji).
Ia mengajar orang percaya, sekaligus meneladani suatu panggilan yang mulia, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salib dan mengikut Aku” (Mat. 16:24). Inilah yang harus kita renungkan bersama. Panggilan sebagai orang percaya, bukan untuk hidup bagi diri sendiri, bukan untuk kenikmatan, melainkan kita yang sudah ditebus oleh darah-Nya yang mahal adalah hidup bagi Kristus. Kematian bukanlah merupakan ketakutan (sekalipun secara fisik itu bukanlah hal yang mudah) namun karena Kristus telah mengalahkan maut, maka dibalik kematian akan ada kebangkitan dan kehidupan selama-lamanya (bdk. Filipi 1:21). Itulah juga yang diikuti oleh Marthin Luther, bapak reformator saat pandemi (black death) melanda di zamannya, di mana dalam kurun waktu 2 tahun saja 25 juta orang meninggal di jalan-jalan dan berbagai tempat di kotanya Wittenberg dan berbagai belahan di Eropa. Luther tidak ikut lari menjauhkan diri seperti banyak dilakukan orang, melainkan ia dan istrinya yang sedang mengandung tetap tinggal menolong dan menghibur yang menderita melalui Firman dan doa, bahkan merawat mereka juga di rumahnya. Melalui hidup yang bersandar dan mendengarkan pimpinan Tuhan, dia dan istrinya menjadi contoh dan kesaksian bagi banyak orang percaya, sehingga mereka bersama menghadirkan Tuhan secara nyata bagi banyak masyarakat yang menderita. Melalui pandemi yang terjadi dan kerja keras orang-orang percaya yang mengabdi dengan kesadaran resiko tinggi akan maut, banyak orang yang akhirnya menjadi pengikut Kristus.
Kini, dunia sedang dilanda pandemi Covid-19. Ada banyak kesaksian dari dokter dan perawat yang melayani dengan resiko tinggi akan kematian. Monica, misalnya, seorang dokter yang melayani di Mataro. Ia mengkhawatirkan akan kurangnya peralatan yang memadai untuk kunjungan. “Meskipun saya mencintai pekerjaan saya dan saya mengambil semua tindakan pencegahan, saya sangat menyadari kerentanan saya. Saya tahu bahwa satu-satunya yang dapat menyelamatkan saya sehingga saya dapat terus merawat pasien saya adalah Tuhan. Bahkan jika ini tidak terjadi, saya percaya saya harus berada di tempat saya sekarang, dan saya meminta kekuatan-Nya. Saya juga meminta kebijaksanaan, tidak hanya untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk keluarga saya, sehingga kami dapat menghadapi apa yang akan terjadi” (kesaksian lainnya bisa menyimak di https://evangelicalfocus.com/lifetech/5200/Christian-health-workers-facing-Covid19-I-am-very-aware-of-my-vulnerability).
Hingga Sabtu 1 Agustus 2020, data Pengurus Besar IDI menyebutkan, ada 72 dokter yang meninggal akibat Covid-19 (Lihat Kompas), merupakan data kedukaan terbesar sepanjang sejarah kedokteran di Indonesia. Mereka adalah para pahlawan di garda terdepan yang menangani masyarakat yang menderita covid di berbagai kota di Indonesia. Perjuangan mereka tidak ada yang sia-sia, melalui dedikasi dan pengorbanan ada banyak orang yang mengalami kesembuhan, sungguh suatu pelayanan yang mulia.
Akhirnya, mengutip kalimat Rasul Paulus: “... jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah” (Filipi 1:22).
O Ria J. Pasaribu, Executive Director Indonesian Care
Comments