Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah.
(Kisah Para Rasul 2:46a)
Menyaksikan kembali apa yang dilakukan jemaat mula-mula (Kisah Para Rasul 2:41-47) mungkin membuat kita heran sekaligus iri. Jumlah yang besar itu—lebih dari 3.000 orang dewasa—tidak mengurangi kualitas persekutuan mereka. Biasanya—penyakit jemaat modern—semakin banyak anggota, semakin sulit memahami satu sama lain.
Catatan Lukas memperlihatkan, jemaat mula-mula tidak membedakan antara yang rohani dan profan; antara ibadah dan kehidupan sehari-hari. Di satu sisi mereka bertekun dalam pengajaran dan persekutuan. Lukas juga menyatakan, mereka senantiasa berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Di sisi lain selalu ada warga jemaat yang menjual hartanya, kemudian membagi-bagikannya kepada warga papa sesuai kebutuhan. Mereka tak cuma bicara kasih, namun langsung mempraktikkannya. Kasih meraga dalam kehidupan mereka setiap hari.
Barangkali kita merasa janggal dengan praktik seperti ini. Akan tetapi, itulah yang mereka lakukan. Jemaat mula-mula meyakini apa yang mereka miliki merupakan kepunyaan bersama. Intinya: mereka tidak ingin rekan seiman hidup kekurangan, apalagi mati kelaparan.
Ibadah, Abudah, Abduh
Sekali lagi, tidak hanya ibadah diutamakan, tetapi juga keseharian hidup. Dengan kata lain: setiap hari mereka beribadah melalui kata dan karya. Ibadah tidak dibatasi dan diikat ritus, tetapi merupakan gaya hidup. Itulah ibadah sejati.
Kata ibadah dalam Perjanjian Baru (PB) diterjemahkan dari kata Yunani leitourgia (laos = rakyat, dan ergon = kerja), yang berarti kerja bakti yang dilakukan penduduk kota. Sejak abad ke-4 SM istilah itu dipakai untuk menggambarkan apa yang dibaktikan seseorang untuk kepentingan bersama. Ketika para penulis PB menggunakan kata ibadah memang tidak dimaksudkan untuk persoalan rohani belaka. Ibadah juga soal kerja bagi kepentingan banyak orang.
Dalam bahasa Arab pun, kata ibadah—bahasa Indonesia meminjam dari bahasa Arab—sama akar katanya dengan abudah, yang berarti kerja. Kerja juga ibadah. Lagipula, baik ibadah maupun abudah juga seakar kata dengan abduh yang berarti hamba. Bisa disimpulkan, sebagai abdullah—hamba Allah—setiap orang harus melakukan baik ibadah maupun abudah. Berkenaan dengan ibadah hari Minggu dan abudah hari lainnya, Lukas menyatakan, jemaat mula-mula melakukan keduanya dengan gembira dan tulus hati.
Hati Gembira
Dalam hidup, hati gembira merupakan modal utama. Memang mudah dikatakan, meski sulit dipraktikkan. Mungkinkah bergembira saat hati luka? Mungkinkah bergembira saat yang didamba berbeda dengan kenyataan? Mungkinkah bergembira di tengah derita? Memang tidak mudah menjawabnya. Namun, pertanyaan yang sungguh layak diajukan: Apakah tidak ada alasan yang membuat kita bergembira?
Pandanglah surya pagi! Perhatikanlah sekuntum mawar! Hiruplah wangi bunga melati! Perhatikan lelap bayi dalam dekapan bundanya! Rasakanlah kasih dan perhatian orang-orang terdekat. Apakah kita tidak merasakan kegembiraan ketika melakukan semuanya itu?
Pandanglah diri kita sendiri! Bukankah kita masih hidup hingga kini? Diri kita sesungguhnya bisa menjadi alasan kuat untuk bergembira. Dunia sudah cukup suram. Janganlah tambah kesuramannya dengan kesedihan kita! Kegembiraan kita akan membuat orang sekitar turut gembira.
Di atas semuanya itu, bukankah Tuhan gembala kita? ”Apakah yang kurang lagi,” mengutip Fanny Crosby, ”jika Dia panduku?” (band. KJ 408 Di Jalanku ‘Ku Diiring). Dan sebagai Gembala, Dia mengenali domba-dombanya satu per satu. Dia tidak memperlakukan mereka secara anonim. Dia juga menjamin kelangsungan hidup mereka. Apakah kenyataan ini tidak menggembirakan hati kita?
Tulus Hati
Agaknya ada kaitan gembira dengan tulus hati. Tulus berarti memandang orang lain tanpa prasangka. Tulus berarti bersikap jujur, terbuka, dan apa adanya. Kita sering sulit bergembira karena kita tidak mampu bersikap jujur terhadap diri sendiri, apalagi terhadap orang lain. Dan inilah masalah terbesar dalam hubungan antar sesama rekan kerja.
Dalam bukunya Golok Pembunuh Naga dan Pedang Langit, Ching Yung berulang kali menyatakan bahwa seorang gagah akan melihat kegagahan dalam diri orang lain. Dua orang besar akan saling menghargai satu sama lain. Sedangkan pertemuan dua orang yang bersifat kerdil dan berpikiran sempit hanya berbuahkan pertarungan. Mereka hanya akan saling membuktikan siapa yang lebih hebat.
Sejatinya, sikap tinggi hati setali tiga uang dengan rendah diri. Biasanya, orang yang rendah diri akan menutupi ketidakpercayaan dirinya dengan mengambil sikap sombong. Sebaliknya, orang yang rendah hati biasanya mempunyai rasa percaya diri yang tinggi karena telah mampu menerima kelemahan dan kekuatan dirinya secara wajar. Sehingga dia mampu menerima kelemahan dan kekuatan orang lain.
Jika kita tidak mampu menerima kelemahan sendiri, jangan harapkan kita mampu menerima kelemahan orang lain. Demikian pula sebaliknya, hanya orang yang mampu menerima kekuatan dirinyalah yang mampu menerima kekuatan orang lain pula.
Sesungguhnya itulah watak orang-orang yang terhisap dalam Kerajaan Allah. Di dalam kerajaan itu, Allah adalah Raja. Semua orang tak terkecuali adalah hamba-Nya. Bisa saja ada perbedaan talenta dan tanggung jawab. Namun, perbedaan talenta dan tanggung jawab bukanlah alasan untuk menilai dan merendahkan rekan kerja kita. Sebab bukan besar atau kecilnya talenta, tetapi bagaimana seseorang mampu mempertanggungjawabkan talenta dirinya.
Pada kenyataannya, Tuhan memang tidak mengukur besar atau kecilnya talenta, tetapi apakah kita sungguh-sungguh dengan tulus dan setia menjalankan tugas kehambaan kita! Jika pemahaman ini disuntikkan dalam budaya kerja di rumah sakit atau kantor kita, bisa dipastikan setiap orang akan terpacu menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri tanpa rasa cemas atau khawatir. Sebab, dia yakin rekan-rekan sekerjanya siap mendukungnya!
Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati. (Kis 2:46).
Mari kita mulai menjalankan kehidupan kita, baik ibadah maupun abudah, layaknya jemaat mula-mula. Senantiasa bertekun menjalankan agenda dan panggilan Tuhan dengan sukacita dan tulus hati. Tuhan yang akan terus dan selalu memperlengkapi kita.
/knd
Commentaires