Pernahkah kita berespon lebih sensitif dari kebanyakan orang. Misal, di dalam klinik, saat menghadapi pasien, kita terpicu marah, larut dalam perasaan iba atau takut bertemu dengan supervisor tertentu. Atau, dalam lingkup keluarga. Mungkin saja, hal itu muncul akibat suatu cedera emosional atau yang sering disebut sebagai luka batin yang belum pulih dalam diri kita.
Siapa sih yang tidak pernah terluka? It’s normal but also not normal at the same time. Normal karena hampir semua orang mengalami. Tidak normal, karena pengalaman itu tidak seharusnya dialami.
Luka batin adalah istilah yang sangat luas, namun dapat dimengerti sebagai luka psikologis yang mendalam dan menimbulkan tekanan yang berat pada seseorang. Luka tersebut timbul dalam berbagai pengalaman dan persepsi yang beragam, dari ringan hingga berat di sepanjang hidup kita. Yang pasti, meski tidak berbentuk, luka tersebut memberikan rasa sakit secara emosional.Kita dapat melihatnya dalam 3 bentuk rasa sakit emosional, yaitu:
Core emotional pain, yaitu rasa sakit yang muncul ketika kita menghadapi situasi yang begitu sulit, dimana kita diliputi emosi negatif (rasa takut, marah, sedih, dan lain-lain, yang melebihi kemampuan kita untuk menghadapinya (terlalu banyak, dini atau sendiri). Luka ini bisa merupakan pengalaman dikhianati, direndahkan, hingga yang lebih serius seperti trauma. Untuk yang terakhir, dapat dikatakan bahwa meski mayoritas orang memiliki luka batin, tidak semua memiliki trauma (karena tendensi saat ini untuk over-labeling trauma).
Relational pain, adalah rasa sakit yang muncul akibat kebutuhan kita akan caregiver (kasih sayang, penerimaan) yang tidak terpenuhi (penolakan, pengabaian).
Self pain, adalah luka yang muncul akibat penolakan terhadap dirinya dari orang-orang yang signifikan dalam hidupnya. Kerap kali orang tersebut akan hanya menampilkan dirinya agar dapat diterima. Namun hal ini menimbukan luka sebab dia meyakini bahwa diri yang sebenarnya adalah buruk.
Luka batin yang belum pulih akan berdampak dalam kehidupan kita sehari-hari. Bisa muncul, sebagai “inner child” (teori Jung) yang terluka, sehingga kerap kali menimbulkan respon tertentu terhadap situasi tertentu yang berhubungan. Misal, seperti kemarahan berlebih ketika direndahkan atau ketakutan terhadap suara orang yang keras.
Bisa juga muncul dalam berbagai masalah relasi pola “attachment”, misalnya ketakutan jika ditinggalkan sehingga bertindak posesif atau paranoid. Selain itu bisa juga menetap sebagai emosi yang tidak diproses, misalnya “kepahitan”, yang merupkan bentuk kemarahan dan kebencian. Bahkan luka batin yang tidak dipulihkan bisa berkembang menjadi berbagai gangguan mental (gangguan depresi, kepribadian, dan lain-lain).
Apa pun bentuknya, yang pasti luka batin perlu dipulihkan, sebagaimana dampaknya yang muncul. Secara umum, penanganan luka batin terutama melalui berbagai pendekatan konseling hingga psikoterapi. Pada kasus yang kompleks sebaiknya dibantu oleh tenaga profesional (misal, kasus yang dipersulit oleh komorbid gangguan mental, pola kepribadian atau pengalaman traumatis tertentu)
Selain itu, pendekatan tersebut dapat diintegrasikan dengan Alkitab. Alkitab menjadi suatu nilai yang mendasari bagaimana kita memulihkan luka batin tersebut. Alkitab bukan saja mengenai kebenaran, tetapi juga kuasa untuk mengatasinya. Bukan juga sekedar pulih, tetapi juga transformasi. Alkitab mengajak kita untuk menempatkan fokus kita terhadap Allah dan kebenaran dan kuasa-Nya. Beberapa integrasi yang dapat kita tinjau dalam menghadapi luka batin.
1. Reframing Kognitif/Pola Pikir
Pola pikir sangat erat dengan psikoterapi. Misalnya distorsi kognitif seperti “should/must”, membuat sesorang sulit menerima realita yang berbeda dengan idealismenya. Distorsi “minimizing” membuat seseorang tidak dapat melihat bahwa ada sisi-sisi baik dalam setiap situasi. Alkitab juga melihat perubahan pola pikir sebagai suatu bentuk pertobatan (metanoia = change of mind). Pola pikir tidak hanya berubah, tetapi perlu semakin selaras dengan Firman Tuhan. Pola pikir yang tidak bertumpu pada diri, tapi tetapi pada Allah yang penuh kasih dan kudus. Contohnya : berhenti melihat hidup secara fatalistik, tetapi melihat Allah yang hadir dan berdaulat.
2. Pendekatan Emosional : Menerima dan memaafkan
Memaafkan merupakan langkah penting dalam proses penyembuhan. Memaafkan tidak sama dengan melupakan atau mengalihkan. Memaafkan bukan berarti menganggap benar, tetapi keputusan berkali-kali untuk tidak menyimpan, bahkan membuang hal yang tidak baik (kebencian, keinginan untuk membalas dan ruminasi negatif). Bukankah masa lalu yang sudah lewat hanya dapat menjadi pelajaran. Jika hal yang tidak baik, maka tidak mungkin diubah. Hanya perlu diterima dan dimaafkan.
Alkitab banyak berbicara mengenai pengampunan. Dasar iman Kristen memaafkan bukanlah sekedar untuk merasa atau menjadi lebih baik, tapi karena kita telah menerima pengampunan yang limpah dalam anugerah. Fully known, but also fully accepted and loved. Kebenaran ini yang memampukan seorang Kristen untuk mengampuni
3. Menghadapi Present Moment (Mindful)
Ketika kita mengalami pengalaman sulit, kita perlu belajar menghadapinya dengan bijak dan berhenti menghindari tanggung jawab dengan terus-menerus mempersalahkan orang lain atau situasi. Meskipun kita mungkin menjadi korban, tidak berarti kita harus hidup dengan mentalitas korban. Kita tidak perlu menghidupi masa lalu, tapi fokus pada saat ini. Tidak hanya being present in the moment, tapi juga menyadari God is present and also in every moment, in my past, now and my future.
4. Pendekatan holistik
Pendekatan holistik berarti melibatkan banyak aspek. Bukan saja memperbaiki secara psikologis, tetapi juga perlu dukungan medis dan sosial yang memulihkan hingga aspek spiritual. Secara pribadi, saya tidak setuju dengan pandangan yang hanya menekankan satu sisi saja (cukup dengan Alkitab).
Secara medis, kehadiran terapis, diperlukan untuk suatu pola hubungan interaksi klien-terapis dalam mentransformasi luka-luka yang dimiliki. Bahkan pada kasus yang lebih berat seperti trauma, perlu teknik terapi khusus. Pada orang yang mengalami trauma, rasa sakit tersebut dapat tersimpan dalam memori tubuh sehingga tubuh berespon sedemikian rupa terhadap stressor. Hal ini perlu penanganan yang lebih lanjut, misal melalui teknik eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). Apalagi, seorang yang mengalami trauma bukan saja kesulitan dalam coping di situasi sulit tertentu, tetapi juga dipicu dari pembelajaran yang hilang dalam masa tumbuh kembangnya karena kesulitan bertumbuh dengan trauma yang ada.
Dalam pendekatan integrasi dengan spiritual Kristen, memang memerlukan kehadiran tenaga medis Kristen yang tidak hanya menunjukkan karakter Kristen, tetapi kemampuan untuk integrasi dengan nilai-nilai Biblikal. Masih banyak ruang lingkup dalam pelayanan psikiatri yang perlu digumuli, sehingga tidak hanya berakhir pada terapi sebagai kunci, tetapi menggunakannya sebagai jembatan untuk bersama pasien menggumuli dasar nilai-nilai kebenaran lebih lanjut.
Jika kita menyelami dinamika luka batin dengan empati, sungguh tidak mudah setiap pengalaman yang dialami setiap orang. Bagi kita yang sedang berjuang, teruslah berproses dan melangkah bersama Tuhan. Jangan biarkan tersebut tetap menganga atau terkubur tanpa dipulihkan. Luka tersebut dapat terinfeksi, tidak sehat bagi kesehatan jiwa kita maupun orang sekitar kita. Kiranya luka-luka tersebut bukan saja dilewati dan pulih, tetapi menjadi perjalanan untuk bertemu dengan Allah dan kasih-Nya.
/Tnp
Commentaires