top of page
dr. Allisa Amelia

Before Saying “I do”



Pertemuan dengan pria/wanita idaman, menjalin relasi, menghadapi dan mengatasi konflik dan masalah bermodalkan kekuatan cinta sepasang kekasih hingga akhirnya menikah dan ditutup dengan kata-kata “happily ever after”: inilah kebanyakan kisah romantis yang digambarkan dalam cerita dongeng yang kerap kita dengar atau saksikan. Jarang sekali kehidupan tokoh tersebut setelah menikah ditampilkan. Paparan tontonan masa kecil, lagu, atau novel yang tampaknya indah mengenai relasi, telah menjebak kita dalam ilusi akan relasi yang harmonis, bebas konflik, ataupun bila ada konflik adalah antara kita dengan dunia ini, bukan antara saya dan pasangan saya.

Media sosial memudahkan kita untuk melihat hidup orang lain, termasuk gaya berpacaran kebanyakan orang. Ada hal yang baik yang dapat diteladani, namun ada pula hal yang mungkin dulu dianggap tabu saat ini dianggap biasa. Bahkan tak jarang, hal yang seharusnya dilakukan dalam kekudusan pernikahan, saat ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar saja untuk dilakukan sebelum menikah. Dunia kini membombardir kita untuk melakukan apa saja bersama asal saya dan pasangan saya bahagia. Bila sudah tidak bahagia, saya dapat mengakhiri hubungan ini.


Mengapa berpacaran?


Tidak ada kata “pacaran” dalam Alkitab, namun Alkitab berulang kali menuliskan kata “pernikahan”. Pandangan Alkitab tentang pernikahan adalah pemberian Allah, antara satu laki-laki dan satu perempuan, dengan tujuan untuk melayani Allah (Kejadian 1-2). Relasi Allah dengan umat-Nya dan Kristus dengan gereja-Nya digambarkan sebagai relasi pernikahan. Dalam pernikahan, suami menjalankan perannya sebagai kepala yang rela berkorban dan istri memiliki sikap tunduk yang saleh kepada suami. Institusi pernikahan menjadi gambaran hidup dari Injil kasih karunia.

Berpacaran adalah suatu tahap antara seorang pria dan wanita sebagai persiapan memasuki tahap pernikahan. Pacaran melibatkan emosi dan jiwa, sehingga tidak dipungkiri bila kita mengalami sukacita, rasa ingin selalu bersama atau kerinduan untuk mengenal lebih dalam dan akan ada kemarahan atau air mata bila mengalami konflik. Pacaran sebagai gambaran bagaimana kita membangun kedekatan secara spiritual, emosional, dan fisik dengan pasangan kita untuk tujuan pernikahan. Visi pernikahan yang Firman Tuhan berikan-lah yang memampukan kita untuk berpacaran dan berpacaran dengan baik karena setiap pasangan laki-laki dan perempuan yang menjadi relasi pacaran tentu ingin berlanjut ke dalam tahap pernikahan. Sangat penting untuk mempersiapkan pernikahan selama masa pacaran.


Bagaimana peran saya dan pasangan saya dalam mempersiapkan pernikahan?


Jika pernikahan begitu kudus dan penting, bagaimana sebaiknya pasangan yang sedang berpacaran mempersiapkan diri mereka sebelum mengatakan ”Saya bersedia” di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya? Beberapa hal berikut dapat kita renungkan dan diskusikan bersama:


1. Apakah saya dan pasangan saya sama-sama orang percaya?

Kerinduan memiliki pernikahan yang sejalan dengan visi pernikahan yang Tuhan berikan memerlukan pemahaman yang sama antara kita dan pasangan kita. Bagaimana mungkin kita dapat menjalani visi yang Tuhan berikan bila pasangan kita tidak memiliki iman yang sama (2 Korintus 6:14).


2. Memahami peran yang akan kita hadapi dalam masyarakat

Allah menciptakan pernikahan yang terdiri dari seorang pria dan seorang wanita. Kita memahami kelemahan dan kekuatan masing-masing. Hal ini menyadarkan kita kalau kita membutuhkan satu-sama lain sebagai pria dan wanita. Tidak ada perasaan saya sebagai pria lebih hebat karena saya lebih kuat atau saya sebagai wanita dapat melahirkan karena itu saya lebih hebat. Tidak demikian karena masing-masing memiliki peran yang sudah Allah berikan. Peran sebagai pria dan wanita sebagai orang tua juga Allah berikan untuk beranak cucu dan bertambah banyak (Kejadian 1:28). Beranak cucu dan bertambah banyak bukan hanya memperoleh keturunan. Lebih daripada itu, memasuki pernikahan dan menjadi orang tua, kita memiliki tugas mewariskan iman dan hal-hal yang baik kepada anak-anak kita sebagai penerus generasi yang bertanggung jawab dalam masyarakat.


3. Membuat batasan untuk mendekatkan

Masa pacaran merupakan kesempatan untuk mengenal lebih seseorang yang berpotensi menjadi pasangan hidup kita. Ketika memiliki teman yang berpacaran pun kita dapat mengetahui adanya perbedaan kedekatan seseorang dengan pacarnya dibandingkan dengan teman-teman lainnya. Kedekatan dalam masa pacaran ada yang perlu dibangun, dipertahankan, dan ada juga yang perlu dibatasi. Waktu dalam masa pacaran menolong kita untuk melihat bagaimana karakter satu sama lain, respon saat menghadapi konflik dalam hubungan (internal) atau di luar hubungan (eksternal), kebudayaan keluarga yang mungkin berbeda, relasi dengan komunitas, relasi dengan rekan sekerja, sikapnya saat lelah dan sedih, dan banyak hal lainnya.


Tidak dipungkiri, masa pacaran membangun kedekatan secara emosional dan fisik dan bila kita tidak menjaga diri kita dan pasangan kita, kita rentan jatuh dalam godaan seksual. Iblis tidak akan membiarkan kita memiliki relasi yang kudus dan menyenangkan Allah. Oleh karena itu, kita perlu untuk terus berwaspada dengan kedekatan yang dapat membuat kita jatuh dalam dosa seksual.


4. Libatkan komunitas dalam relasi

“Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada” (Amsal 11:14). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, masa pacaran merupakan kesempatan untuk mengenal satu sama lain. Namun tidak menutup kemungkinan mata kita menjadi “buta” karena perasaan sedang berbunga-bunga ataupun menjadi “buta” karena amarah saat berkonflik dengan pasangan. Sehingga dengan adanya orang-orang percaya di sekitar kita yang juga merindukan kita memiliki relasi yang baik dalam Tuhan dapat menolong kita untuk memiliki pandangan yang lebih luas mengenai pasangan kita dan relasi kita.


Mengenal pasangan tidak bisa hanya berdua. Kita perlu meminta pertolongan orang lain yang dapat kita percaya untuk melihat kehidupan berpacaran kita. Selain itu, kita dapat semakin mengenal pasangan kita dalam bagaimana sikapnya dengan orang lain baik orang tua, pasien, teman sesama jenis ataupun lawan jenis, ataupun sikapnya dengan orang dengan berbagai karakter.


Relasi seperti apakah yang kita inginkan? Apakah relasi yang menyenangkan diri sendiri atau relasi yang berkenan kepada Allah? Kiranya Allah menolong kita untuk mempersiapkan diri (bagi yang sedang berpacaran) dan menjalani pernikahan (bagi yang sudah menikah) seturut dengan yang Dia rancangkan.


*Penulis saat ini bekerja di sebuah rumah sakit swasta di Bandung


/stl


Referensi:

Sacred Marriage. Gary Thomas. 2011. Penerbit: Katalis



64 views0 comments

Recent Posts

See All

Commenti


Hubungi Kami
bottom of page